Mengapa Reformasi Justru Menumbuhkan Politisi Muda yang Gemar Korupsi?

Oleh Syamsir Alam*

Kekerasan terselubung di dalam struktur demokrasi timbul karena mereka tak demokratis secara radikal. Demokrasi Barat sekadar sebuah kenyamanan domestik
untuk konsumerisme
” (Edward Band, Penulis Skenario Inggris).

            SEBAGIAN besar calon ‘pasien’ KPK yang akan segera ‘dibedah’ dalam waktu dekat ini, adalah para politisi muda penuh bakat yang karirnya melesat ke pucuk pimpinan partai-partai politik yang sedang berkuasa sekarang. Sebut saja misalnya, Muhammad Nazaruddin, anggota DPR, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, tersangka dalam kasus suap proyek Wisma Atlet SEA Games di Palembang,  yang juga menyeret sederetan nama penting lainnya sehubungan proyek tersebut, seperti Andi A Mallarangeng yang Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora). Dalam pelariannya, Nazaruddin juga ‘berkicau’ menyebut-nyebut rekan-rekan lainnya separtai yang juga ikut bersalah, misalnya Anas Urbaningrum yang Ketua Umum Partai Demokrat. Disisi lain, terbetik pula kabar Muhaimin Iskandar, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) yang juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersangkut dalam suap di Kemnakertrans).

Masih banyak nama-nama lain yang disebut-sebut sebagai tersangka kasus korupsi berjamaah tersebut yang diincar KPK. Korupsi sebagai kasus yang justru sedang diperangi oleh rezim sekarang di bawah komando Pak SBY, kalau yang melakukannya banyak para penjabat sekelas menteri atau orang yang dekat dengan presiden, tentulah sulit untuk memberantasnya. Karena merasa berkuasa dan dilakukan bersama-sama antar instansi yang saling terkait, mereka yang mendapat kesempatan berkuasa tersebut berani melakukan perbuatan tercela tanpa merasa bersalah. Sebelum terkuak lebih jelas oleh KPK, mereka pun berusaha menyangkal dengan berbagai dalih. Bahkan dibela oleh rekan-rekannya yang lain agar tidak terbongkar lebih jauh, yang bisa menyeret mereka pula. Paling-paling ada yang dikorbankan sebagai kambing hitam, dengan alasan mereka itu hanyalah oknum belaka. Kacian deh loe! Apa yang sedang terjadi di bumi Indonesia tercinta ini sekarang?

Efek Lucifer

Bila disimak pendapat Abdul Aziz SR, pengajar pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia, yang mengatakan, elite partai politik di lembaga legislatif, eksekutif, atau jadi makelar politik, semuanya benar-benar menjadi pemburu rente. Hal ini tampaknya sudah menjadi pola umum dan menyuburkan praktik korupsi di Indonesia (Kompas, 12 September 2011). Bahkan, karena tidak ingin repot tanpa disadari kita pun ikut menyuburkan budaya korupsi dengan memberikan uang suap pada waktu pengurusan perpanjangan KTP, Sim, STNK ataupun waktu kena tilang polisi lalu lintas. Dapat disimpulkan, bahwa korupsi sudah menjadi kasus sistemik yang menjangkiti semua lapisan pemerintahan.

Masalahnya, mengapa orang awam yang baik-baik kadang-kadang berubah menjadi pelaku kejahatan? “Kekuatan-kekuatan situasional yang ada dalam berbagai aspek perilaku manusia dapat mendistorsikan sifat-sifat baik menjadi perilaku sesat, jahat dan merusak. Setelah terbenam dalam setting yang baru dan tidak lazim tersebut, pikiran, perasaan, dan tingkah laku sehari-hari mereka tidak lagi berfungsi menjaga kompas moral yang sebelumnya menuntun mereka di jalan yang benar”, tulis Philip Zimbardo, profesor emiritus psikologi pada Stanford University, Amerika Serikat, dalam bukunya “The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil”.

Perubahan ektrem dalam diri manusia akibat pengaruh kekuatan-kekuatan situasional itu mendorongnya  melakukan penelitian psikologis yang diilhami dari kisah Lucifer, setan yang berubah membangkang perintah Tuhan. Dari penelitian yang dilakukan bersama dengan rekan-rekannya selama 30 tahun, Philip berkesimpulan betapa mudahnya orang-orang awam terbawa berperilaku buruk (Koran Tempo, 24 Februari 2008).

Umumnya kita melihat situasi dengan fokus pada orientasi individualistik, menempatkan seseorang sebagai yang bersalah, sakit atau gila, untuk menjelaskan kesalahan yang terjadi. Biasanya, kita melakukan koreksi dengan mempenjarakan untuk  memperbaiki moral yang buruk tersebut agar jera, atau mere-edukasi dan mengobatinya bila dianggap sakit fisik dan jiwa. Namun, kita lupa akan penyebab utamanya adalah situasi atau sistim sosial yang mempengaruhi pelaku, bukan karena individunya itu sendiri. Mereka berani karena ada peluang dan pendukung yang menyemangatinya untuk melakukan dengan anggapan sudah menjadi kebiasaan baru yang juga dilakukan orang lain. Karena itu, banyak kasus seseorang lepas dari penjara bukannya jera, tetapi malah menjadi semakin mengganas.

