Tag Archives: Presiden Abdurrahman Wahid

Kekuasaan dan Keadaan Hukum Tanpa Hukum

Tulisan oleh mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman ini dimuat sebagai artikel referensi tema dalam buku ‘Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter’ (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, Juni 2oo4). Meskipun dibuat lima tahun yang lampau, beberapa bagian tulisan ini agaknya masih amat relevan dengan situasi kekuasaan dan situasi hukum di negara kita hingga kini. Terutama penggambarannya mengenai realita keadaan hukum tanpa hukum, yang amat terasa kebenarannya saat ini.

TATKALA terlibat dalam gerakan-gerakan kritis mahasiswa Bandung lebih dari tiga puluh tahun berselang, saya percaya penuh bahwa secara bersama-sama kita semua dapat mewujudkan suatu harapan baru berupa pencerahan kehidupan bangsa dan negara. Setelah tumbangnya rezim Soekarno, yang menandai berakhirnya masa kegelapan demokrasi terpimpin dalam 5 hingga 6 tahun terakhir masa pemerintahan Soekarno yang amat dipengaruhi oleh kaum komunis, kita beranggapan akan segera dapat membuka lembaran baru dalam sejarah Indonesia modern. Suatu negara dengan pemerintahan dan sistem yang demokratis, yang mampu mensejahterakan rakyat dan menegakkan hukum serta keadilan.

Namun, sejarah membuktikan lain. Kita semua ternyata tidak berhasil menegakkan negara dengan pemerintahan dan sistem demokratis. Pemerintahan Soeharto yang menggantikan rezim Soekarno –yang setidaknya pada enam tahun terakhir kekuasaannya telah tampil sebagai kekuasaan totaliter dengan demokrasi terpimpin yang nyaris sama dengan ‘demokrasi’ ala negara-negara komunis– berangsur-angsur tumbuh sebagai kekuasaan baru yang tak kalah totaliternya, dengan demokrasi semu yang diberi nama Demokrasi Pancasila. Negara mampu meningkatkan pembangunan ekonomi dengan angka-angka pertumbuhan yang mengesankan –dengan topangan hutang luar negeri– namun gagal mensejahterakan rakyat banyak secara merata karena kecenderungan kekuasaan yang hanya memberi peluang menumpukkan rezeki di tangan segelintir elite kekuasaan dan keluarga serta kroni.

Negara pun gagal menegakkan hukum serta keadilan. Padahal, salah satu tema awal perjuangan menjatuhkan rezim lama pada tahun 1965-1966 adalah penegakan rule of law. Tema ini dengan tema-tema idealistis lainnya telah memikat hati generasi muda, khususnya kalangan mahasiswa dan kalangan intelektual lainnya, untuk bangkit merobohkan kekuasaan lama yang dianggap korup, totaliter dan tidak menghormati rule of law. Memang merupakan fakta tak terbantah bahwa di masa kekuasaannya, Soekarno terbiasa menangkapi seenaknya lawan-lawan politiknya –dan demikian pula yang dipraktekkan oleh tokoh-tokoh kekuasaan di sekitarnya– serta membiarkan PKI menindas secara mental dan fisik masyarakat pedesaan maupun perkotaan yang tidak seideologi dan tidak menerima konsep Nasakom, sebagaimana ia pun menutup mata terhadap ekses-ekses kekerasan (dan juga korupsi) yang dilakukan kalangan militer.

Pengkhianatan Terhadap Janji Penegakan Rule of Law

Sebagai rezim pengganti, rezim Soeharto telah mengkhianati janji ‘penegakan rule of law’. Bahkan lebih dari itu, Soeharto dan sejumlah pengikutnya juga telah mengkhianati gagasan awal Orde Baru, dengan meminjam penamaan Orde Baru bagi rezimnya untuk kemudian mengganti isinya dengan hasrat dan perilakunya sendiri yang pada hakekatnya totaliteristik, tidak demokratis, tidak adil, memakmurkan segelintir orang sambil memelaratkan rakyat banyak, serta menggunakan hukum sebagai alat represi dan alat pemukul dari kekuasaan (dan pada sisi sebaliknya menjadi alat pelindung bagi perilaku korup dan penyimpangan kekuasaan lainnya). Padahal, pada awal kelahirannya, baik menurut Seminar Angkatan Darat II maupun menurut kaum intelektual pembaharu yang memperkaya dengan gagasan modernisasi bangsa, Orde Baru adalah sebuah konsep pembaharuan yang berupa bangunan politik yang menjamin demokrasi dan hak azasi rakyat, memberi harapan akan penghidupan yang layak melalui pembangunan masyarakat dengan tujuan akhir adil makmur. Tetapi di tangan Soeharto kemudian, konsep itu telah berubah menjadi –meminjam istilah yang digunakan almarhum Soe-Hokgie– sekedar Orde Baru in terminology, tetap tinggal sebagai istilah dan tidak diwujudkan sebagaimana mestinya menurut cita-cita awal. Suatu nasib yang mungkin saja juga akan –dan mungkin saja sudah– dialami dengan terminologi reformasi di masa pasca Soeharto ini.

