Tag Archives: Marzuki Darusman

Kisah Dua Jenderal, Setelah Bom JW Marriot-Ritz Carlton

Sekali lagi, Prabowo Subianto ‘tergiring’ ke posisi ‘tersangka’?

HANYA dalam hitungan jam setelah terjadinya ledakan bom Jumat pagi 17 Juli di dua hotel berbintang di Mega Kuningan Jakarta, JW Marriot dan Ritz Carlton, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono –yang adalah seorang jenderal purnawirawan– tampil dengan pernyataan-pernyataan ‘keras’ dengan implikasi politis yang luas. Selain mengutuk aksi pemboman itu, Presiden mengungkap adanya kegiatan kelompok teroris yang berlatih menembak dengan menggunakan foto dirinya sebagai sasaran tembak. Presiden menunjukkan foto-foto yang menunjukkan adegan-adegan pelatihan tersebut. Satu diantaranya menunjukkan foto wajahnya yang pada pipi kiri terlihat lubang bekas tembusan peluru. Ini laporan intelijen, “ada rekaman video, ada gambar, bukan fitnah, bukan isu”, ujar Presiden.

Masih berkaitan dengan laporan intelijen, ungkapnya lebih jauh, ada rencana untuk melakukan kekerasan dan tindakan melawan hukum berkaitan dengan hasil pemilu. Ada pula rencana untuk pendudukan paksa KPU pada saat nanti hasil pemungutan suara diumumkan. “Ada pernyataan akan ada revolusi jika SBY menang…. Ada pernyataan kita bikin Indonesia seperti Iran”. Seperti kita ketahui, Iran yang baru saja melaksanakan pemilihan presiden, bergolak karena adanya kecurigaan kecurangan dibalik kemenangan Ahmadinedjad yang kedua kali. Menurut Presiden, ada pula pernyataan bahwa “bagaimanapun juga SBY tidak boleh dan tidak bisa dilantik” kembali sebagai presiden. Pada kesempatan yang sama, tanpa menyebutkan nama, Presiden mengungkap adanya ‘penjahat’ yang di masa lampau telah melakukan kekerasan politik berupa penghilangan paksa dan bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Dan orang tersebut masih bebas berkiprah hingga kini.

Meski samasekali tidak menyebut nama, sadar atau tidak, pemaparan Presiden itu menimbulkan asosiasi ke arah tokoh tertentu. Tokoh yang selama ini senantiasa dikaitkan dengan kekerasan politik berupa penghilangan paksa berupa penculikan yang mungkin berlanjut dengan penghilangan nyawa, di masa kekuasaan Soeharto, adalah Letnan Jenderal Prabowo Subianto, yang kala itu juga adalah menantu Soeharto. Isu mengenai ini telah beredar luas dalam khazanah politik 1998 dan sesudahnya. Laporan TGPF (Team Gabungan Pencari Fakta) yang dibentuk setelah Peristiwa Mei 1998, berkali-kali juga menyebut keterlibatan Letnan Jenderal putera Professor Soemitro Djojohadikoesoemo ini dalam rangkaian peristiwa politik pergulatan kekuasaan ketika itu. TGPF yang diketuai Marzuki Darusman SH Ketua Komnas HAM waktu itu, juga menunjuk beberapa nama lainnya dalam rangkaian peristiwa, termasuk nama Jenderal Wiranto yang sebagai Pangab kala itu melakukan tindakan-tindakan yang menimbulkan tanda tanya, seperti meninggalkan Jakarta padahal mustahil sebagai pimpinan ABRI ia tak mengetahui kegentingan situasi di bulan Mei 1998 itu.

Prabowo membantah semua tuduhan atas dirinya dalam kaitan peristiwa kekerasan di tahun 1998 dan pada masa sebelumnya. Akan tetapi, tak pernah ada proses klarifikasi resmi, misalnya melalui jalan hukum, hingga tuduhan itu tetap melayang-layang dan masuk mengendap ke dalam pikiran banyak orang sebagai sesuatu yang dianggap benar.

