Tag Archives: Ahmadiyah

FPI dan SBY: Sekedar ‘Revolusi’ Angin Lalu

KETIKA dua tokoh Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab dan Munarman, bergantian menggertak dan mengancam akan menggulingkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bilamana tak membubarkan Ahmadiyah, banyak yang menyangka akan terjadi reaksi dan tindakan yang keras dari sang penguasa. Apalagi, karena memang setelah terjadinya insiden berdarah di Cikeusik, sang Presiden langsung meminta aparatnya untuk segera mencari jalan membubarkan organisasi-organisasi massa yang selama ini terlibat kekerasan. Terlepas dari terlibat-tidaknya FPI dalam dua tindakan kekerasan terbaru dengan pengatasnamaan agama di Cikeusik maupun Temanggung, sepanjang kriteria kekerasan, FPI memang termasuk di antara organisasi massa yang berada pada urutan teratas selama ini.

MILITAN ISLAM BERSENJATA, BUKAN SEKEDAR REVOLUSI SOSIAL. “Apakah FPI bisa mengobarkan suatu revolusi sosial? Ini tanda tanya besar, karena ia bukan suatu organisasi yang punya akar kuat di tengah umat…” (Source: jihadprincess)

Ancaman menggulingkan Presiden yang disampaikan secara terbuka oleh kedua tokoh FPI berkonotasi makar. Pernyataan dari seorang tokoh FPI lainnya, Misbahul Anam, memperkuat konotasi makar, bukan sekedar penyampaian dalam konteks kebebasan berbicara yang diperbolehkan dalam sistem demokrasi. Misbahul Anam dikutip pers mengatakan jika SBY tidak juga membubarkan Ahmadiyah paling lambat 1 Maret 2011, FPI akan melakukan revolusi sosial, seraya menyebutkan adanya dukungan sejumlah jenderal aktif maupun jenderal purnawirawan. Paling tidak ucapan dan perbuatan para tokoh FPI itu telah melanggar beberapa pasal KUHP, Buku Kedua, tentang kejahatan terhadap keamanan negara. Belum dalam kaitan dengan beberapa undang-undang lainnya. Bila ketiga tokoh FPI itu membatasi diri dengan menyatakan akan turut serta dalam upaya pemakzulan Presiden melalui jalan yang diatur dalam konstitusi, masih bisa dikatakan bahwa keduanya sekedar menggunakan haknya untuk berpendapat sebagai warganegara.

Paling tidak, sudah lima hari berlalu sejak ancaman penggulingan, namun SBY yang biasanya cepat curhat masih diam seribu bahasa, dan Kapolri Jenderal Timur Pradopo pun tak terdengar suaranya. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sementara itu, memilih berbaik-baik dan mengadakan pertemuan ramah tamah dengan sejumlah tokoh MUI dan Ormas termasuk FPI. Rupanya Menteri Dalam Negeri lebih takut kepada Habib Rizieq daripada kepada Sultan Hamengku Buwono X. Sewaktu kepada sang menteri ditanyakan kenapa FPI misalnya, tidak dibubarkan, dijawab bahwa organisasi itu tak bisa dibubarkan karena tidak terdaftar secara resmi di Kementerian Dalam Negeri. Kalau begitu, FPI organisasi liar, yang dibiarkan berjalan begitu saja? Mestinya, dengan demikian, FPI lebih mudah ditangkal dan ditindaki bila berkegiatan, apalagi yang bernuansa kekerasan dan main hakim sendiri. Nyatanya, pemerintah terkesan lalai, kalau bukannya justru takut. Jadi, kemungkinan besar takkan ada tindak lanjut secara hukum terhadap FPI. Semua dibiarkan terbawa angin lalu.

SIKAP cenderung gentar yang diperlihatkan Presiden maupun Kapolri dan Menteri Dalam Negeri, memperkuat anggapan publik –yang entah benar, entah setengah benar– bahwa FPI itu kuat karena selama ini ia menjadi perpanjangan tangan sejumlah jenderal (polisi, khususnya) untuk berbagai kepentingan. Tentu, semua orang masih ingat, betapa dramatis penggrebegan markas FPI beberapa tahun lalu usai Insiden Monas, saat polisi mengerahkan personil dalam jumlah berlebihan menghadapi massa FPI yang kecil saja. Akhirnya Habib Rizieq menyerah, diproses secara hukum, untuk selanjutnya tak begitu jelas lagi bagaimana penyelesaian sesungguhnya. Ibarat pentas satu babak saja. Terlihat bahwa setelah berkali-kali lolos dari jeratan hukum dan tindakan tegas pemerintah, sikap FPI pun mengalami eskalasi, semakin hari semakin berani dan militan. Ucapan terang-terangan untuk menggulingkan Presiden SBY, dan akan mengobarkan suatu revolusi sosial, menunjukkan betapa score keberanian FPI telah lebih meningkat.

Akan tetapi apakah FPI bisa mengobarkan satu revolusi sosial? Ini tanda tanya besar, karena ia bukan suatu organisasi yang punya akar kuat di tengah umat seperti halnya beberapa ormas Islam lainnya yang punya sejarah panjang, yang beberapa di antaranya bahkan lebih panjang dari sejarah Indonesia merdeka sendiri. FPI hanya sebuah organisasi ‘pendatang baru’ yang menonjol karena kemampuan (dan memiliki/diberi keleluasaan) melakukan tindakan yang fors dengan pengatasnamaan membela Islam. Terhadap tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan Islam, umat Islam Indonesia yang pada umumnya cintai damai cenderung merasa serba salah, sebenarnya tak setuju namun enggan menyatakan ketidaksetujuannya itu. Tapi tak urung, selama beberapa kali, bisa terlihat adanya benturan antara kelompok umat yang hilang kesabaran melawan massa FPI, manakala merasa tingkah laku massa FPI itu sudah berlebihan.

