Tag Archives: mohammad hatta

Indonesia: Satu Masa Pada Suatu Wilayah Merah (3)

“Pergeseran dari perseteruan politik di antara para ‘penopang’ struktur Nasakom di bawah selimut ‘bendera revolusi’ menuju pertarungan kekuasaan sesungguhnya pada wilayah konspirasi yang akan segera berakhir sebagai satu tragedi baru dalam sejarah Indonesia modern”.

SEBELUM lontaran gagasan mengenai Angkatan Kelima, lebih awal di bulan Januari 1965 itu Soebandrio melontarkan semacam teka-teki politik yang mengundang bermacam tafsir, karena menyodorkan insinuasi akan terjadinya suatu persilangan jalan politik. Senin 4 Januari, Soebandrio menyampaikan semacam ‘perkiraan’ politik, dan dikutip pers menyatakan bahwa “dalam tahun 1965 ini mungkin akan terjadi di mana kawan seperjuangan akan menjadi lawan”. Apa yang sekarang revolusioner, ujar sang Wakil Perdana Menteri I, akan menjadi kontra revolusi dan reaksioner. ”Kita mungkin akan terpaksa berpisah dengan sahabat-sahabat pribadi dan comrades in arms”.

Karena Soebandrio adalah juga membawahi Badan Pusat Intelejen yang sehari-hari dipimpin oleh Brigadir Jenderal Polisi Sutarto, tentu saja pernyataannya menjadi perhatian dan bahan spekulasi tentang apa sebenarnya yang telah dan akan terjadi, apalagi ia menyampaikannya dengan suatu gaya yang dramatis tentang akan adanya pisah jalan sekaligus situasi konfrontatif. “Jangan terkejut, apabila saya katakan  bahwa mungkin  dalam tahun 1965 ini  kawan-kawan seperjuangan kita terpaksa ada yang rontok dan kita tinggalkan karena tak bisa lagi mengikuti jalannya revolusi”, lanjutnya. “Menghadapi kemungkinan ini, kita sebagai manusia sudah barang tentu merasa sedih. Akan tetapi sebagai abdi revolusi kita tak bisa berbuat lain, hal itu terpaksa kita lakukan demi keselamatan revolusi kita”, seraya mengingatkan pula bahwa revolusi kita belum selesai.

Bila penggunaan istilah ‘comrades in arms’ adalah dalam konteks kelaziman hubungan di antara golongan kiri, semestinya yang dimaksud adalah kawan seperjuangan satu ideologi. Tapi bilamana ‘comrades in arms’ digunakan di sini secara artifisial dan sekedar basa-basi, dengan segera dapat ditafsirkan bahwa yang dimaksudkan adalah kalangan tentara yang tak berhaluan kiri, baik kelompok Jenderal Abdul Harris Nasution maupun kelompok Letnan Jenderal Ahmad Yani yang pada awalnya dinyatakan sebagai ‘tangan kanan’ –rechter hand–  Soekarno. Dan karena Soebandrio selama beberapa lama dikenal sebagai ‘tangan kiri’ Soekarno dalam politik dan kekuasaan, maka pernyataan itu dianggap datang dari Soekarno sendiri yang kala itu makin condong ke kiri.

Belakangan, setelah terjadinya peristiwa di akhir September 1965, semua itu dikaitkan sebagai isyarat dini dari Soekarno tentang suatu rencana pembersihan antas Angkatan Darat. Perlu dicatat, di akhir 1964 dan awal 1965 itu, BPI sudah mulai mencium adanya kegiatan sejumlah perwira Angkatan Darat menjalankan misi khusus untuk menghentikan konfrontasi terhadap Malaysia. Lebih dari itu, pada sekitar waktu yang sama BPI menyampaikan pula semacam pra-analisa untuk kalangan terbatas secara internal, yang dibahas di tingkat pimpinan, tentang kemungkinan telah berkembangnya satu rencana di kalangan perwira Angkatan Darat yang berkonotasi pengambilalihan kekuasaan.

Tatkala Aidit melontarkan tuntutan mengenai Angkatan Kelima dan Letnan Jenderal Ahmad Yani dan sejumlah kalangan tentara lainnya memberi reaksi penolakan, yang mulanya bernada diplomatis sebelum menjadi keras sehingga disebut Soekarno sebagai sikap ‘koppig’, perkiraan awal tahun Soebandrio seakan mendapatkan pembenarannya. Silang kata mengenai Angkatan Kelima berlangsung eskalatif, selama berbulan-bulan. Pada bulan kelima 1965, isu dan polemik keras mengenai Angkatan Kelima, tambah menajam karena muncul lagi satu isu baru menyangkut ‘penemuan’ Dokumen Gilchrist tentang suatu konspirasi Barat dengan sejumlah jenderal Angkatan Darat. Bahwa di tubuh Angkatan Darat ada sebuah Dewan Djenderal yang merencanakan suatu pengambilalihan dari tangan Soekarno. Dua pokok soal, Angkatan Kelima dan Dewan Jenderal, menyebabkan terjadi pemanasan politik dan penajaman perseteruan politik menjadi pertarungan politik dan kekuasaan yang sebenarnya di dalam tubuh segitiga kekuasaan.

