DALAM realita sejarah, sebenarnya tak ada gambaran yang muluk-muluk mengenai Indonesia, termasuk mengenai pemimpin dan sejarah kepemimpinannya. Kepulauan Nusantara ini sebenarnya menurut Clifford Geertz merupakan salah satu wilayah yang secara kultural paling rumit di dunia. Kepulauan kita ini ada pada titik persilangan sosiologis dan kebudayaan yang malang, kerapkali hampir tak masuk akal. Berbagai bangsa dengan perilaku terburuk datang ke sini dengan hasrat penaklukan, dan bahkan tak sedikit kerajaan di Nusantara inipun memiliki hasrat penaklukan yang sama. Menjadi pula tempat persilangan penyebaran berbagai agama yang tak selalu dilakukan secara damai, melainkan seringkali dengan penaklukan dan tipu-daya sampai pertumpahan darah. Suatu keadaan yang sebenarnya kontras dengan kemuliaan ajaran-ajaran agama itu sendiri. Pada dua abad terbaru, Nusantara ini menjadi pula tempat persilangan sistem imperialisme, kapitalisme liberalistik, komunisme, dan juga ideologi berdasar agama –tepatnya mengatasnamakan agama– yang digunakan dalam kehidupan politik dan kekuasaan yang amat duniawi. Tak mengherankan bila rakyat di kepulauan ini, yang telah dirundung berbagai kemalangan dari ekses persilangan itu menjadi ‘sakit’ secara rohani –meskipun mungkin itu berlangsung di alam bawah sadar– dan mengalami kegagalan pertumbuhan sosiologis.
Pertanyaannya, bisakah dari bangsa seperti itu lahir pemimpin-pemimpin besar secara kualitatif? Kita kerap mengatakan, banyak pemimpin besar lahir di sini. Majapahit yang besar pernah punya panglima perang Adityawarman yang melakukan penaklukan dan penghukuman berdarah. Gemar melakukan ritual pengurbanan darah sebagai penganut sempalan sinkretisme Hindu-Budha yang dikenal sebagai aliran Tantri Bhirawa. Penaklukan tentu bersumber dari gagasan Palapa Gajah Mada. Tokoh besar abad modern adalah Soekarno dan Soeharto. Akan tetapi sungguh disayangkan, kedua-duanya tergelincir ke dalam otoriterisme karena pada suatu ketika tak mampu lagi menahan diri terhadap godaan kenikmatan kekuasaan. Pemimpin-pemimpin berikutnya sesudah mereka ? Semuanya sempat tergelincir. Tak mungkin kita berkeluh kesah panjang-pendek seperti sekarang, kalau mereka telah berhasil membangun bangsa ini secara kultural, sosiologis dan ekonomis. Apalagi pembangunan politik. Tak ada pemimpin, yang sejauh ini telah berhasil memimpin bangsa ini melakukan pembangunan dengan urut-urutan yang benar seperti itu.
Sekarang, kita berbicara tentang pemimpin berikutnya, yang layak. Tetapi kita semua tak pernah bersungguh-sungguh membenahi lebih dulu penyakit-penyakit bangsa. Kita lalai dalam pembangunan kultural, sosiologis, dan dengan sendirinya gagal dalam pembangunan politik dan ekonomi. Kita tak pernah melakukan proses lanjut terhadap apa yang telah diletakkan para the founding fathers, yang menjelang kemerdekaan telah menyusun untuk kita satu filosofi dasar bangsa dan satu konstitusi yang telah terisi pokok-pokok esensial yang dibutuhkan bangsa ini. Sewaktu-waktu bila diperlukan untuk menjawab tuntutan zaman, tentu kita bisa melakukan amandemen terhadap konstitusi, untuk membuatnya lebih berkualitas, tetapi dengan cara yang baik dan benar sesuai esensi demokrasi. Tidak acak-acakan seperti yang lalu.
Jadi, pemimpin apa yang bisa kita harapkan sekarang. Tak ada yang layak, kecuali ada keajaiban. Historical by accident lagi ? Kemungkinan besar, muncul pemimpin otoriter baru lagi, kalau itu yang terjadi. Dari sumber mana kita bisa memperoleh pemimpin baru. Apa dari mereka yang berlatar belakang militer ? Kalau ya, apakah ada tokoh dari kalangan itu yang betul-betul demokratis, sedangkan mereka empat tahun dididik dengan kurikulum militer yang hirarkis dan ditempa pengalaman karir puluhan tahun dalam kekuasaan yang berlebih dalam suasana dwifungsi ala zaman Soeharto ? Apakah dari kalangan partai ? Kalau ya, bisakah dunia kepartaian dengan sejarahnya yang penuh kegagalan selama ini melahirkan pemimpin ideal dengan kriteria social society yang kita idamkan. Apalagi, terbukti selama ini, kaum sipil dari kalangan kepartaian –dan mungkin juga kaum sipil pada umumnya– tak kalah haus akan kekuasaan dibanding militer masa Soeharto. Harapan kita yang tersisa mungkin dari kalangan kaum cendekiawan perguruan tinggi dan dari kalangan mahasiswa untuk masa depan? Tapi kaum intelektual kita sekarang juga dirundung penyakit: Tak berani menjalankan dasar utama etika kecendekiawanan, yakni kebenaran dan keadilan. Tak sedikit yang bahkan menjadi apa yang puluhan tahun lampau pernah dipolemikkan sebagai gejala pelacuran intelektual. Sementara itu, mahasiswa kini membuat kita penuh kesangsian, mana yang lebih mereka utamakan, menggunakan otak dan logika atau otot dan kemampuan tawuran, sehingga bergelincir melakukan demokrasi dengan cara-cara tidak demokratis. Apakah para pemimpin dari kalangan politik agama bisa diharapkan ? Ternyata tak kurang banyaknya dari mereka yang menunjukkan perilaku amoral dan atau kekerasan sehari-hari, dalam suasana batin hendak memaksakan kehendak.
Sebagai catatan tambahan, Indonesia sekarang berada di urutan ke-50 dalam potensi kegagalan negara, setelah sejumlah negara Afrika dan negara Asia serta Latin yang terkebelakang. Selamat berpikir dan mencari pemimpin.
– Rum Aly
Suatu catatan yg perlu dipertikan menjelang pilpres 8 juli 2009 ini. Saat ini kita tampaknya terpaksa memilih the bad among the worst diantara 3 pasang calon yang maju ke gelanggang pemilihan.
Great post! I’ll subscribe right now wth my feedreader software!