Category Archives: Sosial

Perspektif Sejarah dan Sudut Pandang Baru Mengenai Kekuasaan

-Rum Aly. Tulisan dari rangkaian catatan tentang problematika Socio-Politica Indonesia, menjelang 64 Tahun Indonesia Merdeka.

 

SETIDAKNYA ada empat kurun waktu kekuasaan negara yang ‘penting’ telah dilalui dan dijalani bangsa Indonesia setelah masa transisi kemerdekaan, khususnya antara tahun 1955 hingga 2006. Kurun waktu yang pertama, adalah masa demokrasi parlementer yang liberal setelah Pemilihan Umum 1955. Kedua, masa demokrasi terpimpin di bawah kekuasaan otoriter sipil Soekarno yang didukung oleh kekuatan partai Nasakom dan militer. Ketiga, masa demokrasi Pancasila di bawah kekuasaan otoriter militer Soeharto yang didukung oleh struktur politik Orde Baru dengan tiga partai. Keempat, masa reformasi yang diawali beberapa pemerintahan yang bernuansa transisional sebelum akhirnya menampilkan pemerintahan baru hasil pemilihan umum presiden secara langsung.

Pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno dan masa Demokrasi Pancasila di bawah Soeharto, kepastian dan jaminan –untuk mencapai suatu stabilitas kekuasaan– merupakan nilai politik tertinggi. Kini, pada masa yang disebutkan sebagai masa reformasi, bukan lagi kepastian dan jaminan seperti itu yang menjadi nilai politik tertinggi, melainkan peluang dan kemerdekaan menjalankan hak dan kewajiban sebagai nilai politik tertinggi. Situasi bergeser menjadi situasi di mana ketidakpastian sebagai norma, namun tanpa perlu menghilangkan kepastian dasar yang berupa jaminan negara terhadap hak azasi manusia, yang merupakan salah satu tujuan dasar demokrasi. Jaminan dasar itu adalah untuk melindungi warganegara dari pasar yang sangat kejam terhadap orang-orang berposisi lemah dalam sistem yang bebas.

Tampilnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden hasil pemilihan umum 2004 secara langsung, bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla, dengan demikian menjadi simbol dari situasi dengan ketidakpastian sebagai norma. Situasi dengan ketidakpastian sebagai norma seperti itu kerap menimbulkan kesan berjalannya satu kekuasaan yang ragu-ragu. Terutama bila dilakukan perbandingan secara tidak adil dengan dua kekuasaan masa lampau yang ‘kuat’ karena memang dijalankan secara otoriter. Sementara itu, saat ini dengan amandemen terhadap UUD 1945, kekuasaan memang lebih dimaksudkan untuk dijalankan secara kolektif dan bukan dalam kualitas tunggal. Setidaknya semua ini dapat menjadi catatan bagi SBY dan JK yang kini sedang ‘bertarung’ memperebutkan posisi nomor satu bersama Mega.

Setiap kualitas kekuasaan tersebut, tentu saja memiliki dilema. Di masa lampau, kekuasaan yang otoriter, memang lebih menjamin stabilitas untuk jangka waktu tertentu, namun pada sisi lain membenamkan aspek hak azasi manusia. Kini, aspek hak azasi manusia itu relatif mendapat ruang yang lebih lapang, meskipun belum sepenuhnya bersih dari sisa karakter masa lampau. Tetapi, pada sisi lain muncul kecemasan sebagai akibat penampilan kekuasaan yang terkesan ragu-ragu, sehingga dianggap lamban dan menimbulkan tanda tanya akan kemampuannya justru di tengah meningkatnya ekspektasi masyarakat dalam berbagai masalah. Pengertian kekuasaan di sini, tidak hanya menyangkut Presiden dengan kabinetnya, melainkan juga mencakup kekuasaan legislatif maupun judikatif.

Pemahaman dan kesepahaman apa yang bisa dicapai terhadap perkembangan ini ?

Sebagai kekuatan, tiga unsur dalam demokrasi itu, yang kerapkali juga menyebutkan pers sebagai kekuatan keempat, dengan sendirinya berkaitan dengan aspek kekuasaan. Kekuasaan itu sendiri adalah alat terbaik dan paling efektif dalam mengatur kepentingan-kepentingan, yang bila digunakan dalam keteraturan dengan cara dan tujuan bersama yang baik, akan menghasilkan output yang terbaik pula untuk kepentingan bersama sebagaimana yang diinginkan dalam berdemokrasi. Namun sepanjang catatan pengalaman empiris, segala yang bersifat dan berbentuk kekuasaan itu cenderung untuk korup. Makin besar kekuasaan makin besar kecenderungan koruptif itu. Ini menjadi pula pengalaman Indonesia, sejak awal masa kemerdekaan hingga kini, dan bahkan bila dirunut ke masa lampau, fenomena keburukan kekuasaan memiliki akar-akar yang kuat dalam tata feodalisme Nusantara yang kemudian lebih diperkuat dalam pertemuan dengan nilai yang bersumber pada praktek colonialism crime yang dijalankan oleh bangsa-bangsa kuat dari barat maupun timur.

Nusantara, meminjam pandangan Clifford Geertz, seperti disebutkan pada bagian lain rangkaian tulisan ini, adalah tempat persilangan kultural yang paling rumit di dunia. Persilangan rumit itu menghasilkan suatu kegagalan sosiologis yang berkepanjangan di Nusantara hingga ke masa Indonesia merdeka. Kegagalan sosiologis yang disertai semacam agnosia atau loss of perception.

Kendati menjelang proklamasi kemerdekaan para the founding fathers telah berhasil menyusun suatu falsafah dan ideologi dasar yang dipetik dari bagian paling luhur akar budaya Indonesia yang telah diperkaya dengan pikiran baru dengan nilai-nilai universal yang diadaptasi dari alam pemikiran barat, namun sesudahnya tak pernah dilakukan suatu proses ideologisasi lanjut sepanjang masa Indonesia merdeka. Padahal ideologisasi lanjut diperlukan dalam kehidupan politik dalam rangka pembentukan dan penyelenggaraan negara selanjutnya. Tanpa falsafah dan ideologi bangsa yang memadai, pembangunan politik –dengan berbagai derivatnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti pembangunan ekonomi dan kesejahteraan yang bertujuan untuk menciptakan bangsa yang punya harkat dan martabat lahir maupun batin– dan secara lebih luas, pembangunan sosiologis bangsa ini, tak mampu dilakukan. Indonesia menjadi suatu bangsa yang gagal secara sosiologis, menjadi bangsa yang sakit secara sosiologis, dalam jangka panjang, hingga kini.

Demikian peta masalah yang kita hadapi sebagai bangsa: Dalam masa perang mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan 1945-1949; masa percobaan kehidupan politik liberalistik 1950-1959; masa kekuasaan demokrasi terpimpin di bawah Soekarno 1960-1965; masa kekuasaan Soeharto dengan demokrasi Pancasila yang kualitatif tak berbeda esensinya dengan demokrasi terpimpin; maupun masa pasca Soeharto yang dikenal dengan masa reformasi namun tanpa transformasi nilai-nilai baru. Esensi permasalahan berputar-putar pada pola dan lakon yang sama, di atas panggung yang sama dan hanya dengan pelakon yang berganti-ganti secara transisional.

