Tag Archives: ITB

64 Tahun Bersama Indonesia Merdeka: Menangis Bahagia dan Tertawa Sedih (2)

“Suatu suasana tragis yang berulang kembali tahun 1998”. “Kecendekiawanan …. kadang-kadang tersesat juga ke dalam sikap dan perilaku snob bahkan ‘prostitusi’ intelektual”.

Dalam masa puncak kekuasaannya, antara tahun 1959-1965, Soekarno adalah pemimpin yang berangsur-angsur meninggalkan rasa adil. Kekuasaan terpusat pada dirinya karena keberhasilannya memainkan kendali persaingan di antara kekuatan politik yang ada, dan memelihara rivalitas itu sebagai benefit bagi kekuasaannya. Perubahan dirinya dari pemimpin perjuangan menjadi sekedar penguasa otoriter yang menikmati kekuasaan, telah menjerumuskan rakyat Indonesia dalam kesengsaraan ekonomi dan kesengsaraan karena ketidakadilan politik dan hukum. Kebenaran diabaikan, dan ia menjadi kebenaran itu sendiri. Soekarno dalam enam tahun itu menjelma menjadi otoritarian sejati. Soekarno tak segan-segan memenjarakan lawan politik, tanpa diadili bertahun-tahun lamanya, meskipun masih selalu ada mitos bahwa para tahanan politik lawan Soekarno itu tetap diperlakukan dengan baik dalam tempat-tempat tahanan. Tapi perampasan kemerdekaan pribadi tetap saja perampasan hak azasi betapa pun bagusnya ia dibungkus. Esensi kejahatannya tidaklah berkurang. Lagi pula, faktanya, seperti digambarkan Mochtar Lubis berdasarkan pengalamannya sendiri sebagai tahanan politik masa Soekarno, tak selalu para tahanan diperlakukan dengan baik. Kalaupun ada yang mendapat sedikit keistimewaan dalam tahanan, terbatas pada mereka yang tergolong kategori tokoh yang pernah dekat dalam perjuangan bersama Soekarno. Jadi, bersifat selektif dan kadang-kadang artifisial. Pemerintahan Soekarno, pun adalah pemerintahan yang korup, dana dikumpulkan dan dikerahkan, atas nama kepentingan revolusi. Mungkin saja benar kalau dikatakan Soekarno tidak memperkaya diri pribadi, tetapi tak benar bila dikatakan ia tak menikmati kekuasaan untuk kepentingan subjektifnya, seperti misalnya melalui pesta-pesta tari lenso malam hari di istana. Di bawah Soekarno, bekerja sejumlah menteri yang menjalankan perilaku korupsi, perilaku pribadi yang tercela menyangkut uang dan wanita, serta pemborosan atas nama revolusi, yang di kemudian hari dicontoh oleh rezim Soeharto atas nama pembangunan. Soekarno adalah tokoh yang memulai perjuangan untuk bangsa dengan idealisme dan tindakan altruisme, sehingga jasanya patut dicatat dengan tinta emas. Namun ia mengakhiri kekuasaan dengan lembaran ‘hitam’ setidaknya selama 5 tahun terakhir. Dua sisi mengenai Soekarno ini, harus dicatat secara jujur. Hal yang sama untuk Jenderal Soeharto.

Peristiwa 30 September 1965. Puncak dari pertarungan politik di Indonesia, khususnya pada 1959-1965, adalah Peristiwa 30 September 1965, ketika mereka yang bertarung terjebak kepada pilihan ‘mendahului atau didahului’. Yang mendahului ternyata terperosok, sebagaimana yang didahului pun roboh, dan Soekarno terlindas di tengah persilangan karena gagal meneruskan permainan keseimbangan kekuasaan. Lalu Soeharto muncul dari balik tabir blessing in disguise, mengambil peran penting dengan segala teka-teki yang untuk sebagian belum terpecahkan hingga kini. Dan akhirnya, berkuasa.

