Tag Archives: Hatta Rajasa

Partai Politik: Bintang Biru di Zona Merah Korupsi

PENGUNGKAPAN’ adanya ‘peran’ belakang layar seorang petinggi partai kalangan penguasa melalui Rosalina Manurung dalam penyuapan Sekertaris Menteri Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam oleh pengusaha Mohammad El Idris, kalau betul, memperkuat gambaran bahwa peranan perencanaan dan pelaksanaan mobilisasi dana politik kini memang makin beralih ke tangan para petinggi partai politik. Untuk kasus ini, pagi-pagi anggota DPR Ruhut Sitompul sudah membantah keterlibatan Bendahara Partai Demokrat.

Tapi terlepas dari itu, adanya seorang petinggi partai menyuruh antar pengusaha pergi melakukan suap kepada pejabat,  itu adalah ‘kreativitas’ baru dalam suatu pola baru. Dalam pola lama, di masa kekuasaan Soeharto, tokoh-tokoh dalam pemerintahan melakukan penghimpunan dana melalui berbagai cara, yang tentunya dengan menggunakan kekuasaan, lalu secara terencana dan terpusat disuntikkan ke partai sebagai dana politik untuk memelihara kekuasaan. Tak ada partai dan kekuatan politik masa itu, yang tak kebagian jatah dana politik, meski berbeda urutan dalam jumlah. Dana-dana dari sumber lainnya, terutama dari kalangan pengusaha, yang pada umumnya juga tak terlepas dari peran perorangan dalam kekuasaan, hanyalah menjadi pelengkap yang biasanya dijadikan ‘uang saku’ pribadi para pimpinan partai.

TIKUS KORUPSI DAN UMPAN KURSI. “Jadi, kini KPK harus lebih mengamati sepak terjang para tokoh partai. Dari sana mungkin akan lebih banyak bermunculan bintang-bintang biru dari film biru politik dari zona merah korupsi”. Karikatur, Kompasiana.

Di masa pasca Soeharto, pola penghimpunan dana politik untuk sebagian mirip dengan cara-cara masa kehidupan politik sistem parlementer tahun limapuluhan, dan untuk sebagian lainnya agak serabutan. Dalam masa pemerintahan sistem parlementer, di masa kepresidenan Soekarno sebelum Demokrasi Terpimpin, partai-partai ‘besar’ memiliki menterinya masing-masing di kabinet. Lewat menteri-menteri itu, dana politik digali. Ketika Masjumi dan PSI menempatkan menteri di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan, sebagai contoh, lahir pengusaha-pengusaha akten-tas, karena keluar masuk kementerian dengan membawa tas kepit (aktentas) untuk mengurus lisensi-lisensi. Lisensi-lisensi perdagangan ini bukannya dikelola sendiri, melainkan dijual kepada para pedagang, dan menghasilkan dana pribadi maupun dana politik. Sementara itu PNI menggali dana dari Kementerian Dalam Negeri yang mereka dominasi turun temurun. Tentara yang mulai ikut berpolitik, memperoleh dana melalui pengelolaan berbagai BUMN hasil nasionalisasi, mulai dari bidang perminyakan (Pertamin-Permina yang menjadi cikal bakal Pertamina) sampai kepada bidang perdagangan.

Selain meniru pola masa parlementer, cara penggalian dana politik pasca Soeharto juga berlangsung dengan cara serabutan. Beberapa cara masa Soeharto masih digunakan, dan sebagian lainnya lagi memanfaatkan dana-dana hasil korupsi yang ada di tangan tokoh-tokoh eks kekuasaan Soeharto. Beberapa eks tokoh pemerintahan Soeharto misalnya direkrut oleh partai-partai lama maupun oleh mereka yang mendirikan partai-partai baru. Beberapa mantan menteri, terutama yang kaya-kaya, tampil sebagai tokoh partai.

Dana keluarga Cendana juga menjadi salah satu incaran favorit. Diterima dengan terang-terangan maupun dengan cara diam-diam. Dengan persuasi dan negosiasi, maupun dengan sedikit mengancam. Serombongan orang yang disebutkan sebagai suruhan Presiden Abdurrahman Wahid, antara lain Yenni Wahid, Saefullah Jusuf dan Susilo Bambang Yudhoyono, pernah menemui Siti Hardiyanti Rukmana. Ada dua versi tentang tujuan pertemuan itu: Pertama, tidak dengan tujuan ideal, terkait dana politik. Kedua, dengan tujuan ideal agar keluarga Cendana mengembalikan harta-harta ‘hasil korupsi’ ke negara. Menurut penuturan Mbak Tutut (nama panggilan puteri sulung Soeharto itu) kepada mantan Wakil Presiden RI Sudharmono SH saat berkunjung ke Jalan Senopati, sehari atau dua hari setelahnya, permintaan utusan Abdurrahman Wahid itu kurang lebih dijawab, “Harta yang mana?”. Waktu itu, Rum Aly, yang mendampingi Sudharmono mengajukan usul, kalau keluarga Cendana tidak percaya kepada orang-orang pemerintah, sebaiknya menyalurkan langsung saja dana-dananya ke masyarakat yang makin melarat akibat pertengkaran politik yang terjadi. Juga dijawab, kurang lebih, “Harta yang mana?”. Dan kepada Sudharmono, Mbak Tutut mengatakan, “Kami tidak punya harta yang banyak, pak e”. Sudharmono SH hanya terhenyak diam di kursinya. Rum Aly menginformasikan hal itu kepada Marzuki Darusman, Jaksa Agung waktu itu, untuk memperoleh konfirmasi adanya pertemuan di Cendana itu. Tapi beberapa waktu kemudian, berita tentang utusan ke Cendana itu telah merebak melalui media massa.