Dan, merupakan pula suatu kebetulan bahwa usai pemilihan presiden Juli 2009 ini, beredar luas isu di masyarakat tentang adanya rencana rangkaian gerakan ‘keras’ menyusul ketidakpuasan atas ‘kekalahan’ yang mengaitkan nama Prabowo Subianto. Isu itu menggambarkan betapa sebenarnya Prabowo sudah mempunyai sejumlah besar orang, yang disebutkan sebagai mantan militer dari kesatuan terlatih baik, siap bergerak bilamana diperlukan dalam suatu tindakan extra ordinary. Dalam pada itu, penyebutan Iran menciptakan asosiasi terhadap wilayah Timur Tengah. Sepanjang pengetahuan mengenai gerakan teroris di dunia, ada dua aliran garis keras kelompok radikal Islam yang menggunakan tindakan teror sebagai senjata utama. Aliran pertama berkiblat dan berpusat di Afghanistan, aliran kedua merujuk ke Iran. Untuk yang disebut terakhir ini, perlintasan utamanya menuju tindakan operasional ke berbagai belahan dunia, adalah Yordania. Dan sekali lagi, dengan mudah orang kembali mengasosiasikannya pada Prabowo Subianto yang pernah lama bermukim di sana pasca peristiwa 1998. Dengan demikian, kita bisa melihat, sekali lagi Prabowo Subianto ‘tergiring’ menuju posisi tersangka.

Reaksi Prabowo dinantikan orang. Tak lama setelah keterangan pers Presiden, orang dekat Prabowo, Fadli Zon segera bereaksi. Ia mengatakan, pernyataan SBY hanya akan makin memperkeruh situasi. Apakah Prabowo merasa bahwa dirinyalah yang dituju langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono? Saya sebenarnya tidak merasa, ujarnya di petang hari, “karena saya tidak melakukannya”. Namun tak urung Prabowo menjawab juga beberapa tudingan Presiden –yang bagaimanapun juga telah diterjemahkan sebagai tuduhan kepada sang calon wapres pendamping Mega ini– dalam kaitan hasil pemilihan presiden 8 Juli yang baru lalu. Prabowo menolak terminologi “sakit hati” sebagai “orang kalah”. Menurut Prabowo, pihaknya menginginkan prosedur dan proses pemilihan yang “harus transparan, harus bersih, harus jujur” justru untuk mencegah adanya tindakan-tindakan emosional dan irasional dari elemen-elemen di masyarakat. “Karena kita tahu bahwa masyarakat kita ini emosional”.

Karena, pengungkapan ‘data’ intelijen yang diutarakan Presiden boleh dikatakan tak memiliki point lain di luar kaitan pemilihan umum presiden itu, maka orang terbawa kepada kesimpulan bahwa pemboman kali ini memang terkait sebagai hubungan sebab-akibat dengan peristiwa politik yang baru kita lalui pada 8 Juli itu. Biasanya, asosiasi refleks selama ini segera tertuju kepada kelompok radikal yang dikaitkan dengan fanatisme agama. Apakah kali ini berbeda? Jelas ini semua menimbulkan tanda tanya. Tetapi karena lazimnya seorang Presiden selalu menerima laporan dengan kualifikasi A-1, maka tentu sulit untuk segera menolaknya, sampai nanti terbukti bahwa kali ini intelijen keliru. Atau setidaknya, data itu mengandung banyak kebenaran, cuma sebenarnya tak ada relevansinya dengan peristiwa pemboman itu sendiri. Ataukah barangkali, Presiden sekedar menggunakan momentum peristiwa pemboman ini untuk mengungkapkan kepada khalayak tentang suatu rencana konspirasi terhadap dirinya, suatu peristiwa berdiri sendiri yang (mungkin) tidak terkait dengan pemboman itu.

Namun, terlepas dari semua itu, yang terbaik adalah Polri bekerja secara profesional, dan dengan cara yang bersih dari noda kepentingan politik. Mengungkap kebenaran objektif dari peristiwa, tanpa hitungan politik apapun, entah siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Bukankah ini soal kejahatan yang telah merenggut nyawa manusia di luar ranah politik dan kekuasaan?

Rum Aly

Pancasila: Semboyan atau Ideologi?

