Pancasila: Semboyan atau Ideologi?

Catatan pengantar: Dalam rangkaian kampanye Pemilihan Umum Legislatif maupun Pemilihan Umum Presiden-Wakil Presiden 2009 ini, nama Pancasila disebut secara amat terbatas. Terkesan, tidak dipentingkan, dan mungkin dianggap kurang menjual sebagai retorika dalam kampanye politik. Berikut ini, kita angkat sebuah tulisan Marzuki Darusman* di bawah judul Pancasila: Semboyan atau Retorika? Tulisan ini merupakan salah satu artikel referensi dalam buku Professor Dr Midian Sirait, Revitalisasi Pancasila – Catatan-catatan tentang Bangsa yang Terus Menerus Menanti Perwujudan Keadilan Sosial (Kata Hasta Pustaka, November 2008). Mungkin bisa menjadi bahan rujukan.

 

SETELAH selesai disusun oleh para the founding fathers di tahun 1945, suatu proses lanjut berupa ideologisasi terhadap gagasan-gagasan yang terkandung dalam Pancasila belum lagi sempat dilakukan dan dituntaskan. Meski, dalam perjalanan kehidupan sebagai satu bangsa selama tak kurang dari 63 tahun lamanya, Pancasila telah menghubungkan dan membuat bangsa ini merasa terikat satu sama lain. Namun ‘ikatan’ itu terutama adalah lebih karena faktor sejarah, bahwa sejak awal kemerdekaan, Pancasila telah dicanangkan dan diperkenalkan sebagai dasar falsafah dan ideologi bangsa. Pancasila dalam konteks situasi sejarah itu bisa digambarkan sebagai gagasan dasar dan sebagai konstruksi pemikiran, namun sejarah menunjukkan pula bahwa Pancasila sekaligus juga merupakan sesuatu yang agak terpisah dari realitas kehidupan masyarakat sehari-hari sebagai satu bangsa merdeka. Hingga kini, masih selalu muncul persoalan bagaimana Pancasila itu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari kita, katakanlah sebagai metode dalam membangun bangsa. Kita telah sepakat dalam suatu pengharapan bersama bahwa ideologi itu akan menuntun kita ke suatu arah. Akan tetapi pada sisi lain kita pun ternyata menghadapi kesulitan untuk menghubungkan ideologi bangsa tersebut dengan berbagai problematik sosial yang nyata.

Dalam situasi seperti itu diperlukan suatu rumusan, suatu cara menjelaskan atau mendudukkan segala problematika yang dihadapi dengan cara-cara dan atau dengan suatu konseptualisasi yang sudah berada pada tingkatan kebijakan, dan bukan lagi sekedar pada pemikiran filosofisnya. Kelemahan-kelemahan penerapan Pancasila selama ini sebagai suatu ideologi terletak pada bagaimana ia dirumuskan kembali sebagai suatu kebijakan. Inilah inti permasalahan, yang kemudian bisa menyentuh hal-hal lain, dimulai dengan bagaimana kita mengkonseptualisasi fungsi negara. Bagaimana hubungan antara negara dengan warganegara, lalu bagaimana kebijakan ekonomi dan seberapa besar dari perekonomian itu ditujukan untuk memelihara negara dan memelihara kolektivitas. Dengan cara begitu, mungkin akan lebih mudah untuk menjabarkan semua sila-sila yang terkandung di dalam Pancasila, sehingga kita tidak terbentur dengan rumusan-rumusan yang sifatnya normatif semata-mata. Tetapi sekarang ini, bagaimana misalnya menghubungkan Pancasila dengan kemiskinan dan segala realitas yang terkait dengannya? Kita bisa berbicara tentang kemiskinan itu, seperti yang terjadi beberapa waktu terakhir ini, tanpa berbicara dalam kaitan Pancasila. Karena persoalannya, konseptualisasi tentang kemiskinan yang bagaimana yang ada tali temali dengan pemahaman kita dalam kaitan Pancasila itu? Padahal, sebagai ideologi ia harus memberi kemampuan pengetahuan untuk memproblematisir permasalahan dan perubahan sosial. Aspek itulah yang sekarang ini belum dipikirkan oleh kita semua, sehingga sangat mencengangkan bahwa Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur dan ideal ini bisa berdampingan ‘tanpa masalah’ dengan suatu sistem ekonomi yang tidak manusiawi seperti yang berlangsung selama ini di Indonesia. Bahwa sistem ekonomi dewasa ini mengakui kemiskinan sebagai masalah, tidaklah dipermasalahkan dalam konteks Pancasila sebagai ideologi, melainkan sebagai ‘beban’ terhadap efisiensi. Sejauh ini, tak dapat diingkari bahwa Pancasila itu ‘tidak hadir’ dalam keadaan dengan tekanan ekonomi yang tidak manusiawi tersebut, padahal sementara itu Pancasila pada hakekatnya ‘ada’ di sekitar kita. Sebagai akibatnya, kita tak bisa mendudukkan perekonomian kita dengan baik, padahal kalau kita menggunakan rujukan Pancasila, semestinya perekonomian kita mempunyai wajah yang manusiawi atau wajah kemanusiaan seperti yang diutarakan Dr Midian Sirait dalam beberapa bagian buku ini.

Apa sebab musabab dari semua ini? Kenapa hingga kini selama 60 tahun lebih, kecuali mungkin sekedar sebagai semboyan nasional, kita tidak bisa menjadikan Pancasila, sebagai pangkal perspektif dalam menjalankan kehidupan kita sebagai bangsa dalam perjalanan ke masa depan? Dr Midian Sirait mencoba mempergunakan pendekatan struktural fungsional dalam analisis mengenai pelaksanaan Pancasila. Suatu pendekatan yang sebenarnya cukup memadai untuk suatu masa tertentu. Tetapi saya sendiri masih bertanya-tanya dan menduga-duga, apakah penerapan teori struktural fungsional dalam kaitan Pancasila bisa memberi kita kemampuan sepenuhnya untuk mengkonsep masalah sosial? Agaknya ada sedikit masalah di sini. Teori struktural fungsional yang dominan digunakan untuk menginterpretasi Pancasila dan atau untuk menjelaskan Pancasila, dimulai terutama sejak masa peralihan kekuasaan dari Bung Karno ke Pak Harto. Masa transisinya ada pada momen itu, tatkala kita melakukan pilihan untuk segera masuk ke alam pembangunan nasional, setelah sepenuhnya bergelimang dalam kepanglimaan politik dalam kehidupan sebagai bangsa. Menanggapi dikotomi antara tradisionalisme dan modernisme – yang merupakan topik dialog dan diskursus dalam proses pembangunan –  teori struktural fungsional tersebut amat netral dari segi ideologis. Begitu netralnya, sehingga dengannya kita tak bisa menangkap hal-hal yang secara ril dan secara problematis ada dalam masyarakat. Pancasila berdasar teori struktural fungsional, sejauh yang terlihat bisa mengatasi hal-hal yang sifatnya sebagai gangguan. Dalam keadaan di mana kondisi umum stabil, bila terjadi penyimpangan sedikit, maka dengannya permasalahan masih bisa diluruskan untuk kembali ke alur semula.