KASUS penjualan BUMN strategis oleh Menteri BUMN Laksamana Sukardi di masa kepresidenan Megawati Soekarnoputeri, agaknya tak terlepas dari kaitan penghimpunan dana partai. Begitu pula penjualan tanker baru Pertamina. Tapi semua itu, tidak mendapat kejelasan lanjut karena kasus-kasus itu tak pernah betul-betul dituntaskan. Partai-partai tampaknya telah terlibat korupsi dalam rangka penghimpunan dana politik, secara struktural. Beberapa contoh bisa ditunjukkan, meskipun semuanya, lagi-lagi belum dituntaskan: Kasus suap dengan traveller cheques terhadap Panda Nababan cs dari PDIP dan Paskah Suzetta cs dari Partai Golkar dalam kaitan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda Swaray Goeltom. Kasus ekspor fiktif senilai USD 22,5 oleh Misbakhum dari PKS dan kasus tudingan tokoh PKS Jusuf Supendi kepada tokoh PKS Anis Matta  yang mengantongi secara pribadi 10 milyar rupiah dari dana Pemilihan Gubernur DKI sebesar 70 milyar rupiah yang diserahkan mantan Wakapolri Adang Daradjatun kepada para pimpinan PKS. Kasus korupsi dalam pengadaan sarung, mesin jahit dan impor sapi yang merugikan negara puluhan milyar rupiah oleh tokoh PPP Bachtiar Chamsyah saat menjabat Menteri Sosial. Mungkin juga nantinya bisa ditemukan bahwa kasus Bank Century tak terlepas dari kaitan penghimpunan dana politik, yang semuanya berlangsung struktural. Di belakang ‘rekayasa’ kasus Antasari Azhar, kemungkinan besar terdapat kasus-kasus kejahatan keuangan besar dengan motif kepentingan dana politik yang perlu ditutupi dengan eliminasi sang Ketua KPK. Satu contoh lain, adalah yang dituliskan Ikrar Nusa Bhakti di Harian Kompas (29 April 2011) “kasus pengadaan rel kereta rel listrik (KRL) bekas asal Jepang senilai Rp. 44,5 milyar”. Belakangan, menurut professor riset dari LIPI itu, kasus itu dipertanyakan karena dinilai kemahalan. “Kasus ini menyangkut nama Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa yang akan berbesanan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono”. Kalau benar ada yang tak beres, repot juga. Masa seluruh besan SBY, Aulia Pohan dan Hatta Rajasa (yang juga Ketua Umum PAN), harus bermasalah?

Jadi, kini KPK harus lebih mengamati sepak terjang para tokoh partai. Dari sana mungkin akan lebih banyak bermunculan bintang-bintang biru dari film biru politik dari zona merah korupsi. Adapun istilah zona merah ini terasosiasikan dengan wilayah lampu merah perdagangan jasa seksual di beberapa negara ekonomi maju. Tapi bila legalisasi transaksi di wilayah lampu merah itu masih bisa diperdebatkan apakah melanggar hukum atau tidak, maka transaksi di zona merah korupsi tak perlu diperdebatkan lagi, ia adalah kejahatan besar yang harus dibasmi.

Menunggu Hari Ke-sembilan, Setelah Delapan Hari Yang ‘Meletihkan’ Bersama SBY

SELAMA delapan hari, 1 sampai 8 Maret 2011, perhatian publik, suka atau tidak, tertuju kepada figur Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia. Dan lagi-lagi SBY menghidangkan suatu akhir yang berupa anti klimaks. Terkecuali, bila pada hari ke-sembilan, 9 Maret 2011 ini –mengingat bahwa angka 9 adalah angka istimewa baginya– ia tiba-tiba membuat kejutan, semisal tetap melakukan reshuffle kabinet, kendati telah mencapai kesepakatan ‘baru’ dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie 8 Maret sore. Dan kalau itu terjadi, kemungkinan besar tumbalnya tak lain PKS sendirian tanpa Golkar. PKS dikeluarkan dari koalisi, dan menteri-menterinya meninggalkan kabinet. Itu pun kalau memang SBY cukup berani. Gerindra bisa berharap-harap cemas untuk bisa masuk dalam kekuasaan pemerintahan.

