Tag Archives: HTI

Hizbut Tahrir Berjuang Untuk Siapa? (2)

Oleh Syamsir Alam*

Selain itu, dengan bersandar pada pemikiran (akal sehat) dalam menetapkan ide-ide, atau pendapat, dan hukum yang menurut mereka semuanya bersumber secara utuh dan murni hanya dari sumber Islam yang dari penelitian mereka telah benar, Hizbut Tahrir pun berhadapan langsung dengan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang juga punya tradisi sendiri menafsirkan hukum Islam. Ide-ide, pendapat-pendapat, dan hukum-hukum yang telah dipilih dan ditetapkan oleh Hizbut Tahrir tersebut, katanya, dihimpun di dalam buku-buku yang digunakan sebagai materi pokok pembinaan, ataupun materi pelengkap gerakan. Semua materi tersebut telah diterbitkan, dan disebarkan di tengah-tengah umat. (eramuslim.com, Rabu, 10/02/2010 10:07 WIB).

Yang menjadi masalah, disebabkan perbedaan penafsiran hukum Islam tersebut, kehadiran Hizbut Tahrir justru telah membuat resah banyak kalangan beragama. Sebagai gerakan pembaruan dan perbaikan dalam beragama, banyak pendapat mereka yang meragukan akidah-akidah yang telah diyakini oleh mayoritas umat Islam Indonesia. Terutama terhadap hal-hal yang berbau mistik dan gaib, seperti keyakinan akan siksa kubur, keyakinan adanya pertanyaan Malaikat Munkar-Nakir, keyakinan akan turunnya Nabi Isa di akhir zaman, keyakinan akan fitnah Dajjal, atau keyakinan atas syafaat Nabi Muhammad di padang Mahsyar. Bagi mereka, segenap bentuk kepercayaan di atas tidak wajib diyakini, karena tidak melalui riwayat hadits yang ahâd. Namun, mereka tidak pernah mau mengkaji ke-mutawâtir-an hadits-hadits tersebut secara ma‘nawi. (http://id-id.facebook. com/pages/Bubarkan-Hizbut-Tahrir-Indonesia/120465978006232)

Beberapa kiai NU (Nahdlatul Ulama) sekitar pertengahan tahun 2009 yang lalu mengaku didatangi aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang selain membagikan brosur, juga mengajak para kiai masuk kelompok mereka. Di antara kiai itu adalah K.H. Ahmad Muhammad Al-Hammad, pengasuh pesantren Qomaruddin Bungah Gresik yang menunjukkan sikap menolak dengan tegas. “Saya katakan kepada mereka, saya ini NU, tak mungkin ikut paham sampean,” kata Kiai Ahmad kepada sebuah media yang mewawancarinya. “Brosur-brosurnya ada tapi tidak saya baca,” tuturnya lagi.

“Antara Ikhwan, Salafy dan Hizbut Tahrir secara ideologi bertemu, ada kesamaan. Mereka sama-sama ingin menerapkan formalisasi syariat Islam. Hanya bedanya, kalau Salafy cenderung ke peribadatan, atau dalam bahasa lain mengislamkan orang Islam, karena dianggap belum Islam. Dan target utamanya NU karena dianggap sarangnya bid’ah. Ha.ha.ha.. Bisa saja kelompok Salafi, Hizbut Tahrir dan Ikwanul Muslimin membantah, tapi saya tahu karena saya telah berkumpul dengan mereka” .kata K.H. Ahmad (nukhittah26.wordpress.com/…/meneropong-pergerakan-hizbut-tahrir…).

“Karena itu, walaupun sekarang, terutama setelah era reformasi, muncul gerakan Islam politik yang radikal mengusung tujuan memberlakukan hukum syariah (Islam) di Indonesia, gerakan sporadis tersebut tidak mendapatkan simpati dari masyarakat. Gerakan terlarang tersebut bermimpi bahwa Indonesia, negara yang disepakati sebagai sebuah negara demokrasi (Pancasila), bisa diubah dengan cara kekerasan massa”.

