Tag Archives: Kesultanan Yogyakarta

Soal Monarki: Meluruskan Pelurusan Juru Bicara Kepresidenan

Bagi Indonesia yang kini beralih memilih demokrasi langsung atau ‘demokrasi murni’, jaminan hak-hak azasi manusia itu menjadi amat penting, yang salah satunya menyangkut terjaminnya penggunaan hak-hak politik dan juridis, selain hak-hak sosial, ekonomi dan budaya. Bukankah kita masih menemukan banyaknya manipulasi, baik dalam penyusunan daftar pemilih maupun dalam praktek perlombaan memperoleh suara, termasuk masih kuatnya praktek politik uang yang pada hakekatnya merupakan bentuk intimidasi terhadap rakyat dan situasi kemiskinannya? Jaminan terhadap hak azasi dan hak-hak politik dan hak-hak juridis rakyat adalah bentuk penghormatan tertinggi yang harus ditunjukkan oleh para pelaku kekuasaan negara dan para pelaku kekuasaan politik. Buat apa demokrasi yang kulitnya ‘murni’ tapi isinya berisi kekotoran?”.

DENGAN menanggapi tulisan Mohammad Fajrul Falaakh di Harian Kompas melalui media yang sama (3/12), Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, pada hakekatnya telah mencoba menangkis seluruh ‘serangan’ terhadap pandangan Presiden yang dianggap telah lebih dulu ‘menyerang’ aspek monarki dari Kesultanan Yogyakarta terkait RUU Keistimewaan DI Yogyakarta. Julian Aldrin Pasha yang berlatarbelakang akademisi seperti halnya Fajrul Falaakh, menyatakan setuju dengan pandangan dalam tulisan itu, kecuali awal paragraf kedua yang berbunyi “SBY salah paham”. Memang Fajrul Falaakh kurang tepat di bagian itu, karena Susilo Bambang Yudhoyono bukannya ‘salah paham’ tetapi ‘tidak memahami dengan baik’ tali temali sejarah dan maknanya yang menyangkut peran dan posisi sejarah Yogyakarta dan atau Sultan Hamengkubuwono IX, khususnya dalam fase perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Menurut Aldrian Pasha, telanjur sudah pernyataan Presiden diasumsikan menyebut Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai monarki, maka kemudian muncul perdebatan. “Terkesan seolah Presiden mengusik eksistensi Kesultanan Yogyakarta atau posisi Sultan sebagai gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Padahal, tidak seperti itu penalarannya”. Lalu Julian menyajikan repetisi kalimat Presiden yang menyinggung kata ‘monarki’, yang terdiri atas empat alinea. Alinea pertama memaparkan posisi pemerintah berkaitan dengan RUU Keistimewaan DIY tersebut. Alinea kedua dan ketiga kita repetisi lagi sebagai berikut ini. Alinea kedua: “Yang kedua, juga harus sungguh dipahami keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri dari bentangan sejarah, dari aspek-aspek lain yang memang harus kita perlakukan secara khusus, sebagaimana pula yang diatur dalam Undang-Undang Dasar kita, harus nampak dalam struktur pemerintahan keistimewaan itu”. Alinea ketiga, “Namun yang ketiga, negara kita adalah negara hukum dan negara demokrasi sesungguhnya. Oleh karena itu, nilai-nilai demokrasi, democratic values, tidak boleh diabaikan karena tentu tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan dengan baik konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi”.