Ketiadaan hasrat menegakkan rule of law dalam kenyataan agaknya menjadi milik hampir seluruh kekuasaan pemerintahan dalam sejarah Indonesia merdeka. Dalam masa demokrasi parlementer tahun 1950-an sampai 1959, hasrat penegakan hukum yang bersungguh-sungguh secara insidental mungkin saja sempat dibuktikan, namun secara keseluruhan upaya seperti itu pada umumnya tenggelam dalam hiruk pikuk krisis politik yang terus menerus terjadi dalam satu rentetan panjang. Antara 1959 hingga 1965, penegakan hukum sama sekali berada tak jauh-jauh dari sekitar titik nol. Yang masih dilaksanakan mungkin hanyalah penegakan hukum terhadap kriminal kelas bawah yang berfungsi sebagai alat penertiban dan pengamanan bagi jalannya kekuasaan. Kejahatan-kejahatan berlatar belakang politik kekuasaan yang dilakukan oleh orang-orang sekitar Soekarno, begitu pula kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh perorangan militer (dan atau para penguasa wilayah militer dengan penampilan bagaikan warlord) menjadi satu daftar X yang tak terjamah. Dalam daftar X ini terdapat berbagai kasus penyelundupan dengan pelaku kalangan aparat, penahanan-penahanan tanpa alasan hukum yang semata-mata berdasarkan sentimen pribadi dan politik, pembunuhan dan perkosaan oleh kalangan bersenjata terhadap anggota masyarakat, kejahatan seks sejumlah petinggi negara, penggunaan dana-dana revolusi untuk kepentingan pribadi yang tak ada pertanggungjawabannya dan sebagainya.

Di masa kekuasaan Soeharto dalam daftar X pun terdapat kasus-kasus yang pada hakekatnya sama dengan masa sebelumnya sebagai bagian dari watak korupsi kekuasaan. Pada mulanya ada kasus-kasus ekses semacam kasus Sum Kuning sampai dengan kasus yang penyelesaiannya digelapkan semacam Peristiwa 6 Oktober 1970, serta penyelundupan ala Robby Cahyadi dengan bayangan nama kekuasaan di belakangnya sampai dengan penyelundupan senjata yang melibatkan perwira-perwira tinggi. Lalu meningkat dengan kejahatan-kejahatan yang lebih serius terhadap kemanusiaan, seperti penembakan-penembakan misterius di luar jalur hukum dan pengadilan terhadap yang dianggap kaum kriminal, sampai dengan penculikan dan eliminasi terhadap aktivis pro demokrasi. Di sela-sela itu, terdapat deretan kasus-kasus yang tak pernah diperjelas oleh kepolisian seperti: Pembunuhan peragawati Dietje di Jakarta yang punya jalinan tali temali dengan suatu skandal tingkat tinggi; Pembunuhan wartawan Udin (Syarifudin) dari Yogya yang mengorek-ngorek suatu kasus money politic; Serta penyelesaian-penyelesaian berbagai kasus dengan kekerasan dan kesewenang-wenangan berdarah seperti antara lain kasus penyelesaian perburuhan melalui pembunuhan wanita aktivis buruh bernama Marsinah.

Dalam kaitan peristiwa 15 Januari 1974 pun rule of law tidak ditegakkan. Ada sejumlah orang yang ditangkap berbulan bahkan bertahun lamanya tanpa alasan yang kuat, melainkan semata-mata karena laporan intelejen dan hasrat subjektif dalam rangka pertarungan internal kekuasaan dan atau sekedar karena persaingan politik. Hanya tiga di antara yang ditahan dalam kaitan peristiwa itu yang kemudian diadili –dengan suatu proses yang terasa sangat artifisial– dan mendapat vonnis hukuman penjara. Lainnya, berangsur-angsur dibebaskan tanpa proses hukum lagi. Setelah tahun 1974, sejalan dengan makin ketatnya kekuasaan dijalankan, tindakan sewenang-wenang yang bertentangan dengan hukum makin kerap dilakukan penguasa dalam menyelesaikan berbagai persoalan, termasuk persoalan-persoalan politik. Kekerasan dan paksaan dalam pembebasan tanah rakyat, seperti dalam kasus pembangunan waduk Kedung Ombo. Kejahatan kemanusiaan menjadi bagian operasi-operasi militer di Timor Timur, Irian Jaya dan Aceh. Tindakan kekerasan terhadap kampus-kampus juga dilakukan, melalui antara lain peristiwa kekerasan terhadap mahasiswa Bandung yang berakhir dengan pendudukan beberapa kampus terkemuka di Bandung di tahun 1978.