Namun, dalam proses pembangunan, kita memerlukan ideologi yang bisa mengkonseptualisasi perobahan-perobahan yang berskala besar, sesuatu yang barangkali tak terjangkau oleh Pancasila berdasarkan perspektif struktural fungsional tersebut. Hakekat teorinya sendiri memang tidak memungkinkan hal itu, sehingga kita memerlukan ideologi dengan kemampuan konseptual. Hakekat teori struktural fungsional itu tidak bisa menangkap realitas dinamika aspiratif. Ini bisa dipahami karena orientasi teori ini memang lebih tertuju kepada aspek daya guna. Dengan demikian, takkan mudah bagi kita untuk membekali diri dengan teori itu untuk menangkap hal-hal yang bertalian dengan masalah keadilan, dengan kemerdekaan, dengan persamaan, karena teori itu memang sangat instrumental. Dengannya kita bisa mengukur efisiensi, bisa memberikan pilihan-pilihan untuk dipilih, tetapi tidak bisa untuk menganalisa konflik politik. Pancasila menjadi alat untuk menggambarkan konflik antara ideologi, sebagai legitimasi bagi pembenaran kekuasaan yang sedang berlangsung. Tidak bisa memberi suatu penglihatan bahwa ada golongan-golongan di dalam masyarakat yang sekarang ini dikatakan golongan fungsional, namun bukan golongan yang secara politik relevan dengan cita-cita kemerdekaan dan keadilan. Problem ideologis kita adalah di situ. Bahwa, dengan demikian bila ada sistem ekonomi yang titik beratnya pada efisiensi dan bukan pada keadilan, maka Pancasila dalam penafsiran struktural fungsional tidak akan serta merta berbenturan dengan itu dan menangkalnya. Karena, memang Pancasila dalam penafsiran struktural fungsional tidak menciptakan pengetahuan yang memberikan kita kemampuan untuk merumuskan hakekat dari berbagai problematika nyata, seperti mengenai kemiskinan misalnya.

Dalam sistem ekonomi yang sekarang dianut, kemiskinan itu adalah efek sampingan dari suatu kebijakan ekonomi. Pancasila dalam tafsiran sekarang ini, menerimanya begitu saja. Sedangkan kalau kita memproblematisir kemiskinan, maka tak mungkin kemiskinan dianggap sekedar efek sampingan. Kemiskinan itu bukan efek sampingan, kemiskinan itu adalah sesuatu yang struktural. Lahir dari suatu realitas, dari suatu keadaan atau kondisi tertentu. Kita perlu membedakan antara pengertian struktural fungsional yang teoritis dengan masalah kemiskinan sebagai persoalan struktural. Karena keduanya adalah dua hal yang berlainan. Kemiskinan dalam konteks struktur, terkait dengan hubungan kekuasaan. Sementara dengan teori struktural fungsional kita tidak bisa menjelaskan hubungan-hubungan kekuasaan itu. Korelasi kekuasaan dalam hal ini tidak begitu relevan.

Dengan penafsiran Pancasila seperti sekarang ini kita hanya ‘merapihkan’ suatu masyarakat agar bisa berfungsi sebagai suatu masyarakat yang modelnya adalah model masyarakat modern, tetapi realitasnya tidak ada di dalam masyarakat kita itu. Kita semua terpengaruh oleh itu. Karena itu bila ditanya apa hubungan Pancasila dengan hukum umpamanya, bagaimana Pancasila diterapkan secara ril dalam hukum, lalu kita mulai berimprovisasi. Secara konkret, menegakkan hukum secara efektif dan menindak secara tegas tindak pidana, tindak korupsi, kriminalitas, dalam rangka menghilangkan penyakit-penyakit sosial, adalah merupakan masalah kebijakan. Bukan persoalan bahwa hukum itu kemudian dinafasi oleh Pancasila. Selama ini yang kita cari adalah bagaimana menciptakan suatu sistem hukum yang dinafasi atau diilhami, dijiwai oleh Pancasila, yang menimbulkan begitu banyak problem. Lalu mulailah kita menyusun dasar tentang tipe-tipe ideal manusia itu, dengan menyusun daftar berbagai ciri manusia ideal. Tetapi itu semua tidak pernah menyentuh problema sesungguhnya dari hukum itu. Bahwa manakala kita mempersoalkan hukum, kalau dihubungkan dengan Pancasila, maka terjadi dogmatisasi. Sedangkan yang akhirnya dihadapi oleh rakyat atau individu sehari-hari dalam kaitan masalah hukum adalah bagaimana keadilan itu diwujudkan, bagaimana ketertiban itu ditegakkan.

Kita belum pernah sempat mengideologisasi Pancasila yang lebih merupakan keyakinan sosial, sebagai suatu ideologi yang mestinya operasional untuk bisa menjadi tuntunan kita dalam kehidupan politik dan hukum. Pancasila, sebagaimana halnya pada masa awal Marxisme, telah dipergunakan secara instrumental untuk memberi pembenaran pada kebijakan perombakan susunan masyarakat dengan metode mobilisasi skala besar. Undang-undang Dasar pencerminannya adalah dari situ. Undang-undang dan kehidupan politik, tatanan politik, tidak dikonseptualisasi secara lanjut. Politik yang sekarang adalah lanjutan dari yang lalu. Teori struktural fungsional itu berguna pada suatu masa transisi dari suatu tatanan yang dogmatis menjadi tatanan yang kita sebutkan pembangunan programatis. Penerapan teori ini dalam bentuk implementasi pembangunan nasional telah membawa kemajuan ekonomi luar biasa, namun dengan biaya sosial dan kemanusiaan yang juga luar biasa. Pencanangannya memang begitu, tetapi pada hakekatnya hanya suatu sepuhan atas perubahan kekuasaan, dari yang lama ke yang baru. Lalu sekaligus juga menyepuh kekuasaan yang didominasi oleh militer. Dan itu semua diterima sebagai justifikasi. Sebagai suatu penjelasan mengapa partai-partai itu dikecilkan jumlahnya menjadi dua atau tiga (dengan Golkar), justru karena partai itu harus fungsional. Sekarang dalam masa ‘multipartai’, partai-partai ini tidak fungsional tetapi mencerminkan (meski sekedar formal) demokrasi, mencerminkan aspirasi (terlepas dari aspirasi itu abstrak/koheren atau tidak). Formalnya ia mencerminkan demikian, tetapi realitanya telah terjadi disfungsionalisasi.

Sekarang kita perlu lebih jauh melangkah, bergerak lebih jauh dari sekedar interpretasi struktural fungsional itu. Intinya, kalau Pancasila diterima dan ditafsirkan atau dipahami sebagaimana adanya sekarang, tidak pernah ia bisa melawan politik ekonomi global yang neo liberal seperti dewasa ini. Sebab ia tidak memiliki suatu daya analisa dalam bentuk bagaimana kita bisa mengimbangi atau mengurangi akibat-akibat dari suatu sistem ekonomi global yang tujuan pokoknya adalah menjamin pertumbuhan laba perusahaan-perusahaan konglomerasi transnasional. Bagaimana Pancasila akan menghadapi semua itu, kecuali bila ia dapat mulai mendorong teoritisasi tentang sistem kapitalisme di Indonesia. Tetapi itu tidak terjadi karena penguasaan dari bahasa ekonomi-politik sudah sedemikian rupa didominasi oleh bahasa tatanan ekonomi internasional. Sehingga, sesuatu yang sifatnya kritis terhadap neo liberalisme itu, langsung dapat dimarjinalisasi, dipatahkan  terutama oleh dua kekuatan, yakni kekuatan-kekuatan media atau pengelola informasi dan oleh kekuatan uang. Apakah kita mungkin mengembangkan Pancasila sebagai ideologi yang kritis? Ideologi Pancasila yang dilihat dari perspektif struktural fungsional itu, tidak cukup memiliki daya kritis. Ini menunjukkan bahwa Pancasila memang belum selesai dalam proses ideologisasinya. Karena memang proses ideologisasi lanjutan itu belum pernah dilakukan setelah ia selesai disusun oleh para the founding fathers.

