“Bagaimana dengan Indonesia? Sudah mulai terdengar tuntutan memundurkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tapi belum terjadi fenomena people’s power in action meskipun sudah ada retorika revolusi dimunculkan”. Namun, kata rohaniwan yang ikut mencetuskan kecaman 9+9 kebohongan, Frans von Magnis Suseno kepada Chris Siner Key Timu, dalam soal menurunkan pemimpin, “menurut saya kita harus tetap dalam rangka UUD”.
HAMPIR seluruh faktor pemicu pergolakan rakyat di Tunisia dan Mesir maupun Yaman Selatan, juga terdapat di Indonesia saat ini. Sebaliknya, contoh-contoh model pengelolaan kekuasaan di negara-negara itu, khususnya di Tunisia dan Mesir, selama setidaknya dua hingga empat dasawarsa terakhir ini, seakan-akan duplikat dari praktek-praktek kekuasaan ala Indonesia sejak zaman Soekarno hingga Soeharto dan di sana-sini bahkan hingga sekarang.
Kedua negara Afrika Utara itu telah gagal menciptakan keadilan sosial, keadilan hukum maupun keadilan politik, di batas minimal sekalipun, kendati keduanya telah menjadi negara merdeka lebih dari setengah abad. Keduanya adalah negara dengan sejarah kebudayaan dan kejayaan masa lampau yang menakjubkan, namun diinterupsi oleh kolonialisme asing, hingga awal abad 20. Tunisia –yang kemudian dikenal dengan nama resmi Al Djoumhouria Attunisia– seakan memulai suatu babak harapan baru sebagai sebuah Republik di bawah kepemimpinan Presiden pertamanya, Habib Bourguiba, sejak 1957 setelah merdeka dari Perancis 1 Juni 1956. Republik Tunisia merdeka diawali sebagai negara yang lima juta rakyatnya terbelit kemiskinan yang ekstrim dan dua pertiganya buta aksara.
Untuk mengatasi keterbelakangan dan kemiskinan ini, Habib Bourguiba mengobarkan “battle against underdevelopment”, dengan dukungan kelompok kecil teknokrat lulusan perguruan tinggi negara barat berbekal pemahaman dan persepsi yang sama kuatnya, baik tentang kultur barat maupun kultur tradisional Tunisia. Salah satu langkah penting Habib Bourguiba dan para teknokratnya adalah kebijakan affirmasi bagi kesetaraan kaum perempuan sebagai potensi bangsa yang berharga. Meskipun Tunisia adalah negara muslim yang kuat, beristeri sampai empat tidak diperbolehkan. Mengawini lebih dari satu perempuan merupakan pelanggaran hukum di Tunisia. Kebiasaan tidak produktif sebagian kaum muslim untuk berlama-lama (seakan) berdoa tanpa melakukan apapun di tempat-tempat ibadah di siang hari bulan Ramadhan dengan menjadikan dalih agama sebagai pembenar, juga dilabrak oleh Habib Bourguiba.
Dengan industri pertambangan (fosfat, besi, minyak bumi, zinc dan sebagainya), pengilangan minyak, industri pupuk, industri makanan (antara lain olive oil) maupun industri pariwisata, Tunisia membangun ekonominya. Tetapi sayang, terutama sepeninggal Habib Bourguiba, keadilan sosial ekonomi dilupakan. Dalam masa kekuasaan Presiden Zine Al Abidine Ben Ali, pengganti Bourguiba, yang telah berkuasa selama 23 tahun (5 masa jabatan) sebelum melarikan diri bersama keluarganya ke Arab Saudi karena tekanan ‘people’s power’, Tunisia menjadi negeri dengan setumpuk fenomena kepincangan sosial-ekonomi dan ketidaksetaraan hak politik. Kekayaan menumpuk di tangan segelintir orang yang tak terlepas dari kedekatan dengan elite kekuasaan melalui pola korupsi, kolusi dan nepotisme, sementara sebagian terbesar rakyat masih terlilit kemiskinan di tengah kegemerlapan kota-kota Tunisia yang ditaburi hotel-hotel mewah.
Dalam ruang dan waktu yang sama, realita sehari-hari Tunisia menunjukkan pemerintahan di bawah Ben Ali adalah sebuah pemerintahan di bawah kendali segelintir, khususnya di tangan Ben Ali dan lingkaran dekatnya, dengan sebuah pola represif untuk melindungi kepentingan-kepentingan eksklusif mereka. Kepolisian Tunisia menjadi andalan Ben Ali dalam menjalankan represinya. Pemerintahan oligarki dan otokrasi lazimnya diindikasikan oleh hasrat untuk memperpanjang masa jabatan (kekuasaan) berkali-kali melebihi kewajaran, seperti yang ditunjukkan oleh fakta bahwa Ben Ali sedang menjalani masa kelima kepresidenannya saat tiba-tiba melarikan diri.