Tak Berakhir Bersama Berakhirnya Soeharto

Turunnya Soeharto dari kekuasaan negara untuk digantikan oleh pimpinan-pimpinan negara yang baru, tidak mengakhiri ‘kegelapan’ penegakan hukum. Tak pernah berhasil dilakukan penyelesaian hukum yang adil terhadap kasus-kasus kejahatan kemanusiaan dalam Peristiwa Mei 1998, peristiwa berdarah Trisakti, serta peristiwa Semanggi I dan II. Kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi dan terus berlanjut di berbagai wilayah tanah air, terutama di Maluku, Ternate dan Poso Sulawesi Tengah.

Suasana lemahnya penegakan hukum karena faktor-faktor kekuasaan, tentu saja makin menyuburkan perilaku korupsi dan kejahatan terhadap keuangan negara lainnya. Sementara kasus korupsi dan kejahatan keuangan lainnya dari masa lampau tak tertangani, korupsi-korupsi baru pun terjadi terus. Tatkala menjadi Jaksa Agung dalam masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, saya mengalami betapa sulitnya untuk menindaki kejahatan-kejahatan terhadap kekayaan negara itu. Selain kelemahan-kelemahan internal kalangan penegak hukum –yang harus saya akui memiliki kelemahan teknis dan ketidakkebalan terhadap aneka godaan– kendala-kendala luarbiasa juga datang dari arah eksternal, termasuk dari sesama kalangan pemerintahan dan dari kalangan politik. Segala sesuatu selalu dihubung-hubungkan dengan politik dan ini tak jarang membuat penegak hukum terjepit dan tersudut dalam situasi dilematis. Para pelaku kejahatan selalu mendalihkan penindakan atas dirinya bernuansa politis. Maka tak jarang gerakan-gerakan politik dikerahkan sebagai alat pembelaan diri. Seringkali para pelaku kejahatan keuangan ini mendadak ditampilkan sebagai ‘pahlawan’ yang sedang ditindas, sedang teraniaya oleh balas dendam politik. Pelaku korupsi dari kalangan militer gagal untuk tersentuh, ketika pengadilan kaum sipil malah ikut memperkuat kekhususan dan privilege para petinggi militer dalam perangkat peraturan yang ada. Pokok persoalan, yaitu fakta hilangnya kekayaan negara lalu menjadi kabur, berubah menjadi polemik tentang tetek bengek adu argumentasi masalah teknis yang jauh dari esensi hakekat penegakan hukum dan keadilan. Persoalan lalu tak terselesaikan, dan selamat lah mereka yang disangka sebagai pelaku kejahatan keuangan itu. Hal serupa terjadi pada kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan.

Secara khusus perlu digarisbawahi betapa penegakan hukum amat banyak mengalami benturan tatkala penegakan hukum itu masuk ke kawasan institusi militer dan terarah kepada perorangan-perorangan tokoh militer sebagai pihak yang harus diusut dan ditindaki. Baik itu dalam kasus-kasus korupsi yang dilakukan di ruang institusi sipil maupun dalam kasus-kasus kejahatan dan kekerasan terhadap kemanusiaan. Sepanjang yang dapat dicatat, harus diakui tak ada kasus korupsi di institusi sipil dengan pelaku militer yang pernah dan berhasil dituntaskan secara hukum. Dan penjatuhan hukuman hanya pernah terjadi pada saat korupsi itu dilakukan oleh pelaku militer dalam satu institusi militer sendiri. Apakah pihak militer tidak berkepentingan untuk ‘mencampuri’ penegakan hukum kasus-kasus korupsi –kendati pelakunya untuk sebagian besar adalah juga kalangan militer– atas uang negara yang dilakukan di luar pagar institusi (militer) mereka ? Itu menjadi satu tanda tanya. Sementara itu dalam kejahatan kemanusiaan –menyangkut pelanggaran hak azasi manusia yang dilakukan atas nama negara– masalahnya menjadi jauh lebih pelik. Praktis tak ada akses non militer yang diperkenankan masuk untuk membuka arsip-arsip dan dokumen militer yang dibutuhkan, dan bila penelitian dilakukan dalam satu tim gabungan pencari fakta, maka hanya unsur militer dalam tim itu yang bisa melakukannya dengan segala kendala hirarkis dan birokrasi dalam tubuh institusi militer. Saya perlu memberi catatan bahwa adalah kesia-siaan dalam penegakan hukum sebelum kita berhasil menciptakan perubahan paradigma menyangkut posisi militer dalam perangkat hukum dan perundang-undangan kita dan sebelum kita melakukan reposisi dalam rangka supremasi sipil. Belum lagi soal perbedaan visi sipil dan visi militer dalam memandang prinsip negara hukum dan penegakan rule of law. Pendapat ini saya utarakan tanpa perlu ada yang menganggap saya tidak menyukai peranan historis militer dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara.