Ke depan, barangkali itulah tugas kita. Tapi sementara itu ada suatu paradoks. Di satu sisi kita memerlukan ideologi untuk mengurusi kepentingan-kepentingan orang banyak, berkelompok bernegara dan bermasyarakat, keadilan distribusi, kemerdekaan, kesamaan; Di sisi lain, kita memasuki milenium baru dan kontes global, yang di dalamnya hak-hak azasi manusia dan demokrasi menjadi nilai utama yang agaknya berdiri berseberangan dengan ideologi, karena basis dari hak azasi manusia itu adalah integritas fisik dan psikis dari setiap individu. Walaupun ada hak-hak yang harus diperjuangkan secara kolektif, bagaimanapun hakekat dari hak-hak azasi manusia itu bersandar pada eksistensi individu. Sementara itu kita tidak bisa menunggu sampai Pancasila lengkap di-ideologisasi. Dalam hal ini, pengertiannya adalah menggambarkan apa Pancasila itu sebagai ideologi, apakah sebagai perangkat nilai atau perangkat suatu kumpulan keyakinan sosial tentang susunan masyarakat yang diinginkan, atau susunan masyarakat yang ingin dipertahankan. Lalu norma-norma apa yang hendak dicapai dengan Pancasila, dan kemudian juga hal-hal yang berhubungan dengan kriteria deskriptif dari suatu ideologi yang harus didahului dengan suatu diagnose tentang keadaan masyarakat. Lazimnya, suatu analisa ideologi itu juga lengkap dengan identifikasi siapa ‘musuh-musuh’ atau ‘lawan’ ideologi. Proses ideologisasi itu tidak bisa berlangsung sekejap, memerlukan waktu, memerlukan juga proses kecendikiawanan.

Sementara kita tidak bisa menunggu selesainya ideologisasi Pancasila ini, maka yang mungkin dilakukan adalah bagaimana menemukan atau merumuskan strategi yang kita butuhkan untuk digunakan mengembangkan nilai-nilai demokrasi dan hak azasi manusia. Mengembangkan kondisi sosial yang walaupun nasionalistik, misalnya, tetap menghormati hak azasi manusia dan demokrasi. Institusi-institusi politik yang memajukan demokrasi dan hak azasi manusia bisa dirangkum dalam satu strategi. Meski, ada juga bahayanya, karena satu strategi pun bisa menjadi ancaman bagi orang perorangan. Bila pelaksanaan strategi itu dimobilisasi secara besar-besaran ia juga bisa menenggelamkan orang perorangan dalam penekanan kepentingan yang lebih luas semata-mata. Untuk sementara ada suatu jalan mungkin dapat ditelusuri yaitu yang ditemukan Habermas, filsuf Jerman terkemuka dewasa ini. Yakni bahwa perkembangan kehidupan politik ekonomi secara global saat ini niscaya kapitalistik. Maka cara untuk memelihara demokrasi dan hak azasi manusia ialah bagaimana rationalitas dalam masyarakat diwujudkan secara komunikatif. Dengan itu konsensus tentang kepentingan bersama dapat diciptakan. Juga, suatu tatanan komunikasi yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat akan terbentuk, sesuatu yang dewasa ini jauh dari kenyataan.

Dengan demikian nantinya, saat kita memulai proses ideologisasi Pancasila dan pada waktu bersamaan menggunakan strategi komunikasi rasional itu, kita pun harus memulai merumuskan beberapa hal dasar untuk  dipahami bersama. Pertama, mengenai fungsi negara, Dan kedua, mengenai soal-soal yang berhubungan dengan investasi publik, belanja sosial dan pajak. Kombinasi antara tiga hal itulah – fungsi negara, investasi publik, serta belanja sosial dan pajak – yang menentukan apakah kita ini masyarakat yang liberal atau masyarakat dengan paham sosial. Liberal dalam arti menganut paham dimana orang yang miskin harus menunggu orang kaya maju lebih dulu, baru setelah itu mendapat giliran. Atau, tatanan masyarakat dengan paham sosial dimana orang tak saling mengenal pun saling mengurus satu dengan yang lain.

Semestinya kedua-duanya bisa mendapat tempat dalam perpolitikan kita, yaitu paham di mana kemajuan perorangan itu dijamin oleh negara, tetapi di sisi lain kepentingan bersama yang luas juga dijamin oleh negara. Ini berarti, kita mengkonsep negara bukan sebagai negara netral, bukan juga negara yang berpihak, melainkan negara yang memberdayakan semua. Hingga kini, kita belum sampai kepada perangkuman tentang negara bagaimana yang kita inginkan. Kita masih selalu mempertentangkan satu bentuk dengan bentuk lainnya, hingga akhirnya kita lari ke pelbagai jargon, bahwa ini negara hukum, ini negara sejahtera dan sebagainya. Padahal permasalahannya tidak di situ, sebab yang menjadi pokok masalah adalah bagaimana negara ini melindungi semua jenis, semua corak orang perorang dalam masyarakat yang tidak sama dalam berbagai bidang kehidupan. Dari titik inilah kita mesti memulai proses agar Pancasila, sebagai suatu ideologi secara operasional menjadi bagian kehidupan bangsa ini sehari-hari.

* Dr Marzuki Darusman SH. Pasca Soeharto, menjadi salah seorang Ketua DPP Golkar. Jaksa Agung RI dalam masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Aktivis pergerakan 1966 dan gerakan kritis tahun 1970-an semasa menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung. Kini, anggota Komisi I DPR-RI, dan periode ini merupakan masa terakhirnya, setelah menjalani 4 periode di lembaga perwakilan rakyat tersebut. Banyak menjalankan tugas-tugas internasional, antara lain dari Perserikatan Bangsa Bangsa.

“There is a crime behind every great fortune”

ADA suatu kejahatan terselubung di balik setiap keberuntungan yang besar. There is a crime behind every great fortune. Itu kata Mario Puzo, penulis buku The Godfather. Dan menurut ahli kriminologi dari Universitas Indonesia, Ronny Nitibaskara, seperti yang dikutip pers, di Indonesia banyak kejahatan berkamuflase di balik pelaksanaan kekuasaan. “Indonesia masih berada dalam masa transisi menuju masyarakat demokratis. Banyak penyalahgunaan kewenangan di lapangan hukum, politik dan ekonomi. Semua kebijakan dijalankan dalam rangka formalitas belaka. Padahal, di balik itu banyak kejahatan yang berkamuflase”. Demikian Kompas (28 Juni 2009), mengutip Ronny melalui pemberitaan di bawah judul “Banyak Kejahatan Terselubung”.

Dikutip pula sebuah penggambaran situasi faktual yang menarik, bahwa “Korupsi semakin berkembang dan meluas pada perilaku-perilaku korup yang oleh hukum belum dinyatakan sebagai kejahatan, tetapi dalam realitas secara materi merupakan korupsi”.

SAAT ini, setidaknya dikaitkan dengan suasana penyelenggaraan pemilihan umum presiden 8 Juli 2009, ada 6 tokoh Indonesia yang bisa disebut beruntung, karena bisa maju ke gelanggang demokrasi untuk berkompetisi meraih posisi puncak dalam kekuasaan pemerintahan negara.  Dalam kultur Indonesia, mereka yang memperoleh kesempatan seperti itu, dianggap manusia beruntung. Untuk disebut dan dianggap manusia beruntung, menurut kultur Indonesia ini, adalah bila seseorang itu mendapat anugerah dalam kehidupannya berupa pangkat atau jabatan dan harta kekayaan. Sebenarnya, masih terdapat keberuntungan lain, yakni bila dianugerahi kecerdasan dan bakat serta moral dan budi pekerti yang baik. Tetapi dalam kehidupan yang makin ‘realistis’ dan pragmatis seperti belakangan ini, kebanyakan orang lebih berkecenderungan pada anugerah yang berupa pangkat, jabatan dan harta kekayaan.

