Wayang Politik: Petruk Dadi Ratu

MESKI tak mengambil porsi besar, tema pewayangan cukup banyak digunakan dalam kontestasi politik Indonesia, khususnya menjelang Pemilihan Presiden 2019 yang puncak pelaksanaannya tinggal hitungan hari. Dari waktu ke waktu pengamat politik asing juga selalu menganalogikan kehidupan politik negeri ini sebagai the shadow play of Indonesia yang merujuk lakon pewayangan. Pada lakon bayangan ini terdapat misteri yang menggelitik rasa. Dan di belakang layar selalu dan pasti ada dalang.

Dalam deklarasi kampanye damai 23 September 2018 yang mengawali masa kampanye, dua tokoh utama Partai Persatuan Pembangunan tampil sebagai tokoh pewayangan. Sekjen Arsul Sani berkostum Hanoman tokoh kera dalam epik Ramayana. Sementara Ketua Umum Romahurmuziy tampil dengan kostum Gatotkaca dari cerita pewayangan Jawa –yang diadaptasi dari kisah Mahabrata. Tapi kini sang Gatotkaca untuk sementara bermukim di Rutan KPK karena terlibat kasus jual beli jabatan di Kementerian Agama. Tak bisa lanjut ikut kampanye.

Adapun Joko Widodo, masih sejak 2012 di awal masa kegubernurannya di DKI, sudah ditokohkan bagai Kresna oleh para pendukungnya. Namun, belakangan tokoh Gerindra Fadli Zon memilih analogi tokoh punakawan Petruk untuk Joko Widodo. Saat berada di London 18 November 2018 ia membuat puisi ‘Petruk Jadi Raja’. Sindiran ‘Petruk Dadi Ratu’ kembali digunakan Fadli 12 Februari 2019 lalu. Mungkin saja itu terlalu kental aroma satirenya. Namun, apa boleh buat masa kampanye kali ini memang sudah terlanjur terpolusi, bukan sebatas satire tetapi dengan aneka terminologi tak halus, semacam cebong, kampret, gendruwo, sontoloyo dan semacamnya. Penuh pula dengan berbagai perilaku tuduh menuduh.

Namun terlepas dari satire Fadli, lakon Petruk Dadi Ratu sebenarnya sarat dengan amsal-amsal bermakna nasehat tentang gaya kepemimpinan dengan sikap ‘lupa kacang akan kulitnya’ yang sebaiknya dihindari setiap tokoh yang naik ke kursi kekuasaan.

Karena Jimat Kalimasodo

Bagi masyarakat pewayangan, Petruk Dadi Ratu  menurut Maria Sugiharto –penulis rubrik budaya majalah DPP Golkar,  Media Karya– merupakan sebuah lakon yang unik. Di antara para punakawan –yang terdiri dari Ki Semar, Gareng, Petruk, Bagong– hanya Petruk yang pernah menduduki kedudukan paling terhormat, ialah menjadi Raja. “Berbicara tentang Petruk Dadi Ratu, selalu ada jurusan kepada sebuah sindiran atau satire, cemoohan, karena Petruk yang asal usulnya dari seorang Punakawan atau bila diterjemahkan secara umum adalah rakyat jelata, kok menjadi raja,” tulis Maria (Media Karya, September 1988). Beberapa penggalan dan adaptasi dari tulisan itu, dipinjam lebih lanjut di sini.

SHADOW PLAY OF INDONESIA, SELALU ADA MISTERI MENGGELITIK. Terlepas dari satire Fadli, lakon Petruk Dadi Ratu sebenarnya sarat dengan amsal-amsal bermakna nasehat tentang gaya kepemimpinan dengan sikap ‘lupa kacang akan kulitnya’ yang sebaiknya dihindari setiap tokoh yang naik ke kursi kekuasaan. (Gambar dan foto original, download) socio-politica.com

Letak unik lakon Petruk Dadi Ratu, adalah bahwa seorang rakyat menduduki suatu kedudukan tinggi. Padahal ini langka, bila berbicara dalam konteks kekuasaan monarki. Tentu saja ini menggambarkan masyarakat sebelum republik berdiri, atau sebelum para demokrat memperjuangkan demokrasi. Namun demikian, sindiran klasik ini selalu dapat digunakan di segala masa dan periode, karena sepanjang namanya sebuah sindiran, maka kapan saja dapat diterapkan. Bahkan bisa menjadi alat kritik paling manjur, tanpa selalu harus menyinggung perasaan atau menyakitkan yang dikritik.