Merupakan fenomena kala itu, setiap kali ada calon tersangka baru diperiksa di Kejaksaan Agung, serangkaian demonstrasi dengan sasaran Kejaksaan Agung terjadi. Memang, tema-tema yang ditampilkan dalam aksi unjuk rasa itu umumnya sepertinya idealistis dan ‘mulia’ mengenai penegakan hukum, namun senantiasa pula dibarengi kecaman yang menyudutkan dan tuduhan-tuduhan latar belakang politis. Kepada saya pernah disajikan –oleh saudara Rum Aly, penulis buku ini– sejumlah data yang menunjukkan indikasi adanya korelasi antara frekuensi pengajuan calon tersangka dengan frekuensi unjuk rasa ke Kejaksaan Agung pada kurun waktu yang bersamaan. Menurut ‘penelitian’ dan informasi yang diperoleh oleh yang bersangkutan, sebagian terbesar –untuk tidak menyebut hampir seluruh– unjuk rasa itu dibiayai oleh orang-orang yang sedang dalam ‘kasus’, tanpa disadari oleh massa atau anggota masyarakat yang dikerahkan. Pengerahan-pengerahan massa dengan tujuan tak wajar dan kontra produktif semacam itu dipermudah oleh kenyataan bahwa ketika itu kalangan pemerintahan memang juga banyak mengeluarkan statemen-statemen yang tidak bisa dipahami masyarakat apa maksud dan tujuannya karena dilontarkan begitu saja, bahkan dalam banyak hal bisa mengandung kontroversi satu dengan yang lainnya. Sehingga, tidak populer dan merupakan sasaran empuk untuk kecaman yang sulit dibela dan dielakkan. Saya tidak sempat mengusut lebih jauh kebenaran informasi tersebut. Namun menurut logika dan data empiris, mereka yang menyandang ‘kasus’ pada umumnya pernah berhasil mengambil dan menguasai kekayaan negara dalam jumlah puluhan dan ratusan miliyar, bahkan hingga triliunan rupiah, sehingga secara finansial memang mempunyai kemampuan membiayai apa saja. Apalagi di zaman ini menurut kata orang ‘segalanya serba bisa dibeli’. Bahkan sel penjara pun, menurut berita satire kalangan pers, bisa ‘dibeli’ untuk direnovasi menjadi ‘kamar hotel’ yang nyaman.

Realita Keadaan Hukum Tanpa Hukum

Berdasarkan pengamatan, selama ada di dalam maupun di luar pemerintahan, saya menyimpulkan –sebagaimana  pernah saya sampaikan dalam suatu pernyataan pers di tahun 2003–  dewasa ini kita menghadapi suatu realitas bahwa masyarakat Indonesia berada dalam suatu ‘keadaan hukum tanpa hukum’. Keadaan hukum tanpa hukum itu adalah suatu keadaan di mana hukum lebih bersifat indikatif sebagai tanda telah diterapkannya ketentuan hukum. Keadaan semacam ini membuat masyarakat tak dapat lagi mengenali apa yang disebut penegakan hukum sesungguhnya. Penegakan hukum tidak bisa lagi dibedakan dengan sekedar keinginan dan keharusan untuk nampak menjalankan hukum. Keadaan ini secara menyeluruh sama sekali tidak lagi memungkinkan hukum menjalankan fungsi regulatoir yang masuk akal, melainkan semata-mata telah menjadi alur birokrasi untuk memproduksi dan mengadministrasi pemberkasan. Ini berarti bahwa disfungsi sistem telah menyebabkan hukum kita telah berada pada suatu posisi yang sedemikian tiada. Dalam pada itu, ketertiban minimal yang disangka masih berlangsung dewasa ini, tidaklah bersumber pada hukum, melainkan merupakan ketertiban sebagai sisa momentum otoriterisme masa lalu. Dengan demikian penegakan hukum tidak lagi mungkin dilakukan dari dalam sistem hukum itu sendiri, melainkan memerlukan upaya-upaya luar biasa di bidang politik.

Sementara itu proses koruptif yang berkelanjutan secara definitif menutup seluruh kemungkinan membawa masyarakat keluar dari lingkaran kebathilan yang permanen. Untuk itu langkah memulihkan fungsi hakiki hukum harus mulai dengan menciptakan kesepakatan di antara kekuatan-kekuatan efektif yang berada dalam masyarakat sebagai realitas politik Indonesia. Kesepakatan itu tampaknya harus didasarkan pada perjanjian bersama bahwa penegakan hukum yang sesungguhnya hanya mungkin bila politik hukum terutama diarahkan ke depan. Momen kebenaran dari situasi kita saat ini ialah bahwa perjanjian politik itu harus dilakukan pada kesempatan pertama, tanpa terikat dengan momentum pemilihan umum, karena pemilihan umum itu sendiri mungkin tidak dapat menjamin perobahan sekalipun berlangsung proses legitimasi demokratis di antara partai-partai. Perobahan mendasar yang demokratis yang secara moral mengindahkan kondisi prihatin rakyat hanya dapat dilakukan melalui peranan historis dan visioner pemimpin-pemimpin, dari masyarakat maupun mungkin dari partai-partai politik. Sementara ini, karena persepsi stigma korupsi yang melanda berbagai partai politik, kredibilitas partai kian memudar.

