“There is a crime behind every great fortune”

ADA suatu kejahatan terselubung di balik setiap keberuntungan yang besar. There is a crime behind every great fortune. Itu kata Mario Puzo, penulis buku The Godfather. Dan menurut ahli kriminologi dari Universitas Indonesia, Ronny Nitibaskara, seperti yang dikutip pers, di Indonesia banyak kejahatan berkamuflase di balik pelaksanaan kekuasaan. “Indonesia masih berada dalam masa transisi menuju masyarakat demokratis. Banyak penyalahgunaan kewenangan di lapangan hukum, politik dan ekonomi. Semua kebijakan dijalankan dalam rangka formalitas belaka. Padahal, di balik itu banyak kejahatan yang berkamuflase”. Demikian Kompas (28 Juni 2009), mengutip Ronny melalui pemberitaan di bawah judul “Banyak Kejahatan Terselubung”.

Dikutip pula sebuah penggambaran situasi faktual yang menarik, bahwa “Korupsi semakin berkembang dan meluas pada perilaku-perilaku korup yang oleh hukum belum dinyatakan sebagai kejahatan, tetapi dalam realitas secara materi merupakan korupsi”.

SAAT ini, setidaknya dikaitkan dengan suasana penyelenggaraan pemilihan umum presiden 8 Juli 2009, ada 6 tokoh Indonesia yang bisa disebut beruntung, karena bisa maju ke gelanggang demokrasi untuk berkompetisi meraih posisi puncak dalam kekuasaan pemerintahan negara.  Dalam kultur Indonesia, mereka yang memperoleh kesempatan seperti itu, dianggap manusia beruntung. Untuk disebut dan dianggap manusia beruntung, menurut kultur Indonesia ini, adalah bila seseorang itu mendapat anugerah dalam kehidupannya berupa pangkat atau jabatan dan harta kekayaan. Sebenarnya, masih terdapat keberuntungan lain, yakni bila dianugerahi kecerdasan dan bakat serta moral dan budi pekerti yang baik. Tetapi dalam kehidupan yang makin ‘realistis’ dan pragmatis seperti belakangan ini, kebanyakan orang lebih berkecenderungan pada anugerah yang berupa pangkat, jabatan dan harta kekayaan.

Enam tokoh yang saat ini menjadi calon presiden dan wakil presiden, menurut kriteria kultur di atas, memang manusia beruntung, karena keenamnya pernah dan atau sedang berada dalam kelimpahan anugerah pangkat, jabatan serta harta kekayaan yang tak kecil. Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto, yang pernah menjadi menantu Presiden Soeharto, memiliki kekayaan yang resmi diumumkan sebesar sekitar 1,5 triliun rupiah, sehingga secara resmi menjadi terkaya di antara keenam tokoh. Jusuf Kalla yang kini masih menjabat Wakil Presiden ada dalam skala kekayaan bernilai ratusan miliar rupiah, dan tampaknya bertambah terus kekayaannya dari waktu ke waktu. Posisinya selaku pemilik suatu kelompok usaha yang cukup besar, secara formal membantu menjelaskan setiap muncul pertanyaan kenapa kekayaannya senantiasa dalam keadaan meningkat. Mantan Presiden Megawati Soekarnoputeri, yang punya kekayaan dalam skala puluhan miliar, pun memiliki penjelasan kenapa kekayaannya meningkat, bila ada yang mempertanyakan, yakni antara lain karena memiliki sejumlah SPBU. Jenderal Purnawirawan Wiranto maupun Dr Budiono yang memiliki kekayaan dalam skala cukup menakjubkan juga, belasan hingga puluhan miliar, masih kurang terekspose jalan proses peningkatan kekayaannya. Sebaliknya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jenderal purnawirawan pemilik Puri Cikeas yang luas, dengan angka kekayaan resmi terendah dibandingkan yang lain, justru dalam opini publik seakan ‘dipertanyakan’ kenapa memiliki nominal serendah itu. Tentu, dibalik opini itu bisa terdapat pertanyaan, apa semua sudah dilaporkan, sebagaimana pertanyaan yang sama tertuju kepada lima yang lainnya, apakah mereka betul-betul sudah transparan dalam memberikan data kekayaan sebenarnya?