Siapapun yang memiliki kemampuan analisa dan kemampuan literacy yang baik, akan bisa mengetahui bahwa alinea ketiga itu tidak berdiri sendiri terhadap alinea kedua. Jadi bilamana Presiden menegaskan democratic values tidak boleh diabaikan karena tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan dengan “baik konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi”, siapa lagi yang dimaksud kalau bukan Kesultanan Yogya? Kata ‘kesultanan’ itu sendiri konteks pengertiannya adalah ‘monarki’. Tetapi dalam konteks realita bahwa Kesultanan Yogya bukanlah sebuah negara yang berdiri sendiri, maka semestinya ia bukan lagi sebuah monarki per saat ini, teristimewa setelah adanya konsensus yang melahirkan Piagam 5 September 1945 dari Sultan Hamengku Buwono IX yang menyatakan Yogya sebagai bagian Republik Indonesia dengan posisi sebagai suatu Daerah Istimewa yang ditopang oleh sejumlah dokumen dan ketentuan hukum dan perundang-undangan, selain sekedar sebagai fakta sejarah. Pertanyaannya di sini, kalau Presiden tidak mempersepsi DIY sebagai sebuah monarki, kenapa tiba-tiba ia harus merasa perlu menggunakan terminologi monarki tatkala membahas mengenai DIY? Lalu dalam konteks pengertian apa dan dalam kaitan hubungan sebab-akibat apa ia harus menyebut sistem monarki yang bisa bertabrakan dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi?

Membela Presidennya, Julian Aldrin Pasha, menulis “Kembali dalam konteks monarki, jelas bahwa tidak ada yang keliru, apalagi salah, dari pernyataan Presiden. Lantas, mengapa harus terus diperdebatkan?”. Ini bisa dijawab dan diluruskan, jelas salah ketika Presiden memunculkan kata monarki saat membahas mengenai keistimewaan Yogyakarta. Apakah dalam konteks ketatanegaraan DI Yogyakarta yang dipimpin oleh seorang Gubernur, dan memiliki DPRD seperti halnya provinsi lain di Republik Indonesia ini, adalah sebuah negara yang berbentuk Monarki (Konstitusional)? Coba, kalau kata monarki pada alinea kedua dihapuskan dan diganti dengan kata ‘lain’ misalnya, maka tidak ada yang salah dari ucapan Presiden dan tak ada yang perlu “harus terus diperdebatkan”. Terlepas dari kaitannya dengan soal DIY Yogyakarta, bentuk monarki itu sendiri, khususnya monarki konstitusional, tidak tepat dianggap dengan sendirinya tidak demokratis. Duabelas monarki konstitusional di Eropah, Kekaisaran Jepang ataupun Kerajaan Thailand misalnya, adalah negara-negara yang menjalankan pemerintahan secara demokratis. Jangan begitu saja menyamakan monarki (konstitusional) dengan oligarki, aristokrasi dan feodalisme. (Baca, Monarki dan Demokrasi, <sociopolitica.wordpress.com> 2 Desember 2010).

Julian Aldrin Pasha juga mengeluhkan adanya komentar-komentar terhadap pernyataan Presiden, “sedemikian rupa sehingga keluar dari konteksnya”. Bahwa banyak yang keluar konteks, bahkan sampai secara ekstrim menyebutkan “keistimewaan atau merdeka”, harus diakui. ‘Kebiasaan’ baru ‘keluar konteks’ memang berkembang biak dengan subur di masa serba politisasi seperti sekarang ini. Makanya, jangan pernah memulai bicara di luar konteks, bilamana anda seorang tokoh, karena akan segera terjadi hujan komentar yang sebagian besar sama-sama bisa keluar konteks. Bicaralah yang perlu-perlu dan relevan saja. Banyak pernyataan yang tak perlu dan tak pada tempatnya serta pada momentum yang tidak tepat, terbukti telah memancing erupsi, lava panas, lahar dingin atau banjir bandang bahkan tsunami komentar dan masalah baru, yang sangat menguras energi.

Lebih lanjut, Juru Bicara Kepersidenan itu, menyampaikan bahwa “Salah satu implementasi demokrasi adalah diadakannya pemilihan langsung oleh rakyat untuk presiden dan wapres serta pilkada untuk kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota). Sepatutnya pula pilihan demokratis ini dapat tempat dan penghormatan karena merupakan pilihan rakyat, meski tentunya tetap terbuka ruang untuk dikaji ulang”.

