Tag Archives: SBY

Dalam Kerumunan Setan

“TERHADAP semua situasi itu, masih banyak orang yang naif dan masih penuh mengharap Presiden SBY akan bisa mengatasi. Tapi dari waktu ke waktu SBY membuktikan sebaliknya, bahwa dirinya tak sepenuhnya bisa diharapkan”.

SALAH satu tokoh Petisi 50 –kelompok kritis di masa kekuasaan Soeharto– Chris Siner Key Timu bercerita bahwa suatu ketika di tahun 1992 ia pernah bertemu sejarawan dari Universitas Indonesia, Ong Hok Ham, yang kini sudah almarhum. Kepada Chris Siner, Ong Hok Ham bertanya, “Kalau Petisi 50 mau ganti Soeharto, siapa orangnya?”. Chris menjawab, “Mencari yang sejahat Soeharto, sulit. Tapi kalau yang kurang jahat, banyak”. Lalu Ong Hok Ham mengingatkan kepada tokoh Petisi 50 ini, bahwa ada kemungkinan setelah Soeharto justru akan muncul yang lebih jahat.

Sampai kini, Chris Siner, barangkali masih bertanya-tanya yang mana yang sudah masuk kategori yang ‘lebih jahat’. Sejauh ini, sudah ada setidaknya empat tokoh yang menjadi Presiden Republik Indonesia. “Saya teringat tahun 2004”, tutur Chris Siner, “saya dengar SBY di’citra’kan kepada para pendukungnya di Nusa Tenggara Timur sebagai Susilo Bersama Yesus”. Chris yang saat itu berada di Kupang spontan berkomentar dalam suatu nada setengah doa, yang intinya mengingatkan jangan sampai terjadi Setan Bersama Yudhoyono. Dan kini, semoga belum terlambat untuk menyampaikan doa tambahan, agar prediksi Ong Hok Ham bahwa setelah Soeharto akan muncul yang lebih jahat tak sampai terwujud. Meski, sebenarnya saat ini cukup alasan untuk kuatir bahwa kehadiran ‘setan’ makin terasa dalam kehidupan politik dan kehidupan sosial sehari-hari, tak terkecuali di sana-sini di dalam kekuasaan negara.

DALAM ajaran agama-agama, manusia selalu diingatkan untuk berhati-hati terhadap setan. Setan menjadi simbol kejahatan. Dan bahwa setan senantiasa ada di sekitar manusia, menunaikan perjanjian Iblis denganNya untuk menjalankan tugas menggoda manusia agar berada sejauh mungkin dari kebaikan. Sebagai penganjur kejahatan, setan sebagai satgas pelaksana pemberantasan kebaikan berdasarkan otoritas iblis kerapkali mampu mengolah bagian paling gelap dalam hati dan pikiran manusia, sehingga memiliki karakter dan perilaku setan dan bahkan menjadi setan itu sendiri. Setan di dunia nyata, adalah sebagian dari manusia itu sendiri. Setan tak henti-hentinya merekrut manusia ke dalam Partai Iblis. Sehingga, kerumunannya makin besar. Suatu waktu kita tak cukup hanya berkata, setan ada di antara kita, melainkan kitalah yang berada di dalam kerumunan setan.

TERLEPAS dari analogi terkait setan, merupakan fenomena bahwa semakin hari kehidupan politik dan pelaksanaan kekuasaan di Indonesia, maupun kehidupan sosial sehari-hari, makin dipenuhi aneka keburukan yang bersumber pada perilaku para manusia yang melakonkan peran-perannya secara sesat. Dengan sendirinya logika sesat pun lebih banyak dipergunakan daripada akal sehat.

Penggunaan retorika yang tak nalar, bahkan logika sesat, makin mendominasi kehidupan politik. Seringkali kehidupan politik penuh dengan debat kusir yang tak ada lagi ujung pangkalnya, sehingga kehidupan politik cenderung tak pernah berhasil menciptakan solusi, melainkan hanya kompromi-kompromi kepentingan hasil adu gertak dan tekan menekan. Etika, dedikasi apalagi idealisme, hampir tak dikenali lagi dalam kehidupan politik, sehingga politik bertambah tak berharga dalam makna positif. Gugatan-gugatan yang mencoba mengungkap adanya kecurangan dalam berbagai pemilihan umum yang lalu, senantiasa terbentur. Mana mungkin menemukan kebenaran tentang adanya kecurangan dalam waktu yang sangat dibatasi dan dilakukan tergesa-gesa? Ada yang pernah melaporkan kecurangan manipulasi suara, tetapi ternyata sang pelapor yang akhirnya ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara. Kasus Bank Century, apa sudah dicukupkan dengan pengunduran diri Sri Mulyani yang kemudian hijrah ke World Bank?

Penegakan hukum tak kalah jungkir balik. Filosofi dasar hukum sebagai sarana pencapaian keadilan demi kebenaran, terdorong jauh ke belakang oleh kepentingan yang pragmatis atas nama dan retorika kepastian hukum. Sementara kepastian hukum itu sendiri diartikan secara sempit semata-mata sebagai kepastian peraturan dan undang-undang. Sungguh malang, dunia perundang-undangan kita merupakan salah satu kelemahan utama sepanjang sejarah Indonesia merdeka, karena ia adalah produk dari kemampuan legislasi yang secara kualitatif juga lemah. Ciri perundang-undangan di Indonesia adalah senantiasa memiliki celah-celah yang bisa digunakan secara salah. Kepastian hukum apa yang bisa dicapai dengan sekumpulan undang-undang yang serba lemah? Kita lalu menyaksikan fenomena betapa subur praktek buruk terjadi dalam penegakan hukum. Tak sedikit pelaku kejahatan –terutama kejahatan keuangan negara dan atau korupsi– mampu lolos dari jerat hukum karena kemampuan manipulatif para pengacara hitam yang bekerja bersama para penegak hukum tertentu yang bisa dibeli, baik polisi, jaksa maupun hakim. Sebaliknya, begitu banyak orang yang bisa dijebloskan ke dalam penjara melalui rekayasa dan konspirasi. Aktivis HAM Munir nyata-nyata tewas karena diracun, tetapi tak pernah jelas siapa-siapa saja pelaku dan perencana kejahatannya. Apa Munir yang sengaja menenggak sendiri racun? Gayus Tambunan diketahui telah mengeluarkan uang suap belasan milyar rupiah, nama-nama penerima pun telah disebutkan, tetapi yang ditindaki terbatas. Terlalu banyak contoh untuk disebut satu persatu.

Kehidupan sosial kemasyarakatan juga porak poranda. Sistem nilai tentang mana yang benar mana yang salah pun sudah jungkir balik. Sejumlah orang yang dikenal sebagai pemuka agama atau guru spiritual, terlibat peristiwa-peristiwa pelecehan seksual, tanpa sepenuhnya terjangkau oleh penegakan hukum. Sementara yang lainnya, mengambil peran sebagai hakim moral bagi manusia yang lain, tetapi dengan menggunakan cara-cara kekerasan dan paksaan yang melanggar hukum. Ketika dibuka pendaftaran untuk mencari pimpinan baru untuk KPK, tidak sedikit di antara yang mendaftar menurut pengetahuan publik adalah tokoh-tokoh yang integritas dan reputasinya dalam kaitan pemberantasan korupsi sangat diragukan. Sementara itu, secara faktual KPK sendiri babak belur dihajar dengan berbagai cara, mulai dari yang kasar sampai kepada konspirasi yang cerdik dan sistematis.

TERHADAP semua situasi itu, masih banyak orang yang naif dan masih penuh mengharap Presiden SBY akan bisa mengatasi. Tapi dari waktu ke waktu SBY membuktikan sebaliknya, bahwa dirinya tak sepenuhnya bisa diharapkan. Apakah ungkapan setengah doa Chris Siner Key Timu, agar tidak terjadi setan bersama sang pemimpin, akan terkabul? Sehingga dengan demikian, prediksi almarhum Ong Hok Ham hendaknya tidak perlu terjadi.

Tatkala Presiden Marah dan Tersinggung (3)

“Bagaimana dengan SBY? Wajah seriusnya yang kelihatan agak dingin, bila sedang menyampaikan uneguneg, sudah cukup sering terlihat di layar televisi. Namun, tata bahasa pidato ‘uneguneg’nya tetap terjaga, tidak seperti Soeharto yang menjadi agak kacau tata bahasanya bila sedang pidato tanpa teks”.

