Tag Archives: Harian Indonesia Raya

Keadilan Sosial Nan Tak Kunjung Tiba (3)

“Dan pada bagian-bagian akhir masa kekuasaan Soeharto, pusat kemakmuran beralih pada konglomerasi maupun ‘kerajaan’ bisnis keluarga yang ditopang perilaku korupsi-kolusi-nepotisme. Salah satu ledakan besar akibat perilaku korupsi-kolusi-nepotisme itu terjadi melalui skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) di akhir masa kekuasaan Soeharto yang penyelesaiannya menjadi pekerjaan rumah berkepanjangan hampir sepanjang masa reformasi”.

Kelompok Kaya Baru dan Para Cukong

KELOMPOK kaya baru ini mempunyai sejumlah simbol status. Salah satu simbol adalah rumah mentereng –kebanyakan dibuat bertingkat– yang dibangun di atas tanah yang luas di wilayah kota yang bergengsi seperti di Menteng, Kebayoran Baru dan Pondok Indah. Selain itu, tak henti-hentinya dibuka wilayah pemukiman baru yang elite dari waktu ke waktu. Setiap kota besar lainnya di luar Jakarta, juga senantiasa punya daerah-daerah pemukiman elite. Bertumbuhnya Jakarta menjadi metropolitan, yang segera ditiru gayanya oleh kota-kota besar lainnya, bagaimanapun telah memicu meningkatnya hasrat konsumerisme yang tidak produktif. Sikap konsumtif itu berinteraksi, saling mempengaruhi secara timbal balik dengan hasrat korupsi yang dilakukan sebagai jalan pintas untuk memperoleh kemewahan hidup melebihi lapisan masyarakat lain pada umumnya. Hasrat konsumtif memicu hasrat berkorupsi, lalu keberhasilan memperoleh tambahan kekayaan melalui korupsi itu bekerja kembali untuk makin meningkatkan konsumerisme.

Selain memiliki rumah mewah, simbol status lainnya adalah memiliki mobil-mobil mewah. Setiap keluarga sebaiknya memiliki lebih dari satu, biasanya 3 sampai 4 mobil sekaligus. Simbol lainnya adalah pesta-pesta perkawinan keluarga yang luar biasa semarak lengkap dengan upacara adat yang agung dan berbiaya mahal. Pastilah untuk melayani hasrat bermobil mewah, maka seorang cina muda bernama Robby Cahyadi –nama kelahirannya Sie Cia Ie–  muncul menjadi bintang penyelundup mobil mewah. Tidak tanggung-tanggung, mobil mewah ini diselundupkan melalui Halim Perdana Kusumah yang ada dalam kawasan Angkatan Udara Republik Indonesia. Desas-desus yang tercipta menyebutkan keterlibatan nama-nama yang dekat dengan Cendana. Desas-desus ini menjadi kuat dan diterima sebagai kebenaran oleh masyarakat, karena Kapolri Hugeng Iman Santoso yang menindak tegas penyelundupan itu belakangan dicopot dari jabatannya, tapi resminya disebut akan memasuki masa persiapan pensiun. Ia diganti oleh Jenderal M. Hasan. Dalam proses peradilan atas diri Robby Cahyadi, nama-nama kalangan atas lenyap dan tinggallah Robby sendiri dan beberapa pejabat kelas menengah bawah seperti Abu Kiswo dan Heru dari Direktorat Bea Cukai yang akhirnya harus menerima hukuman dan meringkuk dalam penjara.

Bersamaan dengan meningkatnya konsumerisme dan korupsi, rasa keadilan masyarakat makin tersayat dan menimbulkan kerak luka dalam sanubari rakyat banyak. Timbun menimbun dari waktu ke waktu dan menciptakan apa yang disadari waktu itu sebagai jurang sosial yang makin menganga, menunggu waktu untuk meletup. Suatu keadaan yang masih berlanjut hingga kini tanpa adanya kemampuan dari mereka yang naik ke dalam kekuasaan untuk memperbaikinya.

Siapa-siapa saja yang berhasil menjadi anggota kelompok kaya baru di Indonesia ?

Pembangunan ekonomi yang selangkah demi selangkah mengalami kemajuan berarti, membuka banyak peluang. Mereka yang berhasil menangkap peluang, menjadi kelompok kaya baru. Banyak di antaranya yang berhasil memperolehnya dengan memeras keringat dan otak melalui jalan-jalan yang wajar. Namun masih lebih banyak lagi yang berhasil memperoleh peluang semata-mata karena kedekatan dengan pusat-pusat kekuasaan –dan atau memang ada di pusat kekuasaan itu sendiri. Mereka yang disebut terakhir ini, masih tetap merupakan pola hingga tahun 2009.