Catatan pengantar: Dalam rangkaian kampanye Pemilihan Umum Legislatif maupun Pemilihan Umum Presiden-Wakil Presiden 2009 ini, nama Pancasila disebut secara amat terbatas. Terkesan, tidak dipentingkan, dan mungkin dianggap kurang menjual sebagai retorika dalam kampanye politik. Berikut ini, kita angkat sebuah tulisan Marzuki Darusman* di bawah judul Pancasila: Semboyan atau Retorika? Tulisan ini merupakan salah satu artikel referensi dalam buku Professor Dr Midian Sirait, Revitalisasi Pancasila – Catatan-catatan tentang Bangsa yang Terus Menerus Menanti Perwujudan Keadilan Sosial (Kata Hasta Pustaka, November 2008). Mungkin bisa menjadi bahan rujukan.

 

SETELAH selesai disusun oleh para the founding fathers di tahun 1945, suatu proses lanjut berupa ideologisasi terhadap gagasan-gagasan yang terkandung dalam Pancasila belum lagi sempat dilakukan dan dituntaskan. Meski, dalam perjalanan kehidupan sebagai satu bangsa selama tak kurang dari 63 tahun lamanya, Pancasila telah menghubungkan dan membuat bangsa ini merasa terikat satu sama lain. Namun ‘ikatan’ itu terutama adalah lebih karena faktor sejarah, bahwa sejak awal kemerdekaan, Pancasila telah dicanangkan dan diperkenalkan sebagai dasar falsafah dan ideologi bangsa. Pancasila dalam konteks situasi sejarah itu bisa digambarkan sebagai gagasan dasar dan sebagai konstruksi pemikiran, namun sejarah menunjukkan pula bahwa Pancasila sekaligus juga merupakan sesuatu yang agak terpisah dari realitas kehidupan masyarakat sehari-hari sebagai satu bangsa merdeka. Hingga kini, masih selalu muncul persoalan bagaimana Pancasila itu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari kita, katakanlah sebagai metode dalam membangun bangsa. Kita telah sepakat dalam suatu pengharapan bersama bahwa ideologi itu akan menuntun kita ke suatu arah. Akan tetapi pada sisi lain kita pun ternyata menghadapi kesulitan untuk menghubungkan ideologi bangsa tersebut dengan berbagai problematik sosial yang nyata.

Dalam situasi seperti itu diperlukan suatu rumusan, suatu cara menjelaskan atau mendudukkan segala problematika yang dihadapi dengan cara-cara dan atau dengan suatu konseptualisasi yang sudah berada pada tingkatan kebijakan, dan bukan lagi sekedar pada pemikiran filosofisnya. Kelemahan-kelemahan penerapan Pancasila selama ini sebagai suatu ideologi terletak pada bagaimana ia dirumuskan kembali sebagai suatu kebijakan. Inilah inti permasalahan, yang kemudian bisa menyentuh hal-hal lain, dimulai dengan bagaimana kita mengkonseptualisasi fungsi negara. Bagaimana hubungan antara negara dengan warganegara, lalu bagaimana kebijakan ekonomi dan seberapa besar dari perekonomian itu ditujukan untuk memelihara negara dan memelihara kolektivitas. Dengan cara begitu, mungkin akan lebih mudah untuk menjabarkan semua sila-sila yang terkandung di dalam Pancasila, sehingga kita tidak terbentur dengan rumusan-rumusan yang sifatnya normatif semata-mata. Tetapi sekarang ini, bagaimana misalnya menghubungkan Pancasila dengan kemiskinan dan segala realitas yang terkait dengannya? Kita bisa berbicara tentang kemiskinan itu, seperti yang terjadi beberapa waktu terakhir ini, tanpa berbicara dalam kaitan Pancasila. Karena persoalannya, konseptualisasi tentang kemiskinan yang bagaimana yang ada tali temali dengan pemahaman kita dalam kaitan Pancasila itu? Padahal, sebagai ideologi ia harus memberi kemampuan pengetahuan untuk memproblematisir permasalahan dan perubahan sosial. Aspek itulah yang sekarang ini belum dipikirkan oleh kita semua, sehingga sangat mencengangkan bahwa Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur dan ideal ini bisa berdampingan ‘tanpa masalah’ dengan suatu sistem ekonomi yang tidak manusiawi seperti yang berlangsung selama ini di Indonesia. Bahwa sistem ekonomi dewasa ini mengakui kemiskinan sebagai masalah, tidaklah dipermasalahkan dalam konteks Pancasila sebagai ideologi, melainkan sebagai ‘beban’ terhadap efisiensi. Sejauh ini, tak dapat diingkari bahwa Pancasila itu ‘tidak hadir’ dalam keadaan dengan tekanan ekonomi yang tidak manusiawi tersebut, padahal sementara itu Pancasila pada hakekatnya ‘ada’ di sekitar kita. Sebagai akibatnya, kita tak bisa mendudukkan perekonomian kita dengan baik, padahal kalau kita menggunakan rujukan Pancasila, semestinya perekonomian kita mempunyai wajah yang manusiawi atau wajah kemanusiaan seperti yang diutarakan Dr Midian Sirait dalam beberapa bagian buku ini.