MUNGKIN saja, pada sisi sebaliknya, banyak kalangan internal FPI memang punya kecintaan terhadap Islam. Mungkin pula sebagian orang-orang yang bergabung ke FPI, seperti halnya dengan kalangan akar rumput yang lain, adalah orang-orang yang resah oleh serba ketidakadilan dalam kenyataan hidup sehari-hari di negeri ini. Tetapi, janganlah tergelincir menjadi merasa benar sendiri dalam mewujudkan kecintaan kepada agama itu, lalu berpretensi menghakimi sendiri apa yang dianggapnya tidak benar dan tidak adil. Bukalah pintu hati, dengar dan baca pula pandangan sesama umat dan sesama bangsa. Muhammad SAW sendiri suatu ketika menyesali perilaku kekerasan berdarah di sekitar perbukitan Makkah yang dilakukan Khalid bin Walid atas nama Islam pada pertengahan Januari 630. Melihat dan mendengar kata-kata Nabi Muhammad SAW saat memohon ampun kepadaNya di depan Ka’bah, lalu Abdurrahman bin Awf berkata kepada Khalid bin Walid, “Anda telah melakukan perbuatan jahiliyah di dalam Islam”.

Lingkaran Setan Indonesia: Ditindas dan Menindas

INDONESIA adalah negeri yang penuh dilema, kontradiksi, konflik dan paradox. Situasi itu terjadi dalam kehidupan bernegara, kehidupan politik, penegakan hukum, bermasyarakat dan beragama. Kekacauan situasi dan akibat psikologisnya berkecamuk dalam benak dan sanubari hampir semua orang: Kalangan penguasa, pelaku politik, penegak hukum, kalangan pers, pemuka masyarakat dan anggota masyarakat, maupun pemuka agama dan umatnya. Pola hubungan-hubungan yang tercipta juga menjadi dilematis dan sarat pertentangan nilai, antara penguasa dengan rakyatnya, antar institusi intra sistem, antara umat beragama satu dengan umat beragama lainnya yang seagama maupun tidak seagama, antara anggota masyarakat sendiri secara horizontal maupun secara vertikal.

“SETAN” (download: kompasiana.com). “Indonesia memang kini ada dalam suatu lingkaran setan kekacauan pilihan cara hidup… Ekonomi boleh bertumbuh… tapi ternyata tetap disertai ketidakadilan sosial … hasil pertumbuhan terkumpul di tangan segelintir penikmat kemajuan ekonomi dan kalangan kekuasaan”.

Penghasutan dan pertobatan. CONTOH paling aktual dari kekacauan situasi Indonesia, adalah dalam kehidupan beragama. Dalam waktu yang sangat berdekatan terjadi dua kekerasan dalam konteks pengatasnamaan agama. Minggu 6 Januari 2011 terjadi penyerbuan terhadap kelompok Ahmadiyah yang dianggap menyempal dari Islam, di Cikeusik Pandeglang Banten, oleh ratusan massa atas nama umat Islam –yang menganggap dirinya lebih benar dan lebih murni– yang menewaskan tiga orang. Lalu, pada hari Selasa 8 Januari 2011, usai melakukan perusakan Gedung Pengadilan Negeri Temanggung (Jawa Tengah), ratusan massa menggempur dan merusak tiga gereja di kota kabupaten itu.

Pada kedua peristiwa terbaru ini, Polri sebagai institusi penjaga ketertiban, seakan tak berdaya dan ketinggalan langkah. Dengan kegagalan Polri untuk kesekian kalinya ini, muncul kecaman-kecaman bahwa Negara telah gagal melindungi rakyatnya. Kecaman ini bisa dibenarkan, karena dalam berbagai kekerasan antar kelompok dalam masyarakat, pada umumnya memang terlihat betapa tak mampunya Polri memenuhi tugas paling mendasar itu. Bagaimana pula dengan tugas-tugas lainnya? Di Jakarta dan berbagai kota besar lainnya, bahkan di berbagai penjuru tanah air, orang mengeluh tentang ketakberdayaan Polri menghadapi kriminalitas yang meningkat.

Dalam kaitan kekerasan atas nama agama, adalah menarik bahwa dalam berbagai peristiwa, menjadi pengetahuan umum, selalu terlibatnya kelompok dan atau organisasi ekstrim yang dari itu ke itu juga. Menjadi pengetahuan umum pula bahwa, kelompok-kelompok seperti itu, bila ditelusuri, ada kaitannya dengan kalangan penguasa maupun kekuasaan politik. Satu-dua jenderal polisi dan angkatan tertentu, misalnya, pernah disebut-sebut namanya dalam ‘pembinaan’ kelompok ekstrim dan ‘militan’, yang bisa digunakan dalam rangka premanisme komersial maupun premanisme politik. Dan, kalangan kekuasaan negara, entah karena agak gentar, entah karena punya kepentingan tertentu, tak pernah melakukan pembenahan. Harus pula diakui bahwa kelompok-kelompok seperti itu selalu dipakai perannya dalam menghadapi pemilihan umum tingkat nasional maupun tingkat daerah, untuk berbagai pekerjaan kotor.

