Tag Archives: Brigjen Soenarjo

SAAT DARAH MENGALIR, SEPTEMBER 1965 (2)

Rencana penangkalan, sebuah gerakan militer. Perintah-perintah penyelidikan dan penindakan yang diberikan Presiden Soekarno kepada beberapa jenderal yang dianggapnya setia kepadanya, seperti yang terlihat dari rangkaian fakta, pada mulanya memang seperti berputar-putar saja tanpa hasil nyata. Pulang-pergi, jenderal-jenderal seperti Brigjen Sjafiuddin, Mayjen Mursjid, lalu Brigjen Sabur, Brigjen Soenarjo hingga Brigjen Soedirgo, hanyalah melakukan serangkaian panjang ‘akrobat’ lapor melapor yang intinya hanyalah konfirmasi bahwa memang benar ada sejumlah jenderal yang tidak loyal yang merencanakan semacam tindakan makar terhadap Soekarno.

Ketika sang Panglima Tertinggi menanyakan kesediaan mereka untuk menghadapi para jenderal tidak loyal itu, mereka selalu menyatakan kesediaannya. Begitu pula sewaktu Soekarno memberikan penugasan, mereka selalu menyatakan kesiapan, namun persiapannya sendiri tampaknya jalan di tempat. Brigjen Sabur misalnya menyatakan, persiapannya perlu waktu dan harus dilakukan dengan teliti.

          Brigjen Soedirgo yang dalam kedudukannya selaku Komandan Corps Polisi Militer kelihatannya diharapkan menjadi ujung tombak pelaksanaan –yang juga belum jelas bagaimana cara dan bentuknya– sama sekali belum menunjukkan kesiapan. Apakah penindakan itu nantinya berupa penangkapan oleh Polisi Militer, lalu diperhadapkan kepada Soekarno? Semuanya serba tak jelas. Tetapi pada waktu yang sama, dana dan fasilitas berupa kendaraan baru dan sebagainya, telah mengalir kepada Brigjen Soedirgo melalui Brigjen Sabur. Agaknya saat itu baru kegiatan terkait urusan uang dan fasilitas itu saja yang sudah jelas.

Penulisan dikutip dengan beberapa ringkasan: Buku TITIK SILANG JALAN KEKUASAAN TAHUN 1966. (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, Juli 2006)

          “Ada kesan, perintah menindak yang berulang-ulang disampaikan Soekarno di tahun 1965 itu memang tidak ditindaklanjuti, atau bahkan mungkin memang tidak untuk betul-betul dilaksanakan. Jadinya, perintah untuk bertindak kepada tiga Brigadir Jenderal itu berfungsi seakan-akan sekedar bluffing, yang diharapkan sampai ke telinga para jenderal lain. Kalau suatu tindakan, melalui trio Sabur-Sunarjo-Soedirgo memang betul dimaksudkan untuk dilaksanakan, perintah untuk itu semestinya disampaikan tidak di hadapan khalayak yang cukup banyak untuk ukuran keamanan suatu perintah rahasia. Soekarno pasti tahu itu.” Demikian buku ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966’.

          Namun sementara itu, perintah serupa yang disampaikan Soekarno kepada Letnan Kolonel Untung Sjamsuri, 4 Agustus 1965 di Istana, yang hanya diketahui sedikit orang, justru menggelinding. ‘Perintah’ Soekarno kepada Letnan Kolonel Untung ini sedikit tenggelam oleh ‘insiden’ pingsannya Soekarno pagi itu, tak begitu lama setelah pertemuan. Bahkan, fakta pingsannya Soekarno ini, di kemudian hari menimbulkan keraguan apakah betul Letnan Kolonel Untung hari itu memang bertemu dan mendapat perintah dari Soekarno.