Pendapat K.H. Ahmad itu dibantah oleh Muhammad Ismail Yusanto, Jubir Hizbut Tahrir Indonesia, “Memang benar aktivis Hizbut Tahrir Indonesia kerap mengunjungi kiai-kiai NU, termasuk dalam Munas NU baru-baru ini. Hal ini tak lain adalah bagian dari program Hizbut Tahrir Indonesia untuk menjalin silaturrahmi dengan seluruh komponen umat Islam, berdialog, dan menjalin ukhuwah Islamiyah. Karena bagi Hizbut Tahrir, perjuangan penegakan syariah Islam di Indonesia, tanpa didukung oleh umat dengan segenap komponennya adalah mustahil direalisasikan. Karena itu perjuangan penegakan syariah Islam harus berjalan sinergis dengan masyarakat dan komponen umat”, kata Yusanto. (http://nukhittah26.wordpress.com/2009/05/19/ meneropong-pergerakan-hizbut-tahrir-wawancara-5-episode-harian-bangkit-dengan-kh-imam-ghozali-said/).

Padahal, NU jelas sejak lama telah menegaskan menerima NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sebagai pilihan, yang tidak mungkin diajak untuk ikut mendirikan negara Islam (Republika, 7 Oktober 2011). NU juga mengeluarkan fatwa bahwa Khilafah Islamiyah tidak mempunyai rujukan teologis baik di dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Jika berpijak pada fikih klasik, maka pemerintah yang dipilih oleh rakyat dan terdapat wakil rakyat yang menduduki parlemen sudah sah secara syar’i (syariah). Oleh karena itu, ketika melihat konteks Indonesia, pemerintah Indonesia sudah sesuai dengan tata cara pemilihan pemimpin yang disebutkan dalam fikih klasik, karena presiden dilantik oleh MPR. Dan MPR adalah wakil rakyat yang statusnya tak berbeda dengan Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi.

PB-NU mengingatkan bahwa ideologi transnasional berpotensi memecah belah bangsa Indonesia dan merusak amaliyah diniyah umat Islam.  Ketegangan kelompok moderat dengan gerakan garis keras adalah manifestasi perseteruan al-nafs al-muthmainnah dengan hawa nafsu. Pengetahuan yang terbatas membuat hawa nafsu tidak mampu membedakan antara washîlah (jalan) dari ghâyah (tujuan), dalam memahami Islam pun kerap mempersetankan ayat-ayat lain yang tidak sejalan dengan ideologinya. Hal ini juga mencerminkan hilangnya daya nalar dalam beragama.

Dari sumber lain, buku Terjemahan HT Mu’tazilah Gaya Baru, terbitan Cahaya Tauhid Press, menurut Syaikh Al Albani, ulama Salafi terkemuka yang banyak dikutip fatwanya di seluruh dunia, justru Hizbut Tahrir yang sesat, karena dalam melaksanakan Islam menggunakan akal manusia sebagai tolok ukurnya (http://www.salafy.or.id).

Membaca kondisi Indonesia sebagai lahan tumbuh

Mengingat peribahasa “lain padang lain belalangnya”, banyak konsep budaya asing yang datang ke Indonesia mengalami penyesuaian atau disesuaikan lebih dahulu agar bisa diterima menjadi kebiasaan baru. Yang menjadi tantangan utama bagi Hizbut Tahrir, adalah bagaimana mengubah tradisi beragama di Indonesia yang cenderung moderat, menerima kemajemukan dan santun, yang berbeda jauh dengan gaya radikal mereka yang logis, dan merasa paling benar sendiri.