Pusat kemakmuran yang termasyhur, di awal masa kekuasaan Soeharto, jelas adalah Pertamina di urutan pertama. Di bawahnya barulah perusahaan-perusahaan milik negara lainnya. Keberadaan BUL (Badan Urusan Logistik) yang kemudian berubah jadi BULOG juga menonjol dan termasuk sebagai lembaga yang banyak memberi kesempatan dan rezeki kepada beberapa pihak. Dan pada bagian-bagian akhir masa kekuasaan Soeharto, pusat kemakmuran beralih pada konglomerasi maupun ‘kerajaan’ bisnis keluarga yang ditopang perilaku korupsi-kolusi-nepotisme. Salah satu ledakan besar akibat perilaku korupsi-kolusi-nepotisme itu terjadi melalui skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) di akhir masa kekuasaan Soeharto yang penyelesaiannya menjadi pekerjaan rumah berkepanjangan hampir sepanjang masa reformasi. Di masa pasca Soeharto, jalan pintas untuk kemakmuran pribadi mendadak berwujud sebagai korupsi berjamaah di berbagai penjuru tanah air, selain melibatkan pelaku tradisional dari kalangan birokrasi, juga melibatkan kalangan legislatif di pusat maupun di daerah. Sejumlah anggota DPR-RI menjadi tersangka di KPK. Perilaku korupsi dan nepotisme pun merasuk ke dunia politik terutama di tubuh partai-partai politik, sementara praktek mafia hukum belum kunjung usai. Terkait perilaku kalangan kekuasaan,  apa yang terjadi dengan bailout Bank Century mengingatkan pada pola BLBI.

Di Pertamina pada masa-masa awal kekuasaan Soeharto, selain Ibnu Sutowo dan keluarganya, terdapat sederetan nama termasyhur yang kemudian tercatat sebagai elite keuangan Indonesia. Nama-nama itu antara lain, Haji Thaher, Kolonel Sjarnubi Said dan Brigjen Pattiasina, serta sederetan nama dalam jumlah besar namun tidak terlalu populer sehingga dapat disebut ‘beruntung’ karena tidak menjadi sorotan pers. Terselip pula nama seorang cina yang banyak berdomisili di Singapura, Tong Djoe, yang mewakili banyak kepentingan Ibnu Sutowo di luar negeri.

Bagaimana mudahnya pemegang otoritas di Pertamina memperoleh uang, bisa ditunjukkan dengan suatu ‘rahasia umum’ tentang betapa berharganya tanda tangan otoritas perusahaan minyak itu. Newsweek 16 Juni 1969 mengutip pengakuan seorang pejabat perusahaan minyak Amerika Serikat yang mengungkap berbagai pungutan dan suap yang harus dikeluarkan untuk mendapat persetujuan. “Kami tahu bahwa kami harus membayar dua kali lipat untuk segala sesuatu, tetapi potensi keuntungannya cukup memadai”, ujar sang pengusaha. Hanya untuk memperoleh ‘hak guna usaha’ sumber minyak lepas pantai (offshore lease), para pengusaha asing pada umumnya bersedia membayar ‘harga’ tanda tangan (bonus signature) yang berkisar antara US$ 100,000 sampai US$ 7,000,000. Perusahaan yang memperoleh hak guna usaha itu mendapat 40 persen dari hasil produksinya untuk menutupi ongkos-ongkos dan kemudian harus menyerahkan 2/3 dari 60 persen sisanya kepada Pertamina. Selanjutnya seluruh perlengkapan bergerak menjadi milik Pertamina dan disewakan kembali kepada produsen yang bersangkutan. Bersamaan dengan berita Newsweek itu, Harian Operasi yang terbit di Jakarta, pada penerbitan 14 Juni 1969, memberitakan satu contoh lain yang berlevel lebih bawah, berupa pembelian 21 kapal tanker oleh Pertamina senilai US$ 242,720,000. dengan pembayaran jangka 10 tahun yang memakai borg (jaminan) 6 tanker Pertamina. Harga itu menurut Harian Operasi tidak wajar dan di atas standar. “Kontrak pembelian semula akan disetujui oleh Menteri Perhubungan Drs Frans Seda sendiri. Tetapi entah karena apa, Frans Seda akhirnya menyerahkan pada bawahannya, tanpa meneliti tentang cocok tidaknya harga dan layak tidaknya borg yang diminta”.

