SEBENTAR lagi genap sebulan Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden Indonesia usai terselenggara. Namun, suasana ‘pertengkaran’ politik yang sudah berlangsung secara berlarut-larut sebelum pemilihan umum, khususnya terkait pemilihan presiden, tak kunjung berakhir –untuk tidak menyebutnya makin meruncing. Fenomena distrust yang bertambah meluas –yang bukannya tanpa alasan– menyebabkan situasi tereskalasi menuju keadaan yang berbahaya bagi kehidupan bangsa dan negara. Jangan lupa sudah hampir lima tahun bangsa ini berada dalam pembelahan penuh pertengkaran dalam nuansa fait accompli pilihan the bad among the worst yang bisa disuguhkan sistem politik yang ada.
Situasi meruncing itu berkaitan erat dengan adanya tuduhan bahwa pihak petahana telah melakukan berbagai kecurangan untuk mempertahankan kekuasaan. Dan di sana-sini memang tak dapat dipungkiri terjadi berbagai perilaku kecurangan, atau setidak-tidaknya terjadi sejumlah peristiwa yang memicu kecurigaan adanya kecurangan itu, di berbagai tempat. Mulai dari sikap tidak netral yang sangat kentara dari sejumlah aparatur negara, pencoblosan sendiri surat suara di TPS oleh beberapa pelaksana pemungutan suara, selain insiden Selangor Malaysia yang melibatkan nama putera Duta Besar RI di sana. Tuduhan dan kecurigaan terbaru adalah manipulasi situng KPU.
Prasangka vs Mekanisme Defensif Penguasa
Namun persoalannya adalah apakah kecurangan itu, kendati untuk sebagian kasat mata, telah memenuhi situasi terstruktur, sistematis dan massive dalam kadar tinggi hingga membuat ada peserta pemilu dan atau pemilihan presiden bisa didiskualifikasi? Ini yang masih harus dicermati dan diselidiki bersama untuk sampai pada suatu kesimpulan.

Dan entah, terkait atau tidak dengan suatu konspirasi, terjadi pula kematian berurutan ratusan –mencapai 500 orang lebih– dan sakitnya ribuan anggota penyelenggara pemungutan suara. Ini juga menimbulkan prasangka, yang menjadi-jadi karena KPU menyederhanakannya dengan statemen akibat kelelahan, yang ditolak oleh sejumlah dokter. Sementara itu, para penegak hukum hanya membantah dan atau menuduh balik, namun tak berinisiatif menyuruh lakukan otopsi untuk menangkal desas-desus yang bereredar dan cenderung dipercayai makin banyak anggota masyarakat.
Menghadapi berbagai prasangka masyarakat, secara umum terlihat betapa para penegak hukum dan kalangan kekuasaan, berada pada posisi reaktif dan terpicu mekanisme defensifnya. Mereka cenderung apriori menangkis seluruh kritik dan kecaman terkait pemilihan umum dan pemilihan presiden dengan mengatakan sebagai upaya mendiskreditkan KPU dan penyelenggaraan event demokrasi itu, ingin mendiskreditkan penguasa, bahkan melontarkan tuduhan makar. Isu people power dibalas dengan gertakan pengerahan pasukan berpeluru tajam dengan perintah tembak di tempat. Padahal, sikap-sikap reaktif seperti itu hanya lazim dimiliki oleh penguasa otoriter, bukan pemerintahan yang katanya ingin menegakkan demokrasi.
The Game of Oligarchs
Sengitnya pertengkaran politik yang ada di seputar perebutan kursi kekuasaan eksekutif dan legislatif negara, membuat luputnya perhatian terhadap akar seluruh masalah dalam kehidupan politik dan kekuasaan saat ini. Pada hakekatnya seluruh kekisruhan dalam kehidupan politik dan kekuasaan bangsa ini tak lain adalah akibat dari proses usaha para oligarkis untuk senantiasa mengambil posisi terbaik dalam hegemoni kekuasaan.
Dalam masa kolonial, dalam rangka pengendalian kaum kolonial –yang secara kuantitatif minoritas– diciptakan pagar berupa sejumlah pusat oligarki kekuasaan lokal di kalangan feodal Nusantara dan oligarki ekonomi di tangan etnis minoritas tertentu. Di masa kemerdekaan di bawah Soekarno pusat oligarki politik ada di tangan sejumlah partai politik besar. Oligarki ekonomi di tangan etnis minoritas Tionghoa dan perusahaan-perusahaan Belanda. Setelah pengambilalihan perusahaan-perusahaan ex Belanda menjelang perjuangan pembebasan Irian Barat, kelompok perwira militer diserahi untuk mengelolanya dan menjadi oligarki ekonomi baru.
Di masa Soeharto, oligarki politik dikendalikan melalui kelompok militer dan kalangan birokrat dan sedikit di tangan partai politik. Oligarki ekonomi ada di tangan sejumlah konglomerasi etnis Tionghoa maupun konglomerasi pribumi –mengikuti terminologi yang berlaku saat itu untuk non etnis Tionghoa.
Baik di masa Soekarno maupun di masa Soeharto pusat-pusat oligarki politik maupun ekonomi itu, senantiasa berada dalam kendali tangan dua tokoh pimpinan negara. Sejauh yang bisa diamati tak banyak perubahan yang terjadi dalam komposisi oligarki sampai dengan berakhirnya masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, kendati telah mulai muncul bibit-bibit oligarki baru di masa reformasi.
Kini, pasca SBY, kukuh berdiri sejumlah partai dengan kepemimpinan oligarkis. Oligarki ekonomi secara tak langsung tetap secara kuat berada di tangan kelompok etnis dalam kendali apa yang antara lain dikenal sebagai sembilan naga, meski mereka lebih meletakkan diri di belakang layar. Pada segmen lain ada kelompok pengusaha nasional non etnis yang juga pada dasarnya oligarkis. Oligarki politik dan ekonomi berimpitan di sana sini, termasuk dalam pengertian memiliki akses kuat di lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif serta di badan-badan usaha milik negara. Itu yang digambarkan sebagai proses wealth driven economy yang kemudian merambah sebagai derivasi, menjadi wealth driven politic, wealth driven government dan wealth driven law.
Macchiavellis
Di masa pemerintahan Joko Widodo, kelompok-kelompok oligarki itu nyata keberadaannya. Lebih dari satu, dengan porsi dan akses masing-masing yang cukup kuat di tubuh kekuasaan. Dan tak bisa dijamin bahwa mereka selalu bermain bersih untuk meraih hegemoni kekuasaan. Pada hakekatnya, para oligarkis ini adalah Macchiavellis. Mampu menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Sayangnya, dalam arus pragmatisme kekuasaan, Presiden Joko Widodo sepertinya hanya bisa berselancar di antara para oligarkis itu. Namun, tak bisa mengendalikan seperti yang mampu dilakukan Soeharto.
Ini berarti, andaikan kelak terbukti ada kecurangan kecil atau besar (TSM) dalam Pilpres yang baru lalu, bisa dianalisa dan dipastikan pelakunya adalah para oligarkis. Mungkin bukan peselancarnya. Mari kita tunggu apa yang akan terjadi 22 Mei mendatang… (socio-politica.com/media-karya.com)
Olirgark itulah pengendali republik ini sesungguhnya..