Catatan sejarah politik dan kekuasaan Indonesia menunjukkan bahwa pada saat-saat tertentu tercipta titik kulminasi kejenuhan dengan letupan-letupan. Titik jenuh pertama, yang berupa kejenuhan terhadap kegagalan percobaan kehidupan politik yang liberalistik, terjadi 5 Juli 1959 saat Soekarno dengan dukungan AD di bawah Jenderal AH Nasution, mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945 sambil membubarkan konstituante. Tetapi hanya dalam tempo 5 tahun Soekarno berubah menjadi seorang pemimpin diktatorial dengan dukungan kuat dari Partai Komunis Indonesia yang menganut ideologi totaliter, telah menciptakan titik jenuh baru dan meletup sebagai Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini disusul dengan pergerakan kritis 1966 yang dipelopori kaum intelektual dengan kelompok mahasiswa sebagai tulang-punggung gerakan perubahan dan pembaharuan politik dan kekuasaan. Masa kekuasaan Soeharto yang tampil menggantikan Soekarno, ditandai beberapa kecelakaan politik sebagai akibat pertarungan internal di tubuh kekuasaan, yang beberapa di antaranya melibatkan kelompok-kelompok intelektual dan mahasiswa, seperti Peristiwa 15 Januari 1974 dan Peristiwa 1978 yang berupa kekerasan dan pendudukan beberapa kampus. Terakhir, Peristiwa Mei 1998, yang menyebabkan Soeharto meninggalkan kekuasaannya. Keterlibatan kelompok-kelompok kaum intelektual dan mahasiswa dalam peristiwa-peristiwa tersebut, ada dalam konotasi yang satu sama lain bisa berbeda-beda: Terbanyak sebagai gerakan moral yang kritis yang mempunyai tujuan ideal pelurusan keadaan, tetapi tak jarang pula keterlibatan yang berupa bagian dari pertarungan kekuasaan antar faksi dalam kekuasaan dalam posisi pemicu atau bahkan sekedar alat. Atau peranan pelopor atas dasar idealisme dan moral kebenaran-keadilan namun kemudian benefitnya dipungut oleh kekuatan-kekuatan politik praktis dalam rangka perebutan hegemoni kekuasaan.

Kehidupan politik dan kekuasaan sebagai bagian dari kegagalan sosiologis Indonesia, belum juga berada dalam suatu situasi ideal. Peranan kaum intelektual, akan selalu diperlukan dalam situasi yang menyimpang. Meskipun, pada sisi lain harus juga diakui adanya gejala intellectual prostitution akibat erosi mental karena situasi sosiologis yang sakit dan kuatnya godaan kenikmatan kekuasaan dan hedonisme di masa tak menentu ini. Dalam suatu situasi antusiasme yang berlebihan ketika menjadi partisan, seperti yang tampak di tahun 2009 ini, kaum intelektual (tua maupun muda) kembali bisa tergelincir ke dunia prostitusi jenis khusus ini. Persaingan keras secara internal untuk mendapat posisi ‘lingkaran dalam’ di seputar tokoh puncak (atau kandidat tokoh puncak) kekuasaan, menjadi salah satu faktor pendorong bagi terjadinya aksi ‘antusiasme’ berlebihan itu.

Karena pers pada saat ini, dengan hanya sedikit pengecualian, juga tidak bebas dari penularan kesakitan kegagalan pembangunan sosiologis, maka pada waktu yang sama pers pun menjadi tidak sepenuhnya reliable dalam menyuarakan kepentingan  kebenaran. Aspirasi dan suara kritis kaum intelektual serta mahasiswa sebagai kelompok intelektual muda, dengan demikian takkan mungkin memperoleh kanal yang normal, apalagi bila itu akan mengganggu kepentingan kekuasaan politik ataupun kekuasaan ekonomi –yang umumnya kini menjadi pemilik media massa. Apalagi pers Indonesia saat ini pada umumnya memang lebih merupakan komoditi bisnis daripada institusi idealistik. Harus ada penyadaran agar pers kembali mengambil peran sebagai saluran aspirasi untuk menjangkau dan membawa pemikiran-pemikiran jujur dan objektif ke tengah masyarakat.

 

Indonesia Dalam Perspektif Kegagalan

-Rum Aly. Tulisan dari rangkaian catatan tentang problematika Socio-Politica Indonesia, menjelang 64 Tahun Indonesia Merdeka.

RAJA-RAJA pertama di negeri kepulauan yang kemudian bernama Indonesia ini, menurut legenda, banyak di antaranya adalah para penguasa yang turun dari langit. Kharisma kelangitan yang mereka bawa serta tatkala turun ke bumi ini dengan serta merta telah memberikan hak sebagai pemimpin dan penguasa yang tak tersanggah lagi sebagai dasar eksistensi. Tetapi menurut sejarah kefeodalan, manusia-manusia yang menjadi pemimpin yang bergelar datu dan kemudian disebut raja, naik menjadi penguasa tak lain karena kekuatan dan otot di samping keberanian yang mungkin saja melebihi yang lain. Dan sesudah berkuasa, para datu dan raja ini kemudian menciptakan mitos dan legenda yang berguna dalam rangka penciptaan kelanggengan kekuasaan sebagai dinasti. Bagaimana mitos tercipta ? Seorang raja suatu ketika menyeberangi sungai dengan permukaan air setinggi manusia. Sang raja tegak di atas sebentang panggung kayu yang empat sudutnya dijunjung para hamba. Satu generasi setelahnya, sang raja tergambarkan sakti mandraguna dan mampu berjalan di atas air.

Dalam pusaran arus ke masa depan, menurut garis logika dan konsistensi, secara normatif sejarah memberikan pembelajaran dan menyajikan pilihan-pilihan bagi suatu bangsa untuk berbuat lebih baik daripada masa lampau. Dengan memasuki proses pembelajaran dan arus dinamika kesejarahan –yang mengharuskan kita untuk mencari kebenaran sejarah– kita tak hanya akan memperoleh sekedar catatan kebenaran sejarah, melainkan juga pemahaman dan pengertian yang dinamis terhadap sejarah. Dan karenanya, memperoleh pemaknaan yang lebih baik dan lebih baik lagi dari waktu ke waktu. Tetapi apakah untuk konteks Indonesia, pemahaman dan pengertian yang dinamis itu telah tertampilkan, sehingga dengan itu dapat ditemukan kemajuan berharga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam proses politik dan implementasi kekuasaan secara bermakna? Mulai dari masa feodalisme, masa dalam cengkeraman kolonialisme hingga masa pencarian jati diri sebagai bangsa dan memerdekakan diri, lalu memaknai kemerdekaan itu dalam tindakan menuju ke masa depan?