Pertamina pun banyak mencetak ‘bintang’ baru, berhasil menciptakan sederetan pengusaha nasional baru. Kedekatan dengan pejabat-pejabat penentu di Pertamina merupakan berkah bagi banyak orang, termasuk dari kalangan kaum muda. Salah satu diantara bintang ‘succes story’ adalah Ir Siswono Judohusodo mantan aktivis GMNI Ali Surachman sewaktu masih kuliah di ITB –dan pernah berseberangan dengan Angkatan 1966 dalam Peristiwa Penyerbuan Gedung KAMI Konsulat Bandung dan Peristiwa 19 Agustus 1966 yang menewaskan mahasiswa Universitas Parahyangan Julius Usman. Siswono akhirnya menjadi satu konglomerat muda dengan kemampuannya menangkap dan memfaedahkan kesempatan-kesempatan yang diberikan Ibnu Sutowo untuk membangun kerajaan bisnisnya group Bangun Tjipta Sarana. Hanya saja, tatkala Ibnu Sutowo goncang dan Pertamina yang nyaris bangkrut ‘dibersihkan’ pada tahun 1975, sisa tagihan Siswono dalam jumlah besar yang belum terbayar Pertamina ikut mengalami pemangkasan. Waktu itu, ada asumsi bahwa seluruh harga-harga Pertamina di’mark-up’ dalam jumlah besar tertentu, maka wajar bila para penagih tidak akan dibayar penuh lagi.

Tokoh-tokoh muda lain yang sempat terbantu oleh Ibnu Sutowo adalah Fahmi Idris, Sugeng Sarjadi dan kawan-kawan dari HMI. Proposal mereka disetujui, dan berdirilah industri kawat las di bawah nama group Kramayudha. Pada masa jaya Ibnu Sutowo memimpin Pertamina, memang ada begitu banyak orang yang kebagian rezeki, baik dari kalangan tentara maupun dari kalangan politik. Termasuk beberapa kalangan pers. Namun tercatat pula sejumlah pers yang gigih membongkar korupsi dan penyalahgunaan di Pertamina, di antaranya adalah Harian Indonesia Raya di Jakarta yang dipimpin oleh tokoh pers kawakan Mochtar Lubis dan Mingguan Mahasiswa Indonesia di Bandung. Dan tentu saja, ada kritik gigih dari kalangan mahasiswa berbagai perguruan tinggi di berbagai kota, termasuk Bandung.

BUL atau BULOG yang dipimpin oleh Mayjen Achmad Tirtosudiro, juga menjadi salah satu pemberi berkah dan rezeki kepada berbagai pihak, kalangan tentara maupun pengusaha. Pengusaha paling termasyhur dalam hubungan BUL adalah seorang pengusaha keturunan cina Teguh Sutantyo Direktur Utama Mantrust di Bandung. PT Mantrust ini adalah produsen beras Tekad. Selain itu, group Mantrust bergerak di bidang pengolahan bahan makanan lainnya seperti ikan kaleng, corned beef, biskuit, pengolahan jamur dan nasi goreng kaleng, Perusahaan yang dipimpin Teguh Sutantyo ini pernah menghebohkan dengan skandal pengiriman makanan kaleng yang busuk isinya untuk Pasukan Perdamaian PBB dari Indonesia di Kongo, Afrika, yang dikenal sebagai Pasukan Garuda. Menurut Harian Indonesia Raya (3 September 1969) dan Mingguan Mahasiswa Indonesia (7 September 1969), kejadian ini hanyalah salah satu skandal yang pernah dilakukan oleh Teguh Sutantyo dengan oknum-oknum yang dikenal dekat dengan Istana. Skandal kedua yang menghebohkan, terkait dengan pengadaan beras sintetis Tekad. Beras Tekad ini, selain harganya ternyata lebih tinggi dari beras biasa, pembangunan pabriknya juga bermasalah, yakni dalam pengadaan mesin-mesinnya.