Terlihat bagaimana semua pihak memainkan peran untuk kepentingannya sendiri, dan samasekali tidak memiliki altruism, betapa pun semua mencoba memberikan latar idealistik dan muluk-muluk –misalnya atas nama Pancasila dan penegakan UUD 1945 maupun atas nama rakyat ataukah kaum proletar yang tertindas– untuk segala tindakan-tindakan mereka dalam pertarungan kekuasaan. Pertarungan yang terjadi, dengan hanya sedikit pengecualian, murni adalah pertarungan kekuasaan yang tak ada hubungannya dengan kepentingan rakyat banyak, sebagaimana iapun untuk sebagian besar tak ada hubungannya dengan persoalan membela Pancasila dan UUD 1945 serta rakyat tertindas. Dan samasekali pula tak ada hubungannya dengan cita-cita penegakan demokrasi. Terlihat pula betapa semua unsur yang terlibat dalam pertarungan politik dan kekuasaan, tidaklah memiliki belas kasihan satu terhadap yang lainnya. Dalam suasana tanpa belas kasihan seperti itu, tidaklah mengherankan bahwa darah tak segan ditumpahkan dari satu episode ke episode lainnya. Darah pun menjadi halal dalam semangat menghancurkan lawan seperti itu.

Satu per satu, bila ditelusuri jejaknya, tak ada satu pun di antara para tokoh utama yang terlibat, yang langsung maupun tak langsung mencipta konflik berdarah di bulan September 1965, menunjukkan kebajikan yang cukup berharga. Beberapa di antaranya bahkan menampilkan perilaku buruk, keji, tak kenal belas kasihan dan penuh intrik, sementara pada sisi lain beberapa yang berada dalam dimensi ruang dan waktu terjadinya proses peristiwa, berlaku naif, tidak tajam menganalisa keadaan atau setidaknya tidak peka situasi dan lalai, sehingga menjadi korban.

Secara ringkas, bila direkonstruksi kembali, Peristiwa 30 September 1965, adalah sepenuhnya hasil akhir sebagai puncak pertarungan politik yang terjadi di antara tiga unsur dalam segitiga kekuasaan. Tetapi, secara keseluruhan, terlepas dari kaitan-kaitan yang masih penuh tanda tanya di seputar Soeharto dan Aidit, Peristiwa 30 September 1965, merupakan hasil ‘kesalahan’ kolektif dari semua unsur dan tokoh yang berada di lini terdepan medan pertarungan kekuasaan di sekitar tahun 1965 itu. Semua memiliki andil yang menciptakan akhir berdarah serta rentetan pembunuhan massal yang terjadi beberapa waktu setelahnya. Mulai dari Soekarno, Soebandrio, Chairul Saleh, Omar Dhani sampai Soeharto, dan dari Aidit hingga para pemimpin partai Nasakom lainnya serta lapisan pimpinan pada berbagai tingkat dari institusi militer waktu itu.

Mahasiswa, tarikan antara idealisme dan kekuasaan. Dalam rangkaian peristiwa, mahasiswa muncul bagaikan pendekar yang pada mulanya tak kenal selatan, masuk ke dalam kancah pertarungan, dengan segala idealismenya, sebelum akhirnya memahami situasi sebenarnya. Jejak rekam mahasiswa –sebagai suatu kelompok sosial– dalam berbagai momen penting proses perubahan sosial, politik dan kekuasaan negara, memang menjadi bagian esensial dalam catatan sejarah Indonesia modern. Ini tak terlepas dari posisinya selaku kaum intelektual begitu ia memasuki dan bersentuhan dengan dunia akademis. Kecendekiawanan, selain bersandar kepada kecerdasan dan logika, lekat dengan aspek moral dan etika, yang menempatkan keadilan dan kebenaran di atas segalanya, lebih lekat kepada cita-cita dan nilai-nilai demokrasi, meskipun kadang-kadang juga tersesat ke dalam sikap dan perilaku snob, bahkan ‘prostitusi’ intelektual.