Secara empiris, terlihat bahwa para pelaku dalam proses kehidupan bernegara, khususnya dalam kehidupan politik dan pengelolaan kekuasaan negara, belum berhasil dengan baik masuk ke dalam arus dinamika kesejarahan dalam rangka pembelajaran. Jangankan untuk memperoleh pemahaman dan pengertian yang lebih dinamis, sejauh yang dapat dicatat, bahkan dalam upaya lebih mendekati kebenaran sejarah pun telah terjadi kegagalan yang cukup signifikan. Sehingga, bila kita mencoba menarik benang merah sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, kita akan menemukan posisi Indonesia yang lebih banyak berada dalam perspektif kegagalan dan hanya di tepi-tepi keberhasilan –untuk tidak mengatakannya berada di luar batasan keberhasilan. Dan yang bisa dilakukan dalam situasi itu tak lain hanyalah mencoba membangkitkan Indonesia dalam perspektif pengharapan.

SETELAH masa transisi kemerdekaan, khususnya antara tahun 1955-hingga 2006, terdapat setidaknya empat kurun waktu kekuasaan negara yang penting, yang telah dilalui dan dijalani bangsa Indonesia. Kurun waktu yang pertama, adalah masa demokrasi parlementer yang liberal setelah Pemilihan Umum 1955. Kedua, masa demokrasi terpimpin di bawah kekuasaan otoriter sipil Soekarno yang didukung oleh militer dan kekuatan partai-partai Nasakom. Ketiga, masa yang diberi nama Demokrasi Pancasila di bawah kekuasaan otoriter militer Soeharto yang didukung oleh struktur politik Orde Baru dengan tiga partai. Keempat, masa reformasi yang diawali beberapa pemerintahan yang bernuansa transisional sebelum akhirnya menampilkan pemerintahan baru hasil pemilihan umum presiden secara langsung. Adalah menarik bahwa keempat kurun waktu itu memiliki pertautan sebab dan akibat satu dengan yang lainnya. Sekaligus juga setiap kurun waktu itu satu sama lain kerap memiliki persamaan sekaligus kontradiksi: perulangan sejarah sekaligus pembalikan sikap dan perilaku, khususnya dalam kaitan kekuasaan. Kurun waktu demokrasi terpimpin dengan kepemimpinan yang otoriter, merupakan reaksi terhadap praktek liberalistis antara 1955-1959. Sementara itu, tujuan semula dari penegakan Orde Baru dengan Demokrasi Pancasila adalah mengoreksi kesalahan cara menjalankan kekuasaan masa Nasakom, untuk kemudian dikoreksi lagi melalui gerakan reformasi 1998, justru karena mengulang kembali perilaku otoriter. Dan pada masa reformasi, terdapat gejala perulangan kecenderungan perilaku yang di satu sisi mengutamakan sekedar aspek kebebasan dalam berdemokrasi seperti pada masa demokrasi parlementer, tetapi pada sisi lain tampil berbagai perilaku otoriter. Sebelumnya, gejala perulangan terjadi antara masa kekuasaan Soekarno 1959-1965 dan masa kekuasaan Soeharto 1967-1998, dalam hal sikap otoriter dan pemitosan pemimpin serta perilaku korupsi dan ketidakadilan. Dalam fase peralihan, kedua kurun waktu itu mulanya secara kuat diwarnai sikap pembalikan diametral yang dikotomis dalam slogan Orde Baru menghapus Orde Lama, sepanjang 1966 hingga kwartal pertama 1967.

Pertautan sebab dan akibat antar periode sejarah politik dan kekuasaan, dalam pola koreksi –tepatnya, proses pembalikan– satu terhadap yang lain, senantiasa ditandai perubahan kekuasaan melalui insiden dan accident dalam wujud ‘kecelakaan sejarah’. Periode demokrasi parlementer diakhiri melalui fait accompli yang berupa Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan dukungan militer dan partai-partai berpaham totaliter, melahirkan masa kekuasaan otoriter hingga September 1965. Pada 30 September dan 1 Oktober 1965, terjadi insiden berdarah yang disusul oleh malapetaka sosiologis berupa mass murder dalam pola paksaan situasi ‘didahului atau mendahului’. Kecelakaan sejarah ini menandai perubahan ke arah terbentuknya kekuasaan otoriter baru di bawah Soeharto dengan dukungan militer. Lalu, perubahan masa otoriter Soeharto ke masa reformasi juga harus melalui rentetan insiden berdarah yang mengambil korban jiwa di kalangan mahasiswa, peristiwa penjarahan serta kerusuhan massal yang antara lain menelan korban di kalangan etnis Cina –termasuk pembunuhan dan pemerkosaan– selain di kalangan massa pelaku itu sendiri serta masyarakat pada umumnya. Beberapa nama tokoh yang muncul dalam pusaran peristiwa di tahun 1998 ini –namun tak pernah melalui proses klarifikasi formal untuk mendalami kebenaran ataupun ketidakbenarannya– kini tampil dalam ajang pemilihan presiden-wakil presiden 2009.

Selain pola perulangan sejarah dalam nuansa kesalahan yang sama, perubahan-perubahan yang ditandai fait accompli, kekerasan dan insiden berdarah, problematik lain yang dihadapi Indonesia merdeka adalah masih kuatnya dua sistem nilai yang merupakan warisan masa lampau. Yang pertama adalah nilai-nilai yang berasal dari masa feodalisme, terutama feodalisme Jawa yang diadopsi dari Hinduisme. Dan yang kedua adalah nilai-nilai yang terbentuk pada masa kolonialisme di Indonesia, yang selain menciptakan nilai-nilainya sendiri, dalam banyak hal juga ‘memelihara’ dan mengukuhkan nilai-nilai feodalisme. Nilai-nilai feodalisme Indonesia, sarat dengan tatacara dan tujuan mempertahankan kedudukan kaum penguasa dan sebaliknya menempatkan rakyat dalam posisi yang lemah. Sementara itu, nilai-nilai yang ditumbuhkan pada masa kolonial di Nusantara, sarat dengan tatacara dan tujuan untuk mempertahankan hegemoni ‘barat’, baik dalam politik, ekonomi maupun secara kultural.

PROSES pembaharuan dan pencerahan Indonesia menurut pengalaman empiris, senantiasa mengalami kegagalan untuk mencapai tujuannya secara tuntas karena kuatnya tarikan sistem nilai warisan nilai dari masa lampau tersebut. Salah satu aspek dari sistem nilai lama yang menonjol, khususnya feodalisme, adalah penempatan hegemoni kekuasaan pada kedudukan teratas. Dan kekuasaan dalam sistem feodal telah menempatkan para penguasa dalam segala keistimewaan dan limpahan kenikmatan dengan aspek pertanggungjawaban kepada rakyat yang nyaris tidak diperlukan. (Lihat juga Tarikan Nilai Warisan Masa Lampau).