Kita ingin menambahkan referensi, bahwa intisari demokrasi adalah satu sistem pemerintahan dimana rakyat menjalankan kekuasaan pemerintahan baik secara langsung ataupun melalui perwakilan yang terpilih oleh mereka secara periodik. Jenis demokrasi yang disebut pertama dinamakan demokrasi langsung (ada juga yang menamakannya demokrasi murni), sedangkan jenis yang kedua dinamakan demokrasi perwakilan. Dalam demokrasi langsung kehendak rakyat langsung dinyatakan dalam ‘pertemuan-pertemuan’ (terdapat dalam negara-negara kota di Yunani dan Romawi purba) dan pemilihan umum atau melalui plebisit (referendum). Sedangkan dalam demokrasi perwakilan kehendak rakyat dinyatakan melalui wakil-wakilnya yang dipilihnya dalam suatu pemilihan umum. Sistem demokrasi perwakilan ini hingga kini masih yang paling banyak ditemukan. Di antara negara-negara demokrasi ini sendiri masih terdapat perbedaan derajat satu sama lain mengenai pelaksanaan demokrasi, tetapi pada umumnya mengakui satu hal yang paling penting, bahwa suatu sistem demokrasi haruslah menjamin hak-hak azasi manusia.

Bagi Indonesia yang kini beralih memilih demokrasi langsung atau ‘demokrasi murni’, jaminan hak-hak azasi manusia itu menjadi amat penting, yang salah satunya menyangkut terjaminnya penggunaan hak-hak politik dan juridis, selain hak-hak sosial, ekonomi dan budaya. Bukankah kita masih menemukan banyaknya manipulasi, baik dalam penyusunan daftar pemilih maupun dalam praktek perlombaan memperoleh suara, termasuk masih kuatnya praktek politik uang yang pada hakekatnya merupakan bentuk intimidasi terhadap rakyat dan situasi kemiskinannya? Jaminan terhadap hak azasi dan hak-hak politik dan hak-hak juridis rakyat adalah bentuk penghormatan tertinggi yang harus ditunjukkan oleh para pelaku kekuasaan negara dan para pelaku kekuasaan politik. Buat apa demokrasi yang kulitnya ‘murni’ tapi isinya berisi kekotoran?

Kisah Seorang Kiai Jawa di Masa Kolonial Belanda

Sebuah kisah selingan pasca lebaran

“Bekerja untuk pemerintahan kolonial, namun juga berbuat banyak bagi rakyat jajahan, tak terkecuali bagi umat Islam. Dan, berperan untuk mengakhiri sebuah peperangan, yang kemudian melahirkan Kesultanan Yogyakarta yang bertahan hingga tahun 1949 sebagai suatu kerajaan, dengan pengakuan keistimewaan yang berlangsung hingga saat ini di masa Indonesia merdeka. Bagaimana sejarah akan menempatkannya?”.

MASA penjajahan yang berlangsung tak kurang dari 350 tahun lamanya di Nusantara ini, memberikan pilihan-pilihan terbatas bagi para penghuni kepulauan ini. Paling banyak ada tiga pilihan: “melawan dengan atau tanpa senjata”, “takluk dan bekerjasama” atau “menolak tapi tak melawan”. Tetapi sebenarnya masih ada suatu situasi keempat, yang bukan termasuk pilihan, yakni “tak memahami perbedaan-perbedaan kekuasaan yang ada dan menerimanya sebagai bagian dari takdir kehidupan”. Keadaan yang disebut terakhir ini, situasi keempat, barangkali adalah yang paling banyak dijalani oleh rakyat Nusantara. Di masa kekuasaan kolonial maupun di masa kekuasaan bangsa sendiri.