Terlepas dari itu, secara internal, para pemuka setiap agama memiliki pekerjaan rumah yang harus segera dirampungkan. Tak sedikit dari antara yang disebut pemuka agama, justru terlibat dengan penghasutan-penghasutan yang makin mempertajam kesempitan berpikir yang memang masih cukup subur di kalangan umat. Bukan hanya dalam kaitan kekerasan antar umat beragama, tetapi bahkan hingga tindakan ekstrim berupa terorisme. Agaknya hingga sejauh ini kita semua belum berhasil untuk memfilter manusia-manusia ekstrim dan tidak sehat jiwa dan hati nuraninya, agar tidak justru menjadi pemuka-pemuka agama. Seringkali seseorang yang hanya karena sekedar fasih menyampaikan retorika agama –yang belum tentu benar dan shahih– dalam satu dua kali acara ceramah, tiba-tiba saja sudah diakui sebagai ustadz, muballigh dan yang semacamnya. Entah ia berasal dari kelompok ekstrim, bekas narapidana, bekas pecandu narkoba dan sebagainya –maaf, ini bukan generalisasi berdasar prasangka belaka– yang belum jelas betul kadar pertobatannya. Ini adalah bagian dari kelemahan masyarakat kita. Pendidikan yang lebih baik, mungkin akan mampu membuat masyarakat memiliki kemampuan memfilter sendiri siapa yang akan diberinya legitimasi sebagai pemuka agama dan guru yang baik dan pantas bagi mereka.

Paradoks pemberantasan korupsi. TAK kalah aktual adalah situasi kekacauan dalam pemberantasan korupsi. Paling kontradiktif dan dilematis di sini adalah bahwa kita, mau tidak mau, masih menggantungkan diri kepada kalangan kekuasaan negara dalam gerakan pemberantasan korupsi. Padahal, kita pun tahu bahwa para pelaku korupsi itu justru paling banyak adalah dari kalangan kekuasaan itu sendiri. Bangsa ini telah mencoba menggeser peran itu kepada sebuah lembaga ekstra KPK, tetapi senasib dengan lembaga-lembaga serupa yang pernah dibentuk dari satu rezim ke rezim kekuasaan lainnya, lembaga ekstra pemberantasan korupsi ini sendiri tak henti-hentinya dilemahkan, termasuk oleh kalangan DPR-RI yang diharapkan bisa menjadi penyokong utama pemberantasan korupsi. Tetapi rupanya, karena lembaga-lembaga legislatif kita diisi dengan rekrutmen melalui partai-partai yang pragmatis dan membesarkan diri dengan politik uang, maka untuk sementara tak ada yang bisa diharapkan dari sana. Bahkan sebaliknya, mungkin saja malapetaka bagi pemberantasan korupsi bisa berasal dari sana. Kasus suap dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI Miranda Goeltom, menjadi salah satu buktinya. Demikianlah, kita bisa melihat betapa lembaga-lembaga pemerintahan (eksekutif), penegak hukum dan peradilan (eksekutif dan judikatif) serta anggota-anggota DPR (legislatif) berada dalam suatu paradoks, dianggap berlawanan dengan para pelaku korupsi, tetapi nyatanya untuk sebagian menjadi bagian dari perilaku korupsi itu.

Dan, kata siapa, tak ada pemuka yang mengkorup dana umatnya, dan atau memperkaya dirinya sendiri dengan ‘memanipulasi’ kepercayaan umat? Tak kalah celakanya, betapa banyak umat yang berasal dari kalangan akar rumput yang dalam kehidupan sehari-hari telah tertindas habis –oleh ketidakadilan sosial-ekonomi dan mungkin juga hukum, serta tertindas oleh penertiban tidak manusiawi oleh aparat pemerintah– kemudian dipermainkan dan dieksploitasi keyakinan agamanya oleh para pemuka yang dipercayanya untuk melakukan kekerasan atas nama agama. Hal yang sama, tak kalah sering terjadi dalam praktek politik praktis sehari-hari. Kemarin ditindas, hari ini menindas, besok mungkin tertindas lagi, seperti putaran roda pedati saja.

Menyuarakan kebenaran dan kebohongan. BAGAIMANA dengan pers dan media –yang hari ini merayakan Hari Pers Nasional bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kupang? Pers juga menjadi bagian dari kekacauan situasi negara. Bila masyarakat lingkungannya sakit, ia pun ikut sakit. Dan pada gilirannya, ia menularkan lagi sakit itu ke masyarakat. Bagi banyak penyelenggara pers sekarang ini, idealisme pers dengan segala etika kehormatan yang melekat pada dirinya, hanyalah sesuatu yang usang. Komersialisasi dan rating jauh lebih penting dalam konteks ‘idealisme’ baru yang bernama ‘pragmatisme’. Dalam pemberantasan korupsi misalnya, tak bisa dipungkiri, betapa sering sangat bermaknanya peran pers, tapi dalam beberapa peristiwa betapa sering pula media pers (katakanlah media pers tertentu) menyediakan diri jadi forum bela diri yang ampuh bagi kelompok koruptor dan mafia hukum bersama pengacara hitam mereka. Mungkin saja bela diri itu tidak sepenuhnya dipercayai publik, tetapi setidaknya bisa mengacaukan keyakinan publik.

“ADU AYAM” (Lukisan Hendro Iswanto). “Forum diskusi yang ditayangkan kadangkala lebih mirip tontonan adu ayam, dalam bentuk diskusi-diskusi yang vulgar…”

Pers –cetak maupun elektronik– bisa menjadi pembela rakyat kecil di garis terdepan, tetapi pada kesempatan lain bisa juga menyalurkan insinuasi dan menyampaikan kepentingan kelompok eksklusif yang anti rakyat, karena dibayar. Pers bisa menyuarakan kebenaran, tetapi juga bisa menyuarakan kebohongan secara tak bertanggungjawab. Hal yang terakhir ini bisa terjadi terutama pada pers yang batang nyawanya dipegang oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu secara politis maupun ekonomis. Dalam menjalankan tugas-tugas mulianya sebagai kekuatan keempat selain eksekutif, judikatif dan legislatif dalam kehidupan bernegara, pers kerapkali menjadi sasaran penindasan, terutama terhadap kebebasannya. Tak jarang beberapa jurnalis menjadi korban kekerasan sehingga kehilangan nyawa. Tetapi saat menikmati kebebasannya pers pun bisa menjadi sangat otoriter, keji dan sama sekali tak beretika, lupa akan tujuan kegunaan sebenarnya dari kebebasan pers itu. Beberapa media menyediakan diri sebagai senjata fitnah dan ladang pembunuhan karakter orang lain, atau setidaknya mengeksploitasi masalah-masalah pribadi orang lain untuk kepentingan rating walaupun tak ada aspek kepentingan umumnya. Paling kurang sakitnya, adalah pers menutup mata, atau tidak konstan (gembos) dalam mengikuti suatu proses peristiwa yang menarik perhatian dan dikritisi publik..