Enam tokoh yang saat ini menjadi calon presiden dan wakil presiden, menurut kriteria kultur di atas, memang manusia beruntung, karena keenamnya pernah dan atau sedang berada dalam kelimpahan anugerah pangkat, jabatan serta harta kekayaan yang tak kecil. Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto, yang pernah menjadi menantu Presiden Soeharto, memiliki kekayaan yang resmi diumumkan sebesar sekitar 1,5 triliun rupiah, sehingga secara resmi menjadi terkaya di antara keenam tokoh. Jusuf Kalla yang kini masih menjabat Wakil Presiden ada dalam skala kekayaan bernilai ratusan miliar rupiah, dan tampaknya bertambah terus kekayaannya dari waktu ke waktu. Posisinya selaku pemilik suatu kelompok usaha yang cukup besar, secara formal membantu menjelaskan setiap muncul pertanyaan kenapa kekayaannya senantiasa dalam keadaan meningkat. Mantan Presiden Megawati Soekarnoputeri, yang punya kekayaan dalam skala puluhan miliar, pun memiliki penjelasan kenapa kekayaannya meningkat, bila ada yang mempertanyakan, yakni antara lain karena memiliki sejumlah SPBU. Jenderal Purnawirawan Wiranto maupun Dr Budiono yang memiliki kekayaan dalam skala cukup menakjubkan juga, belasan hingga puluhan miliar, masih kurang terekspose jalan proses peningkatan kekayaannya. Sebaliknya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jenderal purnawirawan pemilik Puri Cikeas yang luas, dengan angka kekayaan resmi terendah dibandingkan yang lain, justru dalam opini publik seakan ‘dipertanyakan’ kenapa memiliki nominal serendah itu. Tentu, dibalik opini itu bisa terdapat pertanyaan, apa semua sudah dilaporkan, sebagaimana pertanyaan yang sama tertuju kepada lima yang lainnya, apakah mereka betul-betul sudah transparan dalam memberikan data kekayaan sebenarnya?

TULISAN ini akan dengan segera memiliki esensi fitnah bila meminjam dan memakai ‘adagium’ Mario Puzo serta menyambungnya dengan terminologi ‘terselubung’ yang digunakan Nitibaskara, untuk menilai angka kekayaan dan keberuntungan ‘luarbiasa’ keenam tokoh tersebut. Tetapi pada sisi lain harus diakui, betapa dalam masyarakat sesungguhnya berkecamuk berbagai pertanyaan yang bernada prasangka bila mengetahui fakta betapa kayanya sejumlah pejabat dan atau mereka yang pernah menjadi pejabat, atau keluarga dan kerabat mereka.

Situasi bertanya-tanya yang sama juga sempat muncul dalam menyambut peraihan suara Partai Demokrat dalam pemilihan umum legislatif yang baru lalu, yang meningkat hampir tiga kali lipat dibanding pemilu sebelumnya lima tahun silam. Tentu ada saja yang mengasosiasikannya dengan ‘pengalaman’ Golkar di masa lampau yang  berkali-kali melonjak angka kemenangannya melalui sejumlah cara sistematis yang dianggap berbau kecurangan. Tetapi semua dugaan tersebut belum teruji dan terbukti, karena memang belum ada upaya cermat dalam penyelidikan tentang kecurangan-kecurangan pada pemilihan umum tahun 2009 ini. Bahwa terjadi sejumlah kelemahan fatal, terutama dalam soal DPT, serta terjadi kecurangan-kecurangan, tak bisa disangkal. Tetapi sejauh yang bisa diketahui, hampir setiap partai tercatat punya catatan tindak kecurangan, sebagaimana yang terungkap di berbagai daerah. Belum ada data saat ini yang bisa menunjukkan keterkaitan lonjakan perolehan suara partai pemenang tersebut dengan suatu kecurangan sistematis.

Menjadi kaya dan bahkan super kaya, bukan merupakan sesuatu yang buruk. Kesejahteraan materi sebagaimana halnya kekayaan batin, bahkan merupakan tujuan pencapaian manusia dalam meningkatkan harkat dan martabatnya. Dalam konteks negara, hal-hal tersebut menjadi dua di antara beberapa tujuan negara kesejahteraan bagi warganegaranya. Kecuali, bila itu semua dicapai dengan cara-cara yang melanggar hukum atau setidaknya merugikan kepentingan orang banyak melalui penipuan-penipuan dan kebohongan publik. Di dalam suatu sistem ekonomi yang esensinya merupakan praktek ekonomi yang kapitalistik-liberalistik, menjadi kaya –tanpa batas sekalipun– adalah tidak salah. Masalahnya adalah bahwa menurut konstitusi kita, yang ingin dibangun adalah perekonomian dalam rangka mencapai tujuan negara kesejahteraan melalui pencapaian pertumbuhan serentak dengan pemerataan dan keadilan yang seluas mungkin. Dalam praktek ekonomi dengan sistem yang marginal, yang pada hakekatnya sedang kita jalani saat ini, berlaku apa yang dikatakan Nitibaskara sebagai situasi berkembang dan meluasnya berbagai perilaku korupsi yang secara hukum belum dikategorikan sebagai pidana korupsi, padahal dalam realitas secara materi merupakan korupsi.

Setiap orang dalam suatu negara yang demokratis mempunyai hak untuk sejahtera, menjadi kaya atau bahkan super kaya. Tapi tak boleh menyembunyikan berapa besar kekayaan itu, setidaknya pada petugas pajak, karena dalam kepemilikan kekayaan itu terkandung kewajiban sosial yang harus dipenuhi melalui pengaturan negara. Jika anda menjadi kaya karena peluang-peluang yang tercipta dari negara dan dari masyarakat, maka anda memiliki kewajiban berbagi dengan negara dan masyarakat melalui suatu mekanisme yang adil untuk anda dan semua pihak.

Mereka yang maju untuk pemilihan bagi jabatan-jabatan kekuasaan negara dan pengelolaan masyarakat, harus bersedia terbuka mengenai kekayaannya. Apalagi dalam suatu negara yang masyarakatnya sedang berada dalam situasi traumatis terhadap perilaku korupsi yang sejak sekian lama merajalela. Bahkan sebenarnya, hendaknya tak sebatas hanya dengan pengungkapan angka kekayaan, melainkan juga harus ada semacam mekanisme untuk memperjelas mengenai sumber kekayaan itu, teristimewa bila sebelumnya yang bersangkutan pernah memangku jabatan publik. Bila seorang tokoh memperoleh keberuntungan dan kekayaan, dalam kehidupan politik dan ekonomi melalui jalan yang tak benar, ia tak layak menjadi pemimpin bangsa, pemerintahan dan negara. Tokoh seperti itu hanya akan merubah negara menjadi negara otoriteristik-manipulatif dengan pemerintahan kleptokrasi. Dalam proses pencalonan presiden dan wakil presiden tahun 2009 ini, sayangnya mekanisme pendalaman mengenai aspek kekayaan tersebut tidak dilakukan.

SALAH satu kesulitan besar dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di negara kita, adalah tidak berlakunya azas pembuktian terbalik dalam hal kekayaan pejabat publik. Setiap gagasan menuju pelaksanaan azas tersebut, dengan segera ditumpas oleh gurita korupsi dalam kekuasaan negara. Di negara-negara yang menganut azas tersebut, setiap pertambahan kekayaan yang terasa tidak wajar dan tak masuk akal, pelaku yang bersangkutan harus mampu membuktikan asal-usul pertambahan kekayaan yang tak wajar itu. Bagi mereka yang kekayaannya bertambah tidak melalui cara-cara tidak benar dan tidak menyalahgunakan kekuasaan, bukan hal yang sulit untuk membuktikan asal-usul kekayaannya. Sementara yang menjadi kaya karena korupsi dan semacamnya, pembuktian terbalik adalah malapetaka. Seorang jenderal misalnya, yang baru usai memangku suatu jabatan kan terasa agak mustahil bisa memiliki rekening satu seperempat triliun, ratusan atau puluhan miliar? Apakah seorang mantan menteri keuangan, atau menteri lainnya, bisa menjadi sangat kaya, punya sejumlah rumah mewah dengan delapan mobil mewah di garasinya? Di Indonesia, kebanyakan pejabat dan terutama eks pejabat, termasuk eks pejabat badan usaha milik negara, menurut pengetahuan publik, kaya-kaya dan malah ada yang sampai pada tingkat yang amat menakjubkan. Begitu pula fenomena yang tampak di kalangan kekuasaan legislatif. Seberapa besar sebenarnya gaji seorang menteri, direktur jenderal,gubernur, pimpinan badan usaha milik negara atau jenderal dan sebagainya? Tentu di balik pertanyaan ini tak ada keinginan apalagi keharusan agar mereka miskin-miskin, tetapi sebaliknya pula jangan sampai kaya secara fantastis. Tegasnya, yang diinginkan adalah jangan sampai terjadi adanya kejahatan terselubung di balik ‘keberuntungan’ yang luar biasa dalam kehidupan politik dan ekonomi. (RA).