Apa sebab musabab dari semua ini? Kenapa hingga kini selama 60 tahun lebih, kecuali mungkin sekedar sebagai semboyan nasional, kita tidak bisa menjadikan Pancasila, sebagai pangkal perspektif dalam menjalankan kehidupan kita sebagai bangsa dalam perjalanan ke masa depan? Dr Midian Sirait mencoba mempergunakan pendekatan struktural fungsional dalam analisis mengenai pelaksanaan Pancasila. Suatu pendekatan yang sebenarnya cukup memadai untuk suatu masa tertentu. Tetapi saya sendiri masih bertanya-tanya dan menduga-duga, apakah penerapan teori struktural fungsional dalam kaitan Pancasila bisa memberi kita kemampuan sepenuhnya untuk mengkonsep masalah sosial? Agaknya ada sedikit masalah di sini. Teori struktural fungsional yang dominan digunakan untuk menginterpretasi Pancasila dan atau untuk menjelaskan Pancasila, dimulai terutama sejak masa peralihan kekuasaan dari Bung Karno ke Pak Harto. Masa transisinya ada pada momen itu, tatkala kita melakukan pilihan untuk segera masuk ke alam pembangunan nasional, setelah sepenuhnya bergelimang dalam kepanglimaan politik dalam kehidupan sebagai bangsa. Menanggapi dikotomi antara tradisionalisme dan modernisme – yang merupakan topik dialog dan diskursus dalam proses pembangunan –  teori struktural fungsional tersebut amat netral dari segi ideologis. Begitu netralnya, sehingga dengannya kita tak bisa menangkap hal-hal yang secara ril dan secara problematis ada dalam masyarakat. Pancasila berdasar teori struktural fungsional, sejauh yang terlihat bisa mengatasi hal-hal yang sifatnya sebagai gangguan. Dalam keadaan di mana kondisi umum stabil, bila terjadi penyimpangan sedikit, maka dengannya permasalahan masih bisa diluruskan untuk kembali ke alur semula.

Namun, dalam proses pembangunan, kita memerlukan ideologi yang bisa mengkonseptualisasi perobahan-perobahan yang berskala besar, sesuatu yang barangkali tak terjangkau oleh Pancasila berdasarkan perspektif struktural fungsional tersebut. Hakekat teorinya sendiri memang tidak memungkinkan hal itu, sehingga kita memerlukan ideologi dengan kemampuan konseptual. Hakekat teori struktural fungsional itu tidak bisa menangkap realitas dinamika aspiratif. Ini bisa dipahami karena orientasi teori ini memang lebih tertuju kepada aspek daya guna. Dengan demikian, takkan mudah bagi kita untuk membekali diri dengan teori itu untuk menangkap hal-hal yang bertalian dengan masalah keadilan, dengan kemerdekaan, dengan persamaan, karena teori itu memang sangat instrumental. Dengannya kita bisa mengukur efisiensi, bisa memberikan pilihan-pilihan untuk dipilih, tetapi tidak bisa untuk menganalisa konflik politik. Pancasila menjadi alat untuk menggambarkan konflik antara ideologi, sebagai legitimasi bagi pembenaran kekuasaan yang sedang berlangsung. Tidak bisa memberi suatu penglihatan bahwa ada golongan-golongan di dalam masyarakat yang sekarang ini dikatakan golongan fungsional, namun bukan golongan yang secara politik relevan dengan cita-cita kemerdekaan dan keadilan. Problem ideologis kita adalah di situ. Bahwa, dengan demikian bila ada sistem ekonomi yang titik beratnya pada efisiensi dan bukan pada keadilan, maka Pancasila dalam penafsiran struktural fungsional tidak akan serta merta berbenturan dengan itu dan menangkalnya. Karena, memang Pancasila dalam penafsiran struktural fungsional tidak menciptakan pengetahuan yang memberikan kita kemampuan untuk merumuskan hakekat dari berbagai problematika nyata, seperti mengenai kemiskinan misalnya.