Media elektronik, khususnya penyelenggara siaran televisi, barangkali adalah salah satu jenis pers yang harus bisa lebih menata diri. Beberapa forum diskusi yang ditayangkannya kadangkala lebih mirip tontonan adu ayam dalam bentuk diskusi-diskusi yang vulgar, daripada sebagai sarana pendidikan demokrasi. Tak jarang ditayangkan wawancara-wawancara dengan narasumber fiktif atau paling tidak narasumber yang tak berkompeten dan tak bernalar. Infotainmentnya, minta ampun, seringkali tak mengenal lagi batas etika.

Sebagian tayangan hiburannya juga memprihatinkan. Banyak tayangan hiburan yang cukup baik, tapi tak kalah banyak tayangan dengan kualitas sebaliknya. Sinetron misalnya, episode-episode demi episodenya penuh dengan tokoh-tokoh antagonis, penuh intrik, penuh siasat dan perbuatan licik dan biasanya unggul mengalahkan tokoh-tokoh baik. Seakan-akan mengajarkan bahwa pada masa sekarang ini, kebaikan pasti kalah  oleh kejahatan dan kelicikan, jadi kalau mau berhasil jadilah orang jahat dan licik. Memang, pada akhirnya kebaikan menang juga terhadap kejahatan pada 1-2 episode terakhir. Jadi, kalau sebuah sinetron semacam itu ditayangkan 100 episode dalam 100 malam, selama 98 malam dipertontonkan kejahatan menang terhadap kebaikan, dan hanya dalam 1-2 malam kebenaran menang terhadap kejahatan. Ini secara tak langsung merupakan penindasan terhadap moral.

Demikianlah pers kita masa kini. Sesekali tertindas tapi pada kali lain menjadi penindas. Berperan dan dipercaya sebagai pahlawan kebebasan, namun sesekali tergelincir membantu menindas kebebasan orang lain. Kepala sebagian pengelolanya berisi idealisme, namun kerapkali perutnya menuntut komersialisasi. Bisa dimengerti, karena ada keadaan tertentu telah membuat manusia-manusia yang masih idealis terpaksa bekerja dengan para pemilik uang yang belum tentu idealis karena mengutamakan aspek komersial. Kita tak bisa menebak, bagaimana akhir cerita dari persenyawaan dua jenis manusia itu dalam institusi masyarakat yang dikenal sebagai kekuatan pers ini nanti.

Akhirnya, sebuah lingkaran setan. INDONESIA kini memang ada dalam suatu lingkaran setan kekacauan pilihan cara hidup. Juga dalam lingkaran dilema dan kontradiksi. Ekonomi boleh bertumbuh, tahun ini lebih baik dari tahun lalu, tapi ternyata tetap disertai ketidakadilan sosial, kesenjangan ekonomi makin menganga karena hasil pertumbuhan terkumpul di tangan segelintir penikmat kemajuan ekonomi dan kalangan kekuasaan. Angka-angka kesenjangan itu, dalam situasi yang teramu dengan kegagalan kehidupan politik dan kegagalan penegakan hukum, cukup mengerikan dan efek terornya bisa melebih terorisme yang dijalankan kaum fundamentalis yang ekstrim.

Demokrasi Indonesia: Dari Tirani Minoritas Hingga Tirani Mayoritas

“Mendasarkan diri semata-mata pada dimensi kuantitatif bisa menyebabkan terjadinya tirani mayoritas, sesuatu yang tidak benar sekalipun bisa menjadi benar asalkan didukung oleh mereka yang lebih banyak. Dan di belakang layar, dengan kecerdikan tertentu segelintir orang bisa mengendalikan arah massa mayoritas untuk kepentingannya sendiri dan pada saat itu terjadi apa yang disebut tirani minoritas. Di masa kekuasaan Soekarno dan Soeharto, pada hakekatnya telah terjadi tirani minoritas, sementara pada masa sesudahnya hingga kini cenderung terjadi tirani mayoritas yang di belakangnya ada aroma tirani minoritas”.

CUKUP mencengangkan sebenarnya pandangan-pandangan beberapa tokoh kekuasaan dan pemerintahan belakangan ini mengenai beberapa hal, termasuk mengenai demokrasi. Paling menarik perhatian tentu saja pernyataan-pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, tak kalah menarik perhatian adalah pernyataan salah seorang menterinya, Gamawan Fauzi. Agaknya semua orang bersepakat, Gamawan Fauzi, yang kini menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, sejauh ini ‘masih’ termasuk tokoh baik yang ada di dalam pemerintahan. Ia pernah menjabat sebagai seorang bupati dan kemudian sebagai Gubernur Sumatera Barat. Tapi, bagaimana selanjutnya?

The few good man. Sepak terjang Gamawan Fauzi yang dianggap lurus selama dalam jabatan pemerintahan di daerah, menghasilkan suatu award yang memberi dirinya legitimasi sebagai tokoh bebas korupsi dan punya komitmen dalam pemberantasan korupsi. Meminjam judul sebuah film lama, ia termasuk ke dalam the few good man, yang ada di lingkaran kekuasaan. Tentu, ia tak sendirian sebagai orang baik, dalam pengertian bersih, sebagai suatu kualitas yang dibutuhkan dalam kekuasaan negara yang sehat. Masih ada beberapa orang lainnya yang bisa diberi kategori tersebut, meski juga terdapat semacam pendapat yang banyak disepakati bahwa di lain pihak, semakin hari semakin menonjol pula keberadaan orang berkategori ‘the bad’ dan ‘useless’ dalam lembaga-lembaga kekuasaan negara kita. Antara lain karena tak berlakunya lagi syarat kompetitif yang sehat dan normal dalam proses rekrutment serta merit system dalam sistem pemerintahan dan kekuasaan di negara kita. Kekuatan uang misalnya, telah menjadi syarat yang boleh dikatakan terpenting, mengalahkan syarat-syarat ideal.