Tiga Persoalan Pokok Indonesia

KONSTELASI masalah yang dihadapi Indonesia dari waktu ke waktu, tak pernah berubah. Di tahun 1966 kelompok mahasiswa merumuskannya dalam Tritura. Ternyata setelah Soekarno dijatuhkan dan kemudian giliran Soeharto berakhir pada 1998, hingga kini, esensi permasalahan yang kita hadapi tetap tiga: Kegagalan membangun politik yang mendukung sistem demokrasi; Kegagalan menciptakan pemerintahan yang baik dan benar; serta Kegagalan mensejahterakan kehidupan rakyat. Secara menyeluruh, semua itu dapat disebutkan sebagai kegagalan sosiologis sebagai satu bangsa.

Dalam praktek kehidupan politik sehari-hari semua boleh menyatakan berjuang untuk demokrasi, untuk rakyat, untuk bangsa dan negara, tetapi terbukti begitu tiba pada posisi kekuasaan, berkecenderungan menjadi otoriter dan karenanya dengan sendirinya korup. Semua itu karena orientasi yang kuat kepada kekuasaan semata. Kini, sejumlah tokoh yang menjadi bagian dari kekerasan dan otoriterisme masa lampau, menampilkan diri menjadi calon presiden. Partai-partai yang semestinya bagian tak terpisahkan dari jalannya sistem demokrasi, tak kalah haus akan kekuasaan. Kalau tentara tempo hari menjalankan otoriterisme dengan senjata, maka partai-partai kini melakukannya dengan pengerahan gerombolan massa yang perilakunya tak bisa kita bedakan lagi dengan keberingasan massa kaum kiri sebelum 1966. Jadi, panggungnya sama, lakonnya sama, hanya pelakunya yang berganti dan bergilir.

Kita harus mencari akar masalah, secara sosiologis dan pemecahan kebudayaan, serta pendidikan yang baik dan benar. Tidak hanya bergulat dalam penanganan berbagai ekses pelaksanaan subsistem politik maupun subsistem ekonomi, dengan mengabaikan persoalan mendasar tersebut yang menyangkut pembangunan sosiologis dan atau sistem sosial kita sebagai bangsa. Kalau generasi kita yang sudah 30-70 tahun ini tak dapat diperbaiki lagi, yang sudahlah. Kita hanya harus memikirkan suatu sistem pendidikan yang memadai, dengan mencontoh keberhasilan negara-negara seperti Finlandia dan bahkan India yang kini bangkit sebagai negara demokratis sekaligus negara IT terkemuka. Kita sebenarnya lebih berpeluang dari India, karena India masih menghadapi kendala kasta, sedangkan kita ‘hanya’ kendala ‘kasta’ yang artifisial akibat ketidakadilan ekonomi yang berlangsung berlarut-larut.

Terakhir namun utama, perjuangan paling penting yang belum terselesaikan adalah masalah penegakan kebenaran dan keadilan yang kini sudah porak poranda terjungkir balik, agar kita bisa mencapai mimpi nan belum kunjung terdekati hingga kini, keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia.

Apakah kekuasaan baru hasil pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden di tahun 2009 akan bisa menciptakan perspektif baru? (Rum Aly)

Kisah ‘Polisi Baik’ dalam Kekuasaan Otoriter

Sekedar Catatan untuk Menyambut Hari Bhayangkara 1 Juli

Oleh: Rum Aly*

SETIAP berbicara mengenai bagaimana seharusnya model polisi yang ideal, orang akan menunjuk seorang tokoh: Hoegeng Iman Santoso. Sejauh ini, tak pernah ada yang menyangkal. Tetapi, barangkali Hoegeng Iman Santoso itu seorang ‘polisi baik’ yang berada di zaman yang ‘salah’. ‘The good’ akan selalu dikenang dan kisahnya akan dituturkan berulang-ulang. Namun sejarah dalam konteks Indonesia merdeka, sampai kini, menunjukkan betapa ‘the good’ dan segala kebaikan yang diwakilinya senantiasa dikalahkan oleh ‘the bad’ dan kumpulannya yang makin hari makin unggul lahir batin.

Ketika lima tahun yang lalu, Panglima Angkatan Kepolisian RI (1968-1971), Komisaris Jenderal Hoegeng Iman Santoso berpulang menemuiNya, pers dan sejumlah orang yang pernah dekat dengannya, menuliskan dan membuat kita ingat bahwa bangsa ini pernah mempunyai seorang polisi yang baik, bahkan mungkin yang terbaik dari yang pernah ada. Chris Siner Key Timu mengutip guyonan dari tengah masyarakat bahwa di Indonesia “hanya ada dua polisi yang tidak bisa disuap, yaitu Polisi Hoegeng dan polisi tidur”. Sedang sejarahwan dari LIPI, Asvi Warman Adam, dua pekan sebelum Hoegeng meninggal sempat menulis (Kompas, 1 Juli 2004) bahwa dalam masa transisi menuju tegaknya hukum di negara ini, ia adalah seorang tokoh Indonesia yang patut diteladani. Dan menurut Rosihan Anwar, Hoegeng adalah manusia jujur, adil dan setia pada prinsip etik yang dianutnya.

Tak ada yang salah tentang kejujuran, kebaikan dan keteladanan Hugeng. Tapi sungguh tragis, seorang ‘terbaik’ seperti Hoegeng sekalipun ternyata tak mampu menghadapi benturan keburukan dari dua masa kekuasaan otoriter –masa Soekarno maupun masa Soeharto– di dalam mana ia turut serta sebagai abdi negara. Di masa kekuasaan Soekarno ia memegang beberapa jabatan cukup penting, seperti misalnya Kepala Jawatan Imigrasi RI (diangkat 27 Desember 1960) dan naik pangkat menjadi Brigadir Jenderal Polisi 1 Desember 1964. Lalu, pada 19 Juni 1965, diangkat Soekarno sebagai Menteri Iuran Negara. Hubungannya dengan Soekarno cukup dekat. Agaknya karena itulah ia enggan dan sungkan untuk mengeritik sikap-sikap otoriter Soekarno, meskipun ia mempunyai begitu banyak kesempatan bertemu langsung dengan Soekarno. Ia pun lebih banyak disibukkan untuk mengajukan pembelaan diri langsung kepada Soekarno, karena setiap kali ia diserahi tugas baru, isu kedekatannya dengan PSI selalu dimunculkan. Ia tak pernah sempat mengkomplain Soekarno tentang pengaruh negatif PKI dalam kekuasaan negara dan politik sebagai salah satu partai yang menganut paham otoriter. Ketakberdayaan di depan Soekarno –yang memang dialami oleh hampir semua tokoh di masa itu– membuat Hoegeng yang pada dasarnya jujur, memilih untuk menjalankan kejujuran sebatas yang ia mampu dan sanggup ia jangkau. Ia menolak suap untuk dirinya dan memelihara kesederhanaan (gemar naik sepeda ke mana-mana dan tak ikutan main golf).