Dalam sistem ekonomi yang sekarang dianut, kemiskinan itu adalah efek sampingan dari suatu kebijakan ekonomi. Pancasila dalam tafsiran sekarang ini, menerimanya begitu saja. Sedangkan kalau kita memproblematisir kemiskinan, maka tak mungkin kemiskinan dianggap sekedar efek sampingan. Kemiskinan itu bukan efek sampingan, kemiskinan itu adalah sesuatu yang struktural. Lahir dari suatu realitas, dari suatu keadaan atau kondisi tertentu. Kita perlu membedakan antara pengertian struktural fungsional yang teoritis dengan masalah kemiskinan sebagai persoalan struktural. Karena keduanya adalah dua hal yang berlainan. Kemiskinan dalam konteks struktur, terkait dengan hubungan kekuasaan. Sementara dengan teori struktural fungsional kita tidak bisa menjelaskan hubungan-hubungan kekuasaan itu. Korelasi kekuasaan dalam hal ini tidak begitu relevan.

Dengan penafsiran Pancasila seperti sekarang ini kita hanya ‘merapihkan’ suatu masyarakat agar bisa berfungsi sebagai suatu masyarakat yang modelnya adalah model masyarakat modern, tetapi realitasnya tidak ada di dalam masyarakat kita itu. Kita semua terpengaruh oleh itu. Karena itu bila ditanya apa hubungan Pancasila dengan hukum umpamanya, bagaimana Pancasila diterapkan secara ril dalam hukum, lalu kita mulai berimprovisasi. Secara konkret, menegakkan hukum secara efektif dan menindak secara tegas tindak pidana, tindak korupsi, kriminalitas, dalam rangka menghilangkan penyakit-penyakit sosial, adalah merupakan masalah kebijakan. Bukan persoalan bahwa hukum itu kemudian dinafasi oleh Pancasila. Selama ini yang kita cari adalah bagaimana menciptakan suatu sistem hukum yang dinafasi atau diilhami, dijiwai oleh Pancasila, yang menimbulkan begitu banyak problem. Lalu mulailah kita menyusun dasar tentang tipe-tipe ideal manusia itu, dengan menyusun daftar berbagai ciri manusia ideal. Tetapi itu semua tidak pernah menyentuh problema sesungguhnya dari hukum itu. Bahwa manakala kita mempersoalkan hukum, kalau dihubungkan dengan Pancasila, maka terjadi dogmatisasi. Sedangkan yang akhirnya dihadapi oleh rakyat atau individu sehari-hari dalam kaitan masalah hukum adalah bagaimana keadilan itu diwujudkan, bagaimana ketertiban itu ditegakkan.