TULISAN ini akan dengan segera memiliki esensi fitnah bila meminjam dan memakai ‘adagium’ Mario Puzo serta menyambungnya dengan terminologi ‘terselubung’ yang digunakan Nitibaskara, untuk menilai angka kekayaan dan keberuntungan ‘luarbiasa’ keenam tokoh tersebut. Tetapi pada sisi lain harus diakui, betapa dalam masyarakat sesungguhnya berkecamuk berbagai pertanyaan yang bernada prasangka bila mengetahui fakta betapa kayanya sejumlah pejabat dan atau mereka yang pernah menjadi pejabat, atau keluarga dan kerabat mereka.

Situasi bertanya-tanya yang sama juga sempat muncul dalam menyambut peraihan suara Partai Demokrat dalam pemilihan umum legislatif yang baru lalu, yang meningkat hampir tiga kali lipat dibanding pemilu sebelumnya lima tahun silam. Tentu ada saja yang mengasosiasikannya dengan ‘pengalaman’ Golkar di masa lampau yang  berkali-kali melonjak angka kemenangannya melalui sejumlah cara sistematis yang dianggap berbau kecurangan. Tetapi semua dugaan tersebut belum teruji dan terbukti, karena memang belum ada upaya cermat dalam penyelidikan tentang kecurangan-kecurangan pada pemilihan umum tahun 2009 ini. Bahwa terjadi sejumlah kelemahan fatal, terutama dalam soal DPT, serta terjadi kecurangan-kecurangan, tak bisa disangkal. Tetapi sejauh yang bisa diketahui, hampir setiap partai tercatat punya catatan tindak kecurangan, sebagaimana yang terungkap di berbagai daerah. Belum ada data saat ini yang bisa menunjukkan keterkaitan lonjakan perolehan suara partai pemenang tersebut dengan suatu kecurangan sistematis.

Menjadi kaya dan bahkan super kaya, bukan merupakan sesuatu yang buruk. Kesejahteraan materi sebagaimana halnya kekayaan batin, bahkan merupakan tujuan pencapaian manusia dalam meningkatkan harkat dan martabatnya. Dalam konteks negara, hal-hal tersebut menjadi dua di antara beberapa tujuan negara kesejahteraan bagi warganegaranya. Kecuali, bila itu semua dicapai dengan cara-cara yang melanggar hukum atau setidaknya merugikan kepentingan orang banyak melalui penipuan-penipuan dan kebohongan publik. Di dalam suatu sistem ekonomi yang esensinya merupakan praktek ekonomi yang kapitalistik-liberalistik, menjadi kaya –tanpa batas sekalipun– adalah tidak salah. Masalahnya adalah bahwa menurut konstitusi kita, yang ingin dibangun adalah perekonomian dalam rangka mencapai tujuan negara kesejahteraan melalui pencapaian pertumbuhan serentak dengan pemerataan dan keadilan yang seluas mungkin. Dalam praktek ekonomi dengan sistem yang marginal, yang pada hakekatnya sedang kita jalani saat ini, berlaku apa yang dikatakan Nitibaskara sebagai situasi berkembang dan meluasnya berbagai perilaku korupsi yang secara hukum belum dikategorikan sebagai pidana korupsi, padahal dalam realitas secara materi merupakan korupsi.

Setiap orang dalam suatu negara yang demokratis mempunyai hak untuk sejahtera, menjadi kaya atau bahkan super kaya. Tapi tak boleh menyembunyikan berapa besar kekayaan itu, setidaknya pada petugas pajak, karena dalam kepemilikan kekayaan itu terkandung kewajiban sosial yang harus dipenuhi melalui pengaturan negara. Jika anda menjadi kaya karena peluang-peluang yang tercipta dari negara dan dari masyarakat, maka anda memiliki kewajiban berbagi dengan negara dan masyarakat melalui suatu mekanisme yang adil untuk anda dan semua pihak.