Dalam kasus ‘penemuan’ Dokumen Gilchrist dan isu Dewan Jenderal, Angkatan Darat ditempatkan dalam posisi tertuduh dalam serangan gencar oleh Soebandrio dan PKI, sebagai perencana suatu usaha pengambilalihan kekuasaan. Tetapi di  tahun sebelumnya, 1964, PKI lah yang menjadi tertuduh selaku perencana suatu perebutan kekuasaan negara. Sebuah ‘dokumen’ rahasia berisi Rencana 4 Tahun PKI yang berisi pokok perjuangan PKI yang menuju perebutan kekuasaan, ‘ditemukan’ pada awal tahun tersebut. Dalam suatu pertemuan di Istana Bogor, di depan Soekarno, adalah tokoh Partai Murba (Musyawarah Rakyat Berjuang) yang juga adalah Waperdam III Chairul Saleh yang mengungkapkannya. Soekarno yang mendengar laporan itu, langsung menanyakannya secara terbuka kepada Aidit. Dengan sengit, seraya menoleh ke arah Chairul, Aidit membantahnya sebagai dokumen palsu, yang dimaksudkan untuk memfitnah PKI.

Dalam salah satu versi peristiwa, dalam rapat di Istana Bogor itu, yang dipercaya kebenarannya, terjadi debat sengit antara Chairul dengan Aidit. “Itu dokumen palsu !”, kata Aidit keras. Tak kalah kerasnya, Chairul membentak “Kalau dokumen ini dikatakan palsu, tunjukkan mana aslinya !”, supaya bisa diperbandingkan. Ketika Aidit hendak mendebat lagi, Chairul maju dengan cepat dan melayangkan satu pukulan ke bagian wajah Aidit. Soekarno yang berada tak jauh dari mereka, segera melerainya lalu mendamaikan keduanya. Para peserta rapat, di bawah arahan Soekarno lalu melahirkan ‘Deklarasi Bogor’ untuk mengakhiri dan mencegah persoalan berlanjut.

Tetapi agaknya, PKI tetap menyimpan dendam dan melancarkan serangan politik dengan menyebutkan pimpinan Murba sebagai “penyebar dokumen palsu” dan “tukang fitnah”. Berikutnya, serangan itu meningkat dengan aksi-aksi demonstrasi yang menuntut pembubaran Murba. Pada akhirnya Murba memang betul-betul dibubarkan oleh Soekarno, 21 September 1965. Namun, dalam salah satu rapat menjelang Peristiwa 30 September 1965, setahun lebih setelah insiden di Istana Bogor, ketika Sjam Kamaruzzaman mengusulkan kepada Aidit, agar menculik Chairul Saleh dan eks Wakil Presiden Mohammad Hatta, Aidit dengan wajah tampak heran balik bertanya, “Untuk apa ?”. Sjam memberi alasan, bahwa kedua orang itu, khususnya Hatta, sering berhubungan dengan Jenderal Nasution, dan banyak tahu mengenai Dewan Jenderal dari sang Jenderal, sehingga dari keduanya bisa dikorek keterangan mengenai hal itu. Aidit menolak menculik Hatta maupun Chairul Saleh, tokoh yang pernah bermasalah dengannya di tahun sebelumnya (Pengakuan Sjam Kamaruzzaman dalam persidangan Mahmilub 1968 di Gedung Merdeka Bandung). Pembubaran Murba hanya sembilan hari menjelang 30 September sejauh perkembangan yang terjadi tidaklah menyebabkan Chairul Saleh tergeser dari posisinya di kabinet maupun dari sisi Soekarno dan ikut bersama sang pemimpin memasuki tahun 1966 yang bergolak. 

Kasus ‘dokumen rahasia’ Rencana 4 Tahun PKI 1964 untuk pengambilalihan kekuasaan politik dan negara, ‘penemuan’ dokumen Gilchrist beserta isu Dewan Jenderal yang akan merebut kekuasaan dari Soekarno, gagasan pembentukan Angkatan Kelima yang didahului ramalan Soebandrio tentang perpisahan dengan comrade in arms yang akan berubah dari kawan seperjuangan menjadi lawan, berpadu dalam akumulasi tanda pergeseran tingkat situasi.

