Perilaku Bandit dan Gimmic Politik di Tengah Pandemi Corona

DI SAAT hampir seluruh perhatian terpusat pada bagaimana cara terbaik menghadapi serangan virus Corona, konsentrasi publik kerap terpecah dengan munculnya sejumlah gimmic dan akrobat politik. Bahkan, gejala perilaku bandit. Penulis buku Teori Bandit –yang diluncurkan April 2008– Dr Didik J. Rachbini, awal pekan ini, 12 tahun kemudian, memberi semacam peringatan. “Saya mengingatkan, melalui ilmu pengetahuan dan teori ekonomi politik, bahwa situasi pandemi Covid-19 yang tidak normal seperti sekarang ini bisa tergelincir keluar rel demokrasi.” Karena itu, “Check and balance dan kritik atas kekuasaan harus tetap dijalankan agar kekuasaan tetap dijalankan dengan cara-cara demokratis, dengan aturan main yang baik dan benar –rule of law.”

Jika sekedar gimmick –seperti canda nasi kucing, Indonesia zero Corona, tak masuk karena belum dapat izin, Corona merek sedan dan sebagainya – mungkin hanyalah sekedar humor. Penghiburan dalam konteks mentertawai diri sendiri sebagai pelepas rasa tertekan –kalau toh memang ada rasa tertekan. Tetapi karena dilakukan oleh para petinggi yang pada dasarnya (semestinya) adalah figur teladan, bisa bermakna dan berakibat lain. Mengendurkan sense of crisis di masyarakat. Bagi yang awam, bisa diterima dan dijadikan kepercayaan diri palsu.

Lockdown di kamar

Salah satu contoh gimmic adalah kegiatan Presiden Joko Widodo pekan lalu yang membagi-bagi sembako di Kemayoran, sekitar Istana Merdeka Jakarta lalu  di seputar Istana Bogor. (Baca: https://media-karya.com/2020/04/13/kisah-presiden-joko-widodo-di-medan-perang-corona/#more-947). Tak bisa dihindari, ketika Presiden bagi-bagi sembako, meski tak terlalu lama, tercipta kerumunan. Pengamat sosial politik, Rocky Gerung, mengkritik bahwa bagi-bagi sembako di tengah-tengah pandemi Corona itu jadi persoalan tersendiri. “Presiden harus berdiam diri di kamar, jangan keluar bagi-bagi sembako,” ujarnya, seperti dikutip media. Karena, “apapun kegiatan eksekutif sekarang ini membahayakan publik.”

ROCKY GERUNG. Tak bisa dihindari, ketika Presiden bagi-bagi sembako, meski tak terlalu lama, tercipta kerumunan. Pengamat sosial politik, Rocky Gerung, mengkritik bahwa bagi-bagi sembako di tengah-tengah pandemi Corona itu jadi persoalan tersendiri. “Presiden harus berdiam diri di kamar, jangan keluar bagi-bagi sembako,” ujarnya, seperti dikutip media. Karena, “apapun kegiatan eksekutif sekarang ini membahayakan publik.” (Foto head, Didik J. Rachbini/foto-foto orisional, download)

 

Terlihat pemerintah telah bersikap mendua, “antara ingin berbuat baik dan ingin mendapatkan benefit dari berbuat baik.” Jadi, bagi rezim, pencitraan tetap nomor satu. “Ini mungkin kesalahan berpikir yang sudah terlalu parah, sehingga tak bisa menganggap bahwa dengan diam saja, sebenarnya sudah membantu.” Menurut Rocky, bila presiden lockdown saja di kamarnya, beliau sudah sangat membantu.

Pada sisi lain, ini memperlihatkan bahwa kualitas interaksi dan komunikasi Presiden merupakan faktor penting. Rocky mengkritik, setiap kali Presiden memberi keterangan publik, tercipta kontroversi di masyarakat. Kritik Rocky Gerung pada berbagai kesempatan, yang mencela kualitas komunikasi Presiden ini, perlu diperhatikan. Meski, mungkin saja bisa terasa menjengkelkan. Tetapi sepanjang Presiden Joko Widodo bukan tokoh yang menjelma dari suatu iklim feodalisme baru, kritik pasti tak perlu jadi soal. Melainkan justru harus bisa diterima dengan lapang dada, layaknya seorang dengan kualitas kenegarawanan memadai.

Namun lebih berat dari gimmic, adalah munculnya perilaku akrobatik bertendensi politik praktis. Sayangnya, sasaran utama serangan akrobat politik itu  saat ini, adalah tokoh(-tokoh) yang berada di garis depan inisiatif penanggulangan bahaya virus Corona. Salah satunya, tak bisa dipungkiri adalah Gubernur DKI Anies Baswedan. Tak lain karena menurut analisa sebagian pengamat, ia adalah seorang tokoh yang berpeluang menjadi tokoh nomor satu republik pada tahun 2024. Perlu ditebang. Lainnya, akibat rasa pemusuhan yang belum kunjung pupus sebagai sisa-sisa pembelahan perpihakan dalam pemilihan gubernur DKI tahun 2017. Situasinya agak berbeda dengan pembelahan akibat Pilpres April 2019, yang untuk sebagian besar sementara ini relatif telah padam api dendam kesumatnya. Terutama, setelah terjadi kompromi dalam kekuasaan antara Joko Widodo dengan Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto.