Mungkin tak tercatat dalam buku-buku sejarah, namun dalam catatan pemerintah Hindia Belanda, disebutkan tentang seorang Jawa, “terkenal sebagai Bapa Boestam yang telah menunjukkan banyak pengabdiannya yang tulus kepada Gubernemen”. Dalam catatan itu –yang terjemahannya dilampirkan Mr Hamid Alqadri dalam bukunya mengenai Snouck Hurgronje, Penerbit Sinar Harapan, 1984– lebih jauh menyebutkan bahwa “Gubernemen, demi kehormatannya, menjanjikan, sepanjang matahari dan bulan memancarkan sinarnya dan pulau Jawa berada dalam kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, akan membantu Kiai Boestam atau anak turunannya”. Kiai ini, yang lebih dikenal secara lengkap sebagai Kiai Boestam Kertoboso, dari sudut pandang penguasa Hindia Belanda memang besar jasanya sebagai bumper dalam menghadapi dan mengendalikan rakyat secara ‘damai’, khususnya yang beragama Islam di Semarang dan wilayah sekitarnya. Tetapi lebih dari itu ‘jasa’ terbesarnya adalah bahwa Kiai Boestam adalah orang yang bersedia membawa surat Panglima Militer VOC yang berkedudukan di Semarang, Johan Frederik Cobius, atas nama Gubernur Jenderal, kepada Pangeran Mangkubumi yang sedang melakukan perlawanan bersenjata. Para bupati Jawa dari Semarang, Demak, Jepara, Pati, Rembang, Kaliwungu, Batang dan Pekalongan, tak ada yang bersedia membawa surat itu, karena berangapan bahwa itu sama artinya dengan menghantar nyawa, tetapi Kiai Boestam Kertoboso bersedia melakukannya.

Surat penguasa militer VOC di Hindia Belanda itu, yang disahkan oleh Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Batavia, berisi pengakuan atas diri Pangeran Mangkubumi sebagai Raja Mataram. Surat ini mengakhiri perlawanan bersenjata Pangeran Mangkubumi yang kemudian berlanjut pada Perjanjian Giyanti 13 Februari tahun 1755, yang menetapkan Pangeran Mangkubumi sebagai penguasa atas separuh wilayah Kerajaan Mataram serta separuh lainnya diserahkan kepada Pakubuwono III sebagai raja yang berkedudukan di Surakarta. Tepat sebulan kemudian, 13 Maret 1755, Pangeran Mangkubumi yang naik dengan gelar Sultan Hamengkubuwono –dikenal kemudian sebagai Sultan Hamengkubuwono I– menetapkan wilayahnya sebagai sebuah kesultanan, yakni Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Yogyakarta.

Lahirnya seorang setiawan. TITIK penting kehidupan Kiai Boestam Kertoboso, adalah tatkala ia berusia 27 tahun. Ia hidup di masa Gubernur Jenderal VOC Johan van Hoorn (1653-1711) yang memerintah Hindia Belanda antara 1704 hingga 1709. Johan van Hoorn adalah putera seorang pabrikan mesiu yang kaya raya Pieter Janzen dari Amsterdam. Ia menjadi Gubernur Jenderal menggantikan mertuanya (ayahanda isterinya yang ketiga, Suzanna) Willem van Outhoorn. Selama menjadi Gubernur Jenderal, van Hoorn berhasil mengembangkan perkebunan kopi di daerah Priangan. Dalam masa jabatannya ia menghadapi perang suksesi pertama antara raja-raja Jawa 1704-1708 Van Hoorn yang sempat menikah sampai empat kali, meninggal 6 bulan setelah kembali dari Hindia Belanda di tahun 1711. Pada mulanya, van Hoorn memilih posisi ‘tak memihak’, namun pada akhirnya menentukan juga dukungan-dukungannya. Tahun 1705, penguasa VOC di Batavia melakukan perjanjian dengan Mataram, yang menetapkan Jawa bagian Barat ada dalam penguasaan VOC. Belanda lalu mengangkat Pangeran Puger, salah seorang turunan Sultan Agung (yang memerintah Mataram1613-1645) dan Amangkurat I (1645-1677), menjadi penguasa baru Mataram pada tahun 1705 tersebut dengan sebutan Pakubuwono I (1704-1719) menggantikan Amangkurat III yang hanya berkuasa dua tahun, 1703-1705. Amangkurat III sendiri adalah penerus Amangkurat I dan Amangkurat II (1677-1703).