Sebagai orang dengan pribadi dan integritas yang baik, Gamawan Fauzi dalam kedudukannya sebagai Menteri Dalam Negeri, sayangnya, tidak selalu memiliki pandangan dan sikap yang mengesankan. Berkali-kali ia bersikap gamang dalam menghadapi sejumlah masalah yang dihadapi dalam tugasnya pada posisi lebih tinggi dari sekedar seorang gubernur atau bupati itu. Beberapa pernyataannya setelah menduduki posisi penanganan pemerintahan dan kehidupan politik dalam negeri, dalam suatu skala nasional, kerap menimbulkan pertanyaan dan kesangsian. Pertanyaan itu terutama mengenai seberapa jauh ia memiliki kedalaman dan ketajaman pandangan serta kearifan terhadap berbagai masalah yang berkaitan dengan tugasnya itu? Salah satunya adalah hal mendasar mengenai pemahaman tentang demokrasi.

Tulisan ini bisa dipastikan tidak berpretensi untuk menilai, menguji ataupun menggurui, melainkan terutama untuk menyatakan keheranan mengenai ucapan-ucapannya terkait demokrasi tatkala mengomentari beberapa perkembangan yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta beberapa waktu belakangan ini.

Tentang unjuk rasa yang marak di Yogyakarta, maupun ‘sidang rakyat’, yang secara umum mendukung penetapan bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Gamawan Fauzi menyatakan keyakinannya bahwa tidak semua dari 3,5 juta rakyat Yogya menolak usul pemerintah yang menginginkan mekanisme pemilihan langsung seperti halnya dengan propinsi-propinsi lainnya di Indonesia. Lalu, pada kesempatan berikut, ketika berada di Padang, ia ‘memperhadapkan’ DPR-RI versus DPRD DIY dalam soal keputusan mengenai status keistimewaan Yogyakarta. Padahal, belum tentu DPR dalam membahas RUU Keistimewaan DI Yogyakarta, akan menempatkan diri berhadapan dengan DPRD DIY, dan belum tentu DPR takkan menyerap aspirasi ‘sebagian’ rakyat Yogyakarta. Apalagi, semua proses di DPR itu, belum lagi berlangsung, dan baru akan terjadi awal tahun depan setelah masa reses DPR. Mungkinkah Menteri Dalam Negeri merasa telah berhasil melakukan pengaturan-pengaturan tertentu sehingga sudah bisa tiba pada semacam ‘kesimpulan’ bayangan? Tugas seorang Menteri Dalam Negeri adalah ‘membina’ kehidupan politik dalam negeri, bukan menjadi pelaku politik praktis.

Ketika berada di Padang itu, menurut pemberitaan pers, Gamawan Fauzi mengingatkan bahwa status DIY dalam RUU Keistimewaan DIY, yang diserahkan Kementerian Dalam Negeri kepada Sekretariat Negara adalah keputusan rakyat Indonesia. “Keputusan mengenai hal istimewa atau khusus mesti ditanyakan lebih dulu kepada rakyat Indonesia, yang diwakili DPR. Tak bisa semata-mata berdasarkan pada pendapat warga Yogyakarta, dalam hal ini diwakili DPRD”, ujarnya (Kompas, 15/12). “Keistimewaan itu diatur dengan undang-undang, bukan peraturan daerah (perda). Jika ingin membuat perda, tanya rakyat Yogyakarta. Tetapi dengan undang-undang, tanya rakyat Indonesia”. Kita tahu bersama, hingga kini pemerintah belum pernah bisa membuktikan telah bertanya dengan sungguh-sungguh kepada rakyat setiap kali mengambil keputusan, semua seakan diterka-terka saja, karena pemerintah memang belum punya mekanisme dan metode yang tepat untuk menyerap pendapat rakyat. Undang-undang tentang Referendum telah dihapus. Dan khusus mengenai soal keistimewaan Yogyakarta, bagaimana saat ini ada yang bisa memastikan apakah rakyat Indonesia di wilayah lain akan mendukung atau tidak mendukung aspirasi rakyat Yogya tentang penetapan Gubernur/Wakil Gubernur, sebelum melakukan penelitian yang akademis atau sekalian referendum? Para pemerintah kita, dari waktu ke waktu tidak punya kebiasaan bertanya kepada seluruh rakyat sebelum mengambil keputusan mengenai keistimewaan suatu daerah, seperti misalnya mengenai bentuk pemerintahan di Nanggroe Aceh Darussalam atau Otonomi Khusus Papua.

Pada hari yang sama, saat Menteri Dalam Negeri masih bersikeras dengan pendapat-pendapatnya, Presiden SBY sendiri seperti yang digambarkan oleh salah seorang staf khususnya, justru mengupayakan satu titik temu dalam soal Keistimewaan Yogyakarta. Bahkan, dikabarkan, bersedia bertemu dengan Sultan Hamengku Buwono X untuk membicarakannya.