Dalam masa peralihan, Juni 1966, ia diangkat menjadi Menteri Sekertaris Kabinet Inti/Presidium Kabinet Dwikora yang diperbaharui. Setelah melalui jabatan Deputy Panglima Angkatan Kepolisian, akhirnya ia menjadi Panglima Angkatan Kepolisian –yang waktu itu masih tergabung sebagai salah satu angkatan dalam ABRI– 5 Mei 1968. Banyak pembersihan internal yang dilakukannya dalam tubuh kepolisian, tapi harus diakui ia tidak berhasil membuat kepolisian menjadi lebih baik. Ada beberapa peristiwa yang ia terbentur, satu dan lain hal karena keraguannya untuk lebih tegas dalam menghadapi tekanan pengaruh kekuasaan yang kala itu sudah menjelma menjadi otoriter. Saya ingin meminjam beberapa catatan peristiwa yang membuat seorang ‘polisi baik’ seperti Hoegeng sekalipun ‘tak berdaya’, seperti yang saya tuliskan dalam buku “Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter – Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung Politik Indonesia 1970-1974” (Penerbit Kompas, Juni 2004).

Tiga benturan kekuasaan

Setidaknya ada tiga kasus besar di mana Jenderal Hoegeng terbentur: Peristiwa 6 Oktober 1970, Kasus Pemerkosaan Gadis Sum Kuning di Yogya pada 21 September 1970 dan Penyelundupan mobil oleh Robby Tjahjadi melalui Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma  tahun 1971. Selain itu, dua peristiwa lain yang juga cukup menarik perhatian di masa kepolisian dipimpin Hoegeng adalah masalah kewajiban penggunaan helm bagi pengendara sepeda motor serta kasus Gadis Ismarjati (mahasiswi IKIP yang tewas tertabrak oleh putera seorang pengusaha kaya).

Dalam Peristiwa 6 Oktober 1970, seorang mahasiswa ITB bernama Rene Louis Coenrad tewas karena pengeroyokan oleh sejumlah Taruna Akabri Kepolisian yang akan lulus sebagai perwira baru Angkatan 1970. Pengeroyokan itu sendiri adalah buntut insiden antara mahasiswa dan taruna di lapangan sepakbola ITB, setelah kesebelasan taruna kalah 0-2 dari kesebelasan mahasiswa. Padahal pertandingan sepakbola itu sendiri justru dimaksudkan untuk mencairkan ketegangan hubungan mahasiswa dengan taruna yang dianggap overacting tatkala ikut dalam operasi pemberantasan rambut gondrong di Bandung. Insiden 6 Oktober 1970 itu memicu kemarahan mahasiswa Bandung yang memang telah terakumulasi kejengkelannya oleh serentetan ekses perilaku kalangan militer. Peristiwa itu lalu membangkitkan gerakan kesadaran hak-hak sipil dan menjadi gugatan politik pertama terhadap peranan sosial politik ABRI. Taruna Angkatan 1970 itu sendiri adalah produk pertama Akabri Kepolisian yang telah dirubah dari akademi kepolisian biasa menjadi akademi kepolisian dengan kurikulum militer. Sejak itu, kepolisian telah memasuki kultur baru yang militeristik dengan ciri khas kekerasan.

Jenderal Hoegeng yang semula diapresiasi sebagai ‘polisi idaman’ sempat dipertanyakan integritasnya oleh para mahasiswa dan banyak kalangan kritis di masyarakat. Karena, pimpinan kepolisian waktu itu tampak tidak jelas dalam penyelesaian kasus hukum peristiwa tersebut. Upaya mencari kebenaran tampaknya tersandung. Fakta lapangan menunjukkan bahwa para taruna lah yang melakukan pengeroyokan yang sangat tak berperikemanusiaan, dan kemudian Rene tewas dengan tubuh remuk redam serta tembusan peluru. Tapi fakta itu diyakini telah diputarbalikkan dan sebagai akibatnya seorang bintara brimob bernama Djani Maman Surjaman dikorbankan dan dihukum dalam peradilan Mahkamah Militer yang dengan cepat diadakan. Sementara itu, hanya 8 taruna yang diajukan sebagai terdakwa dalam pengadilan berikutnya di Mahkamah Militer, jauh waktunya setelah peristiwa. Itu pun, mereka semua ‘diselamatkan’ karena beberapa di antaranya adalah putera para jenderal (polisi). Hoegeng agaknya tak berdaya mengatasi keunggulan subjektivitas intern di tubuh institusi yang dipimpinnya dan ‘kebijakan’ pimpinan ABRI yang lebih mengutamakan menyelamatkan lapisan perwira polisi baru hasil kurikulum militer. Dalam perkembangannya kemudian, taruna Angkatan 1970 itu cukup berperanan dalam tubuh kepolisian. Beberapa diantara mereka sempat menjadi Kapolri maupun Kapolda serta berbagai jabatan strategis kepolisian, sebelum tampilnya Jenderal Dai Bachtiar, Jenderal Sutanto dan Jenderal Hendarso Danuri sebagai pucuk tertinggi kepemimpian Polri. Kebenaran sejati dari peristiwa 6 Oktober 1970 itu masih terkubur hingga kini.

Kekecewaan kepada pimpinan kepolisian dengan demikian bertumpuk dengan kekecewaan karena peristiwa Sum Kuning yang terjadi setengah bulan sebelumnya, 21 September 1970. Gadis dusun dari pinggiran Yogya ini pada malam hari tanggal 21 itu diperkosa secara brutal oleh sejumlah pemuda bermobil dan kemudian dicampakkan begitu saja. Pers kala itu memberitakan para pemerkosa adalah kalangan keturunan bangsawan dan putera perwira militer. Polisi menangani peristiwa itu dengan cara yang amat mengherankan. Gadis lugu berusia 16 tahun, penjual telur, bernama Sum Kuning yang adalah korban pemerkosaan itu malah ditangkap oleh polisi dengan tuduhan menyebarkan kabar bohong. Dalam pemeriksaan polisi, Sum Kuning ditekan untuk mengakui satu versi baru bahwa ia tidak diperkosa melainkan melakukan hubungan seks dengan penjual baso bernama Trimo (yang samasekali tidak dikenalnya) atas dasar suka sama suka. Polisi menyiksanya dengan pukulan, setrum listrik dan intimidasi tuduhan anggota Gerwani PKI. Ketika versi ini gagal dalam penyodoran agar diyakini masyarakat dalam opini publik yang tercipta, polisi melahirkan versi baru, bahwa memang pemerkosaan terjadi oleh sekelompok pemuda sesuai visum et repertum. Tapi, pelakunya bukanlah pemuda para keturunan ningrat dan putera perwira pahlawan revolusi, melainkan sekelompok pemuda berandal dari kalangan rakyat jelata biasa. Seolah-olah hanya kalangan rakyat jelata sajalah pemegang hak paten gelar keberandalan. Begitu canggihkah sudah para pemuda kalangan bawah dan jelata itu, yang dalam operasinya menggunakan mobil dan obat bius ? Sangat disayangkan bahwa waktu itu, beberapa kali Jenderal Hoegeng ikut tergelincir menyampaikan beberapa ucapan yang terasa membela kepentingan kalangan atas. Mungkin ia ditekan ? Peristiwa sebenarnya dari kasus Sum Kuning itu tidak pernah berhasil betul-betul tergali kebenarannya. Versi mana yang benar ? Maka, semuanya lalu berangsur tenggelam ditelan waktu.