Setelah Dekrit 5 Juli 1959, kekuasaan Soekarno dalam tempo enam tahun telah meluncur menjadi kekuasaan otoriter sipil yang ditopang dua kaki, yakni oleh kaum militer di satu pihak dan politisi sipil campuran Nasakom yang oportunistik pada sisi lain. Meskipun tak terlalu banyak diungkapkan dalam catatan sejarah, terlihat bahwa pada masa-masa antara 1959 hingga menjelang September 1965, muncul gerakan-gerakan kritis mahasiswa terhadap gejala otoriterisme yang dijalankan Soekarno di balik penamaan demokrasi terpimpin. Kala itu dunia kemahasiswaan, atau dunia perguruan tinggi pada umumnya, menjadi ajang penetrasi politisasi partai-partai Nasakom dalam rangka pertarungan ideologis. Perpanjangan tangan partai ideologis dari kelompok Nasional yang diwakili PNI dan dari kelompok Komunis yang diwakili PKI, cenderung unggul di medan formal dan melalui opini yang tercipta dari media pers yang amat terkendali ketika itu. Organisasi-organisasi mahasiswa ekstra universiter seperti GMNI, CGMI dan Perhimi mendominasi kehidupan dan opini kampus pada permukaan, terutama di pulau Jawa. Lembaga-lembaga kemahasiswaan intra kampus umumnya berada di tangan mereka. Sementara itu, organisasi-organisasi ekstra yang mewakili ideologi partai-partai agama ada dalam posisi minor, dan cenderung berdiam diri dalam naungan payung Nasakom asalkan tak diganggu-gugat. Memang pada umumnya, mereka yang disebut terakhir ini tak diganggu-gugat, kecuali HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang dipilih sebagai sasaran serangan karena dikaitkan dengan partai terlarang Masjumi yang kontra revolusioner. Pada sisi lain, HMI pada akhirnya jadi ikon simbol ketertindasan, sekaligus dikonotasikan sebagai tanda penganiayaan dan permusuhan kaum komunis (dan juga sebagian kelompok golongan Nasional) terhadap golongan Islam. Namun, penganiayaan terhadap HMI ini lebih tepat disebutkan sebagai bagian pertarungan ideologi yang sedang terjadi dalam kehidupan politik kala itu, bukan bagian dari gerakan kritis atau perlawanan mahasiswa terhadap kekuasaan otoriter Soekarno. Perlawanan HMI dan mereka yang bersimpati, lebih memenuhi syarat untuk disebutkan sebagai perlawanan bela diri terhadap upaya eliminasi eksistensi.

Yang lebih bermakna dalam konteks keadilan dan kebenaran yang terkait dengan penegakan demokrasi adalah gerakan kritis yang sudah mulai ditujukan kepada Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya, sejak awal 1960-an. Perlawanan umumnya berlangsung lebih tersamar. Salah satunya adalah gerakan sejumlah aktivis intra di kampus-kampus Bandung, ITB maupun Universitas Padjadjaran. Aktivis-aktivis ini mewakili lembaga-lembaga kampusnya bersuara berbeda dan kritis di forum seperti MMI (Majelis Mahasiswa Indonesia) maupun penolakan terhadap PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang monolitik dan didominasi organisasi ekstra perpanjangan tangan kelompok ideologis. Mereka berjuang menahan dominasi politisasi kampus oleh perpanjangan tangan partai-partai ideologis. Salah satu perlawanan yang terjadi mewujud sebagai Peristiwa 10 Mei 1963 yang terpicu dan diwarnai oleh peristiwa rasialistis, namun pada sisi tertentu hakekatnya merupakan perlawanan terhadap politik Soekarno yang kala itu sangat cenderung dan berkiblat pada poros Djakarta-Peking. Selebihnya perlawanan lainnya lebih mewujud sebagai perlawanan bawah tanah melalui selebaran gelap yang isinya mengkritisi kekuasaan Soekarno dan melalui penerbitan pers mahasiswa dengan sajian kritik perlawanan yang terkamuflase. Secara nasional ada IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) yang anggota-anggotanya banyak terlibat dalam gerakan kritis dan belakangan menjadi pendiri beberapa pers umum yang diasuh mahasiswa, yang terkemuka pada awal proses kejatuhan formal Soekarno dan kemudian bersikap kritis di masa Soeharto sehingga akhirnya terpaksa diberangus oleh penguasa.

Keikutsertaan mahasiswa yang fenomenal tentu saja terjadi pada masa peralihan kekuasaan di tahun 1965-1966. Partnership ABRI-Mahasiswa pada tahun 1966 ini sejenak sempat menjadi model kerjasama pergerakan yang berhasil mendobrak dan memperbaharui keadaan dengan menjatuhkan rezim lama yang terlalu dekat dengan ideologi komunis yang ademokratis dan cenderung makin diktatoristik. Tapi pada akhirnya ini menjadi model yang tak dapat dipertahankan. Faktor kesalahan ada di dua sisi. Di sisi militer, setelah tiba di posisi yang lebih dominan dalam panggung kekuasaan, mereka lebih menghendaki kekuasaan hanya untuk dirinya sendiri dengan segala karakteristik militernya. Dan akhirnya memang menjadi suatu rezim kekuasaan yang didominasi militer di bawah Jenderal Soeharto.