Tentu keyakinan Menteri Dalam Negeri bahwa tidak semua dari 3,5 juta rakyat Yogya menolak usul pemerintah –tepatnya keinginan presiden/pemerintah– agar pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur DIY dipilih melalui pemilihan langsung, tidak meleset. Karena sejak kapan manusia bisa memiliki pendapat yang 100 persen sama, atau dalam konteks demokrasi, ada pilihan yang didukung 100 persen? Kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 pun tidak 100 persen didukung manusia Indonesia, karena masih saja ada yang menghendaki dan mendukung kolonial Belanda kembali berkuasa di Indonesia. Meminjam gaya Gamawan, kita juga bisa mengatakan bahwa tidak semua rakyat Indonesia mendukung SBY, meski secara formal meraih tak kurang dari 60 persen suara pemilih dalam Pemilihan Presiden yang lalu. Jadi, ucapan-ucapan tentang keyakinan seperti yang disampaikan Menteri Dalam Negeri, itu adalah ucapan yang tidak perlu. Kecuali, Menteri Dalam Negeri ingin beretorika untuk mensugesti agar sebanyak-banyaknya rakyat Yogya mulai menolak keistimewaan hak Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam (dan para keturunan mereka) untuk dengan sendirinya menjadi Gubernur/Wakil Gubernur DIY.

Tirani mayoritas dan tirani minoritas. Mempertentangkan aspirasi seluruh rakyat Indonesia dengan (sekedar) aspirasi rakyat Yogya, juga adalah tidak pada tempatnya. Terkesan mengandung penyodoran kontradiksi, antara yang banyak versus yang sedikit, antara seluruh versus yang sebagian kecil, skala nasional versus skala lokal, yang intinya menekankan mayoritas harus mengalahkan minoritas. Dalam demokrasi, dimensi kuantitatif memang menjadi salah satu faktor, khususnya dalam pengambilan keputusan bila memang suatu keputusan harus ditetapkan untuk suatu kepentingan umum yang besar. Maka ada mekanisme voting dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat, dan ada metode pemilihan langsung dalam penentuan posisi pada lembaga-lembaga legislatif maupun eksekutif.

Namun, dimensi kuantitatif dalam demokrasi tidak berdiri sendiri dan terlepas dari suatu dimensi kualitatif. Dalam dimensi kualitatif, yang diperhitungkan adalah faktor kebenaran (yang sudah berlaku secara universal) dan pertimbangan keadilan (yang bersumber pada kebenaran), yang terlepas dari pertimbangan-pertimbangan eksklusif (ideologi, agama, ras, kesukuan, kelas sosial dan ekonomi). Dalam hal ini, kebenaran bisa datang dari manapun dan dari siapa pun, bisa dari mayoritas maupun minoritas, dan bisa datang bahkan dari satu orang, karena ia merupakan esensi, bukan soal pemungutan suara atau dukungan. Bila dalam dimensi kuantitatif yang lebih banyak adalah mayoritas, maka dalam dimensi kualitatif kebenaran adalah mayoritas.

Dengan memiliki kedua dimensi, demokrasi menjadi lebih baik sebagai jalan hidup dan cara bernegara. Mendasarkan diri semata-mata pada dimensi kuantitatif bisa menyebabkan terjadinya tirani mayoritas, sesuatu yang tidak benar sekalipun bisa menjadi benar asalkan didukung oleh mereka yang lebih banyak. Dan di belakang layar, dengan kecerdikan tertentu segelintir orang bisa mengendalikan arah massa mayoritas untuk kepentingannya sendiri dan pada saat itu terjadi apa yang disebut tirani minoritas. Di masa kekuasaan Soekarno dan Soeharto, pada hakekatnya telah terjadi tirani minoritas, sementara pada masa sesudahnya hingga kini cenderung terjadi tirani mayoritas yang di belakangnya ada aroma tirani minoritas.

Tirani minoritas adalah ayah kandung dari kediktatoran dan atau otoriterisme, sedangkan tirani mayoritas adalah ibu kandung dari anarki. Dalam tirani mayoritas, mereka yang merasa lebih banyak –dan karenanya lebih benar– bisa menghakimi minoritas, misalnya menghakimi minoritas Ahmadiyah dan sekalian membakar mesjid-mesjid mereka, bisa menghakimi sendiri moral orang lain, memaksakan kehendak kepada orang lain, pokoknya bisa melakukan apa saja atas nama mayoritas. Dalam tirani minoritas, banyak hal yang dilakukan dengan pengatasnamaan rakyat namun pada hakekatnya rakyat justru ditindas atas namanya sendiri. Dalam tirani minoritas, perilaku korup bisa unggul dalam suatu situasi mayoritas menyatakan sikap anti korupsi, karena sebenarnya para pelaku korupsi secara terselubung sudah menjadi mayoritas dalam pusat-pusat kekuasaan negara, kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi. Pada umumnya di belakang tirani mayoritas berdiri tirani minoritas dalam posisi saling menggunakan. Maka terjadi banyak aksi massa yang diprovokasi dan dibiayai oleh segelintir pemangku kepentingan, baik yang berada di luar pemerintahan dan kekuasaan politik maupun yang ada di dalam pemerintahan dan kekuasaan politik. Dan dalam dimensi ruang dan waktu yang sama, cenderung dilahirkan berbagai undang-undang yang berlatar kepentingan sesaat dan eksklusif, bukan untuk sebenar-benarnya kepentingan bersama seluruh rakyat. Kecenderungan yang membuat demokrasi menjadi semu ini, sangat terasa dalam setidaknya pada satu atau dua dekade terakhir.