Pergeseran dari perseteruan politik di antara para ‘penopang’ struktur Nasakom di bawah selimut ‘bendera revolusi’ menuju pertarungan kekuasaan sesungguhnya pada wilayah konspirasi yang akan segera berakhir sebagai satu tragedi baru dalam sejarah Indonesia modern. Dalam dua puluh tahun Indonesia merdeka, telah terjadi setidaknya delapan pemberontakan berskala cukup besar, terdiri dari satu pemberontakan komunis di Madiun, empat pemberontakan DI-TII di empat daerah, pemberontakan RMS, pemberontakan PRRI di Sumatera dan pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara. Artinya, satu pemberontakan setiap dua setengah tahun. Selain itu, tak kurang dari sepuluh pemberontakan atau insiden skala lebih kecil juga terjadi dalam kurun waktu tersebut, ditambah sepuluh pemberontakan atau benturan dan peristiwa berdarah lainnya di antara sesama bangsa sendiri maupun upaya pemisahan diri yang semuanya terkait dengan provokasi Belanda. Secara keseluruhan, ini berarti ada dua atau tiga peristiwa per tahun, hingga saat itu. Sungguh meletihkan.

Dan akan terjadi satu lagi, di saat tingkat pertarungan politik dan kekuasaan sekali lagi melangkah memasuki wilayah konspirasi: Peristiwa 30 September 1965. Selesai.

Bagian dari buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2006.

Sejarah Persahabatan Korupsi dan Birokrasi (1)

NASIB lanjut pemberantasan korupsi di Indonesia, hingga Juli 2009 ini, penuh tanda tanya, terutama dalam kaitan eksistensi KPK sebagai lembaga yang paling diharapkan menjadi ujung tombak melawan korupsi. KPK mengalami kegoncangan setelah pecahnya kasus Ketua KPK Antasari Azhar yang dijadikan tersangka suatu kasus pembunuhan. Menyusul, tersiar luasnya kabar tentang rencana Polri dan Kejaksaan Agung yang akan memeriksa beberapa orang di jajaran pimpinan KPK lainnya karena tuduhan menerima suap PT Masaro rekanan Departemen Kehutanan. Bersamaan dengan itu, masih pula merupakan tanda tanya, apakah DPR periode 2004-2009 ini akan sanggup (atau mau) menyelesaikan pembahasan RUU Pengadilan Tipikor sebelum masa kerjanya berakhir? Atau kalau tidak, betulkah Presiden bersedia melahirkan Perpu sebagai pengganti UU, agar kelembagaan khusus Pengadilan Tipikor – yang terkait erat dengan kelanjutan kerja, bahkan eksistensi KPK dan nasib pemberantasan korupsi secara keseluruhan– eksis?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu wajar untuk dilontarkan, karena berdasarkan pengalaman empiris sepanjang Indonesia merdeka, kekuasaan –eksekutif, legislatif maupun judikatif– lebih cenderung ‘bersahabat’ dengan korupsi daripada memberantasnya. Ada begitu banyak usaha pemberantasan korupsi telah dipatahkan selama puluhan tahun terakhir ini. Berikut ini sejumlah kilas balik sejarah korupsi di Indonesia, yang dipaparkan kembali dari buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, Juni 2004) dan berbagai catatan dokumentasi lainnya.

BENARKAH kekuasaan senantiasa berkecenderungan untuk korup ? Pada tahun 1970-an, adalah ungkapan yang dipinjam dari Lord Acton “Power tend to corrupt” tersebut termasuk paling sering dikutip dalam lontaran-lontaran kritik mengenai korupsi yang menggejala dengan kuat seiring dengan perubahan kekuasaan. Kutipan-kutipan dari Lord Acton itu –yang tak asing bagi para mahasiswa yang selalu mengambil peran terdepan gerakan anti korupsi– ditampilkan untuk menunjukkan terjadinya pengokohan kekuasaan baru pasca Soekarno yang makin nyata dengan bekal legitimasi Pemilihan Umum 1971 dan bersamaan dengan itu gejala korupsi ternyata memang juga terjadi dalam satu kurva menaik, bahkan seperti tak kenal henti lagi hingga bertahun-tahun kemudian. Sehingga, pada akhirnya memang layak bila dikatakan bahwa korupsi telah memasuki ‘perspektif keabadian’ di Indonesia. Pada berbagai kesempatan, Dr Mohammad Hatta, mantan Wakil Presiden RI yang pertama dan salah seorang proklamator, bahkan menyebutkan bahwa korupsi itu telah menjadi kebudayaan di Indonesia. Ungkapan bahwa ‘kekuasaan cenderung korup’ memang tak asing dalam ‘kehidupan’ Indonesia, yang oleh cerdik cendekia Jawa masa lampau cukup digambarkan dengan satu kata, ‘dumeh’.