Selain itu, merupakan kenyataan pahit bahwa perwira-perwira militer yang menjalankan partnership itu secara tulus ternyata hanyalah sejumlah kecil perwira intelektual dan idealis dalam posisi minoritas secara kuantitatif di tubuh tentara, yang kemudian tersisih karena tak mampu menghadapi tipu daya sesama jenderal yang sejak awal memang lebih mengutamakan permainan kekuasaan di atas segalanya. Apa yang kemudian dilakukan Soeharto dan para jenderalnya setelah memegang kendali kekuasaan negara, keluar dan terlepas dari gagasan serta idealisme awal mahasiswa dan generasi muda –dengan penamaan sebagai Angkatan 1966– yang bersama-sama menciptakan perubahan di tahun 1966. Seiring sejalan di satu jalan yang sama, namun berbeda dalam niat dan tujuan akhir.

Adalah karena bius peranan-peranan dalam proses perubahan itu, kaum muda ini kemudian terjebak dalam mitos di bawah penamaan Angkatan 1966 maupun mitos dan obsesi mengenai ‘peran-peran besar’ yang telah mereka jalankan serta pikiran –dan mungkin saja ilusi– tentang peranan-peranan yang lebih besar dan mulia yang menanti di masa depan. Tapi pada sisi lain dalam realita, mahasiswa Angkatan 1966 yang direpresentasikan oleh KAMI yang strukturnya adalah suatu federasi organisasi ekstra –dan karenanya untuk sebagian besar merupakan perpanjangan tangan dari induk politik dan kepentingannya dari struktur politik lama– akhirnya berubah menjadi pelaku dan forum peredaran konflik serta perebutan dominasi semata. Karena menghadapi dan terlibat dalam peredaran konflik yang parah satu sama lain, mahasiswa generasi 1966, luput melakukan kritik yang berarti terhadap gejala makin meningkatnya kecenderungan kekuasaan yang ditunjukkan oleh partner-nya, yakni ABRI. Kritik yang dilakukan oleh tokoh mahasiswa terbatas, dan kritik yang kuat hanya dilakukan oleh pers mahasiswa. Di mata mahasiswa generasi yang lebih baru, yang berangsur-angsur menggantikan peran Angkatan 1966, sikap dan perilaku yang ditunjukkan militer Indonesia itu samasekali kontraproduktif dalam konteks menegakkan Indonesia yang demokratis dengan suatu supremasi sipil yang normal sebagai kelaziman yang normal pula dalam sistem demokrasi.

Sebenarnya, dalam segi wawasan, mahasiswa Bandung misalnya, secara umum memiliki subjektivitas yang kuat karena memiliki arah dan pemikiran yang jelas atas dasar suatu idealisme yang kuat tentang keadilan dan kebenaran. Bahkan di Jakarta yang para mahasiswanya punya kecenderungan kuat terkooptasi oleh kekuatan-kekuatan politik (partai dan tentara) yang sedang bertarung, masih cukup terdapat tokoh-tokoh mahasiswa idealis –memiliki persamaan ciri dengan kelompok mahasiswa Bandung– seperti dua bersaudara Arief Budiman (Soe-Hokdjin) dan Soe-Hokgie, Marsillam Simandjuntak dan sejumlah aktivis intra lainnya yang tak terkooptasi oleh kekuatan politik dari luar kampus seperti yang terlihat di beberapa fakultas di Universitas Indonesia: Sastra, Psikologi, Ekonomi dan untuk sebagian di Fakultas Kedokteran. Tapi sebaliknya, memang harus diakui pula bahwa di Jakarta memang cukup banyak aktivis mahasiswa yang dengan mudah menempatkan diri dalam kategori alat, baik sebagai alat politik tentara (klik tertentu) maupun alat politik partai-partai Islam dan partai-partai non komunis lainnya. Ini terjadi karena beberapa di antara mereka telah terperangkap pada hasrat kekuasaan sebagai tujuan akhir sebagaimana halnya dengan para petarung kekuasaan dalam segitiga kekuasaan. Merupakan fakta tak terbantahkan bahwa kelak banyak di antara tokoh-tokoh mahasiswa yang masuk ke dalam kekuasaan baru dalam posisi yang amat bagus karena memiliki sejarah kerjasama dengan tentara yang mendominasi rezim kekuasaan baru, sebagaimana sejumlah tokoh lainnya menjadi petinggi partai-partai ideologis yang menanti kesempatan untuk turut serta dalam sharing kekuasaan baru. Sebagian generasi muda dari pergerakan tahun 1966 sejenak ikut menikmati kekuasaan, sementara yang lain melihat ada sesuatu yang belum selesai dan bergerak dalam posisi berlawanan.