TANDA-tanda Jenderal Soeharto mulai gerah kepada bekas-bekas ‘partner’ pendukungnya, sebenarnya bukan betul-betul baru di tahun 1970 itu. Selain insiden gertak ‘tempiling’ yang ditujukan kepada tokoh 1966 Adnan Buyung Nasution 13 Juni 1967, pada kesempatan lain di tahun yang sama, 8 Nopember, sekali lagi Soeharto menunjukkan sikap yang telah berubah kepada ‘partner’ pendukungnya. Ini terlihat ketika ia menghadapi demonstrasi massa KAMI, KAPI dan KAPPI di depan Gedung Presidium Kabinet Jalan Merdeka Barat, yang meminta perhatiannya selaku Pejabat Presiden mengenai makin melonjaknya harga beras. Ia membiarkan massa menunggu dulu dua jam lamanya, sebelum menemui mereka. Dengan nada yang terasa agak ketus, ia berkata kepada massa yang dulu ikut mendukungnya menuju istana dengan menjatuhkan Soekarno, “Kalau kesatuan aksi bermaksud menindak orang yang bertanggungjawab atas kesukaran hidup dewasa ini, maka sayalah orangnya yang harus ditindak”.

Reaksi Soeharto yang biasanya tenang dan murah senyum kepada massa mahasiswa dan pelajar di masa lampau itu, cukup mengejutkan banyak orang. Arief Budiman kemudian menanggapi ‘insiden’ itu dengan nada pahit. “Dia seakan-akan menghadapi para demonstran sebagai ‘pemuda-pemuda iseng’ yang mengganggu kerjanya”, kata Arief. “Dan sikapnya yang menantang para pemuda itu, sungguh-sungguh tidak simpatik. Para pemuda itu datang karena penderitaan yang tak teratasi lagi”. Mereka tahu bahwa pak Harto berusaha untuk mengatasi kesulitan-kesulitan itu, “tapi mereka juga tahu banyak para pembantu pak Harto hidup bermewah-mewah dari hasil korupsinya. Barangkali mereka tak tahu bagaimana orang-orang itu berkorupsi, mereka tak punya dokumen-dokumennya. Tapi dengan logika yang elementer saja, melihat kehidupan pribadi mereka dengan rumah yang mewah, dengan mobil berbiji-biji dan membandingkannya dengan gaji yang mereka seharusnya terima, segera dapat disimpulkan bahwa di balik semua ini pasti ada apa-apanya.

Panglima Kodam Jaya Mayjen Amirmahmud yang dari dulu, sejak zaman Soekarno belum jatuh, memang kurang bersimpati kepada gerakan-gerakan ekstra parlementer mahasiswa dan pelajar gerakan 1966, dengan gesit mengeluarkan larangan berdemonstrasi. Ia agaknya lupa bahwa larangan berdemonstrasi yang pernah dikeluarkannya setahun sebelumnya belum dicabut. Tapi kali ini, larangan demonstrasi yang dikeluarkannya betul-betul njlimet memperinci sampai kepada apa saja yang tidak boleh dilakukan: menyetop kendaraan dan mengambil kendaraan pemerintah maupun milik pribadi secara paksa, main hakim sendiri, pengeroyokan, penyerbuan dan pendudukan tempat kediaman maupun tempat kerja dan sebagainya yang semua mengarah kepada contoh-contoh yang lazim terjadi dalam masa demonstrasi tahun 1966.

Para mahasiswa sebenarnya juga sepakat bahwa apa yang sering dilakukan sebagai ‘ekses’ di masa lampau itu hendaknya sudah diakhiri, dan ekses seperti itu kerapkali dilontarkan sebagai kritik internal. Mahasiswa pun sering mengeritik perilaku tentara yang meminjam dan menyetop kendaraan umum untuk dipinjam guna kepentingan ‘dinas’, sementara sebaliknya mobil-mobil tentara sendiri justru digunakan untuk ‘ngobjek’ mengangkut barang-barang milik swasta. Tetapi cara merumuskan larangan-larangan itu dalam pengumuman Kodam Jaya itu ‘berhasil’ menggambarkan perbuatan-perbuatan itu bukan sekedar ‘ekses’, melainkan sebagai perbuatan yang berkonotasi pidana, yang menurut Arief Budiman adalah penggambaran sebagai perampokan.

Sikap Jenderal Soeharto dan antisipasi Amirmahmud yang betul-betul menunjukkan karakter militer itu, sekaligus menunjukkan bahwa kini setelah berkuasa mereka tak membutuhkan lagi gerakan ekstra parlementer sebagai alat yang setahun sebelumnya dimanfaatkan dan diprovokasi dari belakang layar untuk menekan Soekarno. Bahkan Soeharto mulai menempatkan kaum muda ini sebagai onak duri yang harus mulai disingkirkan. Dan ini semua akan terbukti dengan apa yang dilakukannya pada tahun 1970-an, terutama di tahun 1974 dan 1978.

TENTU saja, tanda-tanda awal perubahan sikap Jenderal Soeharto ini bisa dianggap termasuk cepat. Beda waktunya sangat tipis dengan masa di mana Soekarno –presiden yang jatuh digantikan tempatnya oleh Soeharto– selalu menunjukkan kegusaran kepada demo-demo mahasiswa dan pelajar di tahun 1966.

Berkali-kali Soekarno mengecam demo-demo mahasiswa melalui berbagai kesempatan tanpa tatap muka. Tapi Selasa 18 Januari 1966, delegasi KAMI bertemu dengan Soekarno. Ini adalah yang kedua kalinya. Cuma, pertemuan pertama dengan Soekarno berlangsung ringkas saja, yaitu saat berlangsung Sidang Paripurna Kabinet 15 Januari. Delegasi mahasiswa menyampaikan tuntutan-tuntutan pembubaran PKI, reshufle kabinet dan penurunan harga. Pertemuan 18 Januari adalah pertemuan yang terjadwal. Dalam pertemuan itu, delegasi KAMI terdiri antara lain dari Cosmas Batubara, David Napitupulu, Zamroni, Mar’ie Muhammad, Elyas, Lim Bian Koen, Firdaus Wajdi, Abdul Gafur dan Djoni Sunarja. Tentang pertemuan ini, David Napitupulu pernah mengisahkan di tahun 1986, betapa Soekarno masih berhasil menunjukkan wibawa dan membuat beberapa tokoh mahasiswa ‘melipatkan’ dan merapatkan tangan di depan perut bawah dengan santun. Menjawab tudingan Soekarno yang disampaikan dengan nada keras, salah satu anggota delegasi menjelaskan kepada Soekarno bahwa kalau ada ekses-ekses yang terjadi dalam aksi-aksi KAMI, semisal corat-coret dengan kata-kata kotor, itu “adalah pekerjaan tangan-tangan kotor” yang menyusup ke dalam “barisan mahasiswa progressif revolusioner”. Soekarno antara lain mempersoalkan corat-coret yang menyebut salah satu isterinya, Nyonya Hartini, sebagai ”Gerwani Agung”. Gerwani adalah organisasi wanita onderbouw PKI.

Delegasi KAMI juga menyampaikan tiga tuntutan rakyat. Dan Soekarno menjawab “Saya mengerti sepenuhnya segala isi hati dan tuntutan para mahasiswa”, dan menyatakan tidak menyangsikan maksud-maksud baik mahasiswa. Tetapi dengan keras Soekarno menyatakan tidak setuju cara-cara mahasiswa yang menjurus ke arah vandalisme materil dan vandalisme mental, yang menurut sang Presiden bisa ditunggangi golongan tertentu dan Nekolim, yang tidak menghendaki persatuan Bung Karno dan mahasiswa. Dalam pertemuan yang disebut dialog ini, yang terjadi adalah Soekarno mengambil kesempatan berbicara lebih banyak daripada para mahasiswa. Tentang pembubaran PKI, kembali Soekarno tidak memberikan jawaban memenuhi tuntutan pembubaran, dan hanya menyuruh mahasiswa menunggu keputusan politik yang akan diambilnya.

Tentang ‘kemarahan’ Soekarno saat pertemuan tersebut, juga diceritakan tokoh 1966 Cosmas Batubara, dalam tulisannya ‘Napak Tilas Gerakan Mahasiswa 1966’ (dalam OC Kaligis – Rum Aly, Simtom Politik 1965, Kata Hasta, 2007). Sebelum kami diterima Presiden, tulis Cosmas, ajudan Presiden yaitu Mayor KKO Widjanarko mengatakan Presiden “akan marah kepada anda semua”. Karena itu, kata Widjanarko, “saran saya, diam saja dan dengar. Biasanya Presiden itu akan marah-marah selama kurang lebih 30 menit”. Apa yang dikatakan Mayor Widjanarko memang benar. Setengah jam pertama Presiden Soekarno marah dan mengatakan bahwa para mahasiswa sudah ditunggangi oleh Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). “Kemudian secara khusus Presiden Soekarno marah kepada saya” dengan mengatakan, “saudara Cosmas sebagai orang Katolik, mengapa ikut-ikut demonstrasi dan saya dapat laporan bahwa anggota PMKRI menulis kata-kata yang tidak sopan terhadap Ibu Hartini. Saudara harus tahu bahwa Paus menghargai saya dan memberi bintang kepada saya. Betul kan saudara Frans Seda bahwa Paus baik dengan saya?”. Frans Seda yang ikut hadir dalam pertemuan itu mengangguk.