Tetapi faktanya, segera setelah Presiden Soekarno menanyakan kesediaan dan kesiapan Untung untuk bertindak menghadapi para jenderal yang tidak loyal, ia ini segera menghubungi Walujo dan menceritakan permintaan Soekarno itu. Walujo, orang ketiga dalam Biro Khusus –Biro Chusus– PKI, meneruskan informasi ini kepada Sjam orang pertama Biro Khusus. Sjam Kamaruzzaman sendiri, setidaknya sejak bulan Agustus itu juga telah punya poin-poin mengenai situasi yang dihadapi, terkait dengan kepentingan partai dan sebagai hasil diskusinya dengan kalangan terbatas pimpinan partai. Khusus mengenai Letnan Kolonel Untung, baru bisa dibicarakan Sjam dengan Aidit, sepulangnya Ketua Umum CC PKI itu dari Peking. Dan rapat terbatas membahas munculnya sayap militer itu serta perkembangan terbaru sepulangnya Aidit itu mulai dilakukan pada 9 Agustus.

Rapat pertama Biro Khusus PKI dengan Letnan Kolonel Untung, secara serius mulai dilakukan 6 September 1965 di Jakarta. Dari Biro Khusus hadir orang kesatu dan kedua, Sjam dan Pono. Sedang para perwira militer yang hadir selain Letnan Kolonel Untung, adalah Kolonel Abdul Latief, Mayor Inf Agus Sigit dan seorang perwira artileri Kapten Wahjudi –yang rumah kediamannya dijadikan tempat rapat malam itu– serta seorang perwira Angkatan Udara Mayor Sujono, komandan Pasukan Pertahanan Pangkalan Halim Perdanakusumah. Mendengar uraian Sjam Kamaruzzaman tentang situasi terakhir negara, serta adanya sejumlah jenderal yang tergabung dalam Dewan Jenderal  yang akan mengambilalih kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno, para perwira menengah itu menyepakati menyusun rencana gerakan penangkalan. Seluruhnya, dengan berganti-ganti tempat, termasuk di kediaman Sjam di Salemba Tengah, hingga tanggal 29 September berlangsung sepuluh pertemuan.

Hampir sepenuhnya pertemuan-pertemuan itu berisi rancangan gerakan militer, karena sejak awal mereka sepakat bahwa aspek politik dan ideologis ditangani oleh Sjam dan Pono saja. Rangkaian pertemuan itu pun praktis tak memiliki pertalian yang nyata dengan PKI, terkecuali kehadiran Sjam dan Pono dari Biro Khusus. Berurutan, setelah pertemuan pertama 6 September, berlangsung pertemuan kedua 9 September, ketiga 13 September, keempat 15 September, kelima 17 September, keenam 19 september, ketujuh 22 September, kedelapan 24 September, kesembilan 26 September dan kesepuluh 29 September 1965.

Hingga pertemuan keempat di rumah Kolonel Latief, belum terkonfirmasikan dengan jelas pasukan-pasukan mana yang bisa diikutsertakan dalam gerakan. Barulah pada pertemuan kelima, juga di rumah Kolonel Latief, mulai tergambarkan lebih jelas komposisi pasukan yang bisa diharapkan, yang seluruhnya menurut perhitungan Letnan Kolonel Untung, hampir setara dengan satu divisi. Disebutkan kekuatan yang akan dikerahkan adalah Batalion 530 dari Divisi Brawijaya, Batalion 454 dari Divisi Diponegoro, satu batalion dari Brigif I Kodam Jaya yang dijanjikan Kolonel Latief, satu kompi satuan Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung sendiri, satu kompi di bawah Kapten Wahjudi serta 1000 orang sukarelawan yang telah dilatih Mayor Sujono di daerah Lubang Buaya.

