Presiden Joko Widodo dan Ujian Virus Corona

SAAT Indonesia berada dalam badai serangan virus Corona yang berasal dari daratan Tiongkok, Presiden Joko Widodo semestinya menjadi bintang lapangan yang memimpin perlawanan. Akan tetapi, ketika tindakan-tindakan antisipasinya selalu terlambat satu hingga dua langkah di belakang, ia justru menjadi sasaran tembak akibat kekecewaan yang meluas di tengah masyarakat. Presiden membantah terlambat bertindak atau tak berbuat apa-apa selama ini, melainkan melakukan ‘operasi senyap’ melawan Corona. Apapun juga, dalam neraca waktu, Presiden dan jajarannya dianggap menyia-nyiakan waktu tak kurang dari dua setengah bulan. Bukan sekedar menyia-nyiakan waktu, menurut kritik yang muncul, masa dua setengah bulan itu malah dihabiskan guna membangun semacam kepercayaan diri yang semu. Tak jarang masa ‘senggang’ itu pun diisi dengan kelakar-kelakar para pejabat yang mencerminkan sikap meremehkan persoalan.

Akan tetapi setelah seakan sempat kembali senyap usai mengumumkan adanya dua korban pertama terpapar virus Corona, dua hari akhir bulan Maret, Presiden Joko Widodo mendadak tampil menyampaikan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Seraya menyatakan bahwa pembatasan itu perlu diikuti dengan Darurat Sipil. Penetapan Darurat Sipil itu terasa terlalu meloncat dan ‘menjanjikan’ tindakan represif yang optimal. Mungkin ini menjadi satu kekeliruan baru lagi dari sang Presiden dalam rangkaian kekeliruan dalam tekanan kasus penyebaran virus Corona. Hanya dalam sehari, langsung merebak kritik yang gencar terhadap embel-embel darurat sipil itu. Joko Widodo sempat ‘memperlunak’ dengan menjelaskan darurat sipil itu baru sekedar opsi. “Darurat sipil itu kita siapkan apabila terjadi kondisi abnormal.”

Sikap reaktif diselingi canda

Sebelum pekan pertama Maret, bila ada yang memberi warning setelah merebaknya berita munculnya virus Corona di Wuhan pada Desember 2019, sejumlah pejabat, politisi dan para ‘pendukung’ kekuasaan langsung bereaksi. Gubernur DKI Anies Baswedan yang secara dini pada Januari 2020 mulai melakukan pengawasan preventif menghadapi virus Corona, ramai-ramai dikritik habis-habisan. Ia dituding telah menimbulkan ketakutan yang bisa menimbulkan kepanikan masyarakat. Anies diminta oleh kalangan partai pendukung pemerintah agar tak terlalu reaktif. Sementara itu seorang buzzer melontarkan tuduhan adanya agent of fear di antara pengecam kelambanan pemerintah.

PRESIDEN JOKO WIDODO BERMASKER. Mantan Ketua Fosko 66 yang juga adalah aktor senior gerakan 1998, Bennie Akbar Fattah, mengatakan kepada Konfrontasi (1 April 2020), dikhawatirkan hanya soal waktu rezim ini bisa saja jatuh oleh wabah Corona dan krisis ekonomi. Presiden Joko Widodo sudah tidak kredibel dan kabinet tidak dipercaya lagi oleh pasar dan masyarakat. “Abnormalisasi sudah luar biasa, tidak bisa diselesaikan dengan cara konvensional dan cara biasa, apalagi kabinet Pak Jokowi tak berdaya, sudah terkuras kemampuannya. Moral hazard dan korupsi tidak dibabat, maka BUMN dan swasta ambruk, ekonomi nasional ambruk.’’ (Foto-foto original, download, media-karya.com/socio-politica.com)

Perlu meminjam sebuah kronologi dari kalangan netizen, tentang jalannya penanganan musibah virus Corona, tentu tanpa perlu menyebutkan nama-nama. Pada bulan Februari Menteri Kesehatan menantang peneliti dari Harvard University untuk membuktikan dugaan mereka yang menyebut virus Corona sudah masuk Indonesia. Juga membantah kesangsian PM Australia terhadap pernyataan Indonesia masih zero Corona. Menteri Perhubungan berkelakar bahwa orang Indonesia kebal virus Corona karena makan nasi kucing. Lalu seorang buzzer yang sangat aktif, memviralkan bahwa orang Indonesia kebal virus Corona karena minum tolak angin dan kerokan. Para buzzer selalui seia sekata dan seirama dengan pernyataan sejumlah petinggi negara bahwa Indonesia zero Corona, karena terletak di daerah tropis dan sebagainya, dan sebagainya, yang serba tak masuk akal.

Dalam pada itu, pintu-pintu masuk Indonesia masih tetap terbuka lebar sejak Januari, Februari hingga akhir Maret. Baru mulai April ini seperti dinyatakan Menteri Luar Negeri, Indonesia mulai menutup bandara dan pintu masuk lainnya untuk kedatangan WNA. Itu pun dengan beberapa pengecualian. Selama dua setengah bulan sejak Januari Indonesia tetap berpromosi mengundang turis asing dengan tiket murah dan pengerahan influencer berbiaya 72 milyar rupiah.