“Presiden Soekarno tidak sadar bahwa para mahasiswa yang datang masing-masing sangat independen” tulis Cosmas lebih lanjut. “Kalau saya diserang secara pribadi bukan berarti yang lain akan diam”. Setelah Presiden Soekarno marah-marah, para peserta pertemuan satu persatu melakukan reaksi dan akhirnya Presiden Soekarno kewalahan. Lalu sambil menoleh kepada Roeslan Abdoelgani, Soekarno berkata, “Roeslan, mereka ini belum mengerti revolusi. Bawa mereka dan ajar tentang revolusi”. Akhirnya pertemuan selesai tapi belum ada putusan Presiden tentang Tritura. “Seperti hari-hari sebelumnya para mahasiswa mulai lagi demonstrasi. Dalam puncak kejengkelannya terhadap demonstrasi KAMI, maka pada tanggal 25 Februari 1966 Presiden Soekarno mengeluarkan putusan membubarkan KAMI yang diikuti pengumuman tidak boleh berkumpul lebih dari lima orang”.

MENARIK sebenarnya untuk diamati, bahwa agak berbeda dengan Soeharto, bila Soekarno menunjukkan ‘kemarahan’ maka kemarahan itu tidak meletup-letup begitu saja, melainkan lebih merupakan ‘kemarahan’ yang dikendalikan dengan baik. Termasuk, dalam pengaturan intonasi suara yang menggelegar. Soeharto dalam pada itu, bila sedang marah, terlihat jelas bahwa kemarahannya memang datang dari ‘dalam’, meskipun tidak meletup-letup. Dalam bahasa sehari-hari situasi seperti itu mungkin dapat disebut ‘ngambeg’. Dan bila menyampaikan ‘kemarahan’ dari ‘dalam’ itu biasanya Soeharto bicara tanpa teks. Bagaimana dengan SBY? Wajah seriusnya yang kelihatan agak dingin, bila sedang menyampaikan uneguneg, sudah cukup sering terlihat di layar televisi. Namun, tata bahasa pidato ‘uneguneg’nya tetap terjaga, tidak seperti Soeharto yang menjadi agak kacau tata bahasanya bila sedang ‘pidato tanpa teks’.

Golkar: Perjalanan dari Masa Lampau ke Titik Nadir 2009 (7)

“Bahkan mulai muncul suara ‘cemplang’ bahwa SBY yang mengantongi kemenangan lebih dari 60 prosen dalam satu putaran pada pemilihan presiden yang lalu, dalam pola kepemimpinannya yang khas javanese sesungguhnya sedang dalam proses bermutasi menjadi Soeharto baru. Dan dengan demikian Orde Baru jilid dua sedang dalam proses cetak….. Kalau memang ini benar, maka memang betul Golkar sedang berada pada satu titik nadir di tahun 2009 ini. Kemana kurva Golkar selanjutnya akan bergerak –ke atas atau ke bawah– di bawah kepemimpinan Abu Rizal Bakrie ?”.

ASPEK tragis dari semua yang dialami Partai Golkar di kurun waktu yang disebut masa reformasi hingga kini, seakan-akan suatu karma masa lampau. Letak tragedinya adalah karena kelahiran Golkar sebenarnya diawali dengan idealisme dan prinsip-prinsip berdasarkan kebenaran. Tetapi begitu kekuasaan sudah berada di tangan kelompok-kelompok dan pribadi-pribadi yang menjadi penunggang sekaligus pengendali Golkar, maka Golkar memasuki lembaran sejarah kelabu sebagai kekuatan politik yang menjadi alat kekuasaan otoriter. Sejarah Golkar identik dengan sejarah Orde Baru.

Sebenarnya, apa yang kemudian disebut dengan penamaan Orde Baru pada era pasca Soekarno, adalah sebuah konsep dan gagasan idealistik tentang cara baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang dilahirkan oleh sejumlah kalangan intelektual dalam masyarakat serta beberapa tokoh pemikir dalam ABRI. Konsep awal Orde Baru adalah pembaharuan dan reformasi di segala sektor kehidupan bangsa dengan tujuan-tujuan ideal, di atas landasan kebenaran dan keadilan. Hanya saja penamaan dan penampilan Orde Baru kemudian secara berangsur-angsur kehilangan makna kebenaran dan keadilannya dalam perjalanan sejarah di masa-masa kekuasaan dominan pemerintahan Soeharto. Orde Baru berangsur-angsur dipersempit pengertiannya dalam pelaksanaannya. Aspek pembaharuan yang bermakna modernisasi dan pembangunan, menyempit menjadi pembangunan yang merupakan sekedar terjemahan dari development. Aspek akumulatif dan vertikal dari pembangunan lebih ditekankan dan dipentingkan, ketimbang aspek dinamis dan horizontal dari proses evolutif yang bergerak secara mandiri. Dimensi pengaturan lebih menonjol dan dipentingkan daripada memberi peluang bergerak sendiri secara kreatif. Di bidang politik, hukum maupun kemasyarakatan.

Sejalan dengan perjalanan waktu yang makin menumbuhkan hasrat kekuasaan kelompok-kelompok dan sejumlah pribadi tertentu –yang kebetulan ada pada posisi peran historis masa peralihan setelah 1965– justru para pemikir yang melahirkan gagasan dasar Orde Baru, satu persatu dilempar keluar oleh Soeharto dan kelompok tertentu di sekitarnya. Bersamaan dengan itu Orde Baru memperoleh partisipan-partisipan baru –termasuk mereka yang tadinya justru sangat memusuhi konsep Orde Baru itu sendiri– yang kelak membentuk citra baru yang menghancurkan cita-cita kebenaran dan keadilan dengan perilaku-perilaku ketamakan kekuasaan serta perilaku menyimpang korupsi-kolusi-nepotisme di sebagian besar masa 32 tahun terakhir pada masa kekuasaan Soeharto. Bandingkan dengan nasib serupa yang dialami oleh kelompok reformasi pasca Soeharto yang secara berangsur-angsur diisi dan diambilalih oleh mereka yang menyimpangkan pengertian dan tujuan reformasi itu sendiri sambil menikmati berbagai benefit pengatasnamaan reformasi.

Bila Orde Baru dipandang sebagai satu rezim –yang secara esensial sudah berbeda dengan konsep awal kaum intelektual penggagasnya di tahun 1966-1967– maka ia adalah tatanan sistem dan kekuasaan yang didominasi secara kuat oleh militer dengan Soeharto sebagai pemimpin rezim. Rezim itu didukung oleh Golkar sebagai mesin politik utama dan bersama-sama dua partai yakni Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia (yang kemudian menjelma sebagai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) menjadi mesin konstitusi yang siap setiap saat  memberikan cap konstitusional terhadap apa yang dilakukan rezim. Unsur pendukung lainnya adalah konglomerat dan pengusaha, yang dengan bantuan birokrat serta ekonom pemerintahan, menjadi mesin dana selain sebagai mesin ekonomi. Payung moral dan pagar kemasyarakatannya disiapkan oleh barisan luas sejumlah ulama serta unsur-unsur tertentu dalam organisasi kemasyarakatan seperti NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, berbagai organisasi kepemudaan dan sebagainya. Tak ketinggalan, dukungan mayoritas pers dan kalangan cendekiawan serta kalangan lainnya di berbagai perguruan tinggi. Faktual, Orde Baru didukung begitu luasnya bagaikan menyampaikan satu nyanyian bersama oleh semua, dan karenanya hidup panjang.

Kemana kurva Golkar selanjutnya bergerak?

Namun, pasca kejatuhan Soeharto, segala kebaikan yang bagaimanapun juga pernah dimiliki Orde Baru, sirna oleh sisi penyimpangannya dan tampaknya sulit untuk dibela, betapapun idealnya sebenarnya konsep awal dan dasar dari Orde Baru itu. Malang bagi Golkar, setelah Mei 1998, hanya Golkar yang disisakan dan dipilih sebagai ‘simbol’ Orde Baru yang harus memikul ‘dosa-dosa masa lampau’. Akan tetapi dalam suatu paradoks saat ini, kalangan kekuasaan diam-diam dengan sedikit polesan meng-copypaste cara-cara Orde Baru dalam menjalankan kekuasaan dan cara-cara Golkar masa lampau membangun partai dan menjalankan politik praktis. Sementara itu, Partai Golkar sendiri, sudah berada dalam suatu keadaan antara ada dan tiada dalam peta dan realita politik karena kerap mengidap kepribadian ganda lengkap dengan aneka standar ganda sehingga sulit untuk memposisikan dirinya.