Dengan bahasa tubuh yang mencerminkan kegusaran, Selasa sore 1 Maret di Istana Presiden, didampingi Wakil Presiden Budiono, kepada pers Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan dengan mimik serius dan dibuat dingin, “jika memang ada partai politik yang tidak lagi bersedia mematuhi atau menaati kesepakatan yang sudah dibuat bersama-sama saya dulu, tentu partai politik seperti itu tidak bisa bersama-sama lagi dalam koalisi”. Dengan segera orang menterjemahkan bahwa partai-partai yang dimaksud itu tak lain adalah Partai Golkar dan PKS yang ikut aktif mengusung pelaksanaan hak angket mengenai Mafia Perpajakan di DPR pekan lalu.

Terutama bersumber dari tokoh-tokoh Partai Demokrat, isu reshuffle kabinet menggelinding. Dan karena Partai Golkar maupun PKS memiliki representasi yang yang cukup besar di kabinet, maka ‘antrian’ masuk kabinet itu pun cukup panjang. Gerindra yang fraksinya di DPR tidak ikutan mendukung hak angket mengenai mafia perpajakan, disebut-sebut akan menempatkan kader-kadernya di kabinet. Gerindra agaknya mengincar setidaknya dua kursi yang dalam kaitan potensi sumber dana amat menjanjikan, yakni Kementerian Pertanian dan Kementerian BUMN.

Sementara itu, masuk-tidaknya kader PDIP ke dalam koalisi dan kabinet, menjadi cerita tersendiri yang setengah absurd. Konon SBY menawarkan, dan Taufik Kiemas bersama puterinya, Puan Maharani ‘menyambut’ dan terlibat sejumlah pertemuan, baik dengan Hatta Rajasa maupun SBY sendiri. Suami Megawati Soekarnoputeri ini memang sejak lama memang tak menutup-nutupi ambisinya masuk ke dalam kekuasaan negara dengan cara dan kompromi apapun. Untuk dirinya, Taufik telah meraih kursi Ketua MPR walau ketika telah duduk di sana, berkali-kali ia menampilkan kegamangan dan kecanggungan. Tapi 9 dari 10 kemungkinan, sang penentu, Megawati Soekarnoputeri, akan tetap tak mau berjalan bersama SBY, melanjutkan kisah kesumat lama.

ENTAH pentas politik dengan lakon pembersihan koalisi dan reshuffle kabinet ini akan berakhir dengan suatu anti klimaks sebagai bagian dari politik gertak sambal, entah justru dengan suatu kejutan di hari ke-sembilan, akan segera kita ketahui. Tapi apapun itu, lagi-lagi kita dihidangi perilaku politik konyol, yang nyata-nyata memperlihatkan dikedepankannya politik kepentingan di atas segalanya. Pertunjukan politik semacam ini telah cukup meletihkan publik, tidak produktif, mengganggu fokus dari hal-hal yang lebih penting, dan lakon seperti ini adalah untuk kesekian kalinya selama beberapa tahun ini. Padahal, sudah terlalu banyak hal-hal meletihkan ditumpahkan ke pundak rakyat, mulai dari masalah korupsi, kegagalan penegakan hukum, kegagalan pelayanan kesehatan, kegagalan bidang ketenagakerjaan dan penyediaan lapangan hidup, kegagalan pemerataan pendidikan, sampai ke soal-soal ‘kecil’ seperti yang dicatat pada kisah di bagian penutup berikut ini.

GAJAH TAMAN SAFARI. Ke Taman Safari menamai anak gajah, ke Istana Cipanas untuk reuni Angkatan 1973 Akabri. Kenapa tidak naik heli saja ke Cipanas, dan berkunjung di hari lain ke Taman Safari?

Akhir pekan kemarin ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan rombongan berkunjung ke Taman Safari di jalur wisata Puncak (Cisarua) untuk menamai anak gajah yang baru lahir dan ke Istana Cipanas untuk acara reuni dengan Angkatan 1973 Akabri –angkatannya tempo dulu sewaktu menjadi Taruna. Daerah-daerah tersebut dikenal sebagai daerah rawan macet setiap akhir pekan. Tanpa kehadiran Presiden menggunakan jalur itu pun kemacetan selalu terjadi. Dan kemarin, ketika rombongan Presiden ikut menggunakan jalur tersebut, lalu lintas lumpuh total, berlipat-lipat kali dari kemacetan biasanya. Sejumlah pengguna lain, terjebak tak bisa bergerak selama belasan jam. Meletihkan. Kenapa risiko seperti ini tak pernah mau diperhitungkan oleh protokol dan pengamanan Presiden, dan tidak dimasukkan sebagai bagian tenggang rasa seorang pemimpin kepada rakyatnya? Kenapa tidak naik heli saja ke Cipanas, atau berkunjung di hari lain ke Taman Safari?