Dalam catatan sejarah Indonesia modern sejauh ini, telah tercatat kehadiran setidaknya enam pimpinan nasional dalam kedudukan selaku presiden. Dua pemimpin nasional yang pertama, Soekarno dan Soeharto, mengawali kehadirannya –setidaknya sebagaimana yang dinyatakan secara formal– dengan tujuan-tujuan pembaharuan dan pencerahan bagi rakyat Indonesia. Akan tetapi ketika berada di puncak kekuasaan, mereka mengalami tarikan yang kuat dan tergoda untuk kembali kepada nilai-nilai warisan masa lampau yang lebih memberikan kenyamanan kekuasaan. Sementara itu, sejumlah tokoh nasional lain yang bersikukuh dengan upaya pembaharuan dan pencerahan untuk meninggalkan nilai-nilai warisan masa lampau, seperti misalnya Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, tersisih dalam proses kehidupan bernegara. Seterusnya, catatan sejarah Indonesia menunjukkan betapa pemimpin-pemimpin ideal memang senantiasa tersisih dalam proses kehidupan bernegara. Karena, yang bisa bertahan dan tampil berkuasa adalah mereka yang mampu menggunakan otot dan memainkan instrumen nilai-nilai feodalistik yang menjanjikan kenikmatan kekuasaan kepada para pengikut. Empat tokoh yang kemudian ganti berganti tampil, 1998-2009, menjadi pimpinan tertinggi kekuasaan negara, umumnya lahir dari situasi yang tidak idealistik melainkan dari situasi penuh sekedar retorika politik, janji-janji maupun intrik perebutan kekuasaan.

Semua keadaan ini, bagaimanapun, telah menempatkan Indonesia lebih berada dalam perspektif kegagalan, bukan dalam perspektif keberhasilan. Keberhasilan masih harus diperjuangkan dalam kerangka perspektif pengharapan. Dalam perspektif pengharapan ini, ‘barangkali’ pendidikan dalam arti yang luas dan bukan dalam pengertian sekedar pengajaran, menjadi alternatif solusi dalam rangka pembaharuan dan pencerahan. Selama ini Indonesia gagal dalam menjalankan pendidikan dalam artian yang luas itu, dan pada waktu yang bersamaan sepanjang catatan yang ada, kehidupan kepartaian dan organisasi kemasyarakatan –bahkan melalui organisasi kemasyarakatan bidang agama sekalipun yang seharusnya menjadi pusat kemuliaan dalam kebenaran– tidak menunjukkan kontribusi bermakna dalam pendidikan politik, bernegara dan bermasyarakat dengan baik dan benar.

Indonesia: Dari Satu Titik Nadir ke Titik Nadir Lainnya

-Rum Aly. Tulisan dari rangkaian catatan tentang problematika Socio-Politica Indonesia, menjelang 64 Tahun Indonesia Merdeka.

DALAM realita sejarah, sebenarnya tak ada gambaran yang muluk-muluk mengenai Indonesia, termasuk mengenai pemimpin dan sejarah kepemimpinannya. Kepulauan Nusantara ini sebenarnya menurut Clifford Geertz merupakan salah satu wilayah yang secara kultural paling rumit di dunia. Kepulauan kita ini ada pada titik persilangan sosiologis dan kebudayaan yang malang, kerapkali hampir tak masuk akal. Berbagai bangsa dengan perilaku terburuk datang ke sini dengan hasrat penaklukan, dan bahkan tak sedikit kerajaan di Nusantara inipun memiliki hasrat penaklukan yang sama. Menjadi pula tempat persilangan penyebaran berbagai agama yang tak selalu dilakukan secara damai, melainkan seringkali dengan penaklukan dan tipu-daya sampai pertumpahan darah. Suatu keadaan yang sebenarnya kontras dengan kemuliaan ajaran-ajaran agama itu sendiri. Pada dua abad terbaru, Nusantara ini menjadi pula tempat persilangan sistem imperialisme, kapitalisme liberalistik, komunisme, dan juga ideologi berdasar agama –tepatnya mengatasnamakan agama– yang digunakan dalam kehidupan politik dan kekuasaan yang amat duniawi. Tak mengherankan bila rakyat di kepulauan ini, yang telah dirundung berbagai kemalangan dari ekses persilangan itu menjadi ‘sakit’ secara rohani –meskipun mungkin itu berlangsung di alam bawah sadar– dan mengalami kegagalan pertumbuhan sosiologis.

Masalah yang dihadapi bangsa ini dari waktu ke waktu dalam masa Indonesia merdeka, pada hakekatnya tetap terpaku pada pokok masalah yang sama: Kehidupan politik dan bermasyarakat yang otoritarian dan sarat penyelesaian dengan cara kekerasan. Pemaknaan kekuasaan, cara memerintah dan tujuan-tujuannya secara kuat masih menggunakan sisa nilai-nilai feodalistik –dari bagian yang terburuk dan sebaliknya secara mengherankan mengabaikan bagian-bagian yang berdimensi pencerahan– dan warisan nilai kolonial yang mengutamakan kekuasaan sebagai pengendalian dan pengutamaan personal power tanpa altruisme dan bukan penciptaan institutional power yang lebih sesuai dengan kebutuhan demokrasi.

Situasi yang malang itu kemudian dilengkapi lagi oleh kehidupan ekonomi yang tidak pernah berhasil diberi dimensi keadilan secara nyata dari waktu ke waktu selama puluhan tahun hingga kini. Proses ekonomi, sepanjang sejarah Nusantara dan kemudian sejarah Indonesia modern senantiasa berjalan di atas penderitaan rakyat. Hasrat untuk membangun apa yang kerapkali disebut sebagai ekonomi kerakyatan atau setidaknya ekonomi yang memperhatikan kepentingan rakyat, sejauh ini hanyalah sebatas retorika.

Berakar dalam sejarah feodalisme Nusantara dan ‘warisan’ kolonial

 

Sejarah berjalan terus bersama waktu. Pelaku sejarah telah dan senantiasa berubah, namun perilaku manusia dalam sejarah Indonesia tampaknya tak pernah ikut berubah, masih sejak awal sebelum negara ini mengikatkan diri dalam satu faham kebangsaan dan satu kesatuan negara. Ini bisa kita lihat dalam beberapa kilas sejarah berikut ini, yang merupakan benang merah dari masa lampau.

Penghuni pulau-pulau Nusantara pada mulanya hanyalah merupakan kesatuan-kesatuan politik dan kepentingan yang kecil dengan pengorganisasian sederhana, dipimpin para datu, yang pada abad-abad awal Masehi mulai mengambil peran dalam perdagangan. Rangsangan kemajuan perdagangan, mendorong terciptanya keseimbangan baru yang menimbulkan kebutuhan penciptaan kesatuan-kesatuan politik baru yang lebih besar. Persentuhan melalui perdagangan yang lebih intens dengan India dan Cina, telah memberikan referensi kepada kesatuan-kesatuan politik di Nusantara ini untuk memperoleh model politik baru guna menghadapi situasi baru yang tercipta. Model ideologi politik Cina memberi referensi berupa kesetiaan kepada satu orang yang disebut kaisar yang mengepalai aparat administratif atau birokrasi yang besar dan kuat, lengkap dengan kekuatan militer yang terorganisir. Sementara itu model India adalah kosmologi Hindu-Buddha yang memberikan status dewa yang bereinkarnasi dengan suatu hirarki yang kuat tapi luwes kepada setiap penguasa. Sistem ini jauh lebih mudah disesuaikan dengan kesatuan politik yang tersebar dan berubah-ubah di ‘dunia’ para penghuni pulau-pulau Nusantara. Oleh karena itu, menurut Robert Cribb, sejarawan Australia yang mendalami sejarah Indonesia, “para datu mengundang brahmana dan ahli agama India lainnya guna membantu mendirikan keraton dan memperkenalkan upacara kerajaan India”[1].