Ketika Gubernur DKI di awal Maret menginformasikan adanya 115 orang dalam pengawasan terkait virus Corona, Kementerian Kesehatan masih sempat membantah. Pemerintah pusat memperingatkan “jangan bikin kepanikan”. Namun selang dua hari, Presiden toh akhirnya mengakui adanya dua pasien positif Corona. Barulah setelah itu banyak pejabat pemerintah mulai sedikit tersentak, meski masih mencoba menegakkan kepercayaan diri palsu.

Tergelincir dan dicurigai

Dengan menambah opsi Darurat Sipil terhadap kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, sebenarnya Presiden Joko Widodo sangat mungkin tergelincir pada situasi menyelesaikan ‘masalah dengan masalah’. Tak lulus ujian. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati dengan terus terang menyatakan kecurigaan. Ahli hukum dari Universitas Gajah Mada Oce Madril menyatakan keheranannya mengapa Presiden Joko Widodo memilih Darurat Sipil yang bersandar pada peraturan masa Orde Lama Soekarno, Perppu 23 tahun 1959.

Asfinawati curiga ada maksud lain Presiden Joko Widodo memilih kebijakan Darurat Sipil mengiringi penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar, dalam menangani wabah Corona. Asfinawati menilai, Jokowi tak mungkin tidak paham bahwa kebijakan Darurat Sipil hanya bisa dipakai untuk masalah keamanan, bukan kesehatan. “Saya kok curiga ini mengail di air keruh, menggunakan kesempatan di tengah pandemi.” (Tempo, 31 Maret 2020).

Dengan Darurat Sipil, kata pakar hukum tata negara Refly Harun, pemerintah dapat menggunakan cara apapun untuk membatasi masyarakat. Bahkan, pengerahan aparat keamanan dan cara-cara represif sangat mungkin ditempuh. “Intinya senjata sudah di tangan. Artinya pemerintah penguasa darurat sipil itu memiliki kewenangan yang diberikan oleh peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959.” (Kompas.com, 30 Maret 2020). Dengan situasi darurat sipil, pemerintah bisa membatasi pertunjukkan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian pendapat, bahkan menutup akses internet. Kondisi tersebut juga memberikan kewenangan bagi pemerintah menggunakan segala cara melarang warga keluar dari rumah.

Apa yang diperlukan dalam menangani wabah Corona, menurut Asfinawati, adalah kebijakan darurat kesehatan, bukan Darurat Sipil. “Jika Jokowi benar memilih pembatasan kebebasan sipil, itu kemungkinan untuk mengegolkan agenda-agenda seperti RUU Cipta Kerja dan Ibu Kota Negara.” Status Darurat Sipil memiliki sejumlah konsekuensi sesuai dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 23 Tahun 1959. Salah satunya adalah menambah sejumlah kewenangan presiden sebagai penguasa darurat sipil pusat, dan kepala daerah sebagai penguasa darurat sipil daerah. “Akibatnya bisa fatal, yaitu menghilangkan kebebasan sipil.”

Pakar hukum tata negara lainnya Bivitri Susanti mengatakan rencana penerapan Darurat Sipil untuk menghadapi penyebaran virus corona sangat berlebihan. Ahli hukum dari UGM, Oce Madril, mengatakan tak habis pikir atas rencana Presiden Joko Widodo menerapkan Darurat Sipil sebagai langkah mengatasi penyebaran Corona. Padahal, Joko Widodo sendiri bersama DPR yang menandatangani UU No.6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai payung hukum menanggulangi wabah penyakit.

Lempar handuk?

Apa akhir yang bisa terjadi? Mantan Ketua Fosko 66 yang juga adalah aktor senior gerakan 1998, Bennie Akbar Fattah, mengatakan kepada Konfrontasi (1 April 2020), dikhawatirkan hanya soal waktu rezim ini bisa saja jatuh oleh wabah Corona dan krisis ekonomi. Presiden Joko Widodo sudah tidak kredibel dan kabinet tidak dipercaya lagi oleh pasar dan masyarakat. “Abnormalisasi sudah luar biasa, tidak bisa diselesaikan dengan cara konvensional dan cara biasa, apalagi  kabinet  Pak Jokowi tak berdaya, sudah  terkuras kemampuannya. Moral hazard dan korupsi  tidak dibabat, maka BUMN dan swasta ambruk, ekonomi nasional ambruk.’’ Sebenarnya,  “mayoritas rakyat minta Pak Jokowi rela melempar handuk daripada akhirnya nanti  mahasiswa dan rakyat yang susah, lapar dan kecewa lalu bergolak  menggeruduk  kabinet Jokowi yang lapuk dan terpuruk.’’

Sebuah kesimpulan yang tak bisa diabaikan kemungkinannya……. Tentu tanpa mengendurkan kebersamaan melawan serbuan virus Corona… (media-karya.com/socio-politica.com)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s