Kasus penolakan pembangunan TMII (Taman Mini Indonesia Indah) yang merebak di tahun 1972 ada dalam posisi penting dalam konteks perlawanan terhadap perilaku korupsi. Sebagai suatu kasus politik persoalan TMII memang dapat dianggap selesai pada bulan Maret 1972 itu, terutama setelah adanya jalan tengah melalui suatu proses di DPR. Tetapi sebagai pola, agaknya kasus itu menjadi awal model bergandengnya kekuasaan dengan swasta, awal model penggunaan dana non budgetair, awal model pengerahan dana swasta melalui kharisma kekuasaan. Jelas tak ada transaksi-transaksi nyata dan seketika antara kekuasaan dan swasta yang diminta menyumbangkan sedikit keuntungannya pada Proyek TMII yang dinyatakan bukan proyek pemerintah, kendati melibatkan Ibu Negara, sejumlah menteri dan gubernur. Tapi pada masa-masa berikutnya terbukti secara empiris bahwa mereka yang berjasa, secara tidak langsung mendapat ‘nama baik’ di mata kalangan kekuasaan dan memperoleh ‘benefit’ dengan berbagai cara dan bentuk. Semua berlangsung ibarat hembusan angin, tak terlihat dan tak dapat dipegang, namun terasa keberadaannya.

Dalam jangka waktu yang dekat-dekat dengan peristiwa Taman Mini dan sesudahnya, menjadi fenomena betapa makin pintarnya para oknum kekuasaan mengalirkan dana. Penyambutan-penyambutan pejabat tinggi dari pusat, misalnya, menjadi alasan yang kuat bagi para pejabat daerah untuk melakukan pengeluaran biaya yang boros. Kritik atas contoh soal yang pernah dilontarkan adalah kasus pemborosan penyambutan Ibu Negara dan ibu-ibu Ria Pembangunan (organisasi isteri menteri kabinet) beserta puluhan isteri pejabat pusat yang datang ke Sulawesi Utara dengan satu Fokker 28 Pelita Air anak perusahaan Pertamina. Kedatangan para ibu itu untuk meresmikan antara lain beberapa poliklinik dan gedung wanita. Penyambutan yang dilakukan oleh Gubernur HV Worang dan Nyonya itu dinilai begitu megah dan semarak, sehingga menurut Harian Kompas biaya penyambutan yang dikeluarkan dari kas Pemerintah Daerah Sulawesi Utara itu sendiri masih bisa dan cukup untuk dipakai membangun sebuah poliklinik lagi. Apakah itu sekedar pemborosan, atau dibalik pemborosan itu ada korupsi, tak ada cara untuk mengetahui dan membuktikannya saat itu. Masyarakat hanya bisa melihat satu fakta empiris yang merisaukan, namun tak mendapat jawaban atas pertanyaan apa di balik itu semua, selain bahwa itu adalah bagian dari berkembangnya sikap ABS (Asal Bapak/Ibu Senang).

 

Tikus sehat di lumbung yang hampir kosong

PADA saat para pelaksana proyek Taman Mini Indonesia Indah mulai ambil ancang-ancang untuk membangun impian Ibu Negara, tanah air dilanda krisis harga dan persediaan beras. Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, bermula sejak munculnya sikap keras penguasa terhadap kritik-kritik mahasiswa anti Taman Mini, pengekangan kebebasan menjalankan hak-hak politik, kebebasan bersuara dan mengeritik, meningkat. Sikap keras dan ketat itu berlanjut saat penguasa menghadapi protes krisis beras.

Kegagalan dalam pengadaan beras melalui pembelian kepada petani yang diselenggarakan oleh Badan Urusan Logistik yang dipimpin Mayor Jenderal Achmad Tirtosudiro, memicu kenaikan harga-harga dalam negeri. Pengelolaan Bulog memang amat buruk dan selalu menjadi sasaran kritik banyak pihak dan para mahasiswa. Bulog ini dimata mahasiswa dikenal pula sebagai tempat terjadinya banyak penyelewengan, sejak beberapa tahun sebelumnya. Kegagalan pengadaan beras akibat pengelolaan buruk ini, menyebabkan membanjirnya kecaman dan kritik terhadap Bulog dan Achmad Tirtosudiro. Muncul Gerakan Anti Lapar dari kalangan mahasiswa. Mingguan Mahasiswa Indonesia yang mendukung gerakan-gerakan itu, menyalurkan pula aspirasi mahasiswa Bandung yang menuntut Kepala Bulog Achmad Tirtosudiro diganti dan penyelewengan-penyelewengan dilingkungan Bulog segera dihentikan dan ditindak secara hukum.