Kita belum pernah sempat mengideologisasi Pancasila yang lebih merupakan keyakinan sosial, sebagai suatu ideologi yang mestinya operasional untuk bisa menjadi tuntunan kita dalam kehidupan politik dan hukum. Pancasila, sebagaimana halnya pada masa awal Marxisme, telah dipergunakan secara instrumental untuk memberi pembenaran pada kebijakan perombakan susunan masyarakat dengan metode mobilisasi skala besar. Undang-undang Dasar pencerminannya adalah dari situ. Undang-undang dan kehidupan politik, tatanan politik, tidak dikonseptualisasi secara lanjut. Politik yang sekarang adalah lanjutan dari yang lalu. Teori struktural fungsional itu berguna pada suatu masa transisi dari suatu tatanan yang dogmatis menjadi tatanan yang kita sebutkan pembangunan programatis. Penerapan teori ini dalam bentuk implementasi pembangunan nasional telah membawa kemajuan ekonomi luar biasa, namun dengan biaya sosial dan kemanusiaan yang juga luar biasa. Pencanangannya memang begitu, tetapi pada hakekatnya hanya suatu sepuhan atas perubahan kekuasaan, dari yang lama ke yang baru. Lalu sekaligus juga menyepuh kekuasaan yang didominasi oleh militer. Dan itu semua diterima sebagai justifikasi. Sebagai suatu penjelasan mengapa partai-partai itu dikecilkan jumlahnya menjadi dua atau tiga (dengan Golkar), justru karena partai itu harus fungsional. Sekarang dalam masa ‘multipartai’, partai-partai ini tidak fungsional tetapi mencerminkan (meski sekedar formal) demokrasi, mencerminkan aspirasi (terlepas dari aspirasi itu abstrak/koheren atau tidak). Formalnya ia mencerminkan demikian, tetapi realitanya telah terjadi disfungsionalisasi.

Sekarang kita perlu lebih jauh melangkah, bergerak lebih jauh dari sekedar interpretasi struktural fungsional itu. Intinya, kalau Pancasila diterima dan ditafsirkan atau dipahami sebagaimana adanya sekarang, tidak pernah ia bisa melawan politik ekonomi global yang neo liberal seperti dewasa ini. Sebab ia tidak memiliki suatu daya analisa dalam bentuk bagaimana kita bisa mengimbangi atau mengurangi akibat-akibat dari suatu sistem ekonomi global yang tujuan pokoknya adalah menjamin pertumbuhan laba perusahaan-perusahaan konglomerasi transnasional. Bagaimana Pancasila akan menghadapi semua itu, kecuali bila ia dapat mulai mendorong teoritisasi tentang sistem kapitalisme di Indonesia. Tetapi itu tidak terjadi karena penguasaan dari bahasa ekonomi-politik sudah sedemikian rupa didominasi oleh bahasa tatanan ekonomi internasional. Sehingga, sesuatu yang sifatnya kritis terhadap neo liberalisme itu, langsung dapat dimarjinalisasi, dipatahkan  terutama oleh dua kekuatan, yakni kekuatan-kekuatan media atau pengelola informasi dan oleh kekuatan uang. Apakah kita mungkin mengembangkan Pancasila sebagai ideologi yang kritis? Ideologi Pancasila yang dilihat dari perspektif struktural fungsional itu, tidak cukup memiliki daya kritis. Ini menunjukkan bahwa Pancasila memang belum selesai dalam proses ideologisasinya. Karena memang proses ideologisasi lanjutan itu belum pernah dilakukan setelah ia selesai disusun oleh para the founding fathers.

Ke depan, barangkali itulah tugas kita. Tapi sementara itu ada suatu paradoks. Di satu sisi kita memerlukan ideologi untuk mengurusi kepentingan-kepentingan orang banyak, berkelompok bernegara dan bermasyarakat, keadilan distribusi, kemerdekaan, kesamaan; Di sisi lain, kita memasuki milenium baru dan kontes global, yang di dalamnya hak-hak azasi manusia dan demokrasi menjadi nilai utama yang agaknya berdiri berseberangan dengan ideologi, karena basis dari hak azasi manusia itu adalah integritas fisik dan psikis dari setiap individu. Walaupun ada hak-hak yang harus diperjuangkan secara kolektif, bagaimanapun hakekat dari hak-hak azasi manusia itu bersandar pada eksistensi individu. Sementara itu kita tidak bisa menunggu sampai Pancasila lengkap di-ideologisasi. Dalam hal ini, pengertiannya adalah menggambarkan apa Pancasila itu sebagai ideologi, apakah sebagai perangkat nilai atau perangkat suatu kumpulan keyakinan sosial tentang susunan masyarakat yang diinginkan, atau susunan masyarakat yang ingin dipertahankan. Lalu norma-norma apa yang hendak dicapai dengan Pancasila, dan kemudian juga hal-hal yang berhubungan dengan kriteria deskriptif dari suatu ideologi yang harus didahului dengan suatu diagnose tentang keadaan masyarakat. Lazimnya, suatu analisa ideologi itu juga lengkap dengan identifikasi siapa ‘musuh-musuh’ atau ‘lawan’ ideologi. Proses ideologisasi itu tidak bisa berlangsung sekejap, memerlukan waktu, memerlukan juga proses kecendikiawanan.