Sikap yang disebut terakhir ini, melanjut pada lapisan berikut dan melahirkan gerakan-gerakan kritis baru. Namun, tetap pula harus dibedakan adanya kelompok-kelompok mahasiswa yang memilih menjalankan struggle from within untuk mewujudkan cita-citanya, suatu Indonesia baru, Indonesia modern, demokratis dan berkeadilan sosial. Tetapi waktu memang kemudian membuktikan betapa langkah demi langkah, waktu demi waktu, satu persatu aktivis yang ingin berjuang dari dalam kekuasaan ini rontok dan terlempar keluar. Setelah itu, mereka terpaksa kembali memulai suatu gerakan kritis baru menghadapi kekuasaan baru yang telah berubah wujud menyerupai dan bahkan dalam hal tertentu melebihi keburukan rezim yang digantikannya.

Menuju dilema baru. Bagaimanapun, kehadiran dan peranan-peranan yang dijalankan mahasiswa memang berharga, perlu dicatat dalam sejarah sebagai bagian proses belajar sebagai bangsa. Meskipun, untuk sebagian perjuangan itu tidak sampai ke tujuannya dan hanya mengantar satu rezim baru dengan perilaku dan lakon baru yang sama saja buruknya dengan yang digantikannya. Suatu suasana tragis yang akan berulang kembali, di tahun 1998, melalui gerakan kritis lapisan generasi yang lebih baru, dengan akhir yang sama: Menjatuhkan satu rezim kekuasaan yang telah bertumbuh secara buruk, dan membuka jalan bagi kekuasaan baru, atas nama reformasi, yang hingga sejauh ini masih mengidap beberapa cacad bawaan yang diwariskan para pendahulunya dalam menjalankan kekuasaan.

Generasi muda yang direpresentasikan dengan kuat oleh kalangan mahasiswa, pada tahun 1966, sampai pada kesimpulan bahwa sepanjang menyangkut Soekarno dengan rezim Orde Lama, suatu upaya perbaikan sepenuhnya adalah tak berguna dan hanya ada satu cara, yakni menumbangkan dan menggantinya. Pergerakan mahasiswa di tahun 1966, dengan demikian, telah membukakan satu pintu pembaharuan bagi Indonesia, dimulai dengan keikutsertaan mengakhiri satu babak dari kekuasaan otoriter di Indonesia, yakni pemerintahan sipil otoriter  di bawah Soekarno 1959-1965 yang didukung partai-partai Nasakom –dan untuk sebagian juga oleh tentara. Jenderal Soeharto yang menggantikan Soekarno, dalam suatu perulangan sejarah, ternyata menciptakan bagi dirinya suatu nasib akhir, serupa dengan orang yang digantikannya. Soeharto –dan Orde Baru– yang memulai segala sesuatunya dengan gagasan baik dan tujuan-tujuan ideal, menyimpang di tengah jalan sehingga berkali-kali harus bersilang jalan dengan generasi muda terutama mahasiswa. Dengan penanganan yang keliru, Soeharto dan rekan-rekan jenderalnya, minus para jenderal intelektual dan idealis yang minoritas, menggiring kekuatan mahasiswa tahun 1970-an –yang semula masih ada dalam garis perjuangan memperbaiki jalannya kekuasaan agar bisa memperbaiki bangsa dan negara– menjadi lawan, karena dianggapnya sebagai kekuatan konspirasi yang harus dipatahkan. Sebagai resultante dari sikap dan penanganan konflik oleh rezim yang seperti itu, maka mahasiswa generasi berikutnya pada tahun 1978 sampai pada kesimpulan bahwa Soeharto dan Orde Baru harus diakhiri, seperti halnya yang dilakukan generasi 1966 terhadap Soekarno dan Orde Lama. Namun masih dibutuhkan 20 tahun lagi, sebelum Soeharto harus mengundurkan diri pada tahun 1998, oleh paksaan keadaan yang tak terhindarkan lagi, bersamaan dengan meningkatnya demonstrasi mahasiswa yang berubah menjadi tragedi berdarah-darah. Mundurnya Soeharto menandai berakhirnya babak kedua kekuasaan otoriter dalam Indonesia merdeka, yakni pemerintahan militer otoriter Soeharto dan para jenderalnya. Harus diakui bahwa rezim ini berhasil dalam pertumbuhan ekonomi yang signifikan, namun lalai dan gagal dalam menciptakan keadilan sosial, keadilan ekonomi maupun keadilan politik.