Mereka yang maju untuk pemilihan bagi jabatan-jabatan kekuasaan negara dan pengelolaan masyarakat, harus bersedia terbuka mengenai kekayaannya. Apalagi dalam suatu negara yang masyarakatnya sedang berada dalam situasi traumatis terhadap perilaku korupsi yang sejak sekian lama merajalela. Bahkan sebenarnya, hendaknya tak sebatas hanya dengan pengungkapan angka kekayaan, melainkan juga harus ada semacam mekanisme untuk memperjelas mengenai sumber kekayaan itu, teristimewa bila sebelumnya yang bersangkutan pernah memangku jabatan publik. Bila seorang tokoh memperoleh keberuntungan dan kekayaan, dalam kehidupan politik dan ekonomi melalui jalan yang tak benar, ia tak layak menjadi pemimpin bangsa, pemerintahan dan negara. Tokoh seperti itu hanya akan merubah negara menjadi negara otoriteristik-manipulatif dengan pemerintahan kleptokrasi. Dalam proses pencalonan presiden dan wakil presiden tahun 2009 ini, sayangnya mekanisme pendalaman mengenai aspek kekayaan tersebut tidak dilakukan.

SALAH satu kesulitan besar dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di negara kita, adalah tidak berlakunya azas pembuktian terbalik dalam hal kekayaan pejabat publik. Setiap gagasan menuju pelaksanaan azas tersebut, dengan segera ditumpas oleh gurita korupsi dalam kekuasaan negara. Di negara-negara yang menganut azas tersebut, setiap pertambahan kekayaan yang terasa tidak wajar dan tak masuk akal, pelaku yang bersangkutan harus mampu membuktikan asal-usul pertambahan kekayaan yang tak wajar itu. Bagi mereka yang kekayaannya bertambah tidak melalui cara-cara tidak benar dan tidak menyalahgunakan kekuasaan, bukan hal yang sulit untuk membuktikan asal-usul kekayaannya. Sementara yang menjadi kaya karena korupsi dan semacamnya, pembuktian terbalik adalah malapetaka. Seorang jenderal misalnya, yang baru usai memangku suatu jabatan kan terasa agak mustahil bisa memiliki rekening satu seperempat triliun, ratusan atau puluhan miliar? Apakah seorang mantan menteri keuangan, atau menteri lainnya, bisa menjadi sangat kaya, punya sejumlah rumah mewah dengan delapan mobil mewah di garasinya? Di Indonesia, kebanyakan pejabat dan terutama eks pejabat, termasuk eks pejabat badan usaha milik negara, menurut pengetahuan publik, kaya-kaya dan malah ada yang sampai pada tingkat yang amat menakjubkan. Begitu pula fenomena yang tampak di kalangan kekuasaan legislatif. Seberapa besar sebenarnya gaji seorang menteri, direktur jenderal,gubernur, pimpinan badan usaha milik negara atau jenderal dan sebagainya? Tentu di balik pertanyaan ini tak ada keinginan apalagi keharusan agar mereka miskin-miskin, tetapi sebaliknya pula jangan sampai kaya secara fantastis. Tegasnya, yang diinginkan adalah jangan sampai terjadi adanya kejahatan terselubung di balik ‘keberuntungan’ yang luar biasa dalam kehidupan politik dan ekonomi. (RA).

2 thoughts on ““There is a crime behind every great fortune””

  1. seharusnya masyarakat curiga, drmana para calon2 tersebut mendapat peningkatan kekayaan tiba2 scr fantastis.. walopun alasan mreka krn mlakukan usaha, warisan 7turunan punya spbu, ato sumur minyak, sumur aer, sumur emas juga dll,, tp mana qt tau apa yg terjadi di balik semua itu..

    qt liat aj siapa yg jd presiden ma wakilnya, trus qt nilai bgitu masa jabatan mreka berakhir, apakah kekayaan mreka akan berlipat ganda scr ajaib-fantastis-bombastis??

    Tapi,,kayanya rame nih klo KPK ato kejagung meriksa ‘latarbelakang’ drmn kekayaan mreka brasal hehehe..
    lumayan kalo tnyata ada kerugian negara bisa dibalikin lagi kepada orang2 yg berhak, iya ga? lebih efektif drpd BLT sekalipun

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s