Dua kerajaan besar hasil adaptasi referensi dari India, adalah Sriwijaya yang mencapai puncak kejayaan di abad ketujuh dan Majapahit di abad keempatbelas. Kita harus mengakui kebesaran kedua kerajaan Nusantara ini. Namun kita pun harus melihat sisi lain dari kebesaran itu. Kedua kerajaan membesar, selain oleh faktor-faktor objektif karena keberhasilan dalam perdagangan, juga karena penaklukan-penaklukan model imperialistik yang mereka lakukan. Majapahit ‘mempersatukan’ wilayah Nusantara ke arah Barat, termasuk ke sisa-sisa wilayah Sriwijaya, dan ke arah Timur hingga pulau Nugini. Penaklukan dilakukan dalam bentuk pemaksaan kerajaan-kerajaan atau kesatuan-kesatuan politik yang lebih kecil untuk mengakui dan menerima perlindungan, yang harus ditunjukkan dalam bentuk penghantaran upeti tanda kesetiaan sekali setahun. Mereka yang lalai dalam mempersembahkan upeti, akan dikunjungi oleh ekspedisi tentara dan armada laut untuk menerima penghukuman. Kendati Majapahit dan Sriwijaya telah membentuk kesatuan wilayah yang kuat, tidak pernah tampil terminologi sebagai satu bangsa dalam wilayah yang ‘dipersatukan’ itu, terutama karena bentuk hubungan penguasa dengan rakyat yang tercipta adalah hubungan perhambaan. Bahkan konsep sebagai satu negara pun tidak tampil dalam kesatuan wilayah itu.

Setelah runtuhnya Sriwijaya dan kemudian Majapahit, sesudah masuknya Islam ke Nusantara, praktis tak ada lagi kesatuan politik dan kekuasaan yang mencakup Nusantara secara keseluruhan. Masuknya Islam telah menjadi penyebab runtuhnya kekuasaan absolut raja-raja Hindu yang sempat dan telah menciptakan suatu feodalisme dalam bentuk yang amat buruk di beberapa wilayah Nusantara. Bagi kalangan menengah ke bawah dalam masyarakat di kerajaan-kerajaan Hindu, Islam seakan janji pembebasan dari rasa takut terhadap perilaku menakutkan dari sejumlah penganut sempalan Hindu, yang memuja hanya aspek bengis dari Syiwa sehingga melahirkan bentuk-bentuk demonic dalam peribadatan dengan ritual kurban darah dan jiwa manusia. Islam diharapkan akan mengakhiri cengkeraman situasi ketakutan seperti itu. Namun nyatanya, perubahan yang mencerahkan tidaklah semudah yang diharapkan.

Tatkala Islam pada akhirnya juga dianut oleh raja-raja kerajaan Hindu, di luar dugaan penyebaran Islam mendapat warna baru dengan cara-cara pemaksaan dan kekerasan oleh sejumlah raja yang menjadi penganut baru agama yang datang dari tanah Arab beberapa abad setelah Muhammad SAW memperkenalkan agama itu. Cukup menakjubkan, betapa agama yang sempurna dan semulia Islam sekalipun hingga sejauh yang dicatat dalam sejarah pra Indonesia modern, ternyata tak sepenuhnya bisa merubah dan mencerahkan feodalisme Nusantara yang terbentuk dalam masa kerajaan-kerajaan Hindu. Di bawah raja-raja Islam pun untuk sebagian nilai-nilai feodalisme tetap berlaku dengan keras dan ketat melanjutkan apa yang telah berlangsung sebelumnya.

Dalam tata feodalisme Nusantara, di zaman yang mana pun juga, kebenaran dan hak secara mutlak sepenuhnya milik para raja dan para bangsawan. Akar rumput hanya memiliki kewajiban dalam kerangka penghambaan diri. Bahkan manusia pun bisa menjadi hak milik manusia lain yang memegang kekuasaan, karena berlangsungnya pola perbudakan. Dalam suasana yang feodalistik, sebenarnya juga telah dikenal terminologi negara dan rakyat, namun dalam satu pengertian yang berorientasi kepada raja sebagai pemegang kekuasaan mutlak. Terminologi tanah air ada dalam pengertian sekedar tempat lahir dan tempat bermukimnya suku yang menjadi rakyat, karena kesetiaan kepada raja menghisap habis segala bentuk kesetiaan yang lain, termasuk kecintaan terhadap tempat lahir, negeri tempat tumpah darah. Terminologi bangsa pun tidak ‘dikenal’ secara utuh dalam tata feodalistik Nusantara, karena tidak punya makna dalam kepentingan kekuasaan dan tidak merupakan kebutuhan praktis per saat itu.

Kaum kolonial Barat datang ke pulau-pulau Nusantara di masa hegemoni raja-raja Islam. Sebenarnya mereka terutama adalah para pedagang, baik yang direstui oleh raja mereka maupun atas prakarsa mereka sendiri, yang datang untuk mencari rempah-rempah dan logam berharga. Pada mulanya, yang terjadi adalah perdagangan dengan cara-cara lazim. Tetapi semua berubah menjadi hubungan saling terkam, setelah ada pertemuan perilaku yang culas di kedua belah pihak, dengan hasil akhir berupa penguasaan kolonialistis.

Memang menarik dan merupakan fenomena mencengangkan, segelintir orang mampu menguasai kerajaan-kerajaan luas di Nusantara. Jawabannya adalah bahwa para pedagang Barat itu memiliki teknologi yang lebih unggul beberapa tingkat di atas para raja pribumi. Para raja pribumi tidak punya kecenderungan memperkuat kekuatan militernya secara signifikan karena orientasi dalam tata feodalisme Nusantara adalah terutama untuk menundukkan rakyatnya sendiri agar tetap berada dalam kepatuhan. Selain itu, para raja lebih memiliki ketakutan terhadap musuh dalam selimut, termasuk terhadap para panglima perangnya sendiri. Tetapi, kunci paling utama dari keberhasilan pengendalian kaum kolonial di Indonesia, bersumber pada realitas kemampuan mereka mengeksploitasi kelemahan karakter para raja melalui apa yang di belakang hari kita sebut sebagai politik divide et impera.

Para raja dalam feodalisme Nusantara juga adalah para raja –dengan beberapa pengecualian tentunya– yang memiliki dan telah mempraktekkan perilaku kekuasaan imperialistik. Kaum kolonial dengan cerdik menggunakan otaknya untuk mengelola situasi dan kondisi objektif yang ada dalam psikologi para raja dan rakyat Nusantara. Kesetiaan akar rumput kepada para raja juga tidak dapat selalu dijamin, karena mereka telah diperlakukan sebagai anjing-anjing pavlov yang bertindak atas dasar kepatuhan yang tercipta oleh tekanan. Kalaupun ada suatu kerajaan dengan seorang raja yang katakanlah punya pikiran yang cukup idealistik dan memiliki kesadaran akan ketidakadilan yang dijalankan kaum kolonial, ia juga masih harus berhadapan dengan raja-raja tetangga yang belum tentu memiliki kepekaan yang sama.