Sementara kita tidak bisa menunggu selesainya ideologisasi Pancasila ini, maka yang mungkin dilakukan adalah bagaimana menemukan atau merumuskan strategi yang kita butuhkan untuk digunakan mengembangkan nilai-nilai demokrasi dan hak azasi manusia. Mengembangkan kondisi sosial yang walaupun nasionalistik, misalnya, tetap menghormati hak azasi manusia dan demokrasi. Institusi-institusi politik yang memajukan demokrasi dan hak azasi manusia bisa dirangkum dalam satu strategi. Meski, ada juga bahayanya, karena satu strategi pun bisa menjadi ancaman bagi orang perorangan. Bila pelaksanaan strategi itu dimobilisasi secara besar-besaran ia juga bisa menenggelamkan orang perorangan dalam penekanan kepentingan yang lebih luas semata-mata. Untuk sementara ada suatu jalan mungkin dapat ditelusuri yaitu yang ditemukan Habermas, filsuf Jerman terkemuka dewasa ini. Yakni bahwa perkembangan kehidupan politik ekonomi secara global saat ini niscaya kapitalistik. Maka cara untuk memelihara demokrasi dan hak azasi manusia ialah bagaimana rationalitas dalam masyarakat diwujudkan secara komunikatif. Dengan itu konsensus tentang kepentingan bersama dapat diciptakan. Juga, suatu tatanan komunikasi yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat akan terbentuk, sesuatu yang dewasa ini jauh dari kenyataan.

Dengan demikian nantinya, saat kita memulai proses ideologisasi Pancasila dan pada waktu bersamaan menggunakan strategi komunikasi rasional itu, kita pun harus memulai merumuskan beberapa hal dasar untuk  dipahami bersama. Pertama, mengenai fungsi negara, Dan kedua, mengenai soal-soal yang berhubungan dengan investasi publik, belanja sosial dan pajak. Kombinasi antara tiga hal itulah – fungsi negara, investasi publik, serta belanja sosial dan pajak – yang menentukan apakah kita ini masyarakat yang liberal atau masyarakat dengan paham sosial. Liberal dalam arti menganut paham dimana orang yang miskin harus menunggu orang kaya maju lebih dulu, baru setelah itu mendapat giliran. Atau, tatanan masyarakat dengan paham sosial dimana orang tak saling mengenal pun saling mengurus satu dengan yang lain.

Semestinya kedua-duanya bisa mendapat tempat dalam perpolitikan kita, yaitu paham di mana kemajuan perorangan itu dijamin oleh negara, tetapi di sisi lain kepentingan bersama yang luas juga dijamin oleh negara. Ini berarti, kita mengkonsep negara bukan sebagai negara netral, bukan juga negara yang berpihak, melainkan negara yang memberdayakan semua. Hingga kini, kita belum sampai kepada perangkuman tentang negara bagaimana yang kita inginkan. Kita masih selalu mempertentangkan satu bentuk dengan bentuk lainnya, hingga akhirnya kita lari ke pelbagai jargon, bahwa ini negara hukum, ini negara sejahtera dan sebagainya. Padahal permasalahannya tidak di situ, sebab yang menjadi pokok masalah adalah bagaimana negara ini melindungi semua jenis, semua corak orang perorang dalam masyarakat yang tidak sama dalam berbagai bidang kehidupan. Dari titik inilah kita mesti memulai proses agar Pancasila, sebagai suatu ideologi secara operasional menjadi bagian kehidupan bangsa ini sehari-hari.

