SEPANJANG pekan kedua Mei 2020 ini Presiden Joko Widodo, berturut-turut memberikan deretan pernyataan yang serba mengagetkan dan di sana-sini bisa menakjubkan juga. Saat membuka rapat paripurna kabinet (6/5) Presiden memerintahkan kurva pandemi Corona harus turun. “Target kita di bulan Mei ini harus betul-betul tercapai sesuai dengan target yang kita berikan, yaitu kurvanya sudah harus turun. Dan masuk pada posisi sedang di Juni, di bulan Juli harus masuk posisi ringan. Dengan cara apa pun.” Ini sesuai dengan yang pernah diperintahkan Presiden kepada Kepala BNPB Jenderal Doni Monardo, 27 April, untuk bekerja lebih keras dan disiplin agar Covid 19 bisa diturunkan Juni, dan bulan Juli kita bisa memulai hidup normal kembali. Tetapi sedikit berbeda dengan prediksi Presiden sendiri tentang pandemi Corona, pada rapat terbatas melalui telekonferensi 16 April, “Saya meyakini, saya meyakini ini hanya sampai pada akhir tahun.”
Sehari setelah perintah kurva pandemi harus turun, Presiden seakan melunak kepada Corona. Ia menyerukan agar masyarakat belajar berdamai dengan Covid-19. “Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan.” Bagaimana bisa berdamai dengan virus dan penyakit? Agar publik tak terlalu lama bertanya-tanya pada Kamis (7/5) siang itu juga, Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin memerlukan memberi penjelasan. Bahwa, maksud berdamai dengan corona dalam pernyataan Presiden itu adalah menyesuaikan dengan kehidupan. “Artinya masyarakat harus tetap bisa produktif di tengah pandemi Covid-19.”
The Sydney Morning Herald
Suatu kebetulan yang menarik, Kamis siang 11.30 pm –waktu Australia, atau 08.30 WIB– 7 Mei 2020, muncul hasil wawancara The Sydney Morning Herald dengan Gubernur DKI Anies Baswedan. Isinya mengandung banyak ungkapan dan kritik kelambanan pemerintah pusat dalam menangani pandemi Corona. Mungkin bukan disengaja, tetapi seakan ada jawab berjawab antara Anies dalam wawancara itu dengan pernyataan-pernyataan Presiden pada 6 dan 7 Mei. Dan bersamaan dengan itu, hari-hari terakhir ini Anies digempur 3 menteri kabinet soal Bansos Covid 19.

Menurut media terkemuka Australia itu (7/5) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai memantau dan melacak penyebaran virus corona sejak Januari 2020. Setidaknya satu bulan lebih cepat dari pengumuman resmi pemerintah Indonesia yang baru melaporkan kasus infeksi pertama 2 Maret 2020. Gubernur Anies Baswedan banyak berbeda dengan pemerintah pusat yang cenderung menyodorkan kurva mendatar dalam penularan virus corona. Sebaliknya, Anies menampilkan angka-angka lebih menanjak daripada yang disampaikan pemerintah pusat.
Dalam sikap kritis terhadap respon lambat pemerintah pusat Indonesia terkait pandemi, Anies menghadapi situasi serupa yang dihadapi Gubernur New York, Andrew Cuomo. Kedua gubernur bertindak cepat mengendalikan virus, namun keduanya harus berhadapan dengan para presiden mereka yang sama-sama bertindak dengan urgensi yang lebih rendah. Kedua gubernur mendapat apresiasi tinggi atas tindakan mereka untuk menyelamatkan hidup manusia di dua kota padat penduduk itu. Jakarta memiliki populasi sekitar 10 juta, New York 8,3 juta.
Dalam wawancara dengan The Sydney Morning Herald dan The Age, Anies mengungkapkan bahwa pada 6 Januari, setelah mendengar tentang kasus pertama virus baru di Wuhan, “kami segera mulai mengadakan pertemuan dengan semua rumah sakit di Jakarta.” Memberi tahu mereka tentang ‘pneumonia Wuhan‘ –sebelum ada sebutan COVID. Mengemuka kecemasan meningkatnya bencana virus corona di Indonesia, dengan perkiraan separuh dari populasi berisiko bisa tertular. Ditetapkan nomor-nomor hotline untuk 190 rumah sakit di Jakarta.