Pengangkatan Pakubuwono I mengakhiri masa Kerajaan Mataram sebagai suatu negara berdaulat penuh. Secara formal politis tetap negara merdeka, namun punya kewajiban ekonomis kepada pemerintah Batavia, antara lain mengirim beras secara berkala dalam jumlah dan harga yang ditentukan kompeni. Selain itu, pemerintah Batavia mempunyai hak untuk campur tangan dalam masalah keamanan di wilayah Mataram.

Setelah Pakubuwono I wafat, VOC mengangkat salah seorang puteranya sebagai pengganti dengan gelar Amangkurat IV (1719-1726). Selanjutnya Amangkurat IV diganti Pakubuwono II (1726-1749). Kedua raja ini memiliki ketergantungan militer kepada Belanda, dan karena setiap bantuan berarti biaya, maka hutang kerajaan kepada VOC makin menggunung.

Pada tahun 1708, Boestam yang tergolong pintar, pandai baca-tulis dan dianggap ahli dalam perihal agama Islam, dipanggil menghadap Regent (Bupati) Semarang Kiai Adipati Sosromenggolo (Bedakan dengan Kiai Adipati Suromenggolo atau Kiai Mertonoyo atau Kiai Tumenggung Judonegoro, bupati Semarang 1674-1701). Boestam diangkat oleh bupati menjadi jurutulis di salah satu kantor pemerintah di Semarang. Sebenarnya pengangkatan itu sedikit memaksa, karena kala itu orang Jawa yang pandai baca tulis cenderung tak mau bekerja di kantor pemerintahan Hindia Belanda.

Meski dimulai dengan sedikit paksaan, Boestam, ternyata menjadi seorang pegawai yang tekun bekerja. Ia menerima gaji yang memadai, lengkap dengan beberapa bidang tanah yang dikenal sebagai ‘pancen’ di beberapa desa (Pekampuan, Kumenjing, Langkap dan Kemiri). Setelah tiga tahun mengabdi gajinya naik setingkat dengan boekhouder (pemegang buku) Belanda dan mendapat tambahan ‘pancen’ berupa sawah di Kendal yang harganya 400 gulden. Walau pangkatnya tak naik-naik, gajinya naik terus hingga mencapai gaji setingkat commies.

Selain tekun, Boestaman ‘tumbuh’ menjadi seorang setiawan terhadap penguasa Belanda. Keahliannya mengenai agama Islam membuatnya mudah dalam mendekati masyarakat yang beragama Islam, sehingga muncul pengakuan atas dirinya sebagai seorang kiai. Ia banyak berperan dalam pelbagai masalah sosial politik dan kemasyarakatan.

Sewaktu terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Batavia terhadap penguasa Belanda, sekitar 1740, percikan peristiwanya juga menjalar ke seluruh pulau Jawa tak terkecuali ke wilayah Mataram di pantai utara Jawa. Pakubuwono II yang sudah sesak napas oleh tindihan hutang kepada Belanda, banyak membantu para pemberontak Cina ini. Sehingga banyak bupati-bupati Jawa yang tadinya sudah tenang-tenang menjalankan kekuasaan dalam suasana pro Belanda, mengikuti jejak Susuhunan Pakubuwono II. Tapi bantuan para raja dan orang-orang Jawa ini tidak sepenuh hati, karena banyak yang kemudian balik badan berpihak kembali kepada VOC, sehingga pemberontakan bisa dipadamkan tahun 1743. Selama peristiwa, tak kurang dari 10.000 orang Cina mati dibantai. Kalau bantuan para raja Jawa dilakukan sepenuh hati, nasib VOC di pulau Jawa mungkin lain, bisa terusir ke luar. Ketika peristiwa berkecamuk, banyak di antara orang Jawa yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan Belanda di Semarang, melarikan diri meninggalkan tugas mengungsi ke luar kota. Kiai Boestam Kertoboso tidak ikut arus.