Berlanjut ke Bagian 3

Sejarah Persahabatan Korupsi dan Birokrasi (4)

Pada saat kekuasaan Soeharto bertambah kokoh sebelum dan sesudah pemilihan umum tahun 1971 birokrasi negara dimasuki oleh kalangan tentara dan tentara menjadi sangat dominan di dalamnya. Tentara atau tepatnya para perwira Angkatan Darat kala itu dianggap sebagai barisan yang lebih cakap dan mampu dibanding kalangan sipil untuk mengelola pemerintahan, meskipun kelak terbukti bahwa adalah tidak benar kualitas para tentara lebih unggul. Masalahnya adalah bahwa setelah jatuhnya Soekarno, memang sebagai institusi, Angkatan Darat lah yang tersisa sebagai kekuatan yang paling terorganisir. Sementara itu institusi-institusi sipil semua ada dalam keadaan berantakan. Apalagi partai-partai politik yang seluruhnya adalah sisa dan warisan struktur politik lama telah merosot kredibilitasnya dan pada waktu yang bersamaan belum tumbuh satu institusi sipil baru yang terorganisir. Bahkan kalangan cendikiawan maupun mahasiswa generasi 1966 gagal menumbuhkan diri sebagai institusi yang bisa diharapkan. Apalagi pertarungan kekuasaan telah melahirkan ambisi baru di kalangan tentara untuk menjadi pemegang tunggal dari kendali kekuasaan negara, sehingga sengaja atau ‘tidak sengaja’ kekuatan lain yang  mandiri dan berpotensi harus dipatahkan.

Korupsi dan segala penyimpangan yang bertujuan akhir mengumpulkan dana untuk membiayai kekuasaan jelas tidak mudah terhindarkan. Selain itu ada lagi satu fenomena yang disebut pada sekitar tahun 70-an sebagai ‘mental Indonesia’ telah ikut menyuburkan dan memberi peluang bagi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan secara berkelanjutan. Sekaligus juga menghambat keberhasilan pemberantasan korupsi itu sendiri. Apa yang disebut ‘mental Indonesia’ itu didominasi oleh emosi dan kepekaan perasaan yang ‘dingin’, yang mengalahkan logika atau pemikiran yang pragmatis. Beberapa pengutaraan kaum cendekiawan di tahun 70-an menyatakan bahwa ‘mental Indonesia’ yang sinkretis itu menjadi dasar adat istiadat dan perilaku masyarakat Indonesia. Masyarakat tidak terbiasa untuk menyampaikan sikap secara tegas, dikuasai oleh ketidakjelasan pemikiran dan ucapan yang memudahkan kompromi. Kemudahan berkompromi memang mampu mempertahankan harmoni dalam masyarakat, namun dalam menjawab tuntutan kemajuan dalam dunia modern, merupakan hambatan. Pemecahan yang terbaik tidak bisa dicapai dengan pemikiran yang tidak jelas. Masalah pemberantasan korupsi juga menghadapi kendala dari ketidakjelasan pemikiran. Cendekiawan dari Bandung M. Purbo Hadiwidjojo menulis “Kita beramai-ramai membicarakan tentang korupsi, kita semua mengutuknya. Tetapi kalau sampai kepada pemberian suatu batasan, maka mulailah semua itu menjadi kabur. Menerima komisi untuk diri sendiri dari pembelian untuk pemerintah, membungakan uang bukan uang milik sendiri, mendirikan perusahaan dengan uang orang lain tetapi untungnya untuk sendiri, dan sebagainya, kalau perlu tidak kita golongkan kepada tindak korupsi” (Mahasiswa Indonesia, Januari 1971). Pengajar dari ITB itu menulis lebih jauh “Sikap tidak ‘zakelijk’ merupakan ekor dari sikap kita yang tidak modern. Bukan peraturan yang kita pakai, sebab yang selalu kita gunakan ialah ‘kebijaksanaan’. Meskipun ada peraturan, kalau yang bersalah ternyata saudara sendiri, maka peraturan itu seakan-akan tidak ada, atau tidak berlaku. Untuk melindungi diri, kita menggunakan istilah seperti ‘cara Indonesia’, cara ‘ketimuran’, dan sebagainya”.