Sebagai kisah penutup, adalah pengalaman Menteri Dalam Negeri di DPR Kamis 16 Desember, saat mewakili pemerintah mengikuti Sidang Paripurna pengesahan RUU Perubahan atas UU No.2 tahun 2008 tentang Partai Politik. Setelah menyampaikan tanggapan pemerintah tentang pengesahan UU Perubahan itu, Menteri Dalam Negeri meminta waktu untuk menjelaskan mengenai RUU Keistimewaan Yogyakarta. Pimpinan sidang, Wakil Ketua DPR Pramono Anung, tidak memberi kesempatan mengingat agenda hari itu bukan mengenai RUU Keistimewaan Yogyakarta. Menteri Dalam Negeri tetap bersikeras dan berusaha tetap memberikan penjelasan, dengan alasan di awal sidang ada interupsi anggota DPR yang menyinggung soal itu sambil melontarkan tuduhan bahwa dirinya over acting dalam soal tersebut. Pers mengutip ucapan protesnya, “Alangkah tidak adilnya. Mereka boleh bicara, tetapi saya tidak boleh menanggapi… itu artinya ada diskriminasi”. Diiringi teriakan ramai sejumlah anggota DPR agar sang menteri turun, Gamawan Fauzi menunjukkan kekesalannya, turun dari podium menuju meja pimpinan sidang menyerahkan sejumlah berkas, lalu walk out.

Mungkin saja, insiden ini merupakan cerminan ‘perang’ kecil-kecilan antara sikap bernuansa tirani mayoritas versus sikap bernuansa tirani minoritas

Siapa Berhak Menjadi Wakil Tuhan di Dunia?

“Manusia hanya mampu memberikan keadilan dan kebenaran yang mendekati kebenaran dan etika keilahian sedekat mungkin, yakni melalui sistem hukum yang disusun melalui kesepakatan bersama. Dengan demikian manusia harus membatasi diri dengan keadilan dan kebenaran berdasarkan dan sesuai dengan sistem hukum yang mereka sepakati bersama, sedekat-dekat nilai keilahian, namun jangan tergelincir bermain-main sebagai wakil atau tangan Tuhan di muka bumi ini”.

PERTANYAAN ini mendasar: Siapa manusia yang berhak menjadi wakil dan tangan Tuhan di dunia? Nabi Muhammad SAW, satu kalipun tak pernah menggambarkan dirinya secara berlebih-lebihan sebagai wakil atau tangan Tuhan di dunia. Dengan penuh kerendahan hati, dalam sebuah shalat berjamaah hanya 18 hari sebelum wafat pada 3 Juni tahun 632, dalam khutbah terakhirnya ia mengatakan “sesungguhnya aku ini adalah Nabimu, pemberi nasehat dan penyeru manusia ke jalan Tuhan dengan izinNya belaka”. Para raja di berbagai benua –Eropa dan Asia maupun Afrika– lebih pongah, karena berani menyebutkan diri sebagai ‘perwujudan’ kekuasaan Tuhan di muka bumi ini. Konsep raja sebagai wakil Tuhan juga dianut di Kesultanan Demak masa awal, pada kurun waktu sembilan wali.

Detik-detik kematian Muhammad SAW digambarkan berlangsung dengan tenang di pangkuan isterinya Siti Aisyah. Senyuman lembut hadir di wajahnya yang berseri-seri dan damai. Namun sepeninggalnya, banyak di antara para pemeluk agamanya kerapkali menampilkan wajah yang tak damai. Sama halnya dengan sejumlah penganut agama yang diajarkan Isa AS –yang dikenal oleh umatnya sebagai Jesus Kristus– tak sedikit dari penganut agama wahyu yang diperkenalkan Muhammad SAW, pun tak mampu berdamai dengan dirinya sendiri dan dengan yang se-iman se-agama, apalagi dengan mereka yang tak se-iman tak se-agama. Bila Nabi Muhammad sekali dalam hidupnya pernah terpaksa melakukan perang jihad melawan kebathilan kaum Quraisy di negerinya sendiri, atas nama Islam dan untuk Islam, sejarah menunjukkan bahwa sebaliknya pada zaman sesudah Nabi banyak perang yang dilakukan atas nama Islam namun sebenarnya tidak selalu untuk Islam. Mulai dari ‘perang’ yang besar –Perang Salib I hingga Perang Salib VIII di abad-abad lampau, pertumpahan darah di Palestina dan Afghanistan pada abad sekarang ini– sampai pertengkaran yang kecil-kecil saja namun berdampak besar pada akhirnya karena melibatkan agama.

Salah satu nasehat Nabi Muhammad yang paling mulia namun tampaknya amat sulit dipahami sebagian terbesar umatnya, adalah nasehat “bila engkau dilempar dengan batu, balaslah olehmu dengan kapas”. Pengikut-pengikut awal Muhammad SAW adalah orang-orang Arab yang berdarah panas. Mereka lebih paham terhadap dogma mata dibalas mata, nyawa dibayar nyawa, yang sesuai dengan budaya kekerasan balas berbalas dalam kehidupan gurun bangsa-bangsa Arab, daripada batu dibalas kapas. Dogma keras seperti itu kerapkali dikaitkan dengan apa yang disebutkan qisas. Sementara itu bagi Muhammad SAW qisas lebih ditujukan sebagai kesediaan yang ikhlas menerima akibat setimpal dengan kesalahan diri sendiri terhadap orang lain. Ini terlihat dalam kisah Nabi dengan seorang lelaki bernama Ukasah Ibn Mukhsin.

Masih dalam penyampaian khutbah terakhirnya, Nabi mengundang barang siapa yang merasa pernah teraniaya olehnya untuk melakukan qisas pada dirinya mendahului qisas di hari kiamat nanti. Ukasah tampil menceritakan bahwa dalam perang Badar ia pernah menghampiri Nabi yang sedang menunggang untanya, untuk mencium paha Nabi. Namun pada saat yang sama Nabi kebetulan mengangkat cambuknya untuk memacu sang unta. Ukasah mengaku cambukan Nabi mengena sisi samping tubuhnya yang kala itu tak berbalut kain. “Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak sengaja, ya Rasul Allah”. Meskipun diprotes para hadirin yang lain, Nabi menyuruh Bilal mengambil cambuk di rumah dari Fatimah puterinya. Setelah cambuk telah diambil, Nabi membuka bajunya dan mempersilahkan Ukasah mengambil qisas dengan mencambuk dirinya. Tapi Ukasah bukannya mencambuk melainkan mencium tubuh Nabi dan berkata, “Siapa pula yang tega mengambil kesempatan qisas pada dirimu ya Rasul”, ujar Ukasah, “aku hanya berharap dapat menyentuh tubuhmu yang mulia dengan tubuhku”.