Hasil penelitian Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) terhadap responden kaum Muslim yang dilakukan pada bulan Maret sampai Agustus 2010 yang lalu di 10 provinsi (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Banten, DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara) mengungkapkan, 80,1 persen dari total responden memiliki pandangan keagamaan moderat yang mengizinkan kelompok non-Muslim meyakini dan mempraktikkan kepercayaannya, mau bekerjasama dengan agama lain dalam urusan sosial, menyetujui demokrasi, serta menerima Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara dan sumber hukum. Mereka menolak kekerasan untuk memperjuangkan agama. Hanya 19,9 persen responden yang berpandangan keras, menghendaki Negara Islam dan penerapan syariat oleh negara secara formal (Kompas, 25 Oktober 2011).

Karena itu, walaupun sekarang, terutama setelah era reformasi, muncul gerakan Islam politik yang radikal mengusung tujuan memberlakukan hukum syariah (Islam) di Indonesia, gerakan sporadis tersebut tidak mendapatkan simpati dari masyarakat. Gerakan terlarang tersebut bermimpi bahwa Indonesia, negara yang disepakati sebagai sebuah negara demokrasi (Pancasila), bisa diubah dengan cara kekerasan massa. Apalagi organisasi Islam sosial yang dominan (Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah) pun telah sejak lama menerima Pancasila sebagai dasar negara.

Masalahnya, sebuah partai tidak bisa menyebut dirinya Islamis dan mempertahankan dukungan dari pengikut Muslim taat jika tidak mengumumkan syariah sebagai azas partai, dan memperjuangkannya menjadi dasar perundang-undangan negara. Sebaliknya, sekarang ini di Indonesia partai Islam yang tadinya dikenal sebagai partai tarbiyah yang mengusung pemberlakukan syariat Islam, dan tidak bisa menyebut dirinya demokratis, sekarang ini malah menjadi partai terbuka, dan bergabung bersama-sama dengan partai sekuler dalam memperebutkan posisi di pemerintahan.

Walaupun gerakan Islam politis radikal sekarang ini nampak masih jalan, misalnya Hizbut Tahrir, namun tidak lagi segencar dulu, tinggal menunggu sejauh mana kuatnya saja bisa bertahan. Bila di negara asalnya saja, Palestina, dan negara-negara lain di Timur Tengah sebagai basis gerakannya, Hizbut Tahrir nampak tidak berhasil, apalagi di Indonesia yang sulit memberlakukan suatu prinsip tunggal, karena sifat orang Indonesia selalu memodifikasi segala hal menjadi baru khas Indonesia.

 *Syamsir Alam. Mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.

Hizbut Tahrir Berjuang Untuk Siapa? (1)

Sebagian besar dari kita lebih banyak dikendalikan oleh pikiran dan keinginan sendiri, dan tidak selalu berpikir mengenai apa yang diinginkan orang lain.Ini tidak selalu berarti egosentris.Inimanusiawi ”, Bo Bennet.

 Oleh Syamsir Alam*

PERTENGAHAN November 2011 yang lalu, di Bandar Lampung, sekitar 70 mahasiswa yang tergabung dalam Hizbut Tahrir DPD Lampung berunjuk rasa menolak kedatangan Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang akan menghadiri pertemuan bilateral antar negara, yang diselenggarakan sebagai bagian dari acara perhelatan besar KTT ASEAN 2011 di kawasan Nusa Dua Bali (17-19 November). Pers mengutip, mereka mengecam campur tangan Amerika Serikat di sejumlah negara, seperti Irak dan Afganistan, yang dianggap imperialisme baru.

Selama ini,HizbutTahrir Indonesia memang paling rajin turun ke jalan menghujat kedatangan pemimpin Amerika Serikat, negara adikuasa yang punya jalur kerja sama dengan Indonesia. Namun, kegiatan yang menjadi berita sempalan kecil tersebut menunjukkan gerakan Hizbut Tahrir semakin kehilangan massa, dan jauh dari perhatian publik. Pada hal, menurut BIN (Badan Intelijen Negara) Hizbut Tahrir termasuk salah satu dari gerakan Islam politik transnasional yang mengusung tujuan pendirian negara Islam dengan agenda utamanya mewujudkan proyek kekhalifahan dunia. Dengan metode perjuangan tiga tahap: kaderisasi, sosialisasi, dan merebut kekuasaan, kelompok radikal tersebut bisa membahayakan eksistensi republik ini.

