Tag Archives: Kristiani Herawati

Para Pemimpin Asia (Indonesia) Dalam Bayang-bayang Mistik

ADA cerita mistik dalam buku Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, “Selalu Ada Pilihan” (Penerbit Buku Kompas, 2014) yang diluncurkan Jumat pekan lalu.

            SBY menulis, bahwa sekitar 2009, menjelang Pemilihan Presiden 2009, pada suatu Minggu pagi, Kristiani Herawati isterinya sedang membaca majalah di ruang keluarga. “Sedang saya beraktivitas di ruang perpustakaan.” Tiba-tiba sang isteri berteriak dan memanggil-manggil. “Saya segera berlari ke ruang tengah untuk mengetahui apa yang terjadi. Ternyata ada asap hitam tebal dan berputar-putar di langit-langit dan di tengah ruangan itu. Asap hitam itu bergerak ke timur seperti ingin menerobos ke kamar saya.” Lalu, “Saya ajak mereka semua membaca surat Al-Fatihah. Saya sendiri melengkapinya dengan doa penolak bala dan kejahatan. Saya juga minta untuk menutup pintu kamar saya, dan sebaliknya membuka semua pintu yang ada. Apa yang terjadi, asap tebal yang berputar-putar itu bak ditiup angin yang kuat bergegas keluar dari rumah saya.” Akhirnya SBY bersama keluarga selamat dari peristiwa yang tergambarkan sebagai suatu serangan ilmu hitam yang misterius itu.

BUKU SBY 'SELALU ADA PILIHAN'. "Dan, believe it or not, tak kurang dari presiden kita menulis telah mengalami sesuatu yang olehnya sendiri digambarkan sebagai mirip adegan film horor dan cerita-cerita lama. “Tetapi sungguh ada. Sungguh nyata.” (download merdeka.com)
BUKU SBY ‘SELALU ADA PILIHAN’. “Dan, believe it or not, tak kurang dari presiden kita menulis telah mengalami sesuatu yang olehnya sendiri digambarkan sebagai mirip adegan film horor dan cerita-cerita lama. “Tetapi sungguh ada. Sungguh nyata.” (download merdeka.com)

Pilihan cerita mistis ini terdapat pada halaman 262 dari buku  yang seluruhnya  terdiri 807 halaman itu. Dan tentu ada pilihan bagi para pembaca: boleh percaya boleh tidak.

            EMPAT puluh empat tahun lalu, 9 November 1970, Majalah Time menulis, “Banyak pemimpin Asia yang sungguh sophisticated dan terdidik baik, akan tetapi pemimpin-pemimpin Asia itu acapkali melangkah satu tindak ke belakang ke alam metafisik, berhubungan dengan para peramal, menjalankan praktek ‘kebatinan’, berdukun dan sebagainya.” Time menyebut nama Jenderal Soeharto sebagai salah satu di antara nama dalam deretan pemimpin Asia yang ‘bergaul’ dengan dunia mistis itu.

            “Suatu waktu, saat Presiden Soeharto akan melakukan perjalanan ke luar negeri, ia terlebih dahulu menjalankan suatu ritual khusus. Soalnya, seorang dukun Indonesia meramalkan terjadinya suatu bencana yang akan menimpa negeri ini pada akhir 1970.” Lalu beberapa ekor kerbau disembelih, dipenggal hingga kepala khewan-khewan itu terlepas dari tubuh. Satu kepala ditanam di ujung timur pulau Jawa, dan satu kepala lainnya lagi ditanam di ujung barat Jawa. Dan sebegitu jauh hingga bulan November tahun itu belum ada bencana datang menimpa.

            Di negara-negara Asia seperti Indonesia, yang masyarakatnya masih kuat berpegang kepada tradisi-tradisi lama, tulis Time, bantuan dukun –atau bomoh di Malaysia– menenteramkan hati masyarakat. Pada saat yang sama, dalam hal tertentu pengaruh dukun pun juga memberi para pemimpin negeri itu perasaan lebih terjamin. Tepatnya, merasa memperoleh tambahan kekuatan batin.