Kegagalan Bulog dipenghujung 1972 itu, membuka lagi borok-borok lama yang pernah terjadi di Bulog sebelumnya, tatkala Bulog masih dikenal dengan singkatan BUL (Badan Urusan Logistik). Salah satu diantaranya adalah skandal Beras Tekad. Apa yang disebut Beras Tekad ini adalah suatu produk beras ‘sintetis’ yang diproduksi oleh PT Mantrust milik pengusaha bernama Teguh Sutantyo di Bandung dengan dukungan kuat Kepala BUL Achmad Tirtosudiro dari belakang. Tekad adalah singkatan dari ‘ketela, kacang, djagung’ (djagung adalah ejaan lama bahasa Indonesia untuk jagung). Beras sintetis dimaksudkan untuk mengisi bilamana terjadi kekosongan atau kelangkaan beras. Tapi biaya produksi Tekad ini ternyata terlalu tinggi dan tidak ekonomis. Ditambah lagi pada waktu itu tercium adanya aroma penyelewengan dana, sehingga mendapat kritikan dan penentangan yang keras. PT Mantrust ini dalam penampilan lahiriah memperlihatkan diri punya sekumpulan keinginan untuk menghasilkan inovasi-inovasi dalam produksi bahan makanan. Hanya saja, setiap kreativitasnya, umumnya gagal karena lebih menonjol aroma penyelewengannya untuk kepentingan komersial. Selain mengintroduksi Tekad, Mantrust pun dikenal sebagai produsen berbagai kebutuhan ransum tentara –namun sayangnya bermutu rendah– seperti misalnya nasi goreng dalam kaleng. Mantrust pun memproduksi daging kaleng. Mutu daging kalengnya cukup bagus, namun kerap kurang teliti dalam pengawasan internal. Pernah terjadi sejumlah daging kaleng yang sudah kadaluarsa dan sempat ditarik kembali, dipasteurisasi ulang lalu diedarkan kembali dengan label baru. Ternyata, di pasaran kalengnya kembung dan bagian dalamnya mengandung karat sehingga bisa membahayakan konsumen.

Jadi memang ironis, saat lumbung negara hampir kosong, ada ‘tikus’ negara yang bukan ‘milik negara’ bersama ‘tikus’ swasta bisa gemuk dengan memanfaatkan situasi. Bahkan lebih dari sekedar memanfaatkan situasi, kerap kali BUL atau Bulog malah menyebabkan keruwetan-keruwetan dalam masalah beras karena kebijakannya yang aneh dan salah tempat maupun waktu. BUL membeli beras tanpa kenal waktu dan tanpa melihat ‘angin’. Seringkali terjadi ia memborong beras dari petani dan pasaran di musim paceklik, disaat beras di pasaran kurang. Tidak ayal lagi harga beras melonjak, seperti misalnya di tahun 1967 dan awal 1968. Sebaliknya, di saat harga sangat rendah, BUL tidak berhenti membagi-bagikan beras konsumsi pegawai negeri, pegawai perusahaan negara dan ABRI. Maka makin merosotlah harga beras, membuat petani di mana-mana menjerit. Alangkah tragisnya apa yang terjadi pada suatu ketika. Di tengah-tengah jeritan para produsen beras karena tidak bisa menjual kelebihan beras mereka (kuartal akhir 1968 dan kuartal awal 1969), BUL tidak henti-hentinya mendatangkan beras impor. Pada 14 April 1969 misalnya, dari Korea tiba 113.000 x 80 kg beras kelas menengah dengan harga tinggi. Padahal waktu itu di dalam negeri terdapat banyak kelebihan beras yang bisa dibeli dengan “harga lebih murah dengan mutu baik”. Kala itu ada gambaran bahwa BUL merupakan tempat manipulasi dan mencari keuntungan, padahal tugasnya adalah untuk menjaga stabilisasi persediaan beras dan stabilisasi harga beras. Untuk apa dana-dana yang diperoleh dengan ‘memainkan’ pasar seperti itu ? Terbetik kabar bahwa BUL menjadi penyumbang dana ‘non budgetair’ bagi kelompok-kelompok tentara dan kelompok-kelompok kekuasaan lainnya, tak terkecuali ormas dan kelompok politik tertentu.