Pemulihan hukum hanya mungkin bilamana proses rekonsiliasi politik nasional berlangsung. Prakarsa ini tidak dapat diharapkan dilakukan oleh pemerintah melainkan oleh pemimpin-pemimpin di masyarakat, para cendekiawan dan partai-partai politik yang memperbaharui legitimasinya melalui pemilihan umum dan telah melakukan perbaikan signifikan dalam dirinya. Untuk memulihkan kredibilitas guna memprakarsai rekonsiliasi yang didukung oleh rakyat, partai-partai politik harus dipersepsi dan dipercayai bebas dari stigma korupsi. Kembali kepada sejarah perjuangan mahasiswa, yang menjadi pokok pemaparan dalam buku ini, mahasiswa dari generasi terbaru bisa dan berkesempatan besar memposisikan diri dalam peran terbaiknya selaku intelektual muda. Tentunya dengan tidak lupa mempelajari dan mencermati pengalaman-pengalaman pergerakan kritis mahasiswa –dengan segala keberhasilan maupun kegagalannya– dari waktu ke waktu hingga saat ini.

64 Tahun Bersama Indonesia Merdeka: Menangis Bahagia dan Tertawa Sedih (3)

“Awal dari suatu persoalan baru dalam perjalanan mencapai demokrasi atau bahkan sebagai satu bangsa yang utuh?”. “Menangis dan tertawa menanti datangnya keadilan sosial dan keadilan politik yang belum juga tiba”.

Para penguasa baru pasca Soeharto, pun ternyata tak punya kemampuan untuk keluar dari lingkaran kekeliruan persepsi dan tak mampu menarik pelajaran dari sejarah, betapa pun mereka semua merasa paham sejarah. Presiden BJ Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputeri bahkan hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan kadar yang berbeda-beda cenderung hanya mengulangi kekeliruan demi kekeliruan masa lampau.( Lihat juga beberapa tulisan lain dalam blog ini).

Tentu saja dalam kaitan ini kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono –yang kini akan segera memasuki masa jabatan yang kedua kali– memerlukan telaah, pengamatan dan ujian lebih lanjut. Ia adalah tokoh yang berlatarbelakang pendidikan dan karir militer masa Soeharto, namun tatkala maju untuk tampil dalam pemilihan Presiden secara langsung, baik di tahun 2004 maupun di tahun 2009, membawakan tema-tema demokrasi dan tema supremasi sipil. Setidaknya, tidak terlalu menonjolkan ketokohannya sebagai seseorang yang berlatarbelakang militer, meskipun masih banyak menunjukkan kegamangan sebagai ‘penguasa sipil’. Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahannya yang pertama, ia harus ‘berhadapan’ dengan kekuatan partai-partai yang mendominasi lembaga legislatif dan seakan menciptakan suatu kekuasaan tersendiri. Namun, dalam realita sejauh ini, baik kekuatan partai maupun kalangan pengendali kekuasaan baru, ternyata masih saja berada sekedar pada dataran retorika dan belum tampak mengedepankan altruisme dalam menjalankan kekuasaan itu, sehingga dengan sendirinya belum tiba pada suatu pencapaian yang bermakna. Pertengkaran politik membuat pembangunan ekonomi dan keadilan yang terkait dengannya banyak terabaikan. Bagaimana ke depan, untuk sementara kita hanya bisa meraba-raba dalam kesangsian mengenai apa yang nanti bisa dicapai oleh para pemimpin hasil pilihan kita yang berkategori ‘the bad among the worst‘ dalam pemilihan presiden yang baru lalu.