* Dr Marzuki Darusman SH. Pasca Soeharto, menjadi salah seorang Ketua DPP Golkar. Jaksa Agung RI dalam masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Aktivis pergerakan 1966 dan gerakan kritis tahun 1970-an semasa menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung. Kini, anggota Komisi I DPR-RI, dan periode ini merupakan masa terakhirnya, setelah menjalani 4 periode di lembaga perwakilan rakyat tersebut. Banyak menjalankan tugas-tugas internasional, antara lain dari Perserikatan Bangsa Bangsa.

Meminjam Terminologi Agnosia dalam Kehidupan Sosial Politik

KETIKA menjadi pembahas dalam peluncuran buku Sintong Pandjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (Penerbit Buku Kompas), 11 Maret 2009 di Jakarta, Marzuki Darusman mengatakan banyak elite dan pelaku kehidupan politik menderita agnosia politik maupun agnosia sosiologis. Definisi asli dalam psikiatri dan psikologi dari terminologi tersebut adalah: Agnosia. A loss of perception is known as agnosia. The loss may be failure to recognize familiar objects by touch, hearing, taste, sight or smell. In many cases of mental illness, especially schizophrenia, patients will disclaim any recognition of members of their family, stubbornly maintaining that they have never seen them before –even when standing in front of them. This type of agnosia is also seen in victims of stroke, in depressed patients, and in epileptics.

Sebagai terminologi agnosia dapat dipinjam untuk penggambaran situasi dan perilaku dalam kehidupan sosial politik dan kekuasaan di Indonesia saat ini. Seluruh indera berfungsi, bisa melihat, bisa mendengar, bisa meraba, bisa mengecap, bisa mencium, namun tak mampu mempersepsikannya dengan tepat karena kehilangan kemampuan berlogika. Mungkin bisa disebut semacam agnosia sosiologis. Banyak pemimpin dan pelaku kehidupan sosial politik lainnya, tak terkecuali anggota masyarakat itu sendiri, sudah kehilangan kemampuan membangun persepsi. Bisa melihat, mendengar, merasakan, berbagai persoalan yang dihadapi bangsa, namun hasil penginderaan itu tak sampai sinyalnya ke otak sehingga tak dapat membentuk persepsi sehingga dengan sendirinya takkan mungkin ada kemampuan mencari solusi bagi setiap permasalahan.

Agnosia sosiologis terpicu dan muncul terutama oleh kuatnya provokasi dan perbuatan manipulatif yang berlangsung akut dalam praktek kehidupan sosial politik dalam jangka waktu yang panjang. Kita semua telah hidup dan terjebak secara berlarut-larut dalam suasana manipulatif itu, sehingga menjadi korban yang sewaktu-waktu bisa saja menjelma pula sebagai pelaku manipulasi.

Dalam psikiatri maupun psikologi, terapi penyembuhan terutama adalah mencari akar persoalan untuk dihilangkan, melalui komunikasi intens dengan penderita. Dalam hal tertentu kerapkali terpaksa dilakukan terapi kejut listrik mendampingi medical treatment yang menggunakan obat-obat kimiawi, serta mengisolasi penderita namun tidak dalam pengertian isolasi yang menganiaya. Untuk agnosia sosial atau agnosia sosiologis, terapi yang dijalankan tentu adalah pertama-tama mengurangi sumber provokasi dan perilaku manipulasi dengan memperbaiki kembali sistem-sistem sosial, dan untuk situasi mendesak adalah mengisolasi pelaku-pelaku sumber yakni mereka yang menderita agnosia namun justru berada dalam posisi-posisi kunci kehidupan sosial politik dan kemasyarakatan.

Dr Marzuki Darusman SH, adalah aktivis mahasiswa dari Bandung 1966-1970. Beberapa kali menjadi anggota DPR-RI dan pernah menjadi Ketua DPP Golkar, terkenal vokal. Saat terjadi peralihan kekuasaan politik 1998 menjabat sebagai Ketua Komnas HAM dan mengetuai TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) Peristiwa Mei 1998. Sempat menjadi Jaksa Agung RI pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman. Saat ini mendapat penugasan Sekjen PBB sebagai satu dari tiga orang anggota tim pencari fakta mengenai peristiwa pembunuhan Benazir Bhutto, dengan masa tugas 6 bulan sejak 1 Juli 2009. (RA).