Soeharto saat itu sebenarnya mulai dikritik oleh beberapa pers yang punya keberanian, terlalu membiarkan ‘anak buah’ yang tidak beres, seperti di Bulog atau Pertamina. Kelak memang akan terbukti, bahwa salah satu sumber kejatuhan dan kehancuran reputasi Soeharto adalah ‘kegagalan’ dalam bertindak kepada para bawahan, kawan dan kerabatnya yang melakukan kesalahan berat, penyimpangan dan korupsi. Sehingga, di bagian akhir perjalanan politik dan kekuasaannya, seluruh beban dipikulkan ke bahunya, sebagaimana yang sangat kerap dimintanya sendiri, dan lama kelamaan tercipta dan menguat image bahwa memang dia lah yang memimpin korupsi rezim. Setelah tidak lagi dalam kekuasaan formal pemerintahan, Soeharto menjadi tujuan penindakan hukum. Namun secara dramatis dan tragis Jaksa Agung Marzuki Darusman kandas, tak berhasil membawanya ke depan pengadilan, meskipun kasus korupsi sang mantan Presiden sudah mulai digelar di Pengadilan Jakarta Selatan.

Berlanjut ke Bagian 2

Korupsi di Indonesia: Kisah Nan Tak Kunjung Usai (2)

Pesta pora di Italia dan Kisah Macan Tanpa Gigi

Pemerintahan Soeharto waktu itu, bila dicermati, sebenarnya hanya seolah-olah memperhatikan aspirasi dan kritik-kritik yang diserukan oleh mahasiswa. Di Jakarta misalnya, untuk menanggapi keresahan yang timbul, para teknokrat yang duduk di kabinet, diwakili Profesor Widjojo Nitisastro dan Prof Emil Salim, ditampilkan memberi penjelasan-penjelasan kepada mahasiswa dalam forum ‘Kita ingin tahu’ 23 Januari 1970. Penjelasan oleh teknokrat yang dianggap dihormati oleh mahasiswa Jakarta, khususnya mahasiswa Universitas Indonesia ini, tidak diterima oleh para mahasiswa. Bahkan, pada forum ‘Kita ingin tahu’ berikutnya di awal Pebruari, yang dihadiri Jaksa Agung Sugih Arto dan Jaksa Agung Muda Ali Said, suatu serangan telak dilancarkan H.J. Princen Wakil Ketua Lembaga Pembela HAM (Hak Azasi Manusia) kepada kekuasaan. Adalah salah dan tidak fair, ujar Princen, bila ada yang menuduh bahwa membicarakan isu sehari-hari seperti soal kemakmuran rakyat yang merata, hak-hak rakyat kecil dan keadilan bagi semua orang, merupakan isu untuk membantu gerilya politik komunis. “Perjuangan-perjuangan seperti itu bukanlah monopoli kaum komunis. Terlebih-lebih lagi bila tuduhan itu dilancarkan oleh mereka yang dulu membiarkan Soekarno dikelilingi kaum profiteur”. Dalam kaitan pemberantasan korupsi menurut Princen terjadi suatu keseimbangan black mail atau pemerasan. “Kau jangan buka mulut, karena aku juga tahu dosa-dosamu”. Princen lalu mengungkit data lama, antara lain mengenai Frans Seda. Kepada Jaksa Agung ia bertanya “Dari mana Frans Seda Menteri Perkebunan masa Soekarno mengambil uang 3 juta dollar untuk biaya pesta pora Soekarno di Italia ?”.

Aksi-aksi di Jakarta dan di Bandung tidak berhenti, karena mahasiswa memang tetap tidak puas terhadap segala penjelasan yang tidak masuk akal dari kalangan kekuasaan. Maka tanggal 31 Januari 1970, Presiden Soeharto membentuk suatu komisi khusus untuk pemberantasan korupsi, yang disebut Komisi 4. Komisi ini diketuai oleh Wilopo SH dengan anggota-anggota I.J. Kasimo, Prof. Ir Johannes dan Anwar Tjokroaminoto, dengan Sekertaris Mayjen Sutopo Juwono. Presiden mengangkat pula mantan Wakil Presiden pertama RI Dr Mohammad Hatta sebagai penasehat presiden dan penasehat Komisi 4. Keempat anggota Komisi 4 itu adalah tokoh-tokoh sepuh yang duduk juga sebagai anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung). Tanpa mengurangi hormat kepada pribadi-pribadi tokoh tersebut, para mahasiswa menganggap Komisi 4 adalah macan ompong belaka. Bukan karena tuanya para tokoh dan penasehatnya, melainkan karena Komisi 4 itu memang tidak mempunyai lingkup wewenang yang cukup dan takkan punya kekuatan untuk bertindak. Betul-betul ibarat macan tanpa gigi. Tapi jangankan mengigit, mengaumpun tak sanggup. Tugas yang diberikan adalah mengadakan penelitian terhadap kebijaksanaan dan hasil-hasil yang telah dicapai dalam pemberantasan korupsi dan memberikan pertimbangan kepada pemerintah mengenai kebijaksanaan yang masih diperlukan untuk pemberantasan korupsi. Tugas itu disertai wewenang menghubungi pejabat manapun untuk meminta keterangan, memeriksa surat dan dokumen dan meminta bantuan setiap aparatur negara di pusat maupun daerah untuk memperlancar tugasnya.