            “Jenderal Soeharto seorang yang pragmatis. Tapi ia juga adalah seorang yang tumbuh di tengah Muslim, Hindu dan animisme di Jawa Tengah. Ia seringkali merancang strategi bersama kawan-kawan militernya di lapangan golf, mendengarkan pendapat ahli-ahli ekonomi yang baru pulang dari Amerika, dan mendengarkan berbagai laporan melalui tape recorder. Tetapi sebaliknya, Soeharto juga percaya kepada penasehat-penasehat spiritualnya. Semenjak masa mudanya, ia sudah berguru kepada guru mistik yang terkenal, Raden Mas Darjatmo, yang merangkap sekaligus sebagai dukun, ahli kebatinan dan ‘guru’. Soeharto biasanya mencari dukun ‘sepuh’nya itu bila berkunjung ke kampung halamannya di Wonogiri.”

            “Setelah meletusnya Peristiwa 30 September 1965, Jenderal Soeharto memimpin gerakan melawan rezim Soekarno, atas nasehat seorang dukun.” Dan atas nasehat seorang dukun lainnya, Soeharto tidak melakukan tindakan keras terhadap aksi-aksi mahasiswa di tahun 1970, melainkan memilih melakukan pertemuan beberapa kali untuk bertukar pikiran, hingga suasana mendingin. Aksi-aksi mahasiswa saat itu terfokus sebagai gerakan-gerakan anti korupsi.

            Dr Midian Sirait menuturkan dalam bukunya, ‘Revitalisasi Pancasila’ (Kata Hasta Pustaka, 2009), dalam suatu kunjungan ke Banten, pagi-pagi 10 Maret 1971, Presiden Soeharto “berenang melawan arus sungai Cisimeut yang cukup deras di wilayah Badui Banten dalam suatu semangat ritual Jawa.” Dinihari, Gubernur Jawa Barat Solihin GP dan Panglima Siliwangi Mayor Jenderal Witono, memberitahu seluruh anggota rombongan agar tak mendekat ke tempat dilakukannya ritual itu. “Dalam bahasa yang simbolistik, khas Jawa, ditunjukkan bahwa sebagai pemimpin, Soeharto tak gentar menghadapi semua persoalan, dengan melawan arus sekalipun.”

            Adapula cerita bahwa menurut Jenderal Soedjono Hoemardani –Aspri Presiden yang dikenal lekat dengan dunia spiritual– telah dilakukan sejumlah ritual di beberapa penjuru Nusantara yang dianggap tempat yang tepat untuk menanamkan paku-paku kekuasaan bagi Soeharto. Soedjono mengatakan, masa ‘melebihi’ seorang raja bagi Soeharto, akan berlangsung lama.

            Tapi Soeharto bukan satu-satunya pemimpin Indonesia yang ada dalam bayang-bayang mistik. Sejumlah tokoh pemimpin Indonesia lainnya, termasuk Soekarno dan Abdurrahman Wahid, masing-masing punya cerita dan penggambaran yang terkait mistik. Soekarno dimitoskan salah seorang kekasih Nyi Loro Kidul penguasa ‘Laut Selatan’. Sedang Abdurrahman dituturkan pernah melaksanakan ritual larungan di Pantai Selatan. Selain itu ia pernah menyebutkan bisa mengerahkan barisan jin untuk membantu dirinya.

            Soeharto menurut Time lebih lanjut, pun bukan satu-satunya pemimpin Asia yang hidup dalam bayang-bayang mistik. Para peramal mempunyai peranan menentukan di Thailand. Di tahun 1950an seorang pendeta Budha mengatakan kepada PM Thanom Kittikachorn bahwa ia ini akan menjadi Perdana Menteri sebanyak tiga kali. Terbukti bahwa Thanom memang bisa memasuki masa ketiga jabatan Perdana Menteri Thailand. Time juga memaparkan betapa elite militer Thailand sangat mempercayai ramalan-ramalan para astrolog dalam setiap gerakan militer mereka kala menghadapi gangguan keamanan yang banyak terjadi di wilayah perbatasan. “Raja Bhumibol Adulyadey adalah seorang raja yang modern. Meskipun begitu, ia tak pernah melakukan perjalanan bila para peramalnya belum menentukan waktu yang tepat bagi perjalanannya itu.”