TUMPAHNYA darah atas nama dan atau pengatasnamaan agama, bukan keadaan yang asing di Indonesia. Selain peristiwa pemberontakan DI-TII yang dilatarbelakangi keinginan membentuk Negara Islam Indonesia, Indonesia juga didera berbagai peristiwa kekerasan atas dasar perbedaan agama, bahkan rangkaian terorisme yang menyalahgunakan nama Islam seperti yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini. Peristiwa berdarah di Koja Tanjung Priok 14 April yang lalu, adalah peristiwa dengan latar depan bernuansa kesalahpahaman agama, namun sebenarnya berlatarbelakang sengketa hak atas tanah makam.

Terkait dengan peristiwa yang disebut terakhir ini, adalah sungguh menarik bahkan amat menakjubkan melihat penampilan Habib Rizieq, pimpinan sebuah organisasi bernama Front Pembela Islam (FPI), ketika menjadi penengah bagi pihak yang berbenturan dalam peristiwa tersebut. Menakjubkan, karena selama ini terkesan organisasi yang dipimpinnya senantiasa bersikap dan berpikiran radikal, menganggap diri benar sendiri dan untuk itu tidak segan-segan melakukan aksi-aksi sepihak yang bernuansa menghakimi sendiri berbagai persoalan, dengan mengatasnamakan Islam. Menempatkan diri seakan-akan sebagai sumber keadilan dan kebenaran di muka bumi Indonesia ini. Mulai dari mengambilalih wewenang polisi melakukan razia-razia di tempat-tempat rekreasi dan hiburan malam, membubarkan apel ‘Aliansi untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan’ pada tahun 2008 lalu di Monas dan menyerbu pusat-pusat kegiatan kelompok Ahmadiyah. Tetapi tatkala menjadi penengah dalam sengketa pasca benturan berdarah di Koja Tanjung Priok, Habib Rizieq menjadi bagaikan hujan sehari yang berhasil membasahi bumi yang kering oleh kemarau panjang dan menciptakan kesejukan. Pemimpin FPI tampil bijak dan menjadi pembuka pintu jalan bagi solusi masalah.

Namun, sungguh mengecewakan, bahwa hanya selang belasan hari sesudahnya, pekan lalu sejumlah anggota organisasi itu kembali menunjukkan ‘kebiasaan’ lamanya. Sejumlah anggota FPI menyerbu pertemuan dan pelatihan HAM bagi sejumlah waria –kelompok marginal yang lahir sebagai lelaki namun secara piskologis merasa sebagai perempuan– yang diselenggarakan di Depok bersama Komnas HAM. Massa FPI mengobrak-abrik tempat pertemuan seraya melontarkan caci maki, seperti yang bisa disaksikan di layar televisi, menyebutkan para waria itu sebagai laknat asuhan iblis. Bagaimana bisa sejauh itu mereka menyebut sekelompok manusia lain sebagai asuhan iblis, sesuatu julukan yang tak pernah bisa kita temukan dalam kitab suci Al Quran sekalipun.

Dalam Al Quran –seperti juga dalam injil– kita hanya menemukan penggambaran kehidupan penuh hedonisme di Sodom dan Gomorah, yang selain terisi kebiasaan madat dan minum arak, juga diisi kegiatan seksual menyimpang sesama jenis. Lelaki dengan lelaki, perempuan dengan perempuan. Tetapi sebenarnya kehidupan seksual sejenis yang dianggap menyimpang ini, telah berusia ribuan tahun dalam kehidupan manusia. Raja-raja, kaum bangsawan dan orang-orang kaya di Eropah, dan wilayah Timur Tengah yang antara lain terutama dihuni ‘ras’ Arab tercatat memiliki penyimpangan seksual semacam itu. Kaum lelaki yang berkedudukan dan berkuasa itu, kerapkali selain memiliki harem-harem yang terisi kaum perempuan, juga terisi dengan lelaki-lelaki muda rupawan yang dijadikan pemuas seksual melalui perbuatan sodomi. Karena perilaku seksual menyimpang ini lebih terkait kepada masalah psikologis, maka barangkali penyelesaiannya  haruslah menurut ilmu psikologi juga. Bukan kekerasan. Kecuali kita mau berbuat ekstrim, melalui genocida untuk membasmi mereka yang ditakdirkan mengalami kelainan psikologis seperti itu. Tapi akankah kita bisa sekejam itu? Apalagi bila kita menyebut diri sebagai umat beragama?

PRETENSI menjadi pengadil yang memegang monopoli kebenaran berdasarkan agama, menjadi salah satu kesulitan utama dalam kehidupan beragama secara baik dan benar. Di seluruh semesta alam ini, hanya Tuhan yang menjadi sumber keadilan dan kebenaran yang ultima. Manusia hanya mampu memberikan keadilan dan kebenaran yang mendekati kebenaran dan etika keilahian sedekat mungkin, yakni melalui sistem hukum yang disusun melalui kesepakatan bersama. Dengan demikian manusia harus membatasi diri dengan keadilan dan kebenaran berdasarkan dan sesuai dengan sistem hukum yang mereka sepakati bersama, sedekat-dekat nilai keilahian, namun jangan tergelincir bermain-main sebagai wakil atau tangan Tuhan di muka bumi ini. Ya Allah yang mahabesar dan mahaadil, ampunilah kami manusia hambaMu ini, bila kami khilaf dan lupa diri ingin mengambil hak dan wewenangMu.