Dalam tempo 5 bulan, yakni pada tanggal 30 Juni, para sepuh dalam Komisi 4 ini menyampaikan hasil kerja dan pertimbangan-pertimbangan kepada Presiden. “Selama lima bulan, korupsi makin meluas”, kata Ketua Komisi 4 Wilopo SH kepada pers sehari sesudahnya. Komisi 4 menyampaikan tiga indikasi sebagai penyebab meluasnya korupsi. Kesatu, faktor pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi. Kedua, penyalahgunaan kesempatan untuk memperkaya diri. Ketiga, penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri. Pertamina, Bulog dan sektor perkayuan banyak mendapat perhatian Komisi 4. Kepada Presiden disampaikan nota-nota pertimbangan khusus mengenai instansi-instansi tersebut. Menurut Wilopo, masalah Pertamina, Bulog dan Kehutanan merupakan masalah yang di dalamnya meliputi uang bermilyar-milyar rupiah dan berjuta-juta dollar yang melewati tangan petugas-petugas. “Hendaknya jangan sampai Pertamina yang merupakan bikinan pemerintah itu menjadi monster yang tidak bisa dikendalikan oleh administrasi negara”, ujar Wilopo. “Tanpa Komisi 4 dan tanpa perlu menunggu lima bulan, kitapun sudah tahu itu”, komentar seorang tokoh mahasiswa. Tetapi ucapan Dr Mohammad Hatta, penasehat Komisi 4, bahwa “Korupsi di Indonesia telah membudaya”, mendapat apresiasi yang luas di kalangan masyarakat dan amat disepakati kebenarannya.

Komisi 4 pun lalu memberi saran yang sangat normatif, agar selain meningkatkan kesigapan aparat penegak dan penuntut hukum dalam langkah represif, juga perlu diambil langkah-langkah preventif. Setelah itu, Komisi 4 tutup buku, atas permintaan Komisi 4 sendiri agar tugasnya dinyatakan telah berakhir. Dan setelah itu Komisi 4 sendiri segera dilupakan meskipun namanya untuk sejenak masih beberapa kali disebut-sebut kemudian bersamaan dengan maraknya kembali gerakan-gerakan mahasiswa anti korupsi di Jakarta pada bulan Juli 1970. Bila mahasiswa Jakarta seolah-olah masih menunggu selesainya tugas Komisi 4, maka sebaliknya mahasiswa Bandung sudah bergerak lebih dini sejak bulan Juni melakukan persiapan untuk melancarkan aksi-aksi anti korupsi.

Gerakan ‘Mahasiswa Menggugat’ muncul kembali bersama ‘Aksi Pelajar 1970’. Beberapa eksponen masyarakat dan organisasi mahasiswa juga muncul dalam suatu gerakan anti korupsi yang sambung menyambung. Mereka meminta pemerintah mengumumkan saran-saran khusus yang telah disampaikan oleh Komisi 4. Mahasiswa mengharap agar diambil langkah-langkah  positif dan konkrit dalam memberantas korupsi, karena kalau tidak segera dilakukan, dikuatirkan timbulnya suatu suasana anarkis akibat ketidaksabaran. Ada rencana untuk melancarkan Hari Moratorium Anti Korupsi, serta menyelenggarakan pengadilan terbuka bagi pejabat-pejabat yang diduga melakukan korupsi selain berdemonstrasi ke tempat mereka. Salah seorang eksponen gerakan mahasiswa anti korupsi, Sjahrir setelah bersama Akbar Tandjung, Julius Usman dan Harry Victor menemui Dr Hatta dan Wilopo SH, mengumumkan akan dibentuk dalam waktu dekat Komite Anti Korupsi. Komite akan menghimpun seluruh generasi muda Indonesia dan kekuatan masyarakat yang anti korupsi dalam perjuangan melawan kekuatan-kekuatan korupsi. Sebelumnya, mereka menyatakan suatu kesangsian. “Korupsi merupakan jembatan antara pihak penguasa dengan kekuatan ekonomi dan politik yang melakukan korupsi. Karena itu adalah mustahil penguasa akan memotong jembatan itu yang dinikmatinya bersama kaum koruptor”.

