Tag Archives: gratifikasi

Para Koruptor, Kekuatan Para Psikopat

“Seorang pelaku korupsi memenuhi segala aspek dari psychopatic personality sebagai salah satu bentuk sakit jiwa. Individu psikopat pada umumnya memiliki tampil-diri yang normal, dan keluar tidak memperlihatkan tanda-tanda tabiat yang irrasional. Kesakitan dalam dirinya berada di dalam karakter. Ia berkekurangan dalam hal-hal berikut: hati nurani, perasaan kemanusiaan, rasa kepantasan, keadilan, kejujuran atau ketulusan hati, dan rasa tanggungjawab. Tabiatnya sebenar-benarnya anti sosial, tak bermoral, tak bertanggungjawab, tak bermoral dan kerapkali bersikap kriminal. Pribadi psikopat ini, mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, namun tak memperdulikan dan tidak menganggap penting akibat-akibat perbuatannya”.

MENCUKUPKAN diri sekedar dengan senjata pidato dan retorika, tidaklah menggherankan bila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tampil seakan tak berdaya di depan para koruptor, mafia hukum dan mafia perpajakan. Janji retorisnya memimpin pemberantasan korupsi di barisan terdepan, tak kunjung henti ditagih. Bersamaan dengan banjir tagihan itu, dalam suatu ‘kebetulan’ yang malang, semakin deras pula arus berita (baru) yang menyingkap berbagai keterlibatan aparat di tubuh pemerintahannya dalam praktek-praktek kotor. Sebagian di antaranya justru terjadi setelah dan bersamaan waktu dengan makin menajamnya sorotan publik, sebagai pemaknaan terbalik ungkapan peribahasa, walau “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”. Rupanya, kritik dan sorotan, memang betul-betul telah direndahkan sebagai sekedar gonggongan anjing pengganggu, sedang kafilah korupsi lebih ‘berharga’. Tetapi secara pragmatis, korupsi itu memang berharga tinggi sebagai sumber daya bagi kehidupan politik dan kekuasaan yang bersendikan ideologi politik uang seperti sekarang ini.

Kita belum bisa mengukur sejauh mana dampak pengungkapan tokoh lintas agama, Syafi Maarif dan kawan-kawan, mengenai 9+9 kebohongan pemerintahan SBY. Begitu pula seberapa kuat nanti gema Tritura baru sejumlah aktivis dan budayawan (Radhar Panca Dahana dan kawan-kawan), maupun sejauh mana pernyataan anti mafia hukum dari 99 aktivis (Zainal Arifin Mochtar, Anies Baswedan, Todung Mulia Lubis dan lain-lain) akan menggelinding. Apakah mampu menjadi kekuatan penekan yang efektif untuk mendorong pemerintahan SBY memenuhi janji-janji pemberantasan korupsi? Atau bisa menggelinding membangkitkan ‘people power’ memberantas korupsi, terinspirasi oleh peristiwa politik di Tunisia dan Mesir yang merupakan peristiwa perlawanan terhadap kekuasaan yang dianggap otoriter, anti demokrasi, tidak adil dan korup? Ataukah pada akhirnya terhenti sekedar sebagai retorika lainnya lagi? Karena, jangan lupa, pada tingkat saat ini, kekuatan korup di Indonesia betul-betul tak lagi bisa diremehkan. Bisa mengorganisir diri, semisal yang dicerminkan dengan adanya apa yang dinamakan Mafia Hukum dan Mafia Perpajakan.

Korupsi, kolusi dan nepotisme adalah salah satu bagian utama perilaku politik menyimpang. Perilaku politik menyimpang, berujung pada terciptanya kekuasaan yang korup, manipulatif, otoriter, dan berjalan di atas prinsip tujuan menghalalkan segala cara. Akumulasi hasil korupsi dan manipulasi yang dilakukan sistematis, sangat efektif dalam membiayai pemeliharaan kekuasaan.