Berinisiatif dianggap berbahaya

Kombinasi gimmick dan sikap akrobatis digambarkan dengan baik oleh Himawan Sutanto seorang pemerhati budaya politik dalam tulisannya ‘Parodi di Ruang Dungu’ (law-justice.co/23 April). Sejak awal virus Covid 19 merebak di seluruh dunia, tulis Himawan, pejabat Indonesia celometan terhadap wabah itu. Dari menyepelekan masalah sampai ucapan memiliki obat penangkalnya. Ternyata celometan itu tak memberikan dampak positif bagi rakyat. Rakyat justru was-was, takut dan tak memiliki kepercayaan diri. Ketika Gubernur DKI mengeluarkan instruksi soal Corona, itu dibantah habis Menkes, Menkopolhukam dan para buzzer.  “Sepertinya Instruksi Gubernur telah merusak popularitas Istana. Padahal dua hari berikutnya ada 2 warga yang terjangkit virus Covid 19 di Depok dan diumumkan Presiden, didampingi Menkes.” Lalu ketika Walikota Tegal mengumumkan karantina wilayah, dia dihujat, dibully pejabat istana dan para buzzer.

Para buzzer ini disebut Didik Rachbini sebagai pasukan extra legal di bawah tanah. Dan merupakan hama bagi demokrasi.

“Sepertinya kalau ada yang melangkah lebih maju, karena punya inisiatif selalu dianggap melawan atau berbahaya bagi pemerintah pusat. Padahal kepala daerah wajib memberikan perlindungan kepada rakyatnya. Bukan hanya pada negara. Ketika Gubernur DKI sedang menyiapkan PSBB yang dikeluarkan Presiden, di sisi lain Presiden membagi-bagikan sembako di Jakarta dan Bogor, padahal dalam kondisi social distancing. Lebih lucu lagi ketika ojol dilarang membawa penumpang, itu digugurkan keputusan Menhub yang membolehkan. Begitu juga dengan KRL yang tetap beroperasi dan bus antar provinsi bisa leluasa keluar masuk terminal.” Demikian Himawan. TKA asal China berdatangan di berbagai bandara dan dibela pejabat, tetapi 500 ribu TKI yang akan pulang, dilarang.

Isu lain yang merebak di tengah musibah pandemi Corona adalah kasus mal-administrasi dan mal-fungsi dua orang staf khusus milenial di Istana. Satu di antaranya membuat surat ke kecamatan-kecamatan untuk kepentingan proyek penaggulangan Covid 19 yang melibatkan perusahaannya. Lainnya terkait proyek pelatihan online pra kerja –seluruhnya bernilai 5,6 trilyun rupiah. Proyek itu melibatkan perusahaan tempat sang milenial menjadi direksi. Belakangan terungkap perusahaan penyelenggara Ruang Guru itu mayoritas sahamnya ternyata dikuasai asing.

Hama demokrasi, otoritarianisme dan banditisme

Kenapa semua itu bisa terjadi di pemerintahan yang dari mula dicitrakan dan dijanjikan sebagai pemerintahan yang bersih? Kita pinjam narasi teoritis Dr Didik J. Rachbini, penulis buku Teori Bandit, berikut ini.

“Kekuasaan sekarang mempunyai dua pendukung instrumen yang legal formal dan yang ekstra legal di bawah tanah.” Instrumen yang pertama adalah polisi, tentara, birokrasi yang sah dan bertugas untuk negara. Instrumen pendukung kedua bersifat ekstra legal, yang masih hidup, dibiayai menjadi buzzer, dan memberangus kritikus. “Ada banditisme di dalam kekuasaan yang sedang berjalan dan potensial menghancurkan demokrasi.”

Mengapa banyak sistem demokrasi masuk lagi ke dalam otoritarianisme? Jawabannya jelas, karena aturan main diberangus, check and balance, dan kritik ditindas. “Teori bandit yang menceritakan bagaimana proses evolusi kekuasaan dari anarki menuju demokrasi tidak selalu linear, tetapi bisa melingkar dan kembali lagi ke sistem anarki dan sistem kekuasaan yang otoriter. Pasukan ekstra legal di bawah tanah itu adalah hama demokrasi, rayap yang merusak demokrasi.”

“Kita perlu analisis lebih jauh dari teori tersebut bahwa perilaku banditisme dengan kekuasaan adalah pasangan dan dua unsur kimiawi yang sangat cocok dan akan mudah bersatu, bersenyawa ketika tidak ada rule of law, anti kritik, anti check and balance, memberangus kritikus, mengerahkan intel, polisi mirip komunis Soviet lama.” Bagaimana dengan demokrasi kita sekarang? “Ada rasa otoriter yang muncul ke permukaan, ada proses balik menuju ke belakang menjauhi demokrasi yang baru dibangun. Kita harus jaga demokrasi kita selamanya dan semoga kecenderungan ini tidak terjadi.”

Tetapi sepertinya, kecenderungan otoriter itu –bahkan mungkin perilaku ala Teori Bandit– sudah ada di beranda kita. (socio-politica.com/media-karya.com)

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s