SEBUAH peryanyaan: Apakah kita harus menelaah ulang dan memahami dengan mendalam sistem penyelenggaraan negara, baik melalui pendekatan filosofis maupun dengan data historis? Sebuah buku baru yang akan segera diluncurkan ke publik, Nation in Trap –ditulis Effendi Siradjuddin– menyebutkan bahwa ada kekeliruan mendasar yang dilakukan oleh para ahli selama ratusan tahun mengenai bagaimana mereka melihat peristiwa-peristiwa dalam sejarah kemanusiaan. Baik itu dikaitkan dengan sejarah sosial dan politik terkait penempatan kaum usahawansebagai tulang punggung kemajuan peradaban, maupun kemudian keruntuhan peradaban.

Khewaniah. Ada beberapa catatan menarik terdapat dalam buku tersebut. Antara lain, pembahasan kerakusan manusia sebagai sifat yang ada tali temalinya dengan naluri khewaniah yang untuk sebagian masih dimiliki manusia. Terlepas dari sudut pandang agama, dalam teori evolusi, manusia berada pada mata rantai berikut setelah khewan. Secara tak langsung bagaimanapun ada kelanjutan sifat-sifat khewaniah yang dimiliki manusia, yang baik maupun yang buruk. Manusia dan khewan sama-sama memiliki naluri berkumpul (suatu positive instinc) dengan sesama. Pada primata kera –jenis binatang menyusui yang tertinggi kelasnya– yang paling dekat dengan manusia dalam mata rantai evolusi, terjadi pengelompokan sampai 50 anggota di bawah satu pemimpin yang mampu mengontrol keamanan dan kenyamanan anggotanya. Akan tetapi bilamana jumlah anggota kelompok lebih dari 50, akan tercipta suatu keadaan tak terkontrol lagi.
Pada manusia, naluri berkumpul itu pada akhirnya diwujudkan dalam bentuk masyarakat, lengkap dengan suatu sistem kebersamaan. Salah satu puncak sistem kebersamaan adalah sistem demokrasi, yang menjadi kebutuhan untuk mengantar manusia ke tingkat kehidupan aman-adil-makmur. Namun sejarah menunjukkan, bahwa demokrasi di Barat telah dibiaskan Continue reading Kerakusan Khewaniah dan Kekuasaan