Dengan canggung Golkar mencoba menentukan posisinya. Karena gagal mengumpulkan suara memadai dalam pemilihan umum yang baru lalu, boleh dikatakan ia tak mampu ikut mengatur kekuasaan. Karena tak terbiasa di masa lampau di luar kekuasaan, Golkar senantiasa berusaha ikut dalam kekuasaan. Dan itu dilakukan dengan berbagai upaya kompromi dengan pemenang pemilihan umum. Tetapi sebenarnya, menilik ke belakang, di masa Soeharto pun Golkar dalam artian sebagai satu kekuatan politik, tak selalu ada dalam kabinet. Selama pemerintahan Orde Baru, sebenarnya sangat terbatas aktivis atau pengurus organisasi Golkar diikutsertakan dalam kabinet, dengan sedikit pengecualian pada sekitar 1987 sampai beberapa tahun sesudahnya. Pada waktu yang lain, sebelumnya, prosesnya malah terbalik. Sejumlah tokoh terlebih dahulu menjadi menteri karena pilihan Soeharto atau menjadi pejabat tinggi lainnya, baru kemudian menjadi Golkar dalam posisi elite karena kemampuannya meningkat dalam memberi kontribusi dana. Jadi memang sulit disangkal bahwa Golkar memang ikut dibesarkan oleh hasil korupsi-kolusi-nepotisme, selain topangan sumber-sumber dana yang halal.

Topangan dana itu pada gilirannya menjelma menjadi kekuasaan lebih secara internal di Golongan Karya. Dana menjadi pengganti keringat. Sanak keluarga dan kroni sang pemberi dana dengan mudah mengambil porsi yang besar dalam pembagian kursi-kursi di legislatif dan kemudian melanjutkan ke pembagian rezeki ‘hasil pembangunan’. Hingga, suatu ketika, praktek ini menjadi bola salju yang tak terkendali lagi dan menjadi begitu massive sehingga tak tertahankan lagi oleh sendi-sendi perekonomian negara. Golkar nyaris tergulung habis dan musnah dalam proses pembalikan yang terjadi sesudahnya sejak tahun 1998. Ternyata perilaku ini menjelma sebagai satu penyakit kronis yang belum kunjung usai. Ketika Munas Golkar di Bali tahun 2004, terpilihnya Muhammad Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar dibayang-bayangi merebaknya isu politik uang selain bahwa ia dipilih oleh Munas karena ia adalah Wakil Presiden yang sangat memenuhi syarat bagi Golkar yang canggung berada di luar kekuasaan pemerintahan. Dan sejarah berulang lagi dalam Munas Golkar 2009 di Pekanbaru Riau. Kemenangan Aburizal Bakrie dalam kompetisi memperebutkan kepemimpinan Patai Golkar juga tak lepas dari bayangan merebaknya isu politik uang. Terhadap Aburizal juga tertuju sejumlah kritik ketika ia memilih sejumlah tokoh dengan pola ‘loncat pagar’ yang tak pernah berkeringat untuk Golkar namun mendadak mendapat posisi tinggi di DPP Golkar. Tetapi inipun sebenarnya bukan hal baru. Itu penyakit lama yang sudah diidap Golkar dari waktu ke waktu.

Hanya saja, sungguh menarik, bahwa dalam konklusi sementara dari banyak orang saat ini, penyakit-penyakit kronis yang diidap Golkar selama puluhan tahun ini, tampak-tampaknya kini seakan menular dan sedang berinkubasi di dalam Partai Demokrat. Bahkan mulai muncul suara ‘cemplang’ bahwa SBY yang mengantongi kemenangan lebih dari 60 prosen dalam satu putaran pada pemilihan presiden yang lalu, dalam pola kepemimpinannya yang khas javanese sesungguhnya sedang dalam proses bermutasi menjadi Soeharto baru. Dan dengan demikian Orde Baru jilid dua sedang dalam proses cetak….. Kalau memang ini benar, maka memang betul Golkar sedang berada pada satu titik nadir di tahun 2009 ini. Kemana kurva Golkar selanjutnya akan bergerak –ke atas atau ke bawah– di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie ?

Selesai.

Golkar: Perjalanan dari Masa Lampau ke Titik Nadir 2009 (1)

Sejak tahun-tahun awal setelah kemenangan dalam Pemilihan Umum 1971, telah terbukti bahwa sebagian unsur ABRI –yang memiliki peranan historis dalam kelahiran Sekber Golkar di tahun 1964– telah lebih mengutamakan menjalankan agenda kekuasaan demi kekuasaan bagi kliknya sendiri, dan dalam waktu bersamaan menyingkirkan kolega-koleganya yang masih punya idealisme”.

SEPANJANG perjalanannya dalam sejarah politik dan kekuasaan di Indonesia, Golkar –singkatan Golongan Karya– penuh dengan kemenangan dan ‘kejayaan’ politik. Angka keunggulan perolehan suara yang dicetak masih sejak pemilihan umum pertama pasca kekuasaan Soekarno, tak pernah di bawah 50 persen. Bahkan di era kepemimpinan Sudharmono SH dan Sarwono Kusumaatmadja, angka keunggulan Golkar mencapai 73,17 persen atau 62.783.680 suara pemilih dalam Pemilihan Umum 1987. Suatu pencapaian luar biasa. Dan ternyata menjadi lebih fantastis lagi di era Ketua Umum Harmoko pada Pemilihan Umum 1997, mencapai 74,51 persen. Namun pencapaian itu sekaligus menjadi penutup kisah ‘dunia fantasi’, karena Mei 1998 secara pahit Soeharto harus mengakhiri kekuasaannya yang telah berlangsung 32 tahun. Kemenangan besar Golkar di bawah Harmoko, ternyata hanya bagai gelembung sabun yang tak punya arti apa-apa sebagai jaminan kelanggengan kekuasaan Soeharto. Malahan Harmoko termasuk sebagai tokoh yang ikut berperan di barisan depan dalam suatu tragi komedi politik meninggalkan Soeharto, selain Ginandjar Kartasasmita bersama sejumlah golden boys Soeharto lainnya.

Pasca Soeharto, Golkar yang kemudian merubah diri menjadi Partai Golongan Karya, memulai fase perjalanan menuju titik nadir. Dalam Pemilihan Umum 1999, Akbar Tandjung yang menjadi Ketua Umum Golkar, bersama kawan-kawan seperti Fahmi Idris, Marzuki Darusman dan sejumlah tokoh ex HMI pendukung Akbar, masih mampu menjaga Golkar tak terhempas habis. Partai Golkar masih bisa mencapai angka 22,4 persen di urutan kedua setelah PDI-P Megawati Soekarnoputeri yang memperoleh 33,7 persen suara. Bahkan setelah dilanda isu Buloggate, Golkar dibawah Akbar masih sempat sedikit memperbaiki posisi sebagai pemenang Pemilu 2004 dengan memperoleh 21,58 persen, sementara PDI-P merosot ke tempat kedua dengan pencapaian 18,53 persen.

Namun adalah menarik, bahwa ‘benefit’ politik kemenangan 2004 itu tidak untuk Akbar Tandjung. Dalam konvensi Golkar untuk mencari calon presiden yang akan maju ke Pemilihan Umum Presiden, Akbar dikalahkan oleh Jenderal Wiranto yang kemudian maju ke Pemilihan Presiden bersama Solahuddin Wahid. Seorang calon peserta konvensi, Muhammad Jusuf Kalla (JK), membatalkan keikutsertaannya dalam Konvensi Golkar tersebut dan kemudian maju bersama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan jangkar utama pendukung, yakni Partai Demokrat yang baru saja didirikan menjelang pemilu. Dalam Pemilihan Umum 2004 itu, Partai Demokrat mencapai peroleh suara 7,45 persen dan berada di urutan kelima.