Merupakan suatu kebetulan, di antara punakawan, Petruk saja yang pernah menjadi raja. “Merasa mewakili rakyat banyak, Petruk menganggap adalah hak patennya bila berbicara tentang penyampaian kehendak rakyat.” Petruk yang anaknya Ki Semar itu, bersosok tinggi, langsing, bermuka manis, dengan senyum yang senantiasa menarik hati, serta pandai berbicara dengan humor-humornya. Dia pernah menjadi Raja di negeri Ngrancangkencana, dan bergelar Helgeduelbek. Kesaktiannya sehingga dapat menjadi raja, dia peroleh karena melarikan surat Kalimahusada –dalam bahasa Jawa kerap disebut Jimat Kalimasodo– sebuah pusaka milik Pandawa.

Tak seorang pun dapat mengalahkannya, bahkan tidak juga Dewa, karena memegang Kalimahusada kesaktiannya tiada bandingnya. Tetapi, karena dia ini saudara muda Nala Gareng, anak Ki Semar yang sulung, maka dia takut kepadanya. Kendati secara fisik Gareng tidak meyakinkan, tetapi sebagai saudara tua, dia memiliki kharisma tertentu, sehingga Petruk kalah di hadapannya. Tokoh Petruk, Semar, Gareng dan Bagong selalu bersama-sama, disebut Punakawan atau penderek –pelayan, tetapi bertugas mengasuh– dari Pandawa. Paling banyak dipunakawani adalah sang penengah Pandawa, Raden Arjuna.

“Bila Petruk dadi Ratu, maka ada beberapa aspek yang masuk di dalam kritik yang disampaikan di sana. Petruk sendiri, yang mewakili tokoh rakyat jelata, saat mendapat kedudukan yang sedemikian tingginya (Raja), kadang-kadang menjadi seorang OKB (orang kaya baru) atau feodal gaya baru. Gelar yang dipakainya bisa saja satu meter panjangnya. Pernah misalnya di dalam lakon Petruk Dadi Ratu, gelarnya Sang Prabu Helgeduelbek, Kantong Bolong, Tong Tong Sot, Trotuk, Tritik, Dung Pyeng… Apa pun artinya, itu tidak perlu, yang penting, dia bisa berbuat apa saja, karena dia itu adalah Raja.”

Harus tunduk karena Raja berkekuatan absolut

Kritik yang terselip di situ justru adalah terhadap orang ‘bawahan’ yang mendapatkan kedudukan tinggi, terus kena kejutan mental. Maka, Petruk pun berkelakuan aneh-aneh. Selirnya banyak sekali, memiliki Patih yang diberi gelar Patih Joyo Setliko –mestinya Joyo Sentiko, tetapi dikelirukan menjadi setliko yang artinya seterika. Dalam situasi begini, sang Patih harus tunduk, karena Raja berkekuasaan absolut.

Maka, dalam lakon Petruk Dadi Ratu, biasanya dialog-dialog penuh dengan humor karena kelakuan Petruk yang eksentrik akibat kejutan mental tadi. Sebaliknya, para Pangeran atau bangsawan yang memiliki kerajaan seperti Amerta dan Hastina, untuk sementara harus tunduk serta prihatin. Mau tak mau, karena sang Petruk pemegang surat wasiat yang tiada tara nilainya bagi sebuah kekuasaan atau pemerintahan.

Petruk Dadi Ratu bahkan merupakan pemeo bagi seseorang, atau siapa saja yang naik derajatnya, dan terus mengadakan tindakan sewenang-wenang, meski dikamuflir dengan senyuman-senyuman manis khas Petruk, karena memang senyuman manis itu dimiliki Petruk secara alamiah. Di dalam kehidupan sehari-hari, sikap Petruk yang demikian itu disindirkan kepada orang yang mendapatkan derajat lebih tinggi atau memiliki kekayaan yang lebih, bersifat flamboyan, lupa kepada asal usulnya, biasanya ada kecenderungan sombong, sewenang-wenang, sok dan macam-macam.” Demikian tulis Maria Sugiharto.

Bisa dipastikan, tak ada tokoh berkualitas mau menjadi Petruk demi bisa menjadi raja. Tapi barangkali saja tak sedikit orang mau menjadi raja atau presiden kendati hanya sekelas Petruk…. (socio-politica.com/ sumber: media-karya.com)

One thought on “Wayang Politik: Petruk Dadi Ratu”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s