            Malaysia adalah juga negeri yang tak kalah penuh dengan kisah mistik. “Untuk menangkal hujan agar jangan turun di saat ada perayaan, diperlukan bantuan seorang bomoh. Banyak pejabat pemerintah  yang membeli ‘air suci’ –holy water– dari para ahli kebatinan dengan harapan cepat naik pangkat. Menteri Tenaga Kerja Malaysia Tun V.T. Sambanthan secara tetap berembug dengan pendeta-pendeta Hindu untuk menentukan hari terbaik meresmikan suatu proyek baru.”

            Perdana Menteri Kamboja Lol Nol, diceritakan juga mempunyai ‘penasehat’, seorang pendeta bernama Mam Prum Moni. Seorang anggota National Assembly menyebutkan “Dia adalah orang yang paling penting bagi Jenderal Lon Nol.” Meskipun dengan kadar lebih rendah, Presiden Marcos dari Filipina juga percaya pada astrologi atau ilmu kebatinan (medium). Hanya PM Singapura Lee Kuan Yew yang menunjukkan perbedaan. Ia sama sekali menolak metafisika, menolak kekuasaan alam gaib.

            Adakah perubahan, khususnya di Indonesia, setelah empat puluh empat tahun, di saat alam pikiran manusia tentunya harus dan memang semestinya menjadi lebih rasional dan lebih modern? Pers melaporkan, bahwa menjelang proses pencalonan legislatif menyongsong Pemilihan Umum 2014 sejumlah orang mengalir ke tempat-tempat keramat untuk mencari berkah. Para dukun –dengan nama lebih keren, paranormal– juga sedang mengalami booming dalam ‘penjualan’ jasa. Tarifnya bisa fantastis, mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Terjadi pembodohan oleh orang yang sebenarnya ‘bodoh’ tapi cerdik, terhadap orang yang seharusnya ‘pandai’ tapi bodoh.

Dan, believe it or not, tak kurang dari presiden kita menulis telah mengalami sesuatu yang olehnya sendiri digambarkan sebagai mirip adegan film horor dan cerita-cerita lama. “Tetapi sungguh ada. Sungguh nyata.” Namun pada sisi lain, ia toh mengaku sebenarnya ragu-ragu menceritakan kejadian tersebut “karena bisa dituduh sebagai pemimpin yang tidak rasional atau bahkan dianggap percaya takhayul.” (socio-politica.com)

“ I’m hurt but committed to making the relationship strong again”

INDONESIAN President Susilo Bambang Yudhoyono is determined to restore his country’s relationship with Australia.

Susilo Bambang Yudhoyono tells: “I’m hurt but committed to making the relationship strong again.” Dr Yudhoyono’s comments are the most positive statement he has made about the relationship since it emerged last month that in 2009 Australian agencies spied on Indonesian targets, including the President, his wife and senior advisers.

And they were prompted by reports in The Weekend Australian on Saturday that revealed the reason agencies had tapped the phone of Dr Yudhoyono’s wife, Kristiani Herawati.

Since the ABC and The Guardian Australia published intelligence documents last month, stolen by US National Security Agency contractor Edward Snowden and revealing Australia’s Defence Signals Directorate spying on Indonesia, there has been a crisis in the relationship.

TONY ABBOT AND SUSILO BAMBANG YUDHOYONO. "In response, Dr Yudhoyono and his government demanded a full explanation and suspended many areas of government-to-government co-operation, including help in tackling people-smuggling. The decision to monitor the first lady, known in Indonesia as Ibu Ani, has been the most controversial part of the spy scandal." (abc.net)
TONY ABBOTT AND SUSILO BAMBANG YUDHOYONO. “In response, Dr Yudhoyono and his government demanded a full explanation and suspended many areas of government-to-government co-operation, including help in tackling people-smuggling.
The decision to monitor the first lady, known in Indonesia as Ibu Ani, has been the most controversial part of the spy scandal.” (abc.net)

In response, Dr Yudhoyono and his government demanded a full explanation and suspended many areas of government-to-government co-operation, including help in tackling people-smuggling.