Ditambah lagi fakta tindak pidana korupsi yang semakin gemar bermurah hati kepada terdakwa korupsi. Banyak terdakwa korupsi yang divonis bebas bersalah, hukuman yang dijatuhkan kurang dari satu tahun (Tempo, 3 Oktober 2011). Integritas hakim yang rendah, sekaligus buruknya dakwaan jaksa membuat para koruptor menjadi lebih berani lagi beraksi tanpa malu-malu, dengan alasan secara hukum mereka tidak terbukti melakukannya. Mereka lupa, malaikat mencatat segalanya.

Jadi, percumalah wacana pemimpin negara ini untuk membasmi korupsi, karena korupsi itu sendiri adalah produk dari sistim yang dibuat bersama, sehingga kondusif untuk melakukan korupsi berjamaah. Bahkan, mereka yang dulunya dikenal sebagai orang yang bersih (clean man), setelah masuk sistim terjangkit wabah korupsi sistemik itu. Karena korupsi ini sudah menjadi program bersama kelompok mayoritas, justru mereka yang tidak mau ikut-ikutan tersingkir dengan berbagai cara.

 Hasil dari budaya instan yang ingin serba mudah

            Banyak pengaruh dongeng “Si Kancil yang Cerdik” membentuk generasi muda Indonesia sekarang ini, bahwa untuk menang dengan cara yang licik pun adalah suatu perbuatan terpuji. Bagaimana mungkin, si Kancil yang mencuri mentimun justru si Anjing yang kena hukum, setelah si Anjing ditipu si Kancil untuk menggantikan posisinya sebagai terhukum dengan iming-iming akan mendapatkan hadiah besar.

Lihatlah, sejak dari bangku sekolah anak-anak kita terbiasa les privat dengan guru yang dibayar untuk mendapatkan nilai baik, walaupun sebenarnya anak itu malas belajar di kelas. Setelah itu ikut bimbingan belajar untuk bisa masuk perguruan tinggi terbaik dengan mulus, kalau perlu bayar joki. Ketika menjadi mahasiswa, ikut-ikutan kegiatan demo untuk mendapatkan popularitas yang nantinya berujung pada jabatan empuk di partai, atau anggota DPR dengan fasilitas enak yang berlebihan.

Tidak heran bila mereka terbiasa sejak kecil bermanja-manja, tidak mau disalahkan, bahkan kalau perlu tawuran untuk membela kelompok mereka walaupun salah. Setelah besar menjadi kebiasaan, kalau tidak berhasil mendapatkan keinginannya itu, tidak malu-malu mereka memprovokasi teman-teman lain untuk melakukan demo menuntut sesuatu yang tidak mungkin, kalau perlu menyalahkan orang lain. Perpecahan, kepentingan kelompok, dan tujuan menang dengan berbagai cara sudah terbentuk.

Itu pula yang nampak dalam kasus pemilihan umum, yang menonjol adalah kecurangan yang juga disertai dengan protes kalau kalah. Gambaran tawuran tidak hanya terjadi pada lapisan bawah berpendidikan rendah yang lebih mengandalkan otot, tetapi juga terjadi pada kelompok pelajar, dan mahasiswa yang seharusnya menggunakan otak. Yang anehnya, tidak ada perbaikan dari kasus tawuran pelajar yang sudah terjadi secara periodik sejak lama, sehingga tawuran pun sudah menjadi budaya kita sebagai cara ekspresi diri berkuasa dengan cara purba.

Konsumerisme yang menggoda

            Mengapa situasi bisa berkembang menjadi lahan penjarahan harta negara oleh para pemburu rente? Pada awal kemerdekaan, para pemimpin bangsa dengan sadar menanamkan idealisme kebangsaan sebagai kekuatan pembangunan negara baru untuk disegani dunia. Namun, dalam perjalanan waktu para pemimpin sekarang yang lebih pragmatis mengambil pola demokrasi Barat yang cenderung menjurus kepada konsumerisme dengan dukungan para produsen yang mengejar untung.

Iklan dan sinetron mengajarkan, bahwa indikasi sukses sekarang ini adalah kelebihan materi yang dimiliki seseorang. Konsumsi adalah suatu keharusan untuk memenuhi kebutuhan, keinginan dan harapan menjadi orang sukses. Pada hal konsumsi yang berlebihan, atau konsumerime, adalah bila kegiatannya menjadi tindakan yang cenderung irasional.

Bagaimana pun sekarang ini tindakan konsumerisme itu berkaitan dengan upaya mempertahankan hidup, ekspresi diri, dan mewujudkan harapan yang spesifik dari masing-masing individu yang ingin disebut sukses tersebut. Sekarang ini tidak malu-malu lagi para penjarah harta negara tampil di depan umum dengan kemewahan hasil korupsi mereka. Sebut saja Gayus Tambunan, penjabat pajak kelas bawah mampu melakukan korupsi yang berjumlah besar dari hasil pajak. Bayangkan berapa besar korupsi dari atasan Gayus yang bila dibongkar, tentu juga akan melibatkan sejumlah penjabat lain yang terkait. Pantas saja pajak yang dikampanyekan untuk pembangunan, nyatanya sedikit sekali yang digunakan untuk perbaikan fasilitas umum.