Demokrasi di tepi perbatasan anarki. PARTAI-PARTAI yang muncul berperan dan mengambil keuntungan dari mundurnya Soeharto karena tekanan mahasiswa di tahun 1998 dalam pada itu juga berada dalam suatu siklus pengulangan sejarah. Samasekali tanpa sesuatu yang bermakna pencerahan, kecuali dalam retorika. Menoleh ke masa lampau, setelah Pemilihan Umum 1955, partai-partai politik di Indonesia memperoleh kesempatan menjalankan peran membangun dan mengokohkan demokrasi. Tetapi pola ideologistis yang mereka anut menjadi kendala. Selain itu, partai-partai itu mendapat dukungan-dukungan dari massa berdasarkan sifat-sifat primordial sebagai produk masa feodalistik ratusan tahun. Keadaan ini, seperti digambarkan Alfian, menyebabkan sikap dan tingkah laku politik para elite yang menjadi pemimpin partai, amat banyak ditentukan oleh hubungan emosional dengan massa pendukung mereka yang sepenuhnya berdasarkan tali ikatan primordial –karena ikatan suku, agama, tradisi atau aliran kebudayaan. Akibatnya, berbagai kelompok elite yang mempunyai ikatan yang amat erat seperti itu dengan para pengikut mereka, selanjutnya tentu saja memberi kerangka terbentuknya kotak-kotak kekuatan politik yang ketat. Sebaliknya, karena para pengikut menerima kepemimpinan elitenya secara emosional primordial, mereka tidak mungkin bersikap kritis dan rasional. Sebagai hasil akhir, pola hubungan antara pemimpin dan pengikut dalam suatu organisasi sosial politik tetap saja masih jauh dari format yang demokratis. Bahkan, situasi itu cenderung memperkuat ego para pemimpin untuk bersikap mau menang dan benar sendiri karena mengetahui bahwa mereka mempunyai pengikut yang selalu bisa diandalkan untuk mendukung ‘kebenaran’ mereka. Corak yang feodalistik ini, pada hakekatnya mempunyai kesejajaran dengan suasana otoriter dalam arti kebijaksanaan para pemimpin selalu disetujui atau diterima sebagai kebenaran. Itulah antara lain yang menyulitkan Indonesia, semenjak kemerdekaan, membangun suatu sistem politik yang demokratis yang handal. Hal ini kembali berulang pasca reformasi 1998, setelah ditumbangkannya sistem otoriter yang berlangsung berturut-turut, di bawah Soekarno tahun 1959-1965 dan di bawah Soeharto tahun 1967-1998.

Kita melihat bahwa penggambaran periode 1955-1959 sebagai periode yang sangat demokratis, dengan demikian, untuk sebagian hampir bernilai sekedar mitos –dalam artian sebagai bagian sejarah yang dipercantik. Kulit luar pelaksanaannya tampak sangat demokratis, dijalankan dengan cara yang amat liberal, amat bebas, sesuatu yang pada beberapa periode sejarah berikutnya kemudian amat dikecam bahkan dikutuk. Kebebasan berpendapat yang dipraktekkan kala itu, di satu sisi amat menakjubkan sebagai fenomena demokrasi di negara yang berusia muda, namun pada sisi lain mengabaikan dimensi solidaritas dan kebersamaan dalam mencapai tujuan bernegara. Demokrasi, sebagai way of social life –selain sebagai suatu bentuk sistem pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat– tidak mengingkari perbedaan-perbedaan antar manusia, bahkan amat menghormatinya, namun demokrasi itu pada hakekatnya lebih mengutamakan persamaan-persamaan dan kebersamaan. Demokrasi dalam pengertian terbaru, juga mengandung jaminan atas hak-hak azasi manusia, sehingga begitu kebebasan mulai mengorbankan aspek hak azasi manusia ini, demokrasi telah berada di tepi perbatasan anarki dan selangkah  lagi segera tergelincir ke dalamnya yaitu di saat kekerasan menjadi cara menyelesaikan persoalan.

Dengan pengutamaan kebebasan dalam demokrasi yang dipraktekkan setelah 1955, mengakibatkan pada akhirnya tak adanya pencapaian bermakna dalam kerangka terbangunnya demokrasi. Selain itu, bila memakai kriteria Jack Snyder (2000), bahwa di samping faktor kebebasan, demokrasi juga membutuhkan sejumlah kriteria lain berupa kondisi awal tertentu yang memadai, maka demokrasi yang dipraktekkan sesudah Pemilihan Umum 1955 hingga tahun 1959, belumlah merupakan demokrasi sesungguhnya. Setidaknya, belum mencapai kematangan meski telah berlangsung empat tahun lamanya, dan apalagi kemudian tidak memperoleh kesempatan pembuktian lanjut karena dipotong oleh Presiden Soekarno dan tentara, yang menyodorkan Dekrit 5 Juli 1959. Menurut Snyder, seperti disimpulkan Arief Budiman (2003), selain kebebasan, demokrasi juga membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan politik memadai dari rakyat sebagai ‘penghuni’ utama dalam sistem demokrasi, serta dukungan elite politik terhadap demokrasi, ditopang tingkat perkembangan tertentu yang memadai dalam kehidupan ekonomi. Justru dalam konteks Indonesia, terdapat pertanyaan berkonotasi ‘lingkaran setan’, yakni apakah rakyat dicerdaskan melalui sistem demokrasi ataukah demokrasi berkembang karena topangan kecerdasan rakyat? Dan apakah dengan demokrasi rakyat dimakmurkan, atau dengan kemakmuran tercipta demokrasi untuk rakyat? Faktanya, dua pokok yang dipertanyakan dalam kedua pertanyaan tersebut belum pernah tercapai, hingga kini.