PRESIDEN Mesir Hosni Mubarak, naik menggantikan Presiden Anwar Sadat yang tertembak mati di panggung kehormatan oleh peserta parade militer di tahun 1981. Dengan demikian, Hosni Mubarak yang kini berusia 82 tahun telah berkuasa selama 30 tahun dengan topangan Partai Demokrat Nasional (NDP). Selama 30 tahun Partai Demokrat Nasional memenangkan mayoritas kursi legislatif melalui pemilu demi pemilu yang berlangsung penuh rekayasa dan kecurangan. Pemilu legislatif terbaru dalam dua putaran akhir November dan awal Desember 2010 yang baru lalu, kembali dimenangkan secara mutlak oleh NDP yang merupakan 1 di antara 18 partai politik Mesir. Di atas kertas dengan kemenangan mutlak NDP itu, Mubarak akan mampu memenangkan sekali lagi Pemilihan Presiden di tahun 2011 ini. Namun Mubarak masih sedang mempertimbangkan apakah akan maju lagi ataukah memberi kesempatan kepada puteranya Gamal Mubarak maju untuk melanjutkan dinasti kekuasaannya. Dan seperti halnya Tunisia, hasil pembangunan ekonomi hanya dinikmati segelintir orang, sementara kebanyakan rakyat juga terpuruk dalam kemiskinan. Persis Tunisia, kepolisian menjadi penopang utama pola represif kekuasaannya. Dalam negara yang tidak adil secara ekonomis dan politis, kekuatan pemukul yang represif senantiasa menjadi salah satu kebutuhan utama. Hanya saja, kini saat menghadapi perlawanan rakyat yang besar, Hosni Mubarak beralih menggunakan kekuatan tentara menggantikan peran polisi selama ini.
MENGAMATI apa yang sedang terjadi di Tunisia dan Mesir, kita menemukan aroma yang tak asing bagi Indonesia masa ini, sebagaimana juga kita bisa mencium bau-bau Indonesia masa lampau dalam situasi aktual Tunisia dan Mesir masa kini. Cara-cara dan lamanya Soekarno maupun Soeharto mempertahankan kekuasaan (20 dan 32 tahun) seakan menginspirasi penguasa-penguasa negara-negara Afrika Utara yang tergolong sahabat Indonesia di ‘masa lampau’ itu. Begitu pula model demokrasi semu yang mereka jalankan, ada pemilunya, tetapi selalu direkayasa oleh incumbent. Partai pemerintah selalu menang mutlak. Dalam Indonesia masa Soeharto semua pemilu selalu dimenangkan oleh kekuatan politik pemerintah (Golkar) di atas raihan 60 persen suara. Pada masa pasca Soeharto, kita sempat terbuai oleh kesan bahwa pemilu-pemilu reformasi telah berlangsung demokratis, jujur, bersih tanpa rekayasa. Tapi ternyata dari hari ke hari makin terungkap bahwa pemilu-pemilu itu tidaklah sebersih yang kita sangka. Tokoh Petisi 50, Chris Siner Key Timu, yang merupakan bagian dari barisan perlawanan terhadap rezim Soeharto di masa lalu, menyebutkan terjadinya perampokan suara rakyat dalam pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden yang lalu, melalui IT-Gate (skandal manipulasi informasi teknologi).
Paling menonjol adalah persamaan Indonesia dengan dua negara Afrika Utara itu dalam model kesenjangan sosial-ekonomi. Hasil ‘pembangunan’ ekonomi terbesar dinikmati hanya oleh segelintir elite kekuasaan dan ekonomi, sementara sebagian terbesar rakyat justru hanya menikmati bagian terkecil dari rezeki ekonomi itu. Institusi kepolisian di tiga negara, menunjukkan fenomena perilaku serupa, lebih merupakan alat represi untuk kepentingan kekuasaan daripada menjadi andalan utama penegakan hukum, kebenaran dan keadilan. Kalangan penguasanya sama-sama berkeahlian dalam melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Sama-sama bertekad baja dalam melanjutkan kekuasaan, dan all out untuk mencapainya. Indonesia sudah melakukan pembatasan melalui konstitusinya, agar periode kekuasaan di berbagai tingkat menjadi paling banyak dua periode, tetapi makin membayang adanya hasrat menyiasati ketentuan itu. Di tingkat bupati/walikota telah terjadi praktek ‘mewariskan’ kekuasaan kepada isteri atau anak dengan berbagai siasat termasuk dan terutama melalui penggunaan politik uang. Sementara itu untuk tingkat Presiden, ada rumours bahwa Presiden ingin mengestafetkan tampuk kepemimpinannya kepada isteri dan atau anaknya, yang dengan segera dibantah SBY.
Kendati memiliki persamaan, ketiga negara juga memperlihatkan perbedaan secara gradual. Di Tunisia, sang Presiden sudah tumbang dan melarikan diri beserta keluarga, ke sebuah negara monarki yang otokratis. Di Mesir, rezim sedang menghadapi goyangan oleh people’s power, namun berbeda dengan Soeharto yang segera memilih lengser dalam situasi serupa, Hosni Mubarak bersikeras bertahan dengan mengerahkan kekuatan tentara yang berakibat sudah lebih seratus rakyat tewas dan ribuan orang ditahan. Bagaimana dengan Indonesia? Sudah mulai terdengar tuntutan memundurkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tapi belum terjadi fenomena people’s power in action meskipun sudah ada retorika revolusi dimunculkan. Namun, kata rohaniwan yang ikut mencetuskan kecaman 9+9 kebohongan, Frans von Magnis Suseno, kepada Chris Siner Key Timu, dalam soal menurunkan pemimpin, “menurut saya kita harus tetap dalam rangka UUD”.