Dalam peristiwa Robby Cahyadi alias Sie Cia Ie, Jenderal Hoegeng betul-betul dibentur. Ketika ada ungkapan bahwa Cendana terlibat dalam penyelundupan mobil mewah dengan menggunakan pesawat angkut milik Angkatan Udara lewat Halim Perdanakusuma, tak lama kemudian Hoegeng dicopot Soeharto dari jabatan Panglima Kepolisian. Semestinya ia dibela oleh masyarakat, tetapi Soeharto cukup cerdik dengan mencopotnya dengan alasan lain yakni regenerasi (padahal ia diganti oleh perwira lain yang lebih tua). Bukan karena menindaki penyelundupan. Ada sedikit pers kritis yang membelanya. Tapi setahu saya banyak pula kalangan kritis lainnya waktu itu, terutama mahasiswa, tidaklah terlalu bernafsu membelanya. Mungkin karena adanya kekecewaan terhadap dirinya dalam Peristiwa 6 Oktober 1970 dan kasus Sum Kuning. Ditambah lagi, waktu itu ia mengeluarkan kebijakan kewajiban penggunaan helm bagi pengendara motor, justru di saat banyak kalangan menengah bawah merasa bahwa keharusan memakai (berarti membeli) helm adalah masih berat secara ekonomis. Lagipula, kebijakan tersebut diterapkan dengan cara-cara yang kurang persuasif dan tanpa argumentasi yang dapat diterima. Dan celakanya bersamaan dengan itu terungkap pula adanya ‘keikutsertaan’ sejumlah petinggi kepolisian di bawah Hoegeng Iman Santoso dalam bisnis perdagangan helm. Selain itu, secara umum orang juga melihat bahwa seberapa baik dan jujurnya Hoegeng, ia tak berhasil merubah banyak wajah, citra dan perilaku kalangan kepolisian dalam penegakan hukum dan keadilan.

Salah satu contoh yang mewakili bagaimana sebenarnya pola perilaku polisi dan kalangan penegak hukum saat itu adalah kasus Gadis Ismarjati. Ismarjati adalah seorang mahasiswa IKIP Bandung. Suatu hari dibulan Oktober 1971 di sekitar masa-masa akhir Jenderal Hoegeng di kepolisian, gadis ini ditabrak oleh kendaraan seorang pemuda peserta Rally Pariwisata Jawa Barat, bernama Edward Panggabean putera bos PT Piola agen mobil VW di Indonesia. Dalam suatu situasi yang betul-betul tidak manusiawi, Edward dan seorang temannya hanya turun untuk menyingkirkan tubuh Ismarjati yang terluka parah (dari bawah mobilnya) lalu berangkat lagi meneruskan rally. Polisi bukannya sibuk untuk menyelidiki dan mencari saksi peristiwa, tetapi lebih mengutamakan menjadi perantara agar terjadi perdamaian antara penabrak yang kaya dengan keluarga korban (yang kemudian tewas karena terlambat mendapat pertolongan pertama setelah kecelakaan). Di pengadilan pun, terjadi bahwa jaksa menuntut ringan dengan hukuman percobaan dan mendapat vonnis hakim yang tak kalah ringannya. Karena emosi, ibunda gadis Ismarjati menghunus gunting dan menyerang hakim lalu jaksa. Para pejabat ramai-ramai bersuara menyesalkan perbuatan Nyonya Trees ibunda Ismarjati. Fokus masalah pun lalu berbelok.

The good tak berarti ?

Dengan menulis ini semua, saya tidak bermaksud mengecilkan ketokohan dan segala kebaikan langka Jenderal Hoegeng Iman Santoso. Sebuah mingguan yang ikut saya asuh, tahun 1967 hingga tahun 1974, adalah salah satu media pers yang kala itu sangat mengapresiasi nilai lebih beliau dan memberi tempat yang layak sejak awal beliau diangkat menjadi pimpinan baru kepolisian. Ucapannya “saya opas yang ditugaskan memimpin” dan janjinya “manakala satu saat yang tidak saya ingini…. dikatakan menyeleweng, tentu saya akan meninggalkan jabatan ini” sangat mengesankan dan sempat menjadi referensi spirit bagi sejumlah kalangan gerakan kritis pada masa itu.

Secara sederhana tulisan ini hanya ingin menunjukkan betapa buruk kekuasaan dijalankan selama ini –dari waktu ke waktu, hingga kini– dan ternyata sanggup membuat semua “the good man” tak berarti apa-apa. Dan dalam tulisan ini tak ada pembandingan dengan situasi Polri saat ini, karena para pembaca memiliki sendiri pengetahuan-pengetahuan tertentu tentang institusi penegakan hukum itu dan melihat sendiri betapa sejumlah kekeliruan klasik yang berlanjut. Selama kita belum berhasil menegakkan demokrasi dengan baik, akan tetaplah kekuasaan negara yang terbentuk dari waktu ke waktu senantiasa berkecenderungan totalistik, koruptif dan mungkin kembali sama otoriternya dengan yang terjadi di masa-masa lampau. Wujudnya mungkin saja berupa kekuasaan militer otoriter. Tak kalah mungkin, berupa kekuasaan sipil otoriter. Bukankah kita telah mengalami kedua jenis kekuasaan seperti itu ? Segala keburukan seakan telah masuk ke dalam perspektif keabadian di Indonesia ini.

Dan terakhir, saya ingin mengutip pertanyaan dari seorang teman, Parakitri Tahi Simbolon, yang tak sanggup saya jawab “kenapa jang jahat selalu menang terhadap yang baik ?”. Padahal, mayoritas rakyat di negara ini berke-Tuhan-an  dan agama memastikan “yang benar akan mengalahkan yang jahat”.

* Rum Aly, mantan jurnalis. Menulis buku “Menyilang JalanKekuasaan Militer Otoriter”, (Penerbit Kompas, Juni 2004),dan “Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966” ( Kata HastaPustaka, Juli 2006).

Meminjam Terminologi Agnosia dalam Kehidupan Sosial Politik

KETIKA menjadi pembahas dalam peluncuran buku Sintong Pandjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (Penerbit Buku Kompas), 11 Maret 2009 di Jakarta, Marzuki Darusman mengatakan banyak elite dan pelaku kehidupan politik menderita agnosia politik maupun agnosia sosiologis. Definisi asli dalam psikiatri dan psikologi dari terminologi tersebut adalah: Agnosia. A loss of perception is known as agnosia. The loss may be failure to recognize familiar objects by touch, hearing, taste, sight or smell. In many cases of mental illness, especially schizophrenia, patients will disclaim any recognition of members of their family, stubbornly maintaining that they have never seen them before –even when standing in front of them. This type of agnosia is also seen in victims of stroke, in depressed patients, and in epileptics.

Sebagai terminologi agnosia dapat dipinjam untuk penggambaran situasi dan perilaku dalam kehidupan sosial politik dan kekuasaan di Indonesia saat ini. Seluruh indera berfungsi, bisa melihat, bisa mendengar, bisa meraba, bisa mengecap, bisa mencium, namun tak mampu mempersepsikannya dengan tepat karena kehilangan kemampuan berlogika. Mungkin bisa disebut semacam agnosia sosiologis. Banyak pemimpin dan pelaku kehidupan sosial politik lainnya, tak terkecuali anggota masyarakat itu sendiri, sudah kehilangan kemampuan membangun persepsi. Bisa melihat, mendengar, merasakan, berbagai persoalan yang dihadapi bangsa, namun hasil penginderaan itu tak sampai sinyalnya ke otak sehingga tak dapat membentuk persepsi sehingga dengan sendirinya takkan mungkin ada kemampuan mencari solusi bagi setiap permasalahan.

Agnosia sosiologis terpicu dan muncul terutama oleh kuatnya provokasi dan perbuatan manipulatif yang berlangsung akut dalam praktek kehidupan sosial politik dalam jangka waktu yang panjang. Kita semua telah hidup dan terjebak secara berlarut-larut dalam suasana manipulatif itu, sehingga menjadi korban yang sewaktu-waktu bisa saja menjelma pula sebagai pelaku manipulasi.