“Tak ada bencana yang lebih besar daripada merasa diri belum cukup”, ujar Lao Zi (Laotze, diperkirakan hidup 604-531SM), “Tak ada bahaya lebih besar daripada keserakahan”. Merasa tak pernah cukup dan serakah, menjadi sumber internal manusia untuk menjadi pelaku korupsi. Sedangkan yang menjadi faktor eksternal adalah ketersediaan kesempatan karena kelemahan sistem (termasuk hukum) maupun perasaan memiliki kekuatan dan kekuasaan tanpa imbang.

Perilaku korupsi dan kolusi serta berbagai derivatnya yang menjadi bagian dari perilaku politik menyimpang merupakan gangguan bahkan ancaman bagi orang lain (publik), selain sesungguhnya bisa menjadi gangguan bagi diri pelaku itu sendiri, bukan semata-mata karena melanggar hukum. Seorang psikolog pembicara dalam Seminar Nasional Perilaku Politik Menyimpang (Juli 2000) di Bandung, menyebut pelaku perilaku politik menyimpang terganggu karena dampak tekanan (stress), tension dan maladjustment dan lain sebagainya, terutama karena reaksi diri dan lingkungan terhadap perilakunya tersebut. Tetapi khusus perilaku korupsi dan kolusi, bisa dipastikan bahwa pelakunya cenderung adalah seorang psikopat (psychopathic personality).

Seorang pelaku korupsi memenuhi segala aspek dari psychopatic personality sebagai salah satu bentuk sakit jiwa. Individu psikopat pada umumnya memiliki tampil-diri yang normal, dan keluar tidak memperlihatkan tanda-tanda tabiat yang irrasional. Kesakitan dalam dirinya berada di dalam karakter. Ia berkekurangan dalam hal-hal berikut: hati nurani, perasaan kemanusiaan, rasa kepantasan, keadilan, kejujuran atau ketulusan hati, dan rasa tanggungjawab. Tabiatnya sebenar-benarnya anti sosial, tak bertanggungjawab, tak bermoral dan kerapkali bersikap kriminal. Pribadi psikopat ini, mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, namun tak memperdulikan dan tidak menganggap penting akibat-akibat perbuatannya. Beberapa pribadi psikopat, bisa memperlihatkan kecerdikan (namun bernuansa kelicikan), apalagi bagi mereka yang pernah menjalani pendidikan yang cukup, katakanlah hingga tingkat pendidikan tinggi. Namun mereka pasti tidak cerdas. Dalam kecerdasan melekat penghayatan terhadap mana yang benar dan mana yang salah, lekat kepada kaidah-kaidah moral, berhati-nurani dan tidak anti sosial, sehingga terhindar dari sikap-sikap tidak bertanggungjawab. Kalau anda seorang yang pintar, tetapi tidak memiliki apa yang disebutkan terakhir, mungkin anda adalah seorang yang cerdik, bukan cerdas, dan bila ditambah dengan kelicikan serta kecenderungan kriminal, maaf, tak salah lagi anda seorang psikopat.

Mari kita amati mekanisme defensif yang sering dilancarkan tokoh-tokoh kalangan eksekutif, judikatif atau legislatif, maupun anggota masyarakat tertentu yang ditetapkan sebagai tersangka dan atau sebagai terpidana kasus korupsi, suap, gratifikasi dan sebagainya. “Ini politisasi”, “pembunuhan karakter”, “saya korban fitnah”, “saya tidak bersalah, saya korban ketidakadilan”, “saya juga punya idealisme, saya akan melawan terus”. Kerapkali, meski kasusnya sudah terang benderang, sang tersangka dan atau sang terpidana, tetap tampil gigih bersikeras. Tak kalah seru, bila pengacara yang tampil sebagai pendampingnya juga tak kurang psikopat. Apalagi memang banyak celah untuk membela diri di tengah suasana besarnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap para penegak hukum –polisi, jaksa, pengacara dan hakim– seperti sekarang ini. Maka sungguh malang nasib orang-orang yang betul-betul sedang diseret sebagai korban rekayasa hukum, ia akan disamaratakan dan cenderung tertutup peluangnya untuk mendapatkan pembelaan publik.