Merupakan fenomena menarik, bahwa pasangan SBY-JK yang didukung sebuah ‘partai kecil’ newcomer ini ternyata mengungguli Megawati-Hasjim Muzadi maupun Wiranto-Solahuddin atau Amien Rais-Siswono Judohusodo dan ‘underdog’ Hamzah Haz-Agum Gumelar. Agaknya SBY-JK sedang berada dalam fokus harapan publik yang saat itu seakan-akan berada dalam musim kemarau yang kering dari kepemimpinan yang baik. Kala itu memang tokoh-tokoh lain dan partainya masing-masing tampil mengecewakan dalam sepakterjang politik beberapa tahun terakhir. PDI-P yang katanya partainya wong cilik, justru seakan meninggalkan wong cilik pendukungnya setelah berkuasa. Sementara itu, Golkar dilanda perpecahan, seperti misalnya antara Fahmi Idris-Marzuki Darusman cs dengan lingkaran pendukung khusus Akbar Tandjung. Ketika kalah dalam Pemilihan Presiden, Wiranto mengutarakan kekecewaan bahwa Golkar (Akbar dan kawan-kawan) mendukung dengan setengah hati. Tapi pada pihak lain, banyak orang menilai kegagalan Wiranto lebih banyak ditentukan oleh masih kuatnya kenangan publik terhadap rekam jejaknya di masa lampau ketika menjadi bagian dari penguasa militer. Dalam pada itu, dalam opini publik, Amien Rais dalam banyak hal pada setidaknya setahun terakhir dianggap terlalu ‘kelebihan’ bicara dan terpeleset karenanya.

Pemilihan Presiden 2009 sepenuhnya menjadi milik Susilo Bambang Yudhoyono. Walaupun, kesangsian terhadap kepemimpinan penuh keraguan SBY, bukannya kecil sepanjang lima tahun terakhir. Partai pendukung utamanya yang mengalami pelonjakan perolehan suara hampir tiga kali lipat dari pemilihan umum sebelumnya, dari 7,45 persen menjadi 20,8 persen, berkoalisi dengan sejumlah partai yang umumnya beraroma politik Islam, membawa SBY bersama Boediono menjadi Presiden dalam satu putaran dengan melampaui pencapaian suara di atas 60 persen. Pencapaian angka mayoritas mutlak oleh SBY ini dengan segera mengingatkan orang kepada pencapaian angka-angka mayoritas yang dicapai Golkar –dan tentu saja juga kepada Soeharto sebagai Ketua Dewan Pembina kekuatan politik berlambang pohon beringin itu– di masa lampau. Apalagi, kemenangan itu dibayangi oleh kuatnya kecurigaan adanya kecurangan dalam pelaksanaan pemiluhan umum. Ini sama dengan pengalaman Golkar masa Orde Baru, nyaris seluruh kemenangannya dianggap diperoleh melalui pemilihan umum yang penuh kecurangan. Tapi terlepas dari itu, tampaknya Partai Demokrat di bawah SBY sedang menjelma sebagai pengendali hegemoni kekuasaan seperti Golkar di masa lampau, apalagi kasat mata saat ini begitu banyak orang-orang eks Golkar yang menjadi bagian dalam tubuh partai tersebut. Dan sama seperti Golkar, Partai Demokrat sangat ditentukan arah, tujuan dan sepakterjang politiknya oleh Ketua Dewan Pembinanya, Susilo Bambang Yudhoyono, mirip dengan hubungan Soeharto dengan Golkar. Lebih dari itu, dalam persepsi banyak kalangan politik, belakangan ini SBY pun makin tampil dengan suatu pola kepemimpinan yang khas bernuansa pola kepemimpinan tradisional Jawa dan bukannya memilih pola kepemimpinan Indonesia atau setidaknya pola kepemimpinan Jawa yang lebih modern. Tapi tentu saja, persepsi seperti ini masih harus dianalisis lebih lanjut seraya menantikan kenyataan-kenyataan politik yang akan terjadi di masa mendatang ini.

Sementara itu, Partai Golkar sendiri –yang pada 20 Oktober 2009 ini berusia 45 tahun–  justru seakan sedang berjalan menuju titik nadir dan makin melemah dalam masa kepemimpinan Jusuf Kalla. Apakah akan menuju titik lebih rendah lagi pada pemilihan umum berikut, ataukah berhasil diselamatkan Aburizal Bakrie, masih merupakan pertanyaan. Pencapaian Golkar dalam Pemilihan Umum 2009 ini merupakan titik terrendah dalam sejarah kekuatan politik itu, yakni 14,4 persen. Bergabung dengan Partai Hanura (yang hakekatnya terisi dengan sebagian besar eks kader Golkar), Golkar pun hanya berhasil menempatkan Jusuf Kalla-Wiranto di urutan ketiga dalam Pemilihan Presiden dengan pencapaian yang juga hanya belasan persen.

Momentum Historis dalam Kebekuan

KELAHIRAN Sekber Golkar pada tahun 1964 yang merupakan cikal bakal Partai Golongan Karya, adalah untuk mendobrak kebekuan dan kegagalan kehidupan sosial politik di bawah demokrasi terpimpin masa Soekarno. Dalam dua kurun waktu sebelumnya, yakni masa demokrasi parlementer sesudah Pemilihan Umum 1955 dan masa demokrasi terpimpin 1959-1965, kekuatan sosial politik yang ada belum berhasil menjalankan fungsi selaku alat demokrasi yang pas untuk kebutuhan Indonesia. Kepartaian pada dua kurun waktu tersebut sangat ideologistis sehingga terlibat dalam kegiatan yang semata-mata untuk mempertahankan kepentingannya masing-masing.

Dalam rangka mempersiapkan diri untuk menghadapi Pemilihan Umum 1971, tercipta momentum bagi Golkar untuk memperbaharui kehidupan politik yang ideologistis menjadi kehidupan politik yang diperbarui dan modern. Penempatan diri sebagai kekuatan pembaharu itu membuat Golkar menjadi menarik bagi kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat kala itu, terutama kalangan cendekiawan di masyarakat serta kalangan intelektual muda yang masih mempunyai ikatan dan basis yang kuat di lingkungan perguruan tinggi. Bersama kalangan militer yang berpikiran pembaharu, sejalan dengan hasil Seminar Angkatan Darat II serta unsur birokrasi yang sudah diperbaharui pula oleh pemerintahan baru Pasca Soekarno, kaum cendekiawan tersebut menjadi bagian yang menopang Golkar sebagai kekuatan politik yang berpotensi melahirkan kehidupan politik yang lebih baik dan bisa diharapkan untuk menegakkan demokrasi dengan altruisme.

Menghadapi pola yang ideologistis, Golkar dengan topangan tiga unsur utamanya, telah mendorong ke depan Pancasila dan UUD 1945 sebagai perangkat dan tema tengah yang bisa diterima oleh mereka yang tidak punya ikatan-ikatan ideologis. Golkar menarik kaum abangan yang membutuhkan perlindungan baru setelah merosotnya PNI, sebagaimana ia juga menarik kalangan beragama Islam yang berpikiran moderat dan tidak ideologistis, serta masyarakat lain yang tidak beragama Islam. Kelompok-kelompok dalam masyarakat yang disebut terakhir ini, selama bertahun-tahun ada dalam kecemasan dan himpitan pertarungan antara kecenderungan komunistis dan kecenderungan fundamental dalam Islam. Terdapat pula kelompok dalam masyarakat yang merasa tertekan oleh kekuasaan totaliter yang tidak demokratis di masa Soekarno, menerima Golkar sebagai alternatif penyelamat.

Dengan dukungan kokoh karena daya tarik yang menjanjikan pembaharuan, Golkar memenangkan 34 juta suara dari 57 juta suara pemilih dalam Pemilihan Umum 1971, terlepas dari adanya ekses-ekses karena perilaku overacting dari sejumlah unsur pendukung Golkar. Kemenangan itu sendiri pada gilirannya mengalirkan lagi dukungan-dukungan baru untuk masa-masa berikutnya, mengikuti kecenderungan feodalistik dalam masyarakat, bahwa siapa yang berkuasa cenderung untuk menikmati dukungan-dukungan melimpah, kendati pun untuk sebagian besar dukungan itu bersifat temporer sejajar dengan life time dari kekuasaan itu sendiri. Suatu situasi kelimpahan dukungan serupa, tampaknya juga sedang dialami dan mengarus menuju SBY dan Partai Demokrat ketika menghadapi Pemilihan Umum 2009. Di sini, dalam situasi seperti itu, unsur kualitatif tidak lagi merupakan ukuran.

Sebenarnya, hanya dalam tempo yang tidak terlalu lama, dukungan berkualitas terhadap Golkar telah berakhir. Sejak tahun-tahun awal setelah kemenangan dalam Pemilihan Umum 1971, telah terbukti bahwa sebagian unsur ABRI –yang memiliki peranan historis dalam kelahiran Sekber Golkar di tahun 1964– telah lebih mengutamakan menjalankan agenda kekuasaan demi kekuasaan bagi kliknya sendiri, dan dalam waktu bersamaan menyingkirkan kolega-koleganya yang masih punya idealisme.