Dalam psikiatri maupun psikologi, terapi penyembuhan terutama adalah mencari akar persoalan untuk dihilangkan, melalui komunikasi intens dengan penderita. Dalam hal tertentu kerapkali terpaksa dilakukan terapi kejut listrik mendampingi medical treatment yang menggunakan obat-obat kimiawi, serta mengisolasi penderita namun tidak dalam pengertian isolasi yang menganiaya. Untuk agnosia sosial atau agnosia sosiologis, terapi yang dijalankan tentu adalah pertama-tama mengurangi sumber provokasi dan perilaku manipulasi dengan memperbaiki kembali sistem-sistem sosial, dan untuk situasi mendesak adalah mengisolasi pelaku-pelaku sumber yakni mereka yang menderita agnosia namun justru berada dalam posisi-posisi kunci kehidupan sosial politik dan kemasyarakatan.

Dr Marzuki Darusman SH, adalah aktivis mahasiswa dari Bandung 1966-1970. Beberapa kali menjadi anggota DPR-RI dan pernah menjadi Ketua DPP Golkar, terkenal vokal. Saat terjadi peralihan kekuasaan politik 1998 menjabat sebagai Ketua Komnas HAM dan mengetuai TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) Peristiwa Mei 1998. Sempat menjadi Jaksa Agung RI pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman. Saat ini mendapat penugasan Sekjen PBB sebagai satu dari tiga orang anggota tim pencari fakta mengenai peristiwa pembunuhan Benazir Bhutto, dengan masa tugas 6 bulan sejak 1 Juli 2009. (RA).

Mencari Pemimpin di Tengah Suasana Kegagalan Sosiologis

DALAM realita sejarah, sebenarnya tak ada gambaran yang muluk-muluk mengenai Indonesia, termasuk mengenai pemimpin dan sejarah kepemimpinannya. Kepulauan Nusantara ini sebenarnya menurut Clifford Geertz merupakan salah satu wilayah yang secara kultural paling rumit di dunia. Kepulauan kita ini ada pada titik persilangan sosiologis dan kebudayaan yang malang, kerapkali hampir tak masuk akal. Berbagai bangsa dengan perilaku terburuk datang ke sini dengan hasrat penaklukan, dan bahkan tak sedikit kerajaan di Nusantara inipun memiliki hasrat penaklukan yang sama. Menjadi pula tempat persilangan penyebaran berbagai agama yang tak selalu dilakukan secara damai, melainkan seringkali dengan penaklukan dan tipu-daya sampai pertumpahan darah. Suatu keadaan yang sebenarnya kontras dengan kemuliaan ajaran-ajaran agama itu sendiri. Pada dua abad terbaru, Nusantara ini menjadi pula tempat persilangan sistem imperialisme, kapitalisme liberalistik, komunisme, dan juga ideologi berdasar agama –tepatnya mengatasnamakan agama– yang digunakan dalam kehidupan politik dan kekuasaan yang amat duniawi. Tak mengherankan bila rakyat di kepulauan ini, yang telah dirundung berbagai kemalangan dari ekses persilangan itu menjadi ‘sakit’ secara rohani –meskipun mungkin itu berlangsung di alam bawah sadar– dan mengalami kegagalan pertumbuhan sosiologis.

Pertanyaannya, bisakah dari bangsa seperti itu lahir pemimpin-pemimpin besar secara kualitatif? Kita kerap mengatakan, banyak pemimpin besar lahir di sini. Majapahit yang besar pernah punya panglima perang Adityawarman yang melakukan penaklukan dan penghukuman berdarah. Gemar melakukan ritual pengurbanan darah sebagai penganut sempalan sinkretisme Hindu-Budha yang dikenal sebagai aliran Tantri Bhirawa. Penaklukan tentu bersumber dari gagasan Palapa Gajah Mada. Tokoh besar abad modern adalah Soekarno dan Soeharto. Akan tetapi sungguh disayangkan, kedua-duanya tergelincir ke dalam otoriterisme karena pada suatu ketika tak mampu lagi menahan diri terhadap godaan kenikmatan kekuasaan. Pemimpin-pemimpin berikutnya sesudah mereka ? Semuanya sempat tergelincir. Tak mungkin kita berkeluh kesah panjang-pendek seperti sekarang, kalau mereka telah berhasil membangun bangsa ini secara kultural, sosiologis dan ekonomis. Apalagi pembangunan politik. Tak ada pemimpin, yang sejauh ini telah berhasil memimpin bangsa ini melakukan pembangunan dengan urut-urutan yang benar seperti itu.

Sekarang, kita berbicara tentang pemimpin berikutnya, yang layak. Tetapi kita semua tak pernah bersungguh-sungguh membenahi lebih dulu penyakit-penyakit bangsa. Kita lalai dalam pembangunan kultural, sosiologis, dan dengan sendirinya gagal dalam pembangunan politik dan ekonomi. Kita tak pernah melakukan proses lanjut terhadap apa yang telah diletakkan para the founding fathers, yang menjelang kemerdekaan telah menyusun untuk kita satu filosofi dasar bangsa dan satu konstitusi yang telah terisi pokok-pokok esensial yang dibutuhkan bangsa ini. Sewaktu-waktu bila diperlukan untuk menjawab tuntutan zaman, tentu kita bisa melakukan amandemen terhadap konstitusi, untuk membuatnya lebih berkualitas, tetapi dengan cara yang baik dan benar sesuai esensi demokrasi. Tidak acak-acakan seperti yang lalu.

Jadi, pemimpin apa yang bisa kita harapkan sekarang. Tak ada yang layak, kecuali ada keajaiban. Historical by accident lagi ? Kemungkinan besar, muncul pemimpin otoriter baru lagi, kalau itu yang terjadi. Dari sumber mana kita bisa memperoleh pemimpin baru. Apa dari mereka yang berlatar belakang militer ? Kalau ya, apakah ada tokoh dari kalangan itu yang betul-betul demokratis, sedangkan mereka empat tahun dididik dengan kurikulum militer yang hirarkis dan ditempa pengalaman karir puluhan tahun dalam kekuasaan yang berlebih dalam suasana dwifungsi ala zaman Soeharto ? Apakah dari kalangan partai ? Kalau ya, bisakah dunia kepartaian dengan sejarahnya yang penuh kegagalan selama ini melahirkan pemimpin ideal dengan kriteria social society yang kita idamkan.  Apalagi, terbukti selama ini, kaum sipil dari kalangan kepartaian –dan mungkin juga kaum sipil pada umumnya– tak kalah haus akan kekuasaan dibanding militer masa Soeharto. Harapan kita yang tersisa mungkin dari kalangan kaum cendekiawan perguruan tinggi dan dari kalangan mahasiswa untuk masa depan? Tapi kaum intelektual kita sekarang juga dirundung penyakit: Tak berani menjalankan dasar utama etika kecendekiawanan, yakni kebenaran dan keadilan. Tak sedikit yang bahkan menjadi apa yang puluhan tahun lampau pernah dipolemikkan sebagai gejala pelacuran intelektual. Sementara itu, mahasiswa kini membuat kita penuh kesangsian, mana yang lebih mereka utamakan, menggunakan otak dan logika atau otot dan kemampuan tawuran, sehingga bergelincir melakukan demokrasi dengan cara-cara tidak demokratis. Apakah para pemimpin dari kalangan politik agama bisa diharapkan ? Ternyata tak kurang banyaknya dari mereka yang menunjukkan perilaku amoral dan atau kekerasan sehari-hari, dalam suasana batin hendak memaksakan kehendak.

Sebagai catatan tambahan, Indonesia sekarang berada di urutan ke-50 dalam potensi kegagalan negara, setelah sejumlah negara Afrika dan negara Asia serta Latin yang terkebelakang. Selamat berpikir dan mencari pemimpin.

– Rum Aly

Dari Kebenaran Lahir Keadilan