Namun, kalau para psikopat ini pada akhirnya terjebloskan juga ke dalam penjara, mereka agaknya juga tak terlalu cemas, karena yakin bahwa dengan bantuan para psikopat lainnya yang ada dalam jaringan mafia hukum –yang hampir bisa dipastikan sudah merambah ke lembaga pengelola hotel prodeo ini– mereka masih bisa menikmati kemudahan-kemudahan fasilitas dan keringanan hukuman dengan berbagai cara. Keluar dari penjara, yakin, mereka tak jera, apalagi sembuh. Jangan salah, lembaga-lembaga pemasyarakatan kita tidak pernah mencoba menjadi klinik psikologi apalagi sebagai rumah sakit jiwa. Padahal, mungkin sudah perlu…..

‘Etika’ Suap dan Copet Jakarta Tempo Dulu

HANYA kalah sedikit dari prostitusi sebagai profesi tertua di dunia, perilaku korupsi dan rampok hampir sama panjang ‘usia’nya dengan sejarah kehidupan manusia. Perbuatan suap-menyuap misalnya, sebagai bagian dari perilaku korupsi, sudah dikenal begitu manusia mulai mengenal dunia pemerintahan. Sementara itu, perbuatan mencopet mulai muncul ketika manusia memulai budaya perkotaan, sebagai bentuk paling halus dari perampokan dan pencurian. Ternyata di beberapa tempat di dunia, termasuk di Asia, suap dan copet juga ada ‘etika’ dan ‘seni’nya.

DI THAILAND tempo dulu, hingga tahun 1960-an, suap terhadap pejabat pemerintah, tak boleh dilakukan dengan kasar, tapi harus cukup santun. Kalau seseorang menghadap pejabat untuk minta bantuan khusus, sang pejabat akan bilang “Baik, akan saya perhatikan dan pertimbangkan”. Jangan coba-coba segera menyodorkan amplop suap, sang pejabat akan marah, mengusir sang tamu dan bahkan bisa menyuruh tangkap. Mencegah insiden seperti itu, sebaiknya sang penghadap tahu diri, diam-diam menjatuhkan sebuah dompet berisi uang dan berkata “Tuan, sepertinya dompet anda jatuh”. Sang pejabat akan memungut dompet itu, memeriksa isinya sejenak. Kalau jumlah uang yang ada di dalam dompet dianggapnya kurang sesuai ia akan membuang dompet itu ke tempat semula, “Itu bukan dompet saya”. Giliran sang penghadap memungutnya dan menambah isi dompet itu lalu bilang, “Tuan, saya kira ini memang dompet anda”. Sekali lagi sang pejabat memeriksa. Kalau isinya sudah memadai, ia akan bilang “Oh ya, memang ini dompet saya”. Kadang-kadang urusan dompet ini bisa alot juga, dibuang-dipungut berulang-ulang sampai isinya ‘cocok’. Bagaimana ya, kalau uang suapnya besar-besaran, pakai tas barangkali?

SUAP kecil-kecilan di Indonesia diperhalus dengan istilah ‘uang rokok’. Kalau yang minta uang rokok diberi rokok betulan, biasanya cemberut. Ada pula ‘uang korek api’. Selama bertahun-tahun ada saling pengertian antara sopir dan kernet truk (biasanya bermuatan lebih) dan petugas polisi di tepi jalan: Truk tak usah berhenti untuk diperiksa, asal kernet melemparkan kotak korek api yang sudah berisi uang ke arah sang petugas sesuai ‘konvensi’. Dalam perkembangan zaman, suap-suap makin membesar nominalnya, yang digunakan pun bukan sekedar mata uang rupiah tetapi bisa juga US Dollar. Dalam beberapa kasus masa kini yang melibatkan sejumlah anggota DPR, digunakan istilah gratifikasi. Diambil dari perbendaharaan kata Inggeris, gratification yang berarti hadiah imbalan. Dalam bahasa bebas, bisa dianggap gabungan dari kata gratis dan gravitasi, yaitu cuma-cuma dan punya gaya berat karena daya tarik bumi, sehingga meskipun enak karena cuma-cuma, bisa membuat penerimanya terjerembab ke lantai penjara.