Catatan dalam arsip Belanda menyebutkan “Kiai Boestam seorang diri melaksanakan berbagai pekerjaan kantor, antara lain menyelesaikan berkas dari Susuhunan, dan menyediakan tenaga kerja untuk pemerintah”. “Dalam masa pertentangan dan keributan ini telah meninggal dunia seorang penerjemah bahasa Jawa, dan Boestam menjadi penggantinya”. Dikisahkan bahwa pemberontakan di sekitar Semarang dapat diselesaikan, dengan perantaraan Kiai Boestam. Atas jasanya, Kiai Boestam mendapat ganjaran kenaikan pangkat sebagai Sekertaris Pemerintahan, selain sebagai penerjemah. “Dia diberikan sebidang tanah oleh pemerintah yang dapat diwariskannya”. Sekarang tempat itu dikenal sebagai kampung Boestaman di Semarang. Ia juga menerima hadiah beberapa bidang tanah di kabupaten Demak. “Pada waktu itu di Jawa belum ada jaksa kepala”. Kiai Boestaman menjadi orang pertama yang diangkat untuk jabatan jaksa kepala itu di Semarang. Pangkat dan jabatannya kemudian dinaikkan lagi menjadi onder regent Terboyo Semarang, semacam jabatan wakil bupati di wilayah tertentu. Seorang onder regent mempunyai hak dan kewajiban penuh di wilayahnya sebagaimana halnya dengan bupati. Beberapa tugas lamanya, tetap dirangkap. Dalam jabatan baru itu ia mengganti namanya menjadi Kiai Ngabei Kertoboso. Bersamaan dengan jabatan baru itu bertambah pula hartanya dengan beberapa bidang tanah yang bernilai kurang lebih 1200 gulden, suatu jumlah yang besar untuk seorang pribumi pada masa itu. Orang-orang Belanda amat menyenangi Boestam, dan dengan akrab mereka menyapanya sebagai “Bapa Boestam”.

Berdasar kepada laporan pemerintah kolonial Belanda, kisah Kiai Boestam Kertoboso, dapat dipaparkan lebih lanjut berikut ini, dengan beberapa penyempurnaan dan tambahan data dari sumber lain untuk kejelasan.

TATKALA Kiai Boestam menjadi onder regent di Terboyo Semarang, meletus peperangan antara gubernemen dengan Pangeran Mangkubumi. Beberapa tahun sebelum mangkat, Pakubuwono II melakukan kesepakatan kekuasaan dengan Gubernur Jenderal Kompeni, yang tak lain untuk menjamin pewarisan tahta kepada puteranya Pangubuwono III karena menyadari kelemahan kekuasaannya jika tak dibantu kekuasaan luar, yakni Kompeni. Pada tahun 1743, Pakubuwono II melalui suatu perjanjian menyerahkan kekuasaan atas seluruh daerah sepanjang pantai Utara Jawa dan Blambangan di ujung timur Jawa kepada Belanda. Pakubuwono III juga memberikan hak pengendalian khusus kepada Belanda atas seluruh pelabuhan laut di Jawa. Kesepakatan tahun 1743 ini juga seakan menjadi pembayaran ‘dosa’ Pakubuwono II atas ‘pengkhianatan’nya di tahun 1740 ketika membantu pemberontakan orang-orang Cina. Pakubuwono dipulihkan tahtanya oleh Belanda. Dengan demikian sejak 1743, Mataram menjadi bawahan Belanda. Dengan topangan Belanda, Pakubuwono III naik tahta (1749-1788) menggantikan ayahandanya, Pakubuwono II. Pemulihan tahta dan kemudian naiknya Pakubuwono III mengalami banyak penolakan. Pangeran Mangkubumi, salah satu saudara Pakubuwono II adalah satu di antara yang menolak pemulihan tahta Pakubuwono II dan karenanya memutuskan untuk naik ke gunung melancarkan perang gerilya.