Dimulai dari gerakan mahasiswa Masjid

HIZBUT TAHRIR, DIMULAI DARI MASJID. “Hizbut Tahrir memilih jalur di luar sistem dengan terang-terangan menolak keras demokrasi, dan segala bentuk hukum sekuler buatan manusia. Dalam rangka menjalankan agenda politiknya, Hizbut Tahrir menempatkan diri sebagai kekuatan oposisi yang menentang para penguasa yang tidak menerapkan sistem politik Islam dan hukum-hukum Islam”. (download)

Mengutip hizbut-tahrir.or.id, situs resmi Hizbut Tahrir Indonesia, Hizbut Tahrir atau Hizb ut-Tahrir (Arab), Party of Liberation (Inggris) dan Partai Pembebasan (terjemahannya dalam bahasa Indonesia), adalah sebuah partai politik yang berdiri pada tahun 1953 di Al-Quds (Baitul Maqdis), Palestina. Pendirinya adalah Taqiyuddin An-Nabhany, seorang sufi, hakim pengadilan (qadi), dan mantan aktivis organisasi Ikhwanul Muslimin, yang menentang doktrin politik demokrasi untuk konsep negara di kawasan mandat Inggris waktu itu, yang sekarang terpecah menjadi Israel dan Palestina.

Partai politik ini memiliki agenda sama dengan Ikhwanul Muslimin, dengan menitik beratkan perjuangan membangkitkan umat Islam di seluruh dunia untuk mengembalikan kehidupan Islami melalui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah (Daulah Islam). Mereka bertujuan menggabungkan semua negara Muslim untuk melebur ke dalam sebuah negara yang berdasarkan doktrin sistem pemerintahan Islam, yang disebutnya sebagai Negara Islam atau Unitariat Khalifah (eramuslim.com, Rabu, 10/02/2010 10:07 WIB). Tetapi, perbedaan sangat mendasar dari kedua pergerakan radikal ini, adalah pada penerimaan mereka terhadap demokrasi. Ikhwanul Muslimin lebih memilih jalan moderat dengan memasuki sistem politik negara di mana gerakan ini berada, cara yang mereka sebut sebagai dakwah parlemen. Sedangkan Hizbut Tahrir, memilih jalur di luar sistem dengan terang-terangan menolak keras demokrasi, dan segala bentuk hukum sekuler buatan manusia. Dalam rangka menjalankan agenda politiknya, Hizbut Tahrir menempatkan diri sebagai kekuatan oposisi yang menentang para penguasa yang tidak menerapkan sistem politik Islam dan hukum-hukum Islam.

Gerakan paling menonjol yang dilakukan Hizbut Tahrir adalah mengampanyekan penolakan terhadap sistem politik dari Barat. Mereka menolak konsepsi nasionalisme, demokrasi, sosialisme, sekularisme, kedaulatan rakyat, monarki, dan segala sistem selain sistem Islam. Selain itu, partai ini juga berprinsip dasar pada kebebasan, yaitu terbebas dari doktrin-doktrin Islamisme yang lama, serta menolak pemimpin yang dipilih berdasarkan sistem demokrasi, termasuk pemilihan umum.