Persentuhan yang tidak nyaman

 

Hingga akhir abad kesembilanbelas, suatu paham kebangsaan –dalam artian Nusantara sebagai satu kesatuan bangsa dan wilayah politik– tidak punya peluang untuk tampil. Selain bahwa tata feodal yang membagi Nusantara dalam kesatuan-kesatuan politik berupa multi kerajaan, persentuhan budaya dan peradaban kita adalah lebih banyak dengan Hinduisme ataupun kultur kekaisaran Cina, tidak misalnya dengan Barat yang sejak revolusi Perancis 1789 telah dimasuki faham kemerdekaan berdasarkan kedaulatan rakyat dan hak-hak dasar kemanusiaan. Persentuhan Nusantara dengan Barat adalah persentuhan yang tidak nyaman dalam perdagangan yang kemudian berubah menjadi kolonialisme. Persentuhan Nusantara dengan Islam juga hanya memberikan kesimpulan untuk tidak mau hidup di bawah pemerintahan atau tata kekuasaan yang Kristiani, tapi ajaran-ajaran Islam yang masuk tidak dilengkapi dengan paham dan teladan cara bernegara dan paham negara merdeka yang mendalam. Kita harus memahami bahwa negeri-negeri sumber persebaran Islam di Indonesia adalah juga negara-negara dengan tata feodalistik, kendati Muhammad SAW sebenarnya telah meletakkan dasar-dasar persamaan manusia di depan Allah dan Islam juga mengajarkan unsur-unsur sosialistik. Dan harus pula dicatat bahwa kelanjutan persebaran Islam di Nusantara diambilalih atau berlangsung melalui tangan para raja yang ada dalam suatu sistem feodalistik.

Kesadaran yang memunculkan terminologi bangsa, berasal dari tantangan yang kemudian muncul dan terkait dengan pemikiran Barat sendiri. Tatkala kolonialisme di Nusantara –yang kemudian dikenal sebagai Indonesia– diambilalih penanganannya oleh pemerintah Kerajaan Belanda karena banyaknya ekses dalam penanganan para pedagang di tubuh VOC, tantangan menjadi lebih jelas. Nusantara akhirnya menjadi satu wilayah kekuasaan di bawah kolonialisme Belanda yang dikenal sebagai Hindia Belanda.

Pada mulanya, jelas tak ada bedanya, dijajah oleh para pedagang atau dijajah oleh satu kekuasaan negara kerajaan. Dalam hal tertentu bahkan itu menunjukkan bahwa cengkeraman kekuasaan akan lebih terpadu dan akan lebih mendalam. Tetapi pada abad yang sama, Belanda sebagai bagian dari Eropa yang sedang mengalami revolusi pemikiran yang melahirkan nilai-nilai budaya dan peradaban yang diperbaharui, juga mengalami imbas. Belanda pun mengalami imbas panggilan misi mencerahkan peradaban, yang menurut Gribb merupakan aspek penting dari ideologi imperialisme Eropa pada akhir abad sembilanbelas. Ini mendorong upaya mereformasi cara-cara menjajah untuk menjadi lebih beradab. Lahir politik etis, yang membuka pintu bagi sejumlah pribumi untuk berkesempatan mempelajari budaya dan ilmu pengetahuan serta pikiran-pikiran Barat yang ‘cerah’.

Bagaimanapun, ini pada akhirnya ini membentuk lapisan elite dalam pemikiran di kalangan pribumi. Salah satu pertanyaan yang muncul dalam pikiran kaum intelektual baru ini, kenapa pribumi-pribumi Nusantara ini bisa dikuasai dan dikendalikan oleh orang-orang Belanda yang secara kuantitatif jauh lebih sedikit. Jawabannya adalah bahwa karena etnis atau suku-suku di Indonesia terpecah-pecah tidak sebagai satu kesatuan politik. Kesadaran ini merupakan awal diperlukannya satu kesatuan politik yang lebih definitif, yakni bangsa, yang sudah dimiliki rumusannya di berbagai belahan bumi lainnya. Terminologi bangsa ini merupakan pengertian tak terpisahkan dengan persatuan atau kesatuan yang untuk saat itu sudah dirasakan menjadi kebutuhan bersama.

Meminjam pemaparan sejarawan Anhar Gonggong, memasuki abad 20 terjadi perubahan yang sangat penting artinya, yakni tampilnya sejumlah warga terdidik dan tercerahkan ke gelanggang perlawanan perjuangan-perjuangan menentang kekuatan kolonial Belanda. Para warga yang telah terdidik tercerahkan itu melakukan perubahan pola perlawanan dengan menggunakan strategi otak dengan senjata yang bukan lagi kelewang atau bedil, melainkan dengan senjata organisasi, ideologi, media massa dan dialog. Organisasi yang dibentuk paling awal –setidaknya telah diresmikan pemerintah sebagai Hari Kebangkitan Nasional– ialah Boedi Oetomo yang dibentuk 20 Mei 1908. Duapuluh tahun gerakan-gerakan kebangsaan mencapai puncaknya melalui Sumpah Pemuda tahun 1928 yang mengikrarkan satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Dua peristiwa penting ini menjadi momentum dasar menuju Indonesia Merdeka yang diproklamirkan 17 Agustus 1945.

Kegagalan proses dialog

 

Namun, merupakan kenyataan bahwa selain pencapaian sejumlah faktor integratif, terdapat pula sejumlah faktor desintegratif yang tak sempat dan tak kunjung berhasil diselesaikan, yang bahkan menembus waktu hingga kini. Selain kegagalan dalam memposisikan aspek keadilan dalam berbagai bidang kehidupan, kita pun tidak mampu mengakhiri pola perhambaan –sebagai bentuk baru dari perbudakan– kendati kita menyatakan akan membangun masyarakat dengan sistem yang demokratis. Dan yang tak kalah krusial sebenarnya adalah terjadinya kegagalan dalam mencapai kesepakatan mengenai sejumlah hal mendasar dalam kehidupan politik dan bernegara. Sederetan fakta tentang persilangan-persilangan yang senantiasa terjadi, baik pada masa sebelum maupun sesudah Indonesia merdeka, menunjukkan adanya kebutuhan untuk melakukan telaah mendalam dan tuntas atas hal-hal mendasar tersebut. Persilangan-persilangan itu tak lain adalah hasil suatu proses yang tak kunjung selesai selama puluhan tahun, dalam dialog sebagai satu bangsa.