Peranan kaum cendekiawan yang potensil menjadi sumber modernisasi dalam kehidupan berpolitik, hanya ditempatkan sebagai pajangan untuk penciptaan opini. Kino-kino ‘pendiri partai’ yang seolah-olah representasi kaum sipil dari mula juga tak lain dari institusi-institusi yang dapat dikatakan kepanjangan klik-klik tentara di kalangan sipil. Dari waktu ke waktu pimpinan kharismatis dari Kino-kino faktual adalah para tentara atau mantan tentara. Sementara itu, kekuatan birokratis adalah kekuatan yang sangat tergantung kepada fakta siapa yang berkuasa, dialah yang berhak untuk mengendalikan kekuatan birokratis, cepat atau lambat. Maka kita melihat bahwa sepanjang puluhan tahun masa kekuasaan Soeharto, peranan dalam Golkar dipegang oleh kekuatan tentara (klik-klik tentara) dan kekuatan birokrasi (klik-klik birokrat). Sebagian dari klik-klik ini menjadi pelaku utama berbagai perilaku KKN, pelanggaran hak azasi manusia dan tindakan anti demokrasi’, ibarat hutang yang kelak ditagih rakyat.

Rekrutmen cendekiawan juga secara berangsur-angsur berubah dari pemikir menjadi rekrutmen perorangan cendekiawan yang dibutuhkan sebagai pemanis penampilan intelektual. Dan pada sisi lain, cendekiawan yang bergabung juga berangsur-angsur berubah menjadi perorangan-perorangan yang masuk untuk kepentingan khusus bagi dirinya, untuk target-target bisa terpilih jadi rektor atau terpilih mengisi jabatan-jabatan pemerintahan, sebagai Dirjen, Gubernur dan terutama sebagai Menteri Kabinet. Masa pengharapan untuk tampilnya Golkar menjadi kekuatan politik motor pembaharuan dan modernisasi yang kualitatif, tidak melampaui akhir 1973 dan praktis berakhir menjelang Pemilihan Umum 1977. Bahwa senantiasa masih hidup upaya-upaya menampilkan kaum cendekiawan atau unsur generasi muda yang berkualitas, harus diakui tetap terjadi secara insidental, semisal pada periode 1982 hingga 1987. Tetapi rekrutmen legislatif pada Pemilihan Umum 1987 dan sesudahnya membuktikan bahwa upaya seperti itu gagal samasekali. Kalau toh cendekiawan (tepatnya perorangan dengan atribut-atribut kesarjanaan) masuk, yang terbanyak hanyalah bahwa perorangan yang berhasil masuk itu tak terlepas dari kaitan unsur subjektif, seperti putera-puteri pejabat atau putera-puteri tentara, dan sebagainya.

Berlanjut ke Bagian 2

The Invisible Hand: Terstruktur, Sistimatis dan Massive (2)

“Tangan sebelah kanan tak mengetahui apa yang dikerjakan tangan sebelah kiri”.

Kemenangan Golkar tahun 1971 ini berada dalam dua sisi, hitam dan putih. Pada sisi putih, kemenangan Golkar merupakan puncak dari terakumulasinya kekecewaan rakyat terhadap perilaku partai yang selama ini cenderung opportunistik. Golkar yang mengajukan gagasan pembaharuan, menarik kaum intelektual dan generasi muda yang menginginkan perubahan dan harapan baru. Sejumlah tokoh yang dihormati, termasuk dari kalangan cendekiawan dan generasi muda yang relatif masih bersih jejak rekamnya, tampil sebagai calon dan umumnya yang ditempatkan pada urutan atas daftar calon di daerah pemilihan kota/kabupaten, berhasil masuk ke DPR melalui pemilihan umum yang semi distrik ini. Tapi pada sisi yang lain terdapat catatan tentang peranan para buldozer, baik itu seorang menteri dalam negeri dan jajarannya, ataukah para Komandan Koramil yang dikerahkan pimpinan ABRI untuk mengarahkan rakyat pedesaan untuk memilih Golkar, maupun organisasi-organisasi massa kepemudaan yang menjalankan kekerasan untuk tujuan yang sama. Seakan-akan Golkar adalah sebuah tubuh dengan sepasang tangan: Tangan sebelah kanan tak tahu apa yang dikerjakan oleh tangan sebelah kiri, dan sebaliknya. Intimidasi untuk memenangkan Golkar tercatat terjadi di beberapa daerah strategis, terutama di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Seorang jurnalis muda, aktivis pergerakan 1966, Hasyrul Moechtar, misalnya melaporkan peranan para buldozer itu di Jawa Barat. Salah satunya adalah organisasi kepemudaan AMS (Angkatan Muda Siliwangi) yang menjadi ujung tombak Golkar di medan laga. Dilaporkan betapa pemuda-pemuda dari Banser (Barisan Ansor Serbaguna) yang merupakan organisasi pemuda di bawah naungan NU menjadi sasaran tindakan kekerasan dari AMS sehingga betul-betul babak belur dan ‘bertekuk lutut’. Protes keras tokoh muda NU Subchan ZE yang vokal, bagai angin lalu. Padahal dalam rangkaian pembasmian massal terhadap pengikut PKI tak lebih dari 6 tahun sebelumnya, pasca Peristiwa 30 September 1965, Banser adalah barisan pemuda yang paling ditakuti.

Pola pemenangan Golkar di balik layar dengan menggunakan buldozer dari kalangan birokrasi, tentara dan organisasi kepemudaan yang agresif, dipraktekkan terus dalam sejumlah pemilihan umum berikutnya di masa Orde Baru. Konotasi buldozer itu sendiri amat lekat kepada pribadi Amirmahmud yang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri selama beberapa periode. Di atas kertas, tanpa menggunakan pola buldozer atau ‘kecurangan’ yang terstruktur, sistimatis dan massive seperti itu, Golkar sebenarnya tetap akan memenangkan pemilu demi pemilu. Namun, karena dalam lingkungan Golkar yang tersusun atas tiga jalur (ABG atau Abri-Birokrasi-Golkar) terjadi semacam rivalitas untuk tercatat sebagai yang paling berjasa, terutama di mata Soeharto, maka tak bisa terhindarkan terjadinya tindakan-tindakan over-acting. Selama rivalitas itu tetap berjalan, maka susu sebelanga dari Golkar akan tetap rusak ternoda oleh nila, yang bukan lagi hanya setitik tetapi bergumpal-gumpal. Proses seperti ini berlangsung terus secara eskalatif dari periode ke periode.

Pada periode Golkar dipimpin Sudharmono SH dan Ir Sarwono Kusumaatmadja (1983-1988) terjadi beberapa situasi khas. Kala itu, hubungan Sudharmono SH selaku Ketua Umum dengan pimpinan jalur A, Pangab Jenderal LB Murdani, ada dalam keadaan kurang nyaman. Jalur A cenderung tak melakukan supportasi kepada Golkar, bahkan berkali-kali LB Murdani yang lebih dikenal sebagai Benny Murdani melontarkan pernyataan yang tidak menguntungkan Golkar. Situasi ini amat berbeda dengan masa sebelumnya di mana ABRI menjadi salah satu penopang utama eksistensi Golkar. Golkar periode 1983-1988 lebih mengandalkan jalur keanggotaan dengan pendaftaran dan pemberian Kartu Anggota Golkar yang di dalamnya tercantum NPAG (Nomor Pokok Anggota Golkar). Bersamaan dengan itu diintrodusir karakterdes yang merupakan program pembentukan kader penggerak teritorial tingkat desa yang dengan giat dijalankan sekitar tiga tahun lamanya menjelang Pemilihan Umum 1987. Sudharmono SH juga intensif berkunjung ke seluruh propinsi yang ada (waktu itu ada 27, termasuk Timor Timur) dan hampir ke seluruh kabupaten dan kota yang jumlahnya 299 saat itu. Kunjungan dilakukan setidaknya dua hari setiap pekan sepanjang hampir lima tahun. Belum terhitung kunjungan yang dilakukan setiap unsur pimpinan DPP Golkar lainnya, yang boleh dikatakan tak membiarkan ada satu pun daerah yang tak terkunjungi dalam rangka penggalangan.