Pada periode liberal itu, perilaku demokratis memang terlihat tampil hampir sempurna dalam hubungan personal sejumlah tokoh elite tertentu seperti misalnya di antara tokoh-tokoh Masjumi, PSI dan PNI. Tetapi, itu terbatas di antara mereka saja, dan atau di forum-forum terbuka, terutama di parlemen dan konstituante. Namun, hubungan dan interaksi demokratis secara vertikal tidak terjadi antara elite partai dengan massanya dan tidak pula terjadi secara luas dan horizontal di lapisan massa pengikut yang primordial. Bahkan bila kembali berada di tengah kancah kegiatan politik kepentingan partainya masing-masing, para elite yang ‘demokratis’ itu cenderung kembali menjelma sebagai pribadi-pribadi irrasional yang lebur dalam standar perilaku massa dengan segala kelemahannya (Bandingkan dengan kaum intelektual, termasuk yang muda, yang cenderung lebur hilang ke-intelektual-annya saat menjadi anggota tim sukses dalam pemilihan umum dan pemilihan presiden 2009 yang baru lalu). Terlebih-lebih di partai dengan ideologi ketat seperti PKI, benih demokrasi samasekali tak muncul. Begitu pula dengan Partai NU yang tradisional, atau PNI yang paternalistik. Apalagi tentunya di kalangan militer yang tidak dimaksudkan sebagai institusi yang demokratis secara internal.

Sebagai partai, semua partai hasil pemilihan umum 1955, tetap tampil dalam kelompok kepentingan yang mau menang sendiri. Akibatnya, terjadi kehidupan parlementer yang sebenarnya lebih merupakan arena friksi kepentingan daripada penampilan untuk mewujudkan kepentingan bersama. Dan itupun tercermin pula dalam menjalankan dan memahami kekuasaan negara sehari-hari. Intrik politik dan praktek kotor terjadi di bawah permukaan, untuk saling melemahkan lawan. Kehidupan politik dan kehidupan parlementer seperti itulah, yang seolah-olah demokratis karena kebebasannya yang fenomenal namun pada hakekatnya hanyalah ajang pertarungan kepentingan sempit, yang kemudian dijadikan Soekarno dan juga tentara menyodorkan Dekrit 5 Juli 1959 dan kembali ke UUD 1945, yang pada akhirnya juga malah melahirkan otoriterisme di bawah Soekarno. Suatu otoriterisme yang kemudian melanjut dan menjadi lebih kuat di bawah Soeharto, dalam bentuk penghambaan terhadap kekuasaan. Pasca Soeharto, tak ada perubahan kualitatif bermakna mengenai pemahaman dan cara menjalankan kekuasaan dalam negara dan dalam masyarakat. Kekuasaan, meneruskan cara pandang lama, senantiasa masih dikaitkan dengan kualitas tertentu berdasarkan kekuatan uang, otot massa, dogma agama maupun ideologi. Dan berdasarkan kualitas dan kekuatan itu, muncul kelompok-kelompok kekuasaan, di dalam maupun di luar pemerintahan dan lembaga-lembaga negara, yang merasa mempunyai otoritas untuk memonopoli kebenaran dan menghakimi pihak lain berdasarkan kaidah moral dan ukuran kebenarannya sendiri.

Dengan pelaku-pelaku kehidupan kepartaian dan kekuasaan negara saat ini, hingga 2009, yang pada hakekatnya melakukan pengulangan atas sejumlah kesalahan masa lampau, adakah yang pantas untuk diharapkan dalam kerangka penegakan demokrasi ? Apakah seperti halnya dalam berbagai momen sejarah, kembali peran kaum intelektual perguruan tinggi, khususnya mahasiswa, akan diperlukan lagi? Mungkin saja mahasiswa sebagai kelompok yang senantiasa dianggap sebagai kekuatan moral dalam masyarakat masih akan dipaksa oleh keadaan untuk setidaknya dalam situasi dan momen tertentu mengambil peran yang bersifat kritis. Tetapi kelompok mahasiswa ini bukannya tanpa masalah. Mahasiswa pun sejak lama telah terlepas dan kehabisan mitos mengenai peranan mahasiswa di masa lampau, dan untuk gantinya seakan-akan sedang mencari sejumlah mitos baru, padahal yang dibutuhkan sebenarnya adalah konsep dan sudut-sudut pandang yang baru.

Pemaknaan baru, menangis dan tertawa. Untuk sumber inspirasi, yang perlu dimiliki mahasiswa generasi baru adalah pemahaman dan pemaknaan baru mengenai kekuasaan yang positif yang akan menjadi bagian dari pencerahan. Pemahaman dan pemaknaan berdasarkan pengalaman-pengalamannya sendiri menghadapi rasa sakit yang ditimbulkan oleh kejahatan terhadap kemanusiaan dan keadilan yang dilakukan kalangan kekuasaan selama ini. Cakrawala baru yang sedang membuka adalah perjuangan menyangkut kemanusiaan dan keadilan, yang bersifat universal, dan bukan lagi semata dalam perspektif nasionalisme dan perjuangan kedaulatan negara.