Berlanjut ke Bagian 3

Tarikan Nilai Warisan Masa Lampau

 

Problematik yang dihadapi Indonesia merdeka adalah masih kuatnya dua sistim nilai yang merupakan warisan masa lampau. Yang pertama, menurut sejarawan Anhar Gonggong, adalah nilai-nilai yang berasal dari masa feodalisme, terutama feodalisme Jawa. Dan yang kedua adalah nilai-nilai yang terbentuk pada masa kolonialisme di Indonesia, yang selain menciptakan nilai-nilanya sendiri, dalam banyak hal juga ‘memelihara’ dan mengukuhkan nilai-nilai feodalisme.

Nilai-nilai yang ditumbuhkan pada masa kolonial di Nusantara, sarat dengan tatacara dan tujuan untuk mempertahankan hegemoni barat, baik dalam politik, ekonomi maupun secara kultural. Kolonialisme mengajarkan bahwa kekuasaan adalah di atas segalanya.

Nilai-nilai feodalisme Indonesia, sarat dengan tatacara dan tujuan mempertahankan kedudukan kaum penguasa dan sebaliknya menempatkan rakyat dalam posisi yang lemah. Suasana pelaksanaan pemilihan umum legislatif dan perilaku dalam menghadapi pemilihan umum presiden-wakil presiden tahun 2009 ini, telah dan masih akan kuat diwarnai perilaku yang kuat dipengaruhi nilai-nilai warisan itu. Tersirat dan tersurat, orientasi pada kekuasaan menjadi yang utama. Demi tujuan kekuasaan, bahkan segala cara, mulai dari kata-kata sampai kepada perbuatan buruk belakang layar pun dihalalkan.

Proses pembaharuan dan pencerahan Indonesia menurut pengalaman empiris, senantiasa mengalami kegagalan untuk mencapai tujuannya secara tuntas karena kuatnya tarikan sistim nilai warisan nilai dari masa lampau tersebut. Salah satu aspek dari sistim nilai lama, khususnya feodalisme, adalah penempatan hegemoni kekuasaan pada kedudukan teratas. Dan kekuasaan dalam sistim feodal telah menempatkan para penguasa dalam segala keistimewaan dan limpahan kenikmatan dengan aspek pertanggungjawaban kepada rakyat yang nyaris tidak diperlukan,

Dalam sejarah Indonesia tercatat dua kehadiran pemimpin nasional yang mengawali kehadirannya – setidaknya sebagaimana yang dinyatakan secara formal – dengan tujuan-tujuan pembaharuan dan pencerahan bagi rakyat Indonesia. Akan tetapi ketika berada di puncak kekuasaan mengalami tarikan yang kuat dan tergoda untuk kembali kepada nilai-nilai warisan masa lampau yang lebih memberikan kenyamanan kekuasaan. Kedua pemimpin itu adalah Soekarno dan Soeharto. Sementara itu, dua pemimpin lain yang bersikukuh  dengan upaya pembaharuan dan pencerahan untuk meninggalkan nilai-nilai warisan masa lampau, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, tersisih dalam proses kehidupan bernegara.

Sistim nilai yang dibawa bersama penyebaran Islam di Nusantara, untuk sebagian besar juga terkontaminasi oleh nilai-nilai feodal dan kontradiksi yang dimunculkan oleh sistim kolonialisme. Tentu, ini besar pengaruhnya, karena Islam adalah agama yang dianut mayoritas rakyat Indonesia. Tak jarang agama –yang sesungguhnya penuh ajaran mulia– dijadikan alat untuk kepentingan hegemoni kekuasaan di satu sisi, dan pada sisi lain mendorong massa umat beragama terdorong melindungi diri dengan ‘kulit kerang’ fanatisme karena kecemasan terhadap pengaruh luar yang tak difahaminya dengan baik. Pada masa kekuasaan Soeharto, terutama pada tahun 1970-an, amat menonjol penciptaan situasi bagi terbentuknya kelompok ekstrim dan fundamentalis Islam yang tak terlepas dari imbas pergulatan kekuasaan. Dan tak ada perubahan signifikan yang terjadi, hingga kini.

Perlu bersungguh-sungguh menjalankan pembangunan sosiologis. Pendidikan dalam arti yang luas dan bukan sekedar dalam pengertian sekedar pengajaran, menjadi alternatif solusi dalam rangka pembaharuan dan pencerahan manusia Indonesia. Selama ini Indonesia gagal dalam menjalankan pendidikan dalam arti yang luas itu, dan pada waktu yang bersamaan sepanjang catatan yang ada kehidupan kepartaian dan organisasi kemasyarakatan, tidak menunjukkan kontribusi dalam pendidikan politik, bernegara dan bermasyarakat dengan baik dan benar. (RA).