Kebenaran tentang Sosok Jenderal Polisi Hoegeng dan Baharuddin Lopa

TAKKAN ada yang bisa membantah bahwa di tengah bayang-bayang gelap penegakan hukum di Indonesia, beberapa dekade terakhir, ada dua sosok ideal yang pernah tampil, yakni Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso dan Baharuddin Lopa SH. Kedua tokoh tersebut pernah menduduki puncak tertinggi dua lembaga penegakan hukum. Jenderal Hugeng menjadi Kapolri 1968-1971, sementara Baharuddin Lopa menjadi Jaksa Agung selama 27 hari, 6 Juni sampai hari meninggalnya di Riyadh 3 Juli 2001.

Seakan ‘mewakili’ rasa hampa dan kerinduan publik akan kehadiran sosok penegak hukum yang tangguh di tengah kepengapan dan kegelapan penegakan hukum, muncul tulisan “Rindu pada Sosok Hoegeng dan Lopa” di Harian Kompas 12 September 2011 (Indah Surya Wardhani/Litbang Kompas). Tulisan ini bagus, kecuali bahwa ia mengandung kekurangan dalam akurasi pada beberapa bagian yang justru esensial terkait kebenaran peristiwa.

Dalam tulisan itu disebutkan Hoegeng dikenal tak mempan disuap dan sering menggulung pelaku kejahatan tanpa pandang bulu. Integritasnya teruji saat menangani tiga kasus ‘istimewa’: penembakan Rene Coenraad, pemerkosaan Sum Kuning, dan korupsi Robby Cahyadi. “Sedemikian kuat dedikasi polisi mengungkap kasus sensitif itu, hingga eksesnya membuat Hoegeng kehilangan jabatan”.

Memang Hoegeng tak mempan disuap. Tapi berbeda dengan yang digambarkan lanjut dalam tulisan tersebut, pada peristiwa sebenarnya, Hoegeng yang diidolakan masyarakat kala itu, justru sebenarnya tak berhasil menangani dengan baik kasus penembakan mahasiswa ITB Rene Louis Coenraad dalam “Peristiwa 6 Oktober 1970” maupun Kasus Sum Kuning. Dalam kedua kasus tersebut, Hoegeng ‘mengalah’ terhadap realita adanya kekuasaan otoriter yang mengatasi dirinya sebagai penegak hukum yang baik.

PERISTIWA 6 OKTOBER 1970.  “Dalam kasus tersebut, Hoegeng ‘mengalah’ terhadap realita adanya kekuasaan otoriter yang mengatasi dirinya sebagai penegak hukum yang baik”. Karikatur Deandy Sudiana 1970.

Dalam Peristiwa 6 Oktober 1970, polisi salah menyeret terdakwa pembunuh. Bripda Djani Maman Surjaman dijadikan kambing hitam, diadili dan dihukum penjara. Ahli forensik dan ballistik memastikan Rene tertembak dengan senjata laras pendek, sedangkan Djani memegang senjata laras panjang Karl Gustav saat bertugas melerai pengeroyokan Rene oleh Taruna Akabri Kepolisian yang akan segera lulus sebagai Angkatan 1970. Ketika peristiwa terjadi, yang diketahui membawa pistol (senjata laras pendek) hanyalah para Taruna. Para Taruna yang terlibat –beberapa adalah putera perwira tinggi polisi– tak berhasil diajukan ke mahkamah militer di masa Hoegeng. Belakangan, pasca Hoegeng, dari September 1973 hingga awal 1974, barulah 8 Taruna Akabri Kepolisian diadili. Tapi dalam peradilan itu, 8 Taruna (Nugroho Djajusman dan kawan-kawan) yang sudah menjadi perwira muda polisi, mendapat hukuman yang ringan-ringan dan dianggap hanya terlibat perkelahian.

Sementara dalam kasus pemerkosaan gadis penjual telur Sum Kuning –di sebuah mobil di Ngampilan, Yogya, 21 September 1970– oleh 4 orang pemuda, polisi menunjukkan penyimpangan. Polisi tidak berani karena para pemuda itu adalah anak-anak perwira militer, salah satunya putera pahlawan revolusi di daerah itu, dan lainnya dari kalangan bangsawan. Polisi malah menangkap Sum Kuning yang berusia 16 tahun itu, dituduh memberikan laporan palsu dan anggota Gerwani/PKI. Polisi lalu menciptakan skenario bahwa tak terjadi perkosaan, melainkan hubungan sex suka sama suka dengan penjual bakso bernama Trimo. Karena sorotan pers, skenario dirubah lagi. Sembilan pemuda preman ditangkapi sebagai pelaku, padahal menurut Sum Kuning ia disergap dan diperkosa oleh 4 orang di lantai mobil. Tapi kata polisi, perkosaan dilakukan bukan di mobil tapi di sebuah rumah kontrakan di Klaten. Pers berhasil mematahkan skenario baru itu. Seberapa hebat para preman itu, sampai bisa punya mobil untuk melakukan penculikan dan perkosaan. Toh, sembilan pemuda itu tetap dipaksakan untuk diadili. Sampai berlalunya Kapolri Hoegeng, pelaku sebenarnya tak pernah berhasil diseret ke pengadilan dan kebenarannya terkubur hingga kini.