The decision to monitor the first lady, known in Indonesia as Ibu Ani, has been the most controversial part of the spy scandal.

On Saturday, The Weekend Australian revealed that DSD, which has since been renamed the Australian Signals Directorate, targeted her because she had become the President’s most important adviser, was assuming an important role in government decisions and was playing a broader role in Indonesian politics.

There was also speculation she could become a presidential candidate herself as part of a plan to create a family dynasty.

A secret cable written by the US embassy in Jakarta in late 2007 said: “Indonesia’s first lady had expanded her influence with the palace and emerged as the President’s undisputed top adviser.”

The Australian agencies were also interested in the linkages between the Indonesian government and important Islamic movements within Indonesia at a time when three Australians had been killed in the twin hotel bombings in Jakarta in July 2009 and notorious bomber Noordin Mohammad Top was still on the run.

The diplomatic cables and other sources cited in The Weekend Australian did not disclose any improper or worrying actions by Indonesia’s first lady.

Dr Yudhoyono read The Weekend Australian’s coverage on Saturday in Tokyo, where he was at a summit of the Association of Southeast Asian nations.

The Indonesian ambassador to the US, Dino Djalal, who was also a target of the DSD phone intercepts in 2009 and is a close confidant of the President, was also in Tokyo for the meeting.

Dr Yudhoyono instructed Dr Djalal to ring me to convey the President’s personal reaction to the stories. Dr Djalal checked with Dr Yudhoyono that these remarks could be publicly attributed to the President. The President said he found elements of The Weekend Australian’s coverage showed balance and that there were some positive aspects of the coverage.

Dr Yudhoyono also pointed out that it was he, as President in 2005, who first moved to elevate the Indonesia-Australia relationship to the higher plane it has existed on in recent years. Since that time, he said, he had worked consistently to improve the relationship between the two countries.

He said the dispute over the spying story had hurt him personally. The President said he was determined to repair the relationship and would work towards a solution. This needs to happen through the steps the two nations had agreed on. It also needed to happen in a way that satisfied his domestic needs.

Dr Yudhoyono, who is constitutionally barred from seeking a third term in the presidential elections in July, said he was a committed democrat and was determined to leave a positive, democratic legacy for Indonesia.

The President’s personal intervention, in the wake of The Weekend Australian’s reports, is extremely unusual and indicates that he is continuing to give high-level and sustained attention to the relationship.

It is also significant that he used his ambassador to the US to convey his message to The Australian. Dr Djalal was the presidential spokesman for six years until 2010, when he became ambassador in Washington.

He has remained extremely close to the President and is returning to Jakarta full-time in January to run for the presidential nomination in the President’s Democratic Party. The President has not endorsed a candidate in that party primary.

The positive tone of his remarks also indicates that Dr Yudhoyono, within the constraints of Indonesian politics, remains a committed friend of Australia, and sees the intimate relationship as an important part of his legacy.

Tony Abbott has frequently described Dr Yudhoyono as a “great president of Indonesia” and “a great friend of Australia”.

The next step in the repair of the relationship will come when the Abbott government sends to Jakarta this week a proposed text for the “joint understanding” Foreign Minister Julie Bishop and her Indonesian counterpart, Marty Natalegawa, agreed to negotiate.

The Indonesians proposed a six-step process to recover the relationship, starting with a meeting of the foreign ministers, who would then prepare a report for the two leaders.

The third step involves drafting a joint understanding likely to reprise the mutual commitments the nations made to each other under the Lombok Treaty on mutual security.

It will also contain agreements on co-operation on intelligence and cyber-security matters, and a commitment that the two nations will not use their resources to harm each other.

After this has been finalised, the next steps involve the two leaders formally agreeing to it and probably signing it.

Then relations can be fully normalised again.

The Australian, December 16, 2013 – (socio-politica.com)