Bangsa ini gagal dalam dialog yang mendasar untuk memposisikan hubungan Pancasila sebagai ideologi bersama dengan ideologi-ideologi lain yang merembes dan digunakan dalam kehidupan politik, khususnya dalam kepartaian. Konflik atau perbenturan tajam yang bersifat ideologis, pernah kita alami dengan dampak yang berkepanjangan, yakni antara ideologi komunis dengan ideologi Islam yang dimulai dengan perpecahan di tubuh Sarekat Islam, berlanjut dengan konfrontasi penganut komunisme yang merupakan ideologi totaliter yang agresif dengan mereka yang non komunis. Konfrontasi itu berakhir dengan kekerasan pembalasan berdarah terhadap penganut komunisme di Indonesia, pasca Peristiwa 30 September 1965. Hingga kini, peristiwa berdarah itu masih menjadi ganjalan traumatis di antara mereka yang terlibat, dan suatu upaya penyelesaian berupa rekonsiliasi belum mencapai titik temu karena perbedaan cara memandang aspek sebab dan akibat dari peristiwa tersebut. Sementara itu, benturan budaya politik akibat penempatan Islam sebagai ideologi politik, dengan ideologi-ideologi lain yang ada dalam ‘praktek’ politik Indonesia, pun tak pernah diselesaikan secara tuntas. Termasuk, dalam kaitan ini, kegagalan dalam dialog untuk mencari kejelasan batas antara Islam sebagai ideologi atau tools dalam kepartaian dengan Islam sebagai agama yang dianut dalam konteks hubungan sebagai manusia dengan Allah SWT, sebagai hak dasar orang per orang yang berada di luar pagar kepentingan politik. Di tengah realita susunan bangsa Indonesia yang majemuk berdasarkan agama, suku dan etnis, kita pun tidak berhasil mencapai kesepahaman yang berharga tentang pluralisme dalam kehidupan beragama dan dalam kehidupan bermasyarakat. Moralisme masih ditempatkan sebagai kemutlakan, berdasar pretensi dan klaim yang mengatasnamakan agama dengan pikiran sempit untuk menghakimi moral orang lain, seakan mengambil hak prerogatif Tuhan dalam menilai moral dan dosa para hambaNya. Secara umum, kita masih gagal dalam pembangunan sosiologis, untuk tidak mengatakan bahwa kita memang belum pernah menyentuh suatu pembangunan sosiologis, karena terlalu terpaku kepada pergulatan politik dan kekuasaan, serta perebutan kepentingan ekonomis. Padahal, kehidupan politik dan kehidupan ekonomi sebenarnya hanyalah subsistem dalam bangunan sosiologi bangsa.

Permasalahan krusial lainnya adalah perbedaan-perbedaan dalam memaknai dan cara memperlakukan kekuasaan politik maupun kekuasaan negara. Kita menghadapi kerancuan dalam praktek sistem politik dan kekuasaan, antara sistem presidensial dengan sistem parlementer. Kekalutan dan ketidakjelasan mewarnai kehidupan politik kita tatkala sistem presidensial dan sistem parlementer tercampur aduk dalam praktek politik dan kenegaraan. Sejajar dengan itu, tarikan sistem nilai yang feodalistik dan sistem nilai warisan kolonialisme, membawa semua pihak untuk mengutamakan pembentukan personal power yang lebih menjanjikan kenikmatan kekuasaan dalam pola perhambaan, daripada institutional power yang kendati pun lebih memenuhi kriteria sistem yang demokratis tidak memikat karena tidak membuka peluang-peluang bagi hasrat koruptif. (Baca juga: Tarikan Nilai Warisan Masa Lampau)


[1] Robert Cribb dalam buku Indonesia Beyond Soeharto (Donald K. Emerson, editor) yang telah diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia oleh Gramedia Pustaka Utama bersama The Asia Foundation, tahun 2001.

Tarikan Nilai Warisan Masa Lampau

 

Problematik yang dihadapi Indonesia merdeka adalah masih kuatnya dua sistim nilai yang merupakan warisan masa lampau. Yang pertama, menurut sejarawan Anhar Gonggong, adalah nilai-nilai yang berasal dari masa feodalisme, terutama feodalisme Jawa. Dan yang kedua adalah nilai-nilai yang terbentuk pada masa kolonialisme di Indonesia, yang selain menciptakan nilai-nilanya sendiri, dalam banyak hal juga ‘memelihara’ dan mengukuhkan nilai-nilai feodalisme.

Nilai-nilai yang ditumbuhkan pada masa kolonial di Nusantara, sarat dengan tatacara dan tujuan untuk mempertahankan hegemoni barat, baik dalam politik, ekonomi maupun secara kultural. Kolonialisme mengajarkan bahwa kekuasaan adalah di atas segalanya.

Nilai-nilai feodalisme Indonesia, sarat dengan tatacara dan tujuan mempertahankan kedudukan kaum penguasa dan sebaliknya menempatkan rakyat dalam posisi yang lemah. Suasana pelaksanaan pemilihan umum legislatif dan perilaku dalam menghadapi pemilihan umum presiden-wakil presiden tahun 2009 ini, telah dan masih akan kuat diwarnai perilaku yang kuat dipengaruhi nilai-nilai warisan itu. Tersirat dan tersurat, orientasi pada kekuasaan menjadi yang utama. Demi tujuan kekuasaan, bahkan segala cara, mulai dari kata-kata sampai kepada perbuatan buruk belakang layar pun dihalalkan.

Proses pembaharuan dan pencerahan Indonesia menurut pengalaman empiris, senantiasa mengalami kegagalan untuk mencapai tujuannya secara tuntas karena kuatnya tarikan sistim nilai warisan nilai dari masa lampau tersebut. Salah satu aspek dari sistim nilai lama, khususnya feodalisme, adalah penempatan hegemoni kekuasaan pada kedudukan teratas. Dan kekuasaan dalam sistim feodal telah menempatkan para penguasa dalam segala keistimewaan dan limpahan kenikmatan dengan aspek pertanggungjawaban kepada rakyat yang nyaris tidak diperlukan,

Dalam sejarah Indonesia tercatat dua kehadiran pemimpin nasional yang mengawali kehadirannya – setidaknya sebagaimana yang dinyatakan secara formal – dengan tujuan-tujuan pembaharuan dan pencerahan bagi rakyat Indonesia. Akan tetapi ketika berada di puncak kekuasaan mengalami tarikan yang kuat dan tergoda untuk kembali kepada nilai-nilai warisan masa lampau yang lebih memberikan kenyamanan kekuasaan. Kedua pemimpin itu adalah Soekarno dan Soeharto. Sementara itu, dua pemimpin lain yang bersikukuh  dengan upaya pembaharuan dan pencerahan untuk meninggalkan nilai-nilai warisan masa lampau, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, tersisih dalam proses kehidupan bernegara.

Sistim nilai yang dibawa bersama penyebaran Islam di Nusantara, untuk sebagian besar juga terkontaminasi oleh nilai-nilai feodal dan kontradiksi yang dimunculkan oleh sistim kolonialisme. Tentu, ini besar pengaruhnya, karena Islam adalah agama yang dianut mayoritas rakyat Indonesia. Tak jarang agama –yang sesungguhnya penuh ajaran mulia– dijadikan alat untuk kepentingan hegemoni kekuasaan di satu sisi, dan pada sisi lain mendorong massa umat beragama terdorong melindungi diri dengan ‘kulit kerang’ fanatisme karena kecemasan terhadap pengaruh luar yang tak difahaminya dengan baik. Pada masa kekuasaan Soeharto, terutama pada tahun 1970-an, amat menonjol penciptaan situasi bagi terbentuknya kelompok ekstrim dan fundamentalis Islam yang tak terlepas dari imbas pergulatan kekuasaan. Dan tak ada perubahan signifikan yang terjadi, hingga kini.