Pada bulan Agustus 1969, tersiar kabar dalam pers Jepang tentang ditangkapnya dua orang yang terlibat manipulasi ekspor. Kedua orang itu adalah Namio Kida –seorang Jepang kelahiran Indonesia– dan Santoso Sutantyo yang disebut pers Jepang sebagai ‘an Indonesian businessman of Chinese’, dari perusahaan Mexim, Tokyo. Koran Jepang terkemuka ‘Asahi Shimbun’ memberitakan bahwa Kida dan Sutantyo telah merencanakan mengeruk keuntungan dengan menggunakan transaksi-transaksi bantuan ekonomi Jepang kepada Indonesia. Pada bulan Mei 1967 mereka membentuk perusahaan Mexim Corporation Limited dan berkantor di Rosei Building, Nigashi Arabu, Miniati-Ku, Tokyo. Kemudian mereka menandatangani perjanjian dengan perusahaan Djaya di Jakarta yang presiden direkturnya bernama Dharma Surya, untuk mengekspor plant seharga 900 juta yen bagi pembangunan pabrik beras sintetis di Bandung. Tetapi sebetulnya yang diekspor hanyalah mesin-mesin penggiling tepung, mesin-mesin pengering dan mesin-mesin conveyor seharga 640 juta yen. Lalu mereka membuat laporan mengenai impor-ekspor tersebut kepada pemerintah Jepang dan Indonesia yang mencantumkan nilai 900 juta yen. Dan sesuai dengan peraturan bantuan ekonomi Jepang bahwa dalam hal pelaksanaan bantuannya Jepang akan membayar kepada pengusaha-pengusaha yang mengekspor barangnya ke Indonesia, maka Mexim menerima 900 juta yen. Dengan demikian menurut Asahi Shimbun, Kida dan Sutantyo telah memasukkan transaksi dan mengantongi keuntungan tidak sah sebesar 260 juta yen. Diungkap pula bahwa uang keuntungan itu ditukar dalam bentuk cek dengan pecahan nilai antara 200 ribu sampai 300 ribu yen di berbagai bank di Tokyo dan sebanyak sepuluh kali dibawa ke Hongkong untuk ditukar dalam bentuk US$ lalu dimasukkan ke Indonesia. Berita itu menyebut PT Mantrust di Bandung sebagai dalang di balik komplotan ini.

Menurut Mingguan Mahasiswa Indonesia permintaan penyelesaian perkara dan pembebasan sementara bagi para pelaku pernah diusahakan oleh Jenderal Soedjono Hoemardani kepada Menteri Keuangan Jepang Fukuda. Soedjono Hoemardani ini disebutkan sebagai sangat dekat dengan Istana, yang kemudian dikenal sebagai salah satu Aspri Presiden Soeharto. Soedjono Hoemardani ini kelak menjadi salah satu tokoh sasaran kritik para mahasiswa Jakarta maunpun Bandung dalam suatu gelombang anti Jepang di Indonesia dan mendapat julukan ‘dukun’ Jepang di Indonesia bersama Ali Moertopo.

Untuk pembuatan beras Tekad, PT Mantrust sebenarnya memperoleh alokasi devisa sebesar US$ 2,5 juta dari pemerintah melalui Bank Indonesia dan juga mendapat Rp 150 juta dari BUL yang dipimpin Mayjen Ahmad Tirtosudiro. “Ini semua bisa diperoleh berkat hubungannya yang mesra dengan sejumlah pejabat penting seperti Ketua BUL Mayjen Achmad Tirtosudiro dan Mayjen Surjo” tulis Mingguan Mahasiswa Indonesia 14 September 1969. US$ 2,5 juta tersebut diambilkan dari kredit Jepang yang di-BE-kan. Sebagai ilustrasi berapa kira-kira nilai rupiah waktu itu dapat disebutkan bahwa harga sebuah mobil sedan Corolla adalah Rp 1,9 juta. Belakangan terungkap pula bahwa uang muka yang Rp 150 juta tersebut secara diam-diam telah bertambah mencapai jumlah Rp 1100 juta. Di luar itu PT Mantrust dalam rangka beras Tekad telah memperoleh pula bantuan BUL sebanyak 4800 ton terigu seharga Rp 97 juta. Walaupun, menurut rencana semula beras Tekad hanya terdiri dari bahan-bahan ketela, kacang dan jagung, tanpa terigu. PT Mantrust pada bulan September 1969 baru mampu memasok 7500 ton Tekad seharga Rp 180 juta. Dengan demikian Mantrust malah masih berhutang sebesar Rp 1.017 juta kepada BUL. Sungguh suatu fasilitas yang luar biasa, pembayaran jauh di depan, dalam jumlah yang besar lagi. Sungguh suatu usaha yang betul-betul nyaman. Namun nyatanya, pada akhirnya proyek beras Tekad itu gagal karena rasa dan kualitasnya yang rendah dan tidak diterima masyarakat.