Tidak heran bila rumus ajaib pada era penjajahan dulu yang mengajarkan masyarakat pribumi untuk ikut menikmati lezatnya kehidupan Belanda agar mereka berubah menjadi ‘pribumi yang baik’ dan mudah diajak untuk berkompromi, sekarang terasa sangat ampuh sebagai alat penjajahan. Pada zaman sekarang ini, ajarkan kaum muda untuk menikmati produk-produk mewah yang menjadi simbol gaya hidup global, maka mereka akan menjadi orang yang kehilangan rasa nasionalismenya. Untuk mendapatkan benda-benda lambang sukses tersebut, berbagai cara pun ditempuh, bahkan termasuk cara yang jahat.

Bahkan para ahli menyebut mereka sebagai kecanduan korupsi, rasanya tidak enak kalau sebulan tidak melakukan korupsi yang menghebohkan. Mereka justru bangga bila tidak tertangkap. Dasar si Kancil yang sakit jiwa, merasa benar dan tega mengorbankan orang lain. Karena itulah, tidak heran bila banyak dari para koruptor yang lari ke luar negeri membawa kekayaan hasil jarahan mereka. Mereka lebih mencintai materi daripada negaranya.

Solusinya adalah format ulang!

Awalnya adalah pemilihan langsung yang perlu dana besar untuk kampanye. Menyimak situasi persaingan pemasaran produk, dimana para produsen tidak segan-segan mengeluarkan dana periklanan untuk memengaruhi konsumen untuk memilih produk mereka. Hal itulah yang ditiru oleh para politisi sekarang dengan konsep pemasaran sosial (sosio marketing), mereka mengeluarkan biaya iklan yang luar biasa besarnya untuk mendapatkan simpati pemilih. Bahkan mereka pun meniru cara-cara promosi langsung dengan pembagian amplop.

Masalahnya, dari mana dana tersebut diperoleh? Sebagian dari simpatisan, yang jumlahnya tidak seberapa. Sebagian lagi pihak sponsor, yang tentunya mengharapkan sesuatu bila menang dalam pemilihan nanti. Selain itu, bagi peserta perlu dana taktis untuk pembinaan citra setelah terpilih nanti. Semuanya berujung pada sumber pemasukan yang tidak gratis. Bila dulu kekuatan partai dimulai dari ideologi (1) yang menjadi pilihan massa (3) sehingga terbentuk jaringan (3) dengan adanya fasilitas pendukung (4) dan dana (5) bisa melakukan gerakan politik yang bermakna. Sekarang ini, justru dana yang menjadi daya tarik utama, karena dengan adanya dana semua bisa dibeli (massa, jaringan dan fasilitas pendukung), dan idealogi tidak spesifik lagi. “Sila pertama: Keuangan yang maha kuasa”, kata para penjabat dalam salah satu cerita bergambar Panji Koming (Kompas, 2 Oktober 2011) .

Bila korupsi sudah menjadi kasus sistemik yang menjangkiti semua lapisan pemerintahan, mau tidak mau sistim ini perlu diformat ulang. Bukan sistimnya yang salah, tetapi sebagian besar dari pelaksana tugas negara itu sudah sakit terinfeksi virus mental korupsi. Bagi mereka, perilaku negatif korupsi tersebut dianggap sesuatu yang wajar dilakukan oleh para penjabat yang berkuasa, karena orang lain pun melakukannya sejak era Orde Baru dulu. Dengan reformasi ternyata kita kita hanya meniru pola demokrasi Barat yang cenderung menjurus kepada kapitalisme yang egois. Penjabat kita lebih banyak sibuk memperkaya dirinya masing-masing, lupa janji muluk dan tugas akan memimpin rakyat untuk menyejahterakan masyarakat.

Kalau sudah demikian parahnya sikap mental korupsi para penjabat, bagaimana caranya kita bisa kembali ke kondisi sehat bebas korupsi? Kita harus tahu akar masalahnya, dan memulai penyembuhan dari sana, bukan hanya mengatasi gejalanya dengan aparat KPK yang juga bisa terinfeksi virus mental korupsi. Kalau perlu dilakukan format ulang, dengan menyingkirkan mereka-mereka yang sudah tidak bisa disembuhkan lagi dari terinfeksi virus mental korupsi, misalnya dengan ancaman hukuman mati atau dengan pengucilan sebagai hukuman masyarakat yang sesuai. Sebagian lagi yang masih dapat disembuhkan harus melalui proses rehabilitasi mental rumah sakit jiwa. Sebagian lainnya yang tidak begitu parah sakit korupsinya dapat diaktifkan kembali setelah melalui pembersihan mental untuk didayagunakan pada bidang lain yang tidak berisiko dikorup lagi, dan dengan pengawasan ketat agar tidak kambuhan lagi.

*Syamsir Alam. Mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.  

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s