Kiai Boestam Kertoboso dan Pangeran Mangkubumi. Konflik bersenjata ini berlangsung lama, bertahun-tahun, sampai setelah Pakubuwono II mangkat dan diganti Pakubuwono III. Memakan begitu banyak energi Belanda. “Wilayah Peterongan, Jomblang dan Magelang dikuasai  pasukan-pasukan Mangkubumi di bawah pimpinan Pangeran Ario Panoelar… Sementara itu Pangeran Mangkubumi pindah dari Yogyakarta ke Magelang”. Panglima pasukan Belanda Ossen Bruggen yang berkedudukan di Semarang, “kalang kabut dan kehilangan akal menghadapi peperangan ini”. Dan akhirnya ia pun bertanya kepada Kiai Boestam, “Tindakan apa yang harus dijalankan untuk menyelesaikan perkara yang satu ini?”. Kepada sang panglima, Kiai Boestam mengutarakan, “Sesungguhnya Pangeran Mangkubumi adalah orang yang tepat untuk menjadi raja”, karena ia adalah putera dari Amangkurat IV dan saudara muda dari Pakubuwono II. Sehingga, “pengangkatan Pangeran Mangkubumi menjadi sultan akan bisa menghentikan peperangan”. Mungkin Kiai Boestam juga yang menyarankan agar Mataram dibagi dua. Adalah Kiai Boestam yang membuat konsep pengangkatan Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan di Yogyakarta dan Pakubuwono III melanjutkan sebagai Sultan di Surakarta. Konsep itu ditulis dalam dua bahasa, satu bahasa Jawa dan satunya lagi dalam bahasa Belanda untuk disampaikan kepada Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1750-1761) agar mendapat pengesahan. “Setelah naskah itu ditandatangani oleh Yang Mulia Gubernur Jenderal, surat pengangkatan itu diterima kembali oleh Panglima Ossen Bruggen, disertai catatan bahwa surat pengangkatan itu harus disampaikan melalui seorang bupati”.

Tak seorang pun bupati bersedia mengantar surat itu, karena takut kehilangan nyawa. “Mereka mengembalikan epok, lampit dan payung mereka sebagai tanda mengundurkan diri dari jabatannya, dan menyatakan lebih suka mati dibunuh di depan panglima atau tewas di medan perang daripada mati hina dina dibunuh kaum pemberontak”. Panglima Ossen Bruggen sungguh naik amarahnya melihat perilaku para bupati itu. Dan pada saat itulah Kiai Boestam maju ke depan panglima dan menyatakan bersedia memikul beban untuk menjalankan tugas tersebut. “Mendengar kesediaan itu, nampak kegembiraan bersinar di mata panglima. Maka Ossen Bruggen pun berkata, Kiai Boestam boleh memilih sendiri salah seorang dari para bupati itu untuk menemaninya. Tetapi Kiai Boestam menolak tawaran itu, dan menyampaikan bahwa dia sendirian dapat melaksanakan tugas”.

Pada hari keberangkatannya, Panglima Ossen Bruggen, datang ke kabupatenan Semarang untuk mengucapkan selamat jalan kepada Kiai Boestam. Dengan memakai celana pendek hitam, baju berwarna sama hitamnya, sarung melilit di pinggang, ikat pinggang berbintik-bintik di mana surat untuk Pangeran Mangkubumi itu diselipkan, Kiai Boestam pun berangkat meninggalkan kota.