Perlu bersungguh-sungguh menjalankan pembangunan sosiologis. Pendidikan dalam arti yang luas dan bukan sekedar dalam pengertian sekedar pengajaran, menjadi alternatif solusi dalam rangka pembaharuan dan pencerahan manusia Indonesia. Selama ini Indonesia gagal dalam menjalankan pendidikan dalam arti yang luas itu, dan pada waktu yang bersamaan sepanjang catatan yang ada kehidupan kepartaian dan organisasi kemasyarakatan, tidak menunjukkan kontribusi dalam pendidikan politik, bernegara dan bermasyarakat dengan baik dan benar. (RA).

Mencari Pemimpin di Tengah Suasana Kegagalan Sosiologis

DALAM realita sejarah, sebenarnya tak ada gambaran yang muluk-muluk mengenai Indonesia, termasuk mengenai pemimpin dan sejarah kepemimpinannya. Kepulauan Nusantara ini sebenarnya menurut Clifford Geertz merupakan salah satu wilayah yang secara kultural paling rumit di dunia. Kepulauan kita ini ada pada titik persilangan sosiologis dan kebudayaan yang malang, kerapkali hampir tak masuk akal. Berbagai bangsa dengan perilaku terburuk datang ke sini dengan hasrat penaklukan, dan bahkan tak sedikit kerajaan di Nusantara inipun memiliki hasrat penaklukan yang sama. Menjadi pula tempat persilangan penyebaran berbagai agama yang tak selalu dilakukan secara damai, melainkan seringkali dengan penaklukan dan tipu-daya sampai pertumpahan darah. Suatu keadaan yang sebenarnya kontras dengan kemuliaan ajaran-ajaran agama itu sendiri. Pada dua abad terbaru, Nusantara ini menjadi pula tempat persilangan sistem imperialisme, kapitalisme liberalistik, komunisme, dan juga ideologi berdasar agama –tepatnya mengatasnamakan agama– yang digunakan dalam kehidupan politik dan kekuasaan yang amat duniawi. Tak mengherankan bila rakyat di kepulauan ini, yang telah dirundung berbagai kemalangan dari ekses persilangan itu menjadi ‘sakit’ secara rohani –meskipun mungkin itu berlangsung di alam bawah sadar– dan mengalami kegagalan pertumbuhan sosiologis.

Pertanyaannya, bisakah dari bangsa seperti itu lahir pemimpin-pemimpin besar secara kualitatif? Kita kerap mengatakan, banyak pemimpin besar lahir di sini. Majapahit yang besar pernah punya panglima perang Adityawarman yang melakukan penaklukan dan penghukuman berdarah. Gemar melakukan ritual pengurbanan darah sebagai penganut sempalan sinkretisme Hindu-Budha yang dikenal sebagai aliran Tantri Bhirawa. Penaklukan tentu bersumber dari gagasan Palapa Gajah Mada. Tokoh besar abad modern adalah Soekarno dan Soeharto. Akan tetapi sungguh disayangkan, kedua-duanya tergelincir ke dalam otoriterisme karena pada suatu ketika tak mampu lagi menahan diri terhadap godaan kenikmatan kekuasaan. Pemimpin-pemimpin berikutnya sesudah mereka ? Semuanya sempat tergelincir. Tak mungkin kita berkeluh kesah panjang-pendek seperti sekarang, kalau mereka telah berhasil membangun bangsa ini secara kultural, sosiologis dan ekonomis. Apalagi pembangunan politik. Tak ada pemimpin, yang sejauh ini telah berhasil memimpin bangsa ini melakukan pembangunan dengan urut-urutan yang benar seperti itu.

Sekarang, kita berbicara tentang pemimpin berikutnya, yang layak. Tetapi kita semua tak pernah bersungguh-sungguh membenahi lebih dulu penyakit-penyakit bangsa. Kita lalai dalam pembangunan kultural, sosiologis, dan dengan sendirinya gagal dalam pembangunan politik dan ekonomi. Kita tak pernah melakukan proses lanjut terhadap apa yang telah diletakkan para the founding fathers, yang menjelang kemerdekaan telah menyusun untuk kita satu filosofi dasar bangsa dan satu konstitusi yang telah terisi pokok-pokok esensial yang dibutuhkan bangsa ini. Sewaktu-waktu bila diperlukan untuk menjawab tuntutan zaman, tentu kita bisa melakukan amandemen terhadap konstitusi, untuk membuatnya lebih berkualitas, tetapi dengan cara yang baik dan benar sesuai esensi demokrasi. Tidak acak-acakan seperti yang lalu.

Jadi, pemimpin apa yang bisa kita harapkan sekarang. Tak ada yang layak, kecuali ada keajaiban. Historical by accident lagi ? Kemungkinan besar, muncul pemimpin otoriter baru lagi, kalau itu yang terjadi. Dari sumber mana kita bisa memperoleh pemimpin baru. Apa dari mereka yang berlatar belakang militer ? Kalau ya, apakah ada tokoh dari kalangan itu yang betul-betul demokratis, sedangkan mereka empat tahun dididik dengan kurikulum militer yang hirarkis dan ditempa pengalaman karir puluhan tahun dalam kekuasaan yang berlebih dalam suasana dwifungsi ala zaman Soeharto ? Apakah dari kalangan partai ? Kalau ya, bisakah dunia kepartaian dengan sejarahnya yang penuh kegagalan selama ini melahirkan pemimpin ideal dengan kriteria social society yang kita idamkan.  Apalagi, terbukti selama ini, kaum sipil dari kalangan kepartaian –dan mungkin juga kaum sipil pada umumnya– tak kalah haus akan kekuasaan dibanding militer masa Soeharto. Harapan kita yang tersisa mungkin dari kalangan kaum cendekiawan perguruan tinggi dan dari kalangan mahasiswa untuk masa depan? Tapi kaum intelektual kita sekarang juga dirundung penyakit: Tak berani menjalankan dasar utama etika kecendekiawanan, yakni kebenaran dan keadilan. Tak sedikit yang bahkan menjadi apa yang puluhan tahun lampau pernah dipolemikkan sebagai gejala pelacuran intelektual. Sementara itu, mahasiswa kini membuat kita penuh kesangsian, mana yang lebih mereka utamakan, menggunakan otak dan logika atau otot dan kemampuan tawuran, sehingga bergelincir melakukan demokrasi dengan cara-cara tidak demokratis. Apakah para pemimpin dari kalangan politik agama bisa diharapkan ? Ternyata tak kurang banyaknya dari mereka yang menunjukkan perilaku amoral dan atau kekerasan sehari-hari, dalam suasana batin hendak memaksakan kehendak.

Sebagai catatan tambahan, Indonesia sekarang berada di urutan ke-50 dalam potensi kegagalan negara, setelah sejumlah negara Afrika dan negara Asia serta Latin yang terkebelakang. Selamat berpikir dan mencari pemimpin.

– Rum Aly