Tentang hubungannya dengan PT Mantrust Mayjen Achmad Tirto dalam wawancara dengan Rum Aly dari Mingguan Mahasiswa Indonesia di bulan Februari 1970 menjelaskan beberapa hal. “Kalau nama saya dihubung-hubungkan dengan Mantrust, soalnya adalah memang dulu saya termasuk salah satu sponsor dari pemerintah untuk mendirikan pabrik beras Tekad. Kemudian pabrik itu didirikanlah. Lalu kemudian karena perkembangan harga beras, produksi beras meningkat sekarang. Beras Tekad produksinya tidak sesuai dengan yang diharapkan” (Pada kesempatan lain ia pernah mengakui bahwa beras Tekad gagal karena kebetulan produksi beras meningkat kembali, dan beras Tekad itu sendiri memang tidak begitu diterima dan disukai masyarakat). Itu adalah suatu keadaan yang patut disayangkan, ujar Achmad Tirto dengan nada pembelaan, “Dan akan merugikan produsen yang memproduksi beras tersebut. Sekarang ia mempunyai kemampuan yang lebih kecil di dalam pengembalian kreditnya”. Jadi itulah sebabnya, “nama saya seringkali dihubung-hubungkan dengan Mantrust”. Yang mendirikan pabrik beras Tekad adalah Mantrust, “kami yang ditugaskan mengadakan pengontrakan pembelian beras Tekad dan yang mensponsori proyek beras Tekad”.

Tapi menurut Mahasiswa Indonesia sepanjang yang dapat diketahui, hubungan antara Mantrust dengan Achmad Tirto telah ada sejak Achmad Tirto masih bertugas di CIAD (Corps Intendant Angkatan Darat, semacam Dinas Perbekalan AD). Pada waktu itu Mantrust berhasil menjadi suplier berbagai jenis makanan kaleng, seperti nasi goreng, biskuit mari dan lain-lain. Seringkali makanan-makanan kaleng itu membusuk ketika tiba di tujuannya, karena kualitasnya yang rendah. Malahan pernah sejumlah besar makanan kaleng terpaksa dipulangkan. Selain itu, Mayjen Achmad Tirtosudiro sendiri pernah mengakui kepada delegasi KAMI Bandung di tahun 1967 bahwa ia memang mempunyai hubungan pribadi dengan Mantrust. Bahwa pihak Mantrust merasa rugi karena penghentian produksi Tekad, keterangannya harus diragukan karena Direktur Mantrust pada pidato upacara pembukaan pabrik Tekad di Bandung mengatakan sendiri bahwa sewaktu-waktu produksi bisa dialihkan untuk membuat bahan-bahan makanan lain seperti bakmi, makaroni dan spaghetti.

Terhadap pertanyaan kenapa dalam penetapan Mantrust itu tidak ada tender terbuka sebelumnya, Achmad Tirto menjawab “Begini,… jadi sewaktu didalam permulaan rencana pelaksanaan untuk mengisi kebutuhan pangan, dicari yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakannya”. Siapa saja yang waktu itu sanggup, ujar Tirto, itu bagi bank sebetulnya terbuka kesempatan untuk melakukannya juga (Maksudnya, siapa pun bisa juga mengajukan permohonan kredit ke bank). “Itulah sebabnya tidak diadakan tender karena kita dihadapkan kepada kecepatan mengatasi masalah pangan. Justru waktu itu yang sanggup adalah Mantrust. Dan sebetulnya, kalau soal pabriknya semuanya selesai hanya sekarang produksinya yang agak terhenti karena pemesanan dari pemerintah dibatasi. Menurut Mahasiswa Indonesia sama sekali tidak pernah diumumkan akan dibukanya suatu proyek beras sintetis. Tiba-tiba saja dilakukan penunjukan terhadap Mantrust, sehingga adalah tidak mungkin bagi perusahaan-perusahaan lain untuk ikut serta seperti yang digambarkan Achmad Tirto.

Sepanjang yang dapat dicatat, hingga tahun-tahun terakhir ini, berbagai skandal terkait dengan Bulog masih senantiasa terjadi.