“Setibanya di Candi, Kiai Boestam bertemu dua orang yang sedang memotong rumput. Atas pertanyaan Kiai Boestam, mereka mengatakan diri adalah pemotong rumput  dari Demang kota Jetak dan mereka akan segera berangkat pulang. Kiai Boestam mengatakan kepada mereka, dirinya adalah penduduk Magelang dan tak berani pulang sendirian, takut dibunuh di tengah jalan. Lalu ia menolong kedua orang itu memotong rumput dan mengangkatnya ke atas bahu, berjalan mengiringi kedua orang itu. Dengan cara itulah ia sampai ke Jetak. Setelah enam hari di Jetak, Kiai Boestam melanjutkan perjalanan. Di Magelang ia ditangkap oleh pasukan pemberontak pengikut Pangeran Mangkubumi. Penangkapan ini menimbulkan kegemparan, sehingga Mangkubumi langsung turun tangan dan memerintahkan tangkapan itu dibawa menghadap”.

“Pangeran Mangkubumi bertanya kepada sang tangkapan, apa gerangan maksudnya datang ke Magelang. Dengan terus terang, Kiai Boestam mengatakan bahwa dirinya diutus Gubernur Jenderal untuk menyampaikan sepucuk surat kepada paduka yang mulia. Mangkubumi amatlah terkejut, orang yang berpakaian compang camping itu menyampaikan sepucuk surat untuknya”.

Kepada Pangeran Mangkubumi, Kiai Boestam menuturkan bahwa ia berpakaian demikian kotor, tak lain agar dapat melaksanakan tugasnya dengan mudah. Seandainya ia mengenakan seragam bupati, maka “saya hanya mengantarkan mayat saja ke hadapan paduka yang mulia”. Pangeran memaklumi taktik sang kiai, lalu meminta agar surat Gubernur Jenderal itu dibacakan untuknya. Ternyata Pangeran Mangkubumi sangat senang mendengar isi surat itu, dan hari itu juga memerintahkan menarik mundur pasukan-pasukannya. Kiai Boestam diberi hadiah seperangkat pakaian dodet, kuluk, sikepan, jas, blangkon dan sepucuk keris emas. Penghormatan yang tinggi diberikan kepada sang kiai selama berada di Magelang. Dan ketika ia pamit untuk pulang, Pangeran memerintahkan dibuatkan suatu surat jawaban.

“Didampingi oleh beberapa pejabat tinggi dan bertjalan di bawah payung emas, Kiai Boestam sampai kembali di Semarang. Ia pun diterima dengan segala kebesaran oleh Panglima Ossen Bruggen. Surat jawaban Pangeran Mangkubumi pun disampaikan kepada panglima”.

Sebuah tempat dalam sejarah? Kiai Boestam telah mengabdikan diri kepada Gubernemen Belanda selama lima puluh tahun, dan meninggal dalam ‘masa jabatannya’, pada usia 78 di tahun 1759, 4 tahun setelah Perjanjian Giyanti. VOC sendiri berakhir tahun 1799 setelah merugi karena korupsi yang merajalela di tubuhnya. Kekuasaannya di Indonesia dilanjutkan oleh pemerintahan langsung oleh Kerajaan Belanda hingga 1942 dan sempat coba diteruskan lagi pada 1945-1949.

Kiai Boestam Kertoboso, bekerja untuk pemerintahan kolonial, namun juga berbuat banyak bagi rakyat jajahan, tak terkecuali bagi umat Islam. Dan, berperan untuk mengakhiri sebuah peperangan, yang kemudian melahirkan Kesultanan Yogyakarta yang bertahan hingga tahun 1949 sebagai suatu kerajaan, dengan pengakuan keistimewaan yang berlangsung hingga saat ini di masa Indonesia merdeka. Bagaimana sejarah akan menempatkannya?

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1430 H. Maaf Lahir Batin.