Namun di atas segalanya, pengetahuan berlatar belakang sejarah tentang betapa mengakarnya korupsi dalam ‘kultur’ Nusantara dari masa ke masa –yang menunjukkan bahwa perilaku korupsi itu adalah suatu permasalahan berat dan kompleks karena melekat sebagai kecenderungan dalam kekuasaan– berguna untuk mendorong perkuatan komitmen masyarakat untuk melawan korupsi dan menagih kemauan politik para penyelenggara negara untuk membasmi korupsi dan segala penyimpangan kekuasaan. Maka peranan-peranan kritis di tengah masyarakat menjadi kebutuhan.

 

Memang ‘syaitan’ senang berbisik di mana pun juga

 

PADA tahun 1970-an korupsi yang paling disorot memang adalah di seputar Pertamina dan Bulog, tetapi sebenarnya korupsi merata dan meluas di berbagai instansi dan perusahaan negara lainnya. Satu dan lain hal, suburnya korupsi itu, antara lain karena ‘mentalitas Indonesia’ itu dan hal-hal yang diutarakan Purbo seperti pendefinisian yang kabur, sikap tidak zakelijk, kebijaksanaan, cara Indonesia dan cara penyelesaian ketimuran. Korupsi terjadi di Departemen Agama. Kolusi terjalin antara pejabat Departemen Pendidikan & Kebudayaan dengan pengusaha swasta dalam kasus CV Haruman. Permainan seorang pejabat Departemen Perhubungan dalam pengadaan kebutuhan perusahaan Kereta Api adalah contoh lainnya. Masih ada pula sorotan-sorotan mengenai penyelewengan di Direktorat Bea dan Cukai, di Direktorat Pajak, Imigrasi, PN-PN Perkebunan, Telkom, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta aneka penyelewengan dan gaya hidup tidak wajar di kalangan gubernur dan bupati. Di Telkom, salah satu pejabatnya mendepositokan uang perusahaan atas nama pribadi sebesar Rp.250 juta (suatu jumlah yang besar untuk ukuran saat itu) dan menikmati sendiri bunganya. Beberapa nama yang masuk dalam sorotan pers dan mahasiswa kala itu tercatat antara lain Mayor Jenderal Surjo, Brigjen Sentot Iskandar Dinata, Padang Sudirdjo, dan beberapa nama lain. Terekam pula nama Robby Cahyadi yang melakukan penyelundupan mobil mewah melalui Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma yang dikabarkan melibatkan nama Cendana. Panglima Kepolisian Jenderal Hoegeng Iman Santoso yang bertindak tegas terhadap penyelundupan itu, belakangan malah lebih dulu tergeser dari jabatannya kendati tidak dalam bentuk kaitan langsung. Begitu pula Kolonel Niklani yang tercopot dari jabatan di Badan Koordinasi Intelejen Negara (BAKIN).

Waktu itu, aparat-aparat penegak hukum boleh dikatakan tidak berdaya. Jaksa Agung Sugih Arto dan terutama Jaksa Agung Muda Ali Said yang banyak diharapkan orang, ternyata cukup mengecewakan dalam pemberantasan korupsi. Tidak ada pelaku korupsi besar yang pernah ditindak di tengah maraknya dugaan korupsi yang dilontarkan masyarakat. Belakangan setelah menjadi Jaksa Agung keberhasilan Ali Said yang tersohor sebagai mantan oditur penuntut dalam peradilan Mahmilub atas diri mantan pejabat tertinggi masa Soekarno, Waperdam (Wakil Perdana Menteri) I Soebandrio, datar-datar saja dan lebih banyak tercatat dalam penanganan kasus-kasus penyelundupan oleh warga negara keturunan India. Itu pun, saat itu, senantiasa dibayang-bayangi isu miring bahwa para pejabat Kejaksaan Agung bisa disuap oleh para penyelundup untuk menutup perkara.