Berlanjut ke Bagian 4

Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (5)

“Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan itu pasti berisikan hal-hal yang amat berharga dan relatif tidak mengandung unsur pemalsuan sejarah. Atau catatan itu justru ‘hilang’ karena bersih dari pemalsuan sejarah? Selain korban jiwa dalam malapetaka sosial tersebut, yang sebenarnya tak hanya menimpa  massa pendukung  PKI, sejumlah orang juga menjadi tahanan politik bertahun-tahun lamanya di berbagai tempat penahanan di seluruh Indonesia dan kemudian di Pulau Buru”.

SEPERTI halnya di Sulawesi Selatan, PNI Sulawesi Utara cukup menonjol, di antaranya di kabupaten (waktu itu) Gorontalo, Bolaang Mongondow dan sebagainya. Mirip yang terjadi di Bali, maka peranan ‘pembasmian’ terhadap PKI yang terjadi di daerah ini banyak dipelopori oleh massa PNI dan organisasi-organisasi mantelnya, serta massa NU yang memiliki dendam antara lain berdasarkan solidaritas atas nasib akar rumput NU di Jawa Timur yang menjadi sasaran aksi-aksi sepihak PKI. Meskipun secara historis ada sedikit peninggalan kebencian dan sikap anti komunis yang kuat di daerah ini sejak masa Permesta, kebencian itu tidak sampai menyebabkan adanya kekerasan berlebih-lebihan terhadap anggota PKI pasca Peristiwa 30 September 1965. Sebelum peristiwa di Sulawesi Utara tak tercatat adanya aksi sepihak soal tanah, karena PKI hanya sebatas melakukan provokasi dengan ucapan-ucapan bernada ancaman kepada para pemilik tanah yang luas-luas, bahwa sewaktu-waktu massa akan menduduki tanah mereka. Jadi memang tak ada kondisi objektif yang pantas untuk menjadi alasan bagi suatu gelombang pembalasan. Bahkan terjadi suatu situasi unik, karena sejumlah tokoh pemerintahan atau eks pejabat yang diketahui punya sejarah melakukan korupsi, seperti yang terjadi di Bolaang Mongondow, justru diduduki dan dikuasai rumahnya oleh massa, dan ini tak ada urusannya dengan keterlibatan pada PKI.

Memang, tak dapat dihindari, bahwa ada juga anggota PKI yang dibunuh, namun jumlahnya terbatas. Faktor dendam pribadi, biasanya bekerja dalam kasus-kasus seperti ini. Pada umumnya, massa yang bergerak hanyalah melakukan pengrebegan terhadap anggota-anggota yang dikenal sebagai tokoh PKI, lalu digiring untuk diserahkan kepada tentara atau polisi. Isteri dan anak-anak mereka tidak diganggu. Rumah Robby Sumolang, tokoh nasional IPPI yang secara nasional sangat populer di Jakarta, dan dikenal sangat pro golongan kiri, hanya kena cat dengan kotak hitam, disertai tulisan di bawah pengawasan Kodim. Yang menjadi salah satu catatan menarik dalam rangkaian pembasmian terhadap PKI di Sulawesi Utara ini adalah kasus 40 anggota PKI yang ditangkap oleh pihak militer di bawah koordinasi seorang Mayor bernama Sudjarwo –yang di Sulawesi Utara disebut sebagai anak buah Sudharmono– lalu dibawa ke pulau Jawa dengan menggunakan sebuah kapal kayu. Nasib 40 orang ini tidak pernah jelas, apakah tiba di Pulau Jawa atau tidak, mereka pun tak pernah kembali ke Sulawesi Utara. “Mungkin ditenggelamkan di tengah laut”, ujar Lukman Mokoginta mengutip anggapan masyarakat kala itu. Peristiwanya sendiri terjadi tahun 1967, sudah cukup jauh dari akhir 1965.

Pembasmian dini di Jawa Barat. Di tengah gelombang pembasmian PKI, khususnya di pulau Jawa, fenomena yang paling menarik mungkin adalah yang terjadi di Jawa Barat. Ketika praktis seluruh pulau Jawa ada dalam arus pembasmian massal yang berdarah, Jawa Barat menunjukkan kelainan. Gerakan pembasmian PKI umumnya hanya terjadi di kota-kota, terutama di kota Bandung, dan relatif tidak berdarah karena lebih ditujukan pada pengambilalihan kantor-kantor milik PKI dan organisasi-organisasi sayapnya. Lagipula penyerbuan-penyerbuan ke kantor-kantor PKI itu dilakukan oleh massa mahasiswa dan pelajar yang tidak punya niat dan kemampuan melakukan kekerasan berdarah. Pola pengambilan dan pembunuhan atas pengikut-pengikut PKI terjadi secara sporadis saja di daerah tertentu, khususnya di wilayah pantai utara, dilakukan oleh organisasi-organisasi massa.