Saat berlangsungnya kampanye untuk Pemilihan Umum 1987, di beberapa daerah Golkar malahan mendapat banyak hambatan dan kesulitan dari pihak ABRI, mulai dari masalah perizinan sampai dengan pelarangan pawai kampanye maupun beberapa penindakan lainnya. Suatu keadaan yang justru tidak dialami oleh dua partai kontestan lainnya. Tak heran bila ada anggapan bahwa Benny Murdani banyak menyengsarakan Golkar. Artinya, Golkar ditinggalkan salah satu buldozer kemenangan, dan sementara itu Mendagri tidak lagi dijabat oleh Amirmahmud sang buldozer ‘legendaris’. Walau, tanpa kehadiran dua ‘mesin-kemenangan’ itu, tidak juga serta merta bisa dikatakan bahwa pemilihan umum tahun 1987 sepenuhnya bersih. Tetapi sungguh menarik bahwa justru dalam pemilihan umum kala itu Golkar memperoleh angka tertinggi di antara pencapaian sejak tahun 1971, yakni sebesar 73,17%. Analisanya formalnya menjadi, kemenangan tercetak karena ketangguham kader (sipil) Golkar menjalankan tugas 1 kader mencari 7 pemilih yang dikombinasikan dengan faktor blessing indisguise karena ‘ditinggalkan’ ABRI yang waktu itu terkenal sangat represif. Hanya saja, menjadi satu tanda tanya yang terselip, kenapa PDI yang saat itu mendapat lebih banyak dukungan dari pers karena mulai hadirnya Megawati Soekarnoputeri –sebagai trend di kalangan wartawan muda– hanya berada di urutan ketiga dengan perolehan 10,87% di bawah PPP yang memperoleh 15,97%?

Kemenangan terlalu besar, bisa menjadi pintu proses pembusukan. Kemenangan yang terlalu tinggi, sampai 70% lebih, pada sisi lain juga menimbulkan kekuatiran tertentu, tak terkecuali di kalangan pendukung Golkar sendiri yang di antaranya masih memiliki pikiran sehat dan idealistik tentang tercapainya demokrasi yang sejati ‘kelak’ di suatu waktu. Kemenangan yang terlalu besar bisa membawa masuk banyak pertarungan kepentingan ke dalam tubuh Golkar yang akan berujung pada menguatnya pola klik di dalam tubuh organisasi, dan merupakan pintu masuk bagi suatu proses pembusukan. Dalam kenyataan kemudian, memang itulah yang terjadi. Pada masa-masa berikutnya makin mengarus deras masuknya pengelompokan kepentingan ke dalam tubuh Golkar, termasuk mengarusnya anak-anak pejabat dan atau putera-puteri tokoh-tokoh teras pendukung Golkar untuk mengambil posisi kursi DPR dan lain sebagainya. Membuat tersisih begitu banyak kader yang berkualitas dan atau telah menunjukkan kerja keras untuk partai. Sehingga, menciptakankan situasi yang terasa tidak adil. Kalau anda anak atau kerabat seorang pejabat, tokoh teras partai, dan seterusnya, anda berhak menjadi anggota MPR atau DPR? Pada masa-masa berikutnya, merupakan hal yang makin biasa bila misalnya ayah, ibu, anak, menantu, kakak-beradik, ipar dan sebagainya bisa sama-sama duduk di MPR atau DPR dalam suatu pola dinasti yang feodalistik. Sebuah pertanyaan: Adakah kemiripannya dengan yang tampaknya akan terjadi usai Pemilihan Umum 2009 ini? Ada. DPR periode mendatang, sehari-hari akan menjadi ajang reuni keluarga, tempat bertemunya ayah-anak, suami-isteri dan para ipar, menantu, kakak, adik, paman, ponakan, besan. Pokoknya segala bentuk hubungan keluarga.

Pemikiran-pemikiran tentang bahayanya suatu posisi mayoritas yang overdosis inilah yang mungkin mempengaruhi beberapa pimpinan DPP Golkar berikutnya, di era Ketua Umum Wahono dan Sekjen Rachmat Witoelar (1988-1993). Tak ada sikap ngotot untuk mencapai kemenangan terlalu tinggi dalam Pemilihan Umum 1992. Tapi tak urung muncul juga kecaman terhadap apa yang dianggap ketidakmampuan DPP saat Golkar pada tahun 1992 ‘hanya’ memperoleh 68,10% suara, walau itupun masih lebih tinggi dari hasil Pemilihan Umum 1977  (62,11%) dan 1982 (64,34%). Golkar lalu kembali tancap gas pada era Harmoko, dengan berbagai risiko ekses, sehingga mencapai perolehan 74,51% dalam Pemilihan Umum 1997, lebih tinggi lagi dari era Sudharmono sepuluh tahun sebelumnya.

Secara keseluruhan, pencapaian-pencapaian Golkar sejak tahun 1971 hingga 1997, berada pada kisaran 60-74%. Kenaikan perolehan suara dari yang terrendah di tahun 1977 (62,11%) ke yang tertinggi di tahun 1997 (74,51%), hanya naik sekitar 19%. Masih kalah jauh oleh prosentase pencapaian spektakuler Partai Demokrat yang naik hampir tiga kali lipat. Tentu tak kalah spektakuler adalah pencapaian SBY yang dengan modal dasar partai peraih 20,80%, berhasil memenangkan pemilihan presiden dengan angka pencapaian 60,80% dalam satu putaran yang sesuai prosentasenya dengan apa yang telah ditetapkan semula. Seakan the invisible hand bekerja di sini, sebagaimana kemenangan-kemenangan Golkar di masa lampau senantiasa dikaitkan dengan bekerjanya tangan-tangan yang tersembunyi. Tapi, katakanlah di sini pada tahap ini, terkait kemenangan Partai Demokrat dan SBY tersebut, the invisible hand itu adalah the hand of God yang mengatur hati rakyat pemilih. Atau ada kesimpulan lain?

Golkar masa Harmoko dinilai paling akrobatik penuh penggembira. Kepengurusannya penuh dengan anak, mantu, ponakan dan isteri tokoh penguasa sipil maupun militer dari yang puncak hingga tingkat kedua dan ketiga. Hantaman kritik dan tuduhan kecurangan, juga membesar. Tetapi seperti biasanya, tuduhan kecurangan tak pernah berhasil ‘dibuktikan’. Karena, yang menuduh pun ada dalam situasi underquality, underdo dalam posisi underdog, undercourage et cetera. Bila di kemudian hari, setelah Soeharto tak lagi berkuasa, ada yang menggambarkan perlawanannya yang hebat terhadap rezim kekuasaan Soeharto, bisa dikatakan 9 dari 10, itu adalah cerita yang dilebih-lebihkan.

The invisible hand? BAGAIMANA dengan pemilihan umum masa reformasi? Seperti halnya dengan Pemilihan Umum 1955, maka Pemilihan Umum 1999 sebagai pemilu pertama pasca Soeharto, banyak dipuji sebagai pemilu paling demokratis dan bersih. Tetapi di balik itu ada laporan yang tak pernah ditindaklanjuti, tentang adanya ‘pengambilan’ suara partai-partai kecil di banyak TPS oleh partai-partai besar secara bersama-sama untuk diakumulasikan ke perolehan mereka. Partai-partai kecil ketika itu tak mampu menempatkan saksi-saksi di seluruh TPS yang tersebar di berbagai penjuru tanah air, sehingga tak mampu menjaga perolehan suara mereka masing-masing. Pemilihan umum 2004 sebenarnya juga tak sepi dari laporan kecurangan, tetapi perhatian lebih banyak tercurah kepada tanda-tanda kecurangan keuangan oleh beberapa komisioner KPU. Selain itu, dalam setiap kasus kecurangan pemilu dari masa ke masa, seakan-akan memang ada tangan-tangan rahasia yang selalu mampu mengelolanya menjadi tidak dipersoalkan lanjut. Entah siapa. Tetapi terlepas dari itu, apakah mungkin mengungkapkan suatu kecurangan yang terstruktur, sistimatis dan massive dalam suatu jangka waktu yang ringkas saja, dalam hitungan hari atau hitungan minggu? (Selesai, Rum Aly)

Kini, Kisah Tiga Jenderal: Jejak Rekam Masa Lampau (2)

Trauma dan ‘penganiayaan’ politik

Para penguasa baru pasca Soeharto, pun ternyata tak punya kemampuan untuk keluar dari lingkaran kekeliruan persepsi dan tak mampu menarik pelajaran dari sejarah, betapa pun mereka semua merasa paham sejarah dan sering mengulang-ulang pemeo ‘jangan lupakan sejarah’ atau ‘jangan sekali-kali meninggalkan sejarah’. Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid hingga Megawati Soekarnoputeri, dengan kadar yang berbeda-beda cenderung hanya mengulangi kekeliruan demi kekeliruan masa lampau, yang dilakukan Soeharto maupun yang dilakukan Soekarno. Belakangan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun dinilai melakukan beberapa kekeliruan khas kalangan penguasa Indonesia dari masa ke masa. Bisa dicatat pula betapa Susilo Bambang Yudhoyono memiliki tipikal kepemimpinan khas Jawa, yang banyak kemiripannya dengan gaya Soeharto.