Sejak menjalankan peran sebagai kekuatan penekan –yang kita anggap saja sebagai kekuatan dan gerakan moral– menjelang tahun 1998 dan sesudahnya hingga kini, tak pernah terkomunikasikan kepada masyarakat apa sebenarnya latarbelakang konsep dan pemikiran dari lapisan-lapisan kelompok ini. Sehingga kerap ada vonnis bahwa mereka memang tak punya konsep yang jelas, kecuali pola reaktif yang berlangsung eskalatif. Pers kita pun tak pernah mengambil peran perantara –seperti yang pernah dijalankan sejumlah pers di masa lampau, di akhir tahun 60-an dan di awal tahun 70an misalnya– untuk mencoba membuat jelas apa sebenarnya yang menjadi aspirasi, konsep dan pemikiran dari kelompok generasi muda ini. Pers Indonesia pada umumnya agaknya sudah memiliki ‘permainan’nya sendiri, jaringan kepentingannya sendiri, lengkap dengan selera dan skenarionya masing-masing. Apa yang terkomunikasikan ke hadapan masyarakat hanyalah wajah mahasiswa dalam gerakan massa yang berupa demonstrasi-demonstrasi, sebagai generasi ‘noman’, kerapkali lengkap dengan wajah dan perilaku sama ‘ganas’ dan bahkan sama brutalnya dengan aparat kepolisian yang menghadapi mereka di ‘garis depan’. Maka, masyarakat bingung untuk menetapkan dukungan mereka.

Namun, sesungguhnya mahasiswa tidaklah sendirian dalam sindrom kekerasan, menampilkan wajah dan perilaku ganas, menampilkan kebrutalan yang dalam beberapa kasus telah pula mengalirkan darah. Berbagai kekuatan politik dan kekuatan dalam masyarakat, telah turut serta dalam arus ini, tatkala bergesekan satu sama lain dan berkonfrontasi dengan kekuasaan negara, saat menjalankan apa yang mereka pahami sebagai ekspresi dalam kehidupan demokrasi. Tanpa pengendalian nalar secara sadar, beberapa tapak lagi, sikap ganas dan brutal akan berubah menjadi rasa haus yang mencandu akan kekerasan dan darah, mewarisi dan melanjutkan budaya berdarah yang turun temurun timbul tenggelam sepanjang sejarah Nusantara. Untuk sementara ini, terkesan seakan bangsa ini cenderung memilih ‘kembali ke masa lampau’ dengan corak seperti itu. Kehilangan rasa sebagai satu bangsa, dan kembali lebih merasa sebagai sekedar satu kelompok etnis atau suku atau satu kelompok agama belaka dalam satu solidaritas sempit. Awal dari suatu persoalan baru dalam perjalanan mencapai demokrasi atau bahkan sebagai satu bangsa yang utuh?

ENAM puluh empat tahun sudah bangsa ini bisa merasa bahagia karena telah menjadi bangsa yang resmi merdeka, meski masih harus menangis oleh realita kehidupan yang tidak selalu mudah dan cenderung tidak adil: Harga beras naik, biaya pendidikan makin tak terjangkau, menjaga kesehatan adalah mewah, dan seterusnya. Enam puluh empat tahun pula bangsa ini tetap bisa tertawa dan mampu menertawakan diri dalam kisah kemalangan sosiologis yang panjang, karena selalu ada rasa ‘beruntung’ setiap kali lolos dari bencana (“untung ada bantuan”) atau kecelakaan (“untung tidak mati”) atau sedikit tertolong dari belitan kemiskinan (“untung ada BLT”) dan seterusnya. Saat kebanggaan sebagai bangsa dan nasionalisme dibangkitkan secara revolusioner, urusan perut rakyat terlupakan. ‘Bahagia’ karena penuh kebanggaan semu, tetapi harus menangis karena tak ada kepastian hidup bagi anak dan keluarga. Saat pertumbuhan ekonomi berhasil dipacu, aspek keadilan tertinggal. Bisa tertawa menyaksikan begitu banyak kemajuan ekonomi di depan mata, tetapi harus sedih karena tidak ikut menikmati. Lalu bagaimana saat kehidupan bernegara penuh pertengkaran, sementara pertumbuhan ekonomi berjalan lambat-lambat saja, seperti yang dialami beberapa tahun belakangan ini? Tetapi, apapun yang telah terjadi, dengan demikian, menjadi jelas bahwa bangsa ini amat berpengalaman sebagai bangsa yang “menangis bahagia, tertawa sedih”, selama setidaknya 64 tahun terakhir. Seraya, tetap menantikan keadilan sosial dan keadilan politik yang belum juga tiba. Selesai.