TERLIHAT, betapa korupsi bisa terjadi di mana saja, bahkan di tempat yang musykil sekali pun. Bila memakai ukuran budi pekerti yang awam dan sederhana, semestinya korupsi tidak bisa terjadi di Departemen Agama dan Departemen Pendidikan & Kebudayaan. Departemen Agama adalah tempat mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan sumber moralitas manusia, yakni agama. Sedang Departemen P&K adalah pusat pengaturan tentang pengajaran dan pendidikan, darimana sumber cahaya teladan budi pekerti dan pencerdasan bangsa berasal. Tetapi rupanya ‘syaitan’ memang senang berbisik di mana pun juga.

Pengungkapan yang paling menarik perhatian tentang Departemen Agama dengan segala penyelewengan di dalam tubuhnya dan di dalam pelaksanaan tugasnya dilakukan oleh Muhammad Bazor dalam sebuah buku berjudul ‘Departemen Agama?’ pada tahun 1970. Pembeberan ketidakberesan Departemen Agama dari waktu ke waktu memang cukup banyak mengisi halaman pemberitaan pers Indonesia. Seorang tokoh Muhammadyah H. AR Fachruddin pernah menulis dalam ‘Suara Muhammadyah’ April 1969, bahwa adanya koreksi Muhammadyah terhadap Departemen Agama adalah karena Muhammadyah melihat ada hal-hal negatif di Departemen Agama. Semacam kritik objektif semata karena fakta, meski sukar juga menepis adanya latar belakang faktor rivalitas persaingan antara Muhammadiyah yang ada ‘di luar’ dengan unsur NU yang secara tradisional selalu ‘menguasai’ Departemen Agama.  Penyelewengan yang dilakukan oknum-oknum pejabat Departemen Agama menurut Fachruddin adalah berupa penyuapan, penerbitan ijazah dan beslit palsu dan sebagainya. Sedang Muhammad Bazor dalam bukunya menyebutkan korupsi di Departemen Agama itu sangat menyolok mata. “Sungguh pun korupsi merupakan gejala umum di Indonesia, namun korupsi di bidang agama adalah paling mengecewakan dan mencemarkan nama agama”. Bagaimana umat beragama bisa percaya lagi bila pemuka-pemukanya sendiri telah menjalankan korupsi? Beberapa contoh disebutkan, mulai dari yang kecil hingga yang besar. Contoh-contoh tergolong korupsi kecil berupa penggelapan uang nikah dan kas mesjid oleh para modin, dan kepala KUA (Kantor Urusan Agama) yang menyelewengkan uang Panitia Amil Zakat untuk berdagang. Penyelewengan menengah antara lain adalah pengangkatan Rektor fiktif untuk IAIN (Institut Agama Islam Negeri, kini UIN) Bogor padahal di sana tak ada IAIN, serta membayar gaji dosen-dosen IAIN yang tidak memberikan kuliah apapun. Pada bulan Pebruari 1969  terjadi skandal Al Ichlas, yang merupakan kasus ‘tertipu’nya dan ‘penelantaran’ 865 jemaah haji oleh yayasan tersebut, yang terkait dengan salah urus, saling jegal dan perpecahan dalam Mukersa (Musyawarah Kerja Sama) Haji. Lembaga bernama Mukersa Haji yang dipimpin H. Notosutardjo ini adalah gabungan sejumlah yayasan penyelenggara haji yang tumbuh bagai jamur saat itu tatkala pemerintah memberi kesempatan kepada swasta untuk menjadi penyelenggara haji. Adapun para jemah Al Ichlas yang terlantar akhirnya bisa diberangkatkan jika bisa membayar tambahan Rp.125.000. Mereka diberangkatkan dengan pesawat terbang ICA (Indonesia Angkasa Civil Airtransport) milik suatu yayasan kepunyaan tokoh NU Subchan Zaenuri Erfan. Diberitakan pula adanya bantuan Brigjen Sofjar sebesar US$ 30,000 untuk mengatasi kasus tersebut. Lainnya penyimpangan  pimpinan Dinas Pendidikan Agama yang memotong gaji guru-guru agama, panitia ujian yang memeras calon-calon guru agama dengan menuntut ribuan rupiah, yang kesemuanya sempat di beritakan pers pada bulan Juni hingga Agustus 1969.

Berlanjut ke Bagian 5