Jumlah kasus terus meningkat pada Januari dan Februari. “Dan kami kemudian segera menetapkan keputusan.” Semua diberi tugas menangani COVID. “Ketika jumlahnya terus meningkat –sementara kami tak diizinkan melakukan pengujian– maka setiap kali ada kasus, kami mengirimkan sampel ke lab nasional.” Kemudian lab nasional akan menginformasikan kembali hasilnya, positif atau negatif. “Akhir Februari, kami bertanya-tanya mengapa semuanya negatif?”. Dengan hasil yang serba negatif itu, Anies memutuskan untuk go public. “Saya katakan telah memantau, ini angkanya….” Penyampaian terbuka Anies ke publik dibantah Kementerian Kesehatan, bahwa tak ada kasus positif. Sepanjang Januari dan Februari, Menteri Kesehatan Terawan berulang kali menyangkal Indonesia memiliki kasus Corona. “Karena kekuatan doa”. Meski banyak bukti bertentangan.
Transparansi dan Politik Kepanikan
Dalam pada itu Presiden Joko Widodo telah mengakui menahan informasi dari masyarakat untuk menghindari kepanikan. Sementara Indonesia setiap hari melaporkan angka-angka virus corona, Anies membantah pandangan optimis pemerintah bahwa negara ini telah melalui yang terburuk. “Saya belum yakin penularan sudah akan mendatar. Harus menunggu beberapa minggu lagi untuk menyimpulkan kecenderungan penularan sudah mendatar atau masih menanjak.”
Gugus tugas COVID-19 sempat memperkirakan kehidupan “normal” dapat dilakukan mulai Juni atau Juli. Tetapi target itu sekarang tampaknya menggelincir ke Agustus. “Mengapa saya tidak ingin membuat prediksi? Karena saya melihat data yang ada belum mencerminkan tanda pandemi segera berakhir. Itu yang dikatakan para ahli epidemiologi. Ini waktunya para pembuat kebijakan mempercayai ilmu pengetahuan.”
Gubernur juga menyatakan frustrasi dengan sikap pemerintah nasional –khususnya terhadap Kementerian Kesehatan– karena kurang transparan. “Kami bersikap transparan dan memberi tahu publik apa yang harus dilakukan, untuk memberi rasa aman. Tetapi Kementerian Kesehatan berpendapat sebaliknya, bahwa transparansi akan membuat panik.” Untuk mendukung klaimnya bahwa Jakarta memiliki lebih banyak kasus daripada angka resmi bahwa di ibu kota ada 4.770 infeksi dan 414 kematian, Anies mengutip kenaikan tajam dalam jumlah pemakaman. Terdapat 4.300 layanan pemakaman pada paruh kedua Maret, 4.590 pada April. Anies mengatakan biasanya ada 3000 pemakaman per bulan di Jakarta, artinya ada lebih dari 1.500 kematian di atas rata-rata. “Kelebihan angka kematian ini adalah kasus COVID probabilitas tinggi. Kemudian bila kita mengatakan angka kematian itu 5 hingga 10 persen, maka mungkin di luar sana di Jakarta ini, ada 15.000 hingga 30.000 infeksi. Kami pikir jumlah kematian dan infeksi sesungguhnya jauh lebih tinggi dari apa yang dilaporkan Kementerian Kesehatan.”
Tentang kapasitas pengujian Covid 19 di ibukota, Anies mengatakan Jakarta dapat memproses 3086 tes sehari dan sekarang memiliki 23 laboratorium. Ketika wabah mulai terjadi, enam dari 190 rumah sakit di Jakarta ditunjuk sebagai rumah sakit rujukan COVID-19. Sekarang ada 63 rumah sakit “garis depan”, tetapi secara keseluruhan 172 rumah sakit sedang menangani kasus virus corona.
Presiden Joko Widodo telah melarang mudik lebaran –meski sebaiknya lebih cepat dari 21 April– untuk mencegah penyebaran infeksi. Anies memperkirakan 1,6 juta orang telah meninggalkan Jakarta untuk mudik tahunan –turun dari 7 juta pada tahun 2019. Untuk menghentikan gelombang kedua infeksi yang kembali ke ibukota pada akhir Mei, Anies mengatakan orang yang ingin kembali ke ibukota setelah mudik akan diblokir.
Catatan Sejarah
Dikritik beberapa politisi pendukung pemerintah nasional “bereaksi berlebihan”, Anies mengatakan, “Saya tidak khawatir tentang apa yang dikatakan media sosial tentang kebijakan kami, saya lebih khawatir tentang apa yang akan ditulis sejarawan di masa depan tentang kebijakan kami.”
CATATAN sejarah masa depan? Blessing in disguise, di balik musibah besar suatu bangsa, selalu ada ujian dan kontrol kualitas ketokohan para pemimpin. Berguna dalam konteks penilaian rakyat terhadap pemimpin. Bagaimana pun ketangguhan sejati mengatasi masalah tak mudah dimanipulasi, karena selalu ada fakta dan peristiwa nyata kasat mata dan bisa dirasakan dengan hati nurani. Tak tergantikan dengan narasi pencitraan sebagus apa pun. (socio-politica.com/media-karya.com)