Latar belakang bagi situasi ini berasal dari masa sepuluh hingga limabelas tahun sebelumnya. Orang-orang komunis di Jawa Barat, telah lebih dulu mengalami pembasmian sampai ke akar-akarnya, sejak tahun 1950 hingga menjelang Pemilihan Umum 1955, terutama di Priangan Timur. Sejak sebelum tahun 1950, khususnya 1945-1948, pembelahan yang nyata terlihat di antara kaum santri yang umumnya dari NU dengan kaum abangan, persis seperti dalam teori sosiologi menurut Clifford Geertz. Kehadiran DI-TII merubah perimbangan. Sejak 1950-1951 terjadi gelombang pembantaian terhadap pengikut-pengikut komunis seperti anggota Pesindo dan sebagainya yang berada di pedesaan-pedesaan Priangan Timur. Di daerah pedesaan Garut sebagai contoh, pengikut-pengikut komunis yang menghuni desa-desa perbukitan mengalami pembantaian terutama oleh pasukan-pasukan DI-TII. Garut saat itu berada dalam wilayah ‘kekuasaan’ salah satu panglima perang DI-TII yang terkenal di Priangan Timur, bernama Zainal Abidin. Tetapi selain oleh DI-TII, pembantaian juga dilakukan oleh massa santri yang membenci orang-orang komunis itu, terutama atas dasar anggapan bahwa mereka manusia tidak bertuhan dan merupakan musuh Islam.

Pembantaian yang berlangsung terus secara bergelombang dalam jangka waktu yang cukup panjang, terutama berupa penyembelihan, mencapai skala yang cukup massal secara akumulatif, juga terutama karena berlangsung dalam jangka waktu yang cukup panjang dalam sebaran wilayah yang luas. Dalam satu gelombang peristiwa bisa jatuh korban lebih dari seratus, dan secara sporadis angka korban puluhan dalam setiap peristiwa adalah lazim. Pembasmian serupa, tak hanya terjadi di wilayah Garut, tetapi merata di Priangan Timur. Hal serupa, meskipun dalam skala lebih kecil terjadi pula di daerah-daerah di mana pengaruh DI-TII cukup kuat, sementara sebaliknya tak tercapai dalam jangkauan dan akses keamanan TNI. Penghitungan yang lebih akurat, misalkan berdasarkan data yang dimiliki Kodam Siliwangi, menjadi agak sulit karena tercampur dengan korban-korban DI-TII dari kelompok masyarakat lainya dan tercampur pula dengan data korban di kalangan rakyat akibat pertempuran antara DI-TII dan pasukan Siliwangi.

Pembantaian di pedalaman Jawa Barat ini, menyebabkan terjadinya arus ‘pengungsian’ pengikut komunis ini ke kota-kota, terutama ke Bandung. Ini menjelaskan kenapa di Jawa Barat, PKI hanya bisa berkembang cukup baik di perkotaan terutama pada era Nasakom 1961-1965. Sementara itu, karena akar-akarnya telah ditumpas di wilayah pedalaman, seperti dituturkan Dr Aminullah Adiwilaga seorang pengajar di Universitas Padjadjaran dan Drs Adjan Sudjana, maka PKI tak mampu membangun jaringan baru partai secara signifikan di wilayah luar perkotaan Jawa Barat. Dan ketika pecah Peristiwa 30 September 1965, relatif tak ada sasaran bagi massa anti PKI di wilayah pedalaman Jawa Barat.

Karena penangguhan ‘political solution’ yang dijanjikan Soekarno?

Berapa korban yang jatuh dalam malapetaka sosiologis pasca Peristiwa 30 September 1965? Perkiraan yang moderat menyebutkan angka 500.000 jiwa. Perhitungan lain, berkisar antara 1.000.000 sampai 2.000.000. Tetapi, Sarwo Edhie yang banyak berada di lapangan, pasca peristiwa, baik di Jawa Tengah, Jawa Timur maupun di Bali, suatu ketika menyebut angka 3.000.000. Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo bahkan tak pernah meralat angka yang disebutkannya itu. Sebenarnya, Sarwo Edhie memiliki catatan-catatan tentang pengalamannya di seputar Peristiwa 30 September 1965 dan masa-masa sesudahnya, termasuk mengenai malapetaka sosiologis tersebut. Mungkin ada angka-angka signifikan dalam catatan tersebut. Namun sayang, catatan Sarwo Edhie itu ‘hilang’ di tangan orang yang dititipi –dalam rangka usaha menerbitkannya– oleh ibu Sarwo Edhie, beberapa waktu setelah sang jenderal meninggal.

Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan itu pasti berisikan hal-hal yang amat berharga dan relatif tidak mengandung unsur pemalsuan sejarah. Atau catatan itu justru ‘hilang’ karena bersih dari pemalsuan sejarah? Selain korban jiwa dalam malapetaka sosial tersebut, yang sebenarnya tak hanya menimpa  massa pendukung  PKI, sejumlah orang juga menjadi tahanan politik bertahun-tahun lamanya di berbagai tempat penahanan di seluruh Indonesia dan kemudian di Pulau Buru. Professor Herbert Feith menyebutkan adanya 80.000 tahanan politik. Suatu angka yang sebenarnya lebih rendah daripada kenyataan yang ada, apalagi penangkapan terus berlangsung sampai bertahun-tahun sesudah peristiwa, tak terkecuali korban salah tangkap.

Pada tahun-tahun 1966-1967 bahkan hingga beberapa tahun berikutnya, berbagai pihak, termasuk pers Indonesia cenderung menghindari menyentuh dan membicarakan mengenai pembasmian berdarah-darah atas PKI ini. Hanya ada beberapa pengecualian, seperti misalnya Soe Hok-gie melalui tulisan-tulisannya, termasuk di Mingguan Mahasiswa Indonesia, edisi pusat maupun edisi Jawa Barat. Adalah karena tulisan-tulisannya, Soe-Hokgie berkali-kali menjadi sasaran teror. Di tahun 1966, melalui tulisannya di Mingguan Mahasiswa Indonesia, cendekiawan muda dari ITB Mudaham Taufick Zen yang lebih dikenal sebagai MT Zen pernah menyentuh substansi masalah tersebut. MT Zen menggambarkan adanya suasana ketakutan rakyat Indonesia terhadap teror PKI selama beberapa tahun terakhir, sebagaimana yang kemudian ‘terbukti’ di Lubang Buaya. Dalam suasana itu, “sebagai akibat selalu ditangguhkannya political solution yang dijanjikan Bung Karno, maka terjadilah pembunuhan besar-besaran di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta tempat-tempat lain di Indonesia”.

Perlu dicatat bahwa setelah terjadinya Peristiwa 30 September 1965, harian-harian milik tentara dan atau dipengaruhi tentara, seperti Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata, sangat berperanan dalam mengkampanyekan kekejaman PKI, terutama mengenai kekejaman di Lubang Buaya. Brigadir Jenderal Sunardi DM mengakui adanya kampanye seperti itu, untuk membangkitkan ‘perlawanan’ rakyat terhadap PKI dalam suatu percakapan dengan Rum Aly (penulis catatan ini). Penggambaran mereka terhadap kekejaman yang dilakukan terhadap enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat betul-betul berhasil menyulut kemarahan massal di seluruh Indonesia, dengan dampak yang luar biasa dahsyat.

Baru belakangan diketahui bahwa banyak berita yang dilansir amat dilebih-lebihkan. Mingguan Mahasiswa Indonesia sendiri, kendatipun merupakan media yang menonjol sikap anti komunisnya, tetap mampu memisahkan masalah kejahatan kemanusian dan pelanggaran hak azasi dari dimensi subjektivitas politik, termasuk yang menimpa anggota-anggota PKI. Mingguan itu memberi tempat kepada berbagai berita ekses, termasuk mengenai masalah tahanan politik seperti pengungkapan angka oleh Herbert Feith dan kemudian bahasan-bahasan ‘ilmiah’ Pater MAW Brouwer mengenai Marxisme dan tentang nasib orang-orang PKI. Teguran-teguran per telepon yang disampaikan oleh pihak aparat militer, diabaikan. Pada tahun 1968-1969, Harian Sinar Harapan dan Harian Indonesia Raya, juga pernah mendapat sedikit ‘kesulitan’ dari pihak tentara karena pemberitaannya mengenai pembunuhan atas diri orang-orang PKI di Purwodadi yang dilakukan oleh kesatuan teritorial TNI-AD di daerah itu.

-Diolah kembali dari buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, 2006.