Namun, dalam kasus penyelundupan mobil mewah melalui Pangkalan AU Halim Perdana Kusumah oleh Robby Cahyadi, Jenderal Hoegeng memang betul-betul menunjukkan integritas, lengkap dengan keberanian yang prima. Meskipun di belakang kasus itu nama Cendana disebut-sebutkan, Hoegeng tetap bertindak. Tampaknya kasus inilah yang membuat Hoegeng diberhentikan sebagai Kapolri, meskipun tidak dilakukan langsung. Ia diperangkap untuk terlibat proyek pabrik helm dan karenanya menjadi bulan-bulanan serangan karena pada waktu yang bersamaan ia menetapkan kewajiban penggunaan helm bagi pengendara sepeda motor.

Penyampaian ini, tentu tak bermaksud mengecilkan ketokohan Hoegeng, tetapi bagaimanapun kita tetap harus menyampaikan duduk perkara sebenarnya. Lebih dari sekali Harian Kompas menurunkan tulisan keliru mengenai Peristiwa 6 Oktober 1970 maupun Kasus Sum Kuning dalam konteks ketokohan Hoegeng. Tapi terlepas dari itu, yang terpenting untuk kita pahami adalah sebuah pelajaran dari realita bahwa bahkan polisi sebaik Hoegeng pun terpaksa bertekuk lutut di hadapan dan di dalam suatu kekuasaan yang otoriter dan kotor. (Baca juga Kisah ‘Polisi Baik’ dalam Kekuasaan Otoriter, sociopolitica.wordpress.com, 27 Juni 2009).

SEPERTI halnya Hoegeng, Baharuddin Lopa pun tak bisa diragukan integritasnya. Lopa telah menunjukkan integritas dan keberaniannya selaku penegak hukum, terutama sewaktu menjadi Jaksa Tinggi Sulawesi Selatan dan sebelumnya di Kalimantan Timur. Namun ketika di’kandang’kan sebagai Dirjen Pemasyarakatan ia seakan kehilangan gairah dan tak banyak yang bisa dilakukannya menghadapi berbagai penyakit kronis di lingkungan itu. Begitu pula sebenarnya, saat Lopa diangkat Abdurrahman Wahid sebagai Menteri Hukum/HAM. Apalagi wewenang Menteri Hukum/HAM kala itu tak lagi powerful sebagaimana masa-masa sebelumnya saat masih bernama Menteri Kehakiman. Suatu waktu, Jaksa Agung Marzuki Darusman bertemu Menteri Hukum/HAM Baharuddin Lopa, dan meminta bantuan mencari jalan keluar terhadap situasi terkait sikap hakim dalam menangani perkara-perkara korupsi. Saat itu, ada beberapa Pengadilan Negeri yang dianggap sebagai kuburan bagi kasus-kasus korupsi. Lopa mengakui keterbatasannnya. Tetapi sepanjang yang masih terkait dengan wewenangnya, ia pernah bertindak drastis, mengirim Bob Hasan ke LP Nusa Kambangan.

Sewaktu menjadi Jaksa Agung, praktis Lopa belum sempat berbuat apa-apa. Hanya melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jaksa Agung Marzuki Darusman SH. Kasus Arifin Panigoro-Bahana maupun kasus penyimpangan dana yayasan-yayasan Soeharto seperti dituliskan Kompas, bukan ditangani Lopa, tetapi ditangani di masa Jaksa Agung sebelumnya. Tapi memang ada satu kasus yang mempertalikan masa Marzuki Darusman dan masa Baharuddin Lopa, yakni kasus Syamsul Nursalim. Di masa Marzuki Darusman, berdasarkan permintaan dan jaminan pengacara Adnan Buyung Nasution, keterangan dokter pribadi Syamsul dari Jepang maupun dokter pembanding yang ditunjuk Kejaksaan Agung, permohonan Syamsul Nursalim untuk berobat di luar negeri dikabulkan. Marzuki yang berlatar belakang aktivis HAM, juga menghadapi dilema aspek kemanusiaan. Memperhitungkan kemungkinan Syamsul bisa saja tak kembali ke Indonesia, untuk berjaga-jaga Jaksa Agung memerintahkan pencekalan isteri Syamsul, Cicih Nursalim. Tak banyak diketahui orang, justru di masa Lopa pencekalan dihapuskan, yang segera digunakan Cicih menyusul suaminya ke luar negeri. Ketika Lopa mengeluarkan serangkaian pernyataan keras tentang  Syamsu Nursalim, termasuk penjeblosan ke tahanan, ia ini malah tidak mau pulang lagi ke Indonesia. Apalagi, isterinya yang menjadi semacam ‘sandera’ sudah dilepaskan cekalnya.

Namun, bagaimanapun, Lopa adalah tokoh yang patut dijadikan model penegak hukum yang bisa diandalkan. Sayangnya, dalam 27 hari ia tak mendapat kesempatan dariNya untuk membuktikan diri sebagai Jaksa Agung yang diharapkan. Pun tak sempat memenuhi ‘syarat’ khusus pengangkatannya sebagai Jaksa Agung dari Presiden Abdurrahman Wahid, menangkap beberapa tokoh dengan tuduhan korupsi: Akbar Tandjung, Taufiq Kiemas, Arifin Panigoro dan Fuad Bawazier, yang tak bersedia dilakukan Marzuki Darusman tanpa bukti kuat.

2 thoughts on “Kebenaran tentang Sosok Jenderal Polisi Hoegeng dan Baharuddin Lopa”

Leave a comment