Gerakan Hizbut Tahrir di Indonesia, tampil sebagai Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), berawal sejak tahun 1980-an dari para aktivis masjid kampus Masjid Al-Ghifari IPB Bogor yang mengeksplorasi gagasan Hisbut Tahrir internasional dengan membentuk kelompok-kelompok kecil pengajian (halaqah-halaqah). Seperti halnya pengajian-pengajian yang dilakukan di kampus-kampus lain oleh kelompok remaja masjid yang terinpirasi dengan gagasan Ikhwanul Muslimin untuk pembaruan (tajdid) atau perbaikan (islah) beragama, kegiatan tersebut waktu itu sangat menarik bagi mahasiswa lulusan sekolah umum yang kurang mendapatkan pendidikan agama Islam yang mendalam.

Setelah mendapatkan massa yang cukup banyak, dalam sebuah konferensi internasional mengenai Khilafah Islamiyah yang digelar di Istora Senayan pada tahun 2002, yang menandai lahirnya organisasi Hizbut Tahrir di Indonesia, partai ini langsung memproklamirkan diri sebagai partai politik yang berideologi Islam, namun menolak bergabung dengan sistem politik yang ada. Penolakan itu merupakan bentuk baku dari sikap Hizbut Tahrir Internasional. Tentu saja kehadiran partai Islam yang baru ini membuat tidak nyaman partai-partai Islam yang sudah ada.

Dalam pengembangannya, selain masjid kampus, sasaran dakwah Hizbut Tahrir adalah masjid-masjid jami (umum) di tingkat kabupaten. Partai ini melakukan pendidikan dan pembinaan umat dengan wawasan Islam versi mereka, melancarkan pertarungan pemikiran, dan ativitas politik yang kadang bersinggungan keras dengan Muhamadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai mainstream kelompok Islam di Indonesia yang sudah massa pendukung dengan tradisi beragama yang kuat.

Untuk eksis harus ekspansi yang berbuntut perselisihan

Dengan tujuan menggabungkan semua negara Islam untuk melebur menjadi sebuah negara yang berdasarkan doktrin sistem Islam, yang disebutnya sebagai Negara Islam (Unitariat Khalifah), sebenarnya Hizbut Tahrir di Indonesia telah memposisikan dirinya berhadapan langsung dengan pemerintah yang menganut prinsip demokrasi gaya Barat.

Menurut Sidney Jones, penasehat senior International Crisis Group (ICG), yang juga pengamat teroris, dalam sebuah wawancara dengan Associated Press, mengatakan perkembangan gerakan Hizbut Tahrir yang walaupun tampil sebagai organisasi yang resmi keberadaannya, namun kalau dibiarkan efeknya bisa lebih berbahaya daripada kelompok jihadists dan teroris yang menunjukkan perlawanan langsung sebagai gerakan bawah tanah. Namun, pendapat Jones itu langsung dibantah oleh Muhammad Ismail Yusanto, Jubir Hizbut Tahrir Indonesia, yang mengatakan “Kami adalah gerakan Islam yang damai” (http://www.thejakartaglobe.com/home/global-islamic-group-hizbut-tahrir-rising-in-indonesia-asia/468954).

Sampai sekarang, setelah hampir 58 tahun berjuang, masih belum ada kabar baik mengenai keberhasilan perjuangan Hizbut Tahrir untuk meresmikan khilafah seperti yang dicita-citakan itu di kawasan negara Timur Tengah, bahkan di Palestina negera asalnya pun. Malahan, keberadaan partai ini yang umumnya bergerak di bawah tanah menentang dengan sepenuh hati konsep demokrasi negara tempat mereka menumpang, selalu dikejar-kejar oleh pemerintah setempat yang merasa terusik. Hal ini disebabkan agenda-agenda perjuangan partai ini bertentangan dengan ideologi negara dan kemapanan politik para penguasa di negara-negara tersebut. Walau pergerakannya “timbul-tenggelam”, namun esksistensinya di beberapa negera di belahan dunia ini tetap bertahan hingga sekarang. Hizbut Tahrir masih leluasa bergerak di beberapa negara yang menerapkan pemerintahan demokrasi, seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Indonesia.

Berlanjut ke Bagian 2