Perlu menunggu hasil Pansus DPR 2010, apakah kasus Bank Century juga merupakan bagian dari pengembangan pola ‘uang rokok’ atau ‘uang korek api’ di sektor politik dan kekuasaan? Hingga sejauh ini, kasus ini baru bisa diklasifikasikan sebagai ‘kejahatan kerah putih’. Makanya, kalau tidak mau disalah-pahami jangan terlalu sering memakai kemeja putih.

BEBERAPA bupati di Jawa zaman kolonial Belanda lebih tega dalam soal minta suap. Kalau misalnya saat tournee (kunjungan keliling) ia melihat seorang camat memiliki kuda yang bagus, sang bupati akan bilang, “Kudamu kelihatannya lebih bagus dari kudaku. Kita tukar pakai dulu dengan kudaku, ya?”. Sang camat tanggap. Ia menjawab, “Ya, tuan bupati…. Sebenarnya saya merasa tidak pantas memilikinya lebih lama, silahkan tuan bupati pakai”. Maka sang bupati membawa pergi kuda sang camat dan meninggalkan kudanya sendiri di tempat camat. Tapi sang camat akan tahu diri, beberapa hari kemudian ia akan mengirim kembali kuda sang bupati dengan pesan, bahwa kuda itupun terlalu kebagusan untuk dirinya.

Lebih tega lagi, adalah bila seorang bupati melihat anak gadis cantik para bawahannya. Misalnya, seorang bupati yang mata keranjang, mengetahui atau melihat seorang lurah punya anak gadis yang cantik, ia akan bilang, “Anak gadismu cantik. Sungguh pandai kau membesarkan seorang anak gadis yang cantik”. Sang Lurah, suka atau tidak suka, akan ‘mengerti’. Bila sang Bupati memutuskan untuk menginap di rumah Lurah, itu artinya sang anak gadis harus ‘menemani’. Seringkali, bila ‘beruntung’, keesokannya sang Bupati akan berkata, “kalau sempat antarlah anak gadismu ke kabupaten”. Itu berarti sang bupati akan menjadikannya selir atau isteri muda.

COPET Jakarta awal tahun 1950-an lebih beretika dari para bupati kaki tangan kolonial itu, juga lebih ‘bermoral’ dari jambret Metropolitan masa kini. Copet-copet itu betul-betul menguasai seni mencopet dan boleh dikata selalu berhasil menjalankan aksinya tanpa disadari sedikitpun oleh korbannya. Maka tak pernah ada copet tertangkap tangan dan digebuki ramai-ramai seperti tahun-tahun belakangan. Selain itu, para copet juga teliti memilih korban. Mereka yang golongan melarat, takkan jadi korban. Hanya yang sangat parlente (berpakaian modis dan gaya) dan terlihat cukup berduit, akan dipilih sebagai korban. Dan ada kebiasaan unik para copet tempo dulu ini, sambil mencopet mereka sebaliknya memasukkan duit ke saku korban yang cukup untuk ongkos pulang. Surat-surat berharga seperti kartu tanda penduduk dan sebagainya, biasanya akan diterima kembali oleh korban lewat pos, sepanjang alamatnya jelas. Paling tidak, dikirim pos ke kantor polisi. Anehnya, para copet itu juga bisa membedakan mana parlente yang berduit dengan parlente sekedar gaya tapi kantongnya kosong.

Pada awal tahun 1950-an itu juga, saat copet Jakarta adalah para ‘budiman’, di wilayah Tangerang yang berbatasan dengan Jakarta, ada gerombolan Mat Item yang luar biasa kejam dan ganas. Kalau merampok, Mat Item dan kawanannya juga akan selalu memperkosa perempuan di rumah itu dan setelah itu membunuh seisi rumah. Tak ada orang mati yang bisa jadi saksi, begitu keyakinan Mat Item yang orangnya memang betul-betul berkulit item. Mat Item sendiri tak sempat tertangkap hidup-hidup, tetapi tertembak mati oleh polisi.