Kelemahan-kelemahan yang ditunjukkan para penguasa baru pasca Soeharto maupun partai-partai politik di masa reformasi sebagai suatu realita kasat mata itulah yang menyebabkan munculnya pertanyaan, apakah harus kembali menoleh kepada sumber militer?

Menjelang Pemilihan Umum pertama di masa reformasi pada tahun 1999, lahir ratusan partai baru, namun hanya 48 di antaranya yang lolos kualifikasi sebagai peserta.  Tiga di antaranya, adalah ‘reinkarnasi’ dari partai lama yakni PPP, PDI-P yang merupakan ‘hasil’ pecahan PDI dan Partai Golkar yang adalah jelmaan Golkar. Tiga partai ini termasuk dalam deretan partai-partai yang lolos ke DPR hasil pemilihan umum, dan menjadi teratas bersama beberapa partai baru seperti PKB, PAN dan Partai Keadilan. Masih terdapat beberapa yang lain berhasil menempatkan wakil-wakil di DPR seperti PBB, PDKB. Menarik untuk diamati bahwa dua partai urutan teratas, PDIP dan Partai Golkar memberi tempat yang amat layak pada tokoh-tokoh eks tentara, sederet jenderal purnawirawan, pada dewan pimpinan pusat mereka, ataupun sebagai ‘wakil rakyat’ di DPR. Fenomena ini berlangsung hingga pemilu-pemilu berikutnya. Di PPP misalnya ada antara lain Letnan Jenderal Purnawirawan Yunus Yosfia dan Muhammad Ghalib. Sementara di PDIP Theo Sjafei dan kawan-kawan senantiasa ada di posisi terhormat selaku pimpinan partai dari satu periode ke periode lainnya. Tetapi tak kurang pula banyaknya barisan jenderal purnawirawan yang gagal membawa suara signifikan untuk partai-partai yang ikut mereka tangani, seperti misalnya Jenderal Rudini dan Edi Sudradjad. Partai Keadilan yang di pemilihan umum 2004 kemudian berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera, dengan ‘basis’ Islam, adalah partai yang menonjol tidak ikut arus menerima kader ex tentara. Di situ hanya ada Soeripto SH yang pernah berkecimpung dengan kelompok tentara di masa lampau dalam kiprah di dunia intelijen.

Fenomena yang paling menarik tentu adalah yang terjadi di PDIP di bawah pimpinan Megawati Soekarnoputeri. Partai ini lebih tertarik kepada sumber kader eks tentara daripada yang berasal dari kalangan perguruan tinggi. Tatkala Megawati, naik berkuasa sebagai Presiden menggantikan Abdurrahman Wahid yang putus di tengah jalan, praktis barisan gerakan kritis mahasiswa menjadi salah satu penentang utamanya, sebagai jawaban terhadap sikapnya yang juga tidak bersahabat terhadap kelompok mahasiswa –padahal ia tiba pada posisinya, semula sebagai Wakil Presiden lalu Presiden, tidak terlepas dari peranan besar mahasiswa yang berhasil membuat Presiden Soeharto terpaksa mundur dari kekuasaannya. Bila ia memiliki trauma terhadap ‘mahasiswa’ –yang sebagai kelompok pada tahun 1966 telah ikut menjatuhkan Soekarno sang ayahanda dari kekuasaannya– semestinya iapun memiliki trauma yang sama dengan tentara (ABRI) yang justru adalah juga pemegang andil utama lainnya dalam penggulingan Soekarno. Namun sebaliknya, ia malahan banyak memberi konsesi kepada tentara tahun 2000-an. Agaknya Megawati tak menyukai gaya kritik ala mahasiswa. Dalam pada itu tokoh-tokoh ABRI (TNI) pasca Soeharto tidak pernah mengeritiknya melainkan aktif melakukan pendekatan pada dirinya, terutama sebagai Presiden incumbent hingga tahun 2004.

Salah satu bentuk akomodasi Megawati terhadap para jenderal adalah dipertahankannya beberapa jenderal purnawirawan ex kabinet Abdurrahman Wahid dalam kabinetnya, yakni antara lain Susilo Bambang Yudhoyono dan Agum Gumelar yang sempat diparkir atau memarkir diri menjelang usaha dekrit Presiden Abdurrahman Wahid.

Dua jenderal ini sama-sama maju ke kancah Pemilihan Presiden secara langsung yang pertama kali di tahun 2004 sebagai pesaing Megawati. Agum Gumelar menjadi kandidat Wapres pasangan Hamzah Haz (ex Wapres pendamping Mega). Tetapi yang paling menarik perhatian adalah tampilnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pesaing Megawati dalam kancah itu. Semula, ada semacam ‘rancangan’ bersama untuk menjadikan SBY sebagai calon Wapres bagi Mega, tetapi gagal karena terjadi beberapa kecelakan komunikasi. Pada masa-masa akhir masa pemerintahan Mega, SBY yang menduduki posisi Menko Polkam, berkali-kali tak lagi diikutsertakan dalam rapat kabinet menyusul isu ketidakcocokannya dengan suami Mega, Taufik Kiemas. ‘Pengucilan’ SBY ditambah serentetan pernyataan serangan pribadi atas dirinya dari Taufik Kiemas menimbulkan kesan terjadinya penganiayaan politik, yang justru menjadi blessing in disguise bagi SBY berupa aliran simpati yang besar. Masyarakat pada sekitar saat itu amat sensitif terhadap korban penganiayaan dan akan cenderung membela yang ‘tertindas’. Megawati sendiri menjadi terapung karena faktor emosional seperti itu, ketika ia terkesan mengalami penindasan politik rezim Soeharto, yang mengalirkan dukungan simpati politik bagi dirinya.

Salah satu puncak penindasan terhadap Megawati adalah penyerbuan dan pendudukan kantor DPP PDIP di Jalan Diponegoro oleh massa ‘PDI’ yang didukung dari belakang oleh kekuatan militer rezim Soeharto pada Peristiwa 27 Juli 1997. Menarik bahwa tatkala penyerbuan berlangsung, Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu menjabat sebagai Kastaf Kodam Jaya dicatat kehadirannya tak jauh dari lokasi peristiwa. Akan tetapi dikemudian hari, kehadiran ini tidak dipermasalahkan lanjut karena mantan atasannya, Panglima Kodam Jaya, Sutiyoso membentengi dengan menyatakan bahwa seluruh tanggungjawab komando ketika itu ada di tangannya dan SBY tidak turut campur sehingga dengan demikian tidak bersalah.

Dalam kancah Pemilihan Presiden 2004, Megawati tampil didampingi Hasyim Muzadi Ketua Umum PB-NU sedang Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah sempat menunggu-nunggu konfirmasi Mega untuk posisi nomor dua, akhirnya maju sebagai pesaing berpasangan dengan Jusuf Kalla yang berlatar belakang pengusaha. Sebagai kendaraan politik utama, SBY membangun Partai Demokrat sebelumnya. Bersamaan dengan itu tampil juga seorang jenderal lain, yakni Wiranto, mantan Panglima ABRI yang pernah menjadi ajudan Presiden Soeharto, berpasangan dengan Solahuddin Wahid yang juga berlatar-belakang NU dan kebetulan adik kandung Abdurrahman Wahid.  Wiranto tampil setelah memenangkan konvensi Golkar, antara lain dengan menyisihkan Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto. Prabowo Subianto yang pernah ‘tinggal kelas’ karena satu masalah di Akabri adalah adik kelas Susilo Bambang Yudhoyono yang pada tahun 1973 adalah Komandan Taruna dan menjadi lulusan terbaik Akabri tahun itu. Masa pendidikan mereka berdua di Akabri kala itu, adalah masa yang khas karena saat itu Gubernur Akabri dijabat oleh seorang jenderal legendaris masa transisi 1965-1966, Mayor Jenderal (waktu itu) Sarwo Edhie Wibowo yang dikenal sebagai jenderal berintegritas tinggi. Bertiga, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Letnan Jenderal Hartono Rekso Dharsono dan Letnan Jenderal Kemal Idris, adalah barisan jenderal idealis yang dihormati kalangan perjuangan 1966, namun kemudian perlahan-lahan satu persatu disisihkan oleh Soeharto dari kekuasaan. Tanpa mereka, kekuasaan di tangan rezim militer pasca Soekarno di bawah Jenderal Soeharto pun berangsur-angsur menyimpang dari jalan lurus dan memasuki masa-masa penuh intrik, tekanan dan rangkaian penganiayaan politik.

Berlanjut ke Bagian 3