Penetapan D-Day dipengaruhi oleh laporan Mayor Sujono bahwa 1000 sukarelawan yang dilatihnya masih memerlukan waktu setidaknya sepuluh hari agar mencapai tingkat combat ready. Faktor lain, karena Letnan Kolonel Untung merasa masih ada kekurangan, dan untuk itu ia mengharapkan adanya satu kesatuan kavaleri dengan 30 tank atau panser. Letnan Kolonel Untung mengharapkan bantuan itu datang dari Divisi Siliwangi, setelah ia mendengar laporan Sjam tentang keberhasilan memperoleh ‘dukungan’ dari Brigjen Rukman, Kepala Staf Kodam Siliwangi. Tanpa menyebutkan nama, pada pertemuan keenam di rumahnya, Sjam menyebutkan adanya dukungan seorang jenderal terhadap gerakan ini. Dan pada pertemuan ketujuh, 22 September, ditetapkan pembagian tugas per pasukan yang diberi penamaan Pasopati, Bhimasakti dan Gatotkaca. Tugas yang paling khusus, ‘penjemputan’ para jenderal target, diserahkan kepada Pasopati (Bagian 3: Taklimat Penjemputan 8 Jenderal/socio-politica).

Dalam Persilangan dan Konspirasi Menuju 30 September 1965 (9)

Akhirnya, darah mengalir

            PERINTAH-PERINTAH penyelidikan dan penindakan yang diberikan Presiden Soekarno kepada beberapa jenderal yang dianggapnya setia kepadanya, seperti yang terlihat dari rangkaian fakta, pada mulanya memang seperti berputar-putar saja tanpa hasil konkrit. Pulang-pergi, jenderal-jenderal seperti Brigjen Sjafiuddin, Mayjen Mursjid, lalu Brigjen Sabur, Brigjen Soenarjo hingga Brigjen Soedirgo, hanyalah melakukan serangkaian panjang ‘akrobat’ lapor melapor yang intinya hanyalah konfirmasi bahwa memang benar ada sejumlah jenderal yang tidak loyal yang merencanakan semacam tindakan makar terhadap Soekarno. Ketika Soekarno menanyakan kesediaan mereka untuk menghadapi para jenderal tidak loyal itu, mereka selalu menyatakan kesediaannya. Begitu pula sewaktu Soekarno memberikan penugasan, mereka selalu menyatakan kesiapan, namun persiapannya sendiri tampaknya jalan di tempat. Brigjen Sabur misalnya menyatakan, persiapannya perlu waktu dan harus dilakukan dengan teliti.

Brigjen Soedirgo yang dalam kedudukannya selaku Komandan Corps Polisi Militer kelihatannya diharapkan menjadi ujung tombak pelaksanaan –yang juga belum jelas bagaimana cara dan bentuknya– sama sekali belum menunjukkan kesiapan. Apakah penindakan itu nantinya berupa penangkapan oleh Polisi Militer, lalu diperhadapkan kepada Soekarno? Semuanya belum jelas. Akan tetapi dalam pada itu, melalui Brigjen Sabur, dana dan fasilitas berupa kendaraan baru dan sebagainya, telah mengalir kepada Brigjen Soedirgo. Hanya urusan uang dan fasilitas itu yang merupakan kegiatan yang jelas saat itu.

Karir Brigjen Soedirgo selanjutnya cukup menarik. Oktober 1966, setelah Soeharto mulai memegang ‘sebagian’ kekuasaan negara selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966, adalah Soeharto sendiri yang menarik Soedirgo menjadi Deputi KIN (Komando Intelijen Negara). Mei 1967 KIN ini dilebur menjadi Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara), dan cukup menakjubkan bahwa Soeharto yang telah memegang kekuasaan negara sepenuhnya menggantikan Soekarno, malah mengangkat Soedirgo yang sudah berpangkat Mayor Jenderal menjadi Kepala Bakin yang bermarkas di Jalan Senopati di Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Agaknya Soeharto memiliki kebutuhan khusus dari Soedirgo yang di tahun 1965 mendapat perintah menindaki para jenderal yang tidak loyal. Akan tetapi, 21 Nopember 1968, Soeharto memerintahkan pencopotan Soedirgo dari jabatannya di badan intelijen dan setelah itu Soedirgo dimasukkan tahanan. Bersama Soedirgo, beberapa jenderal lain yang di tahun 1965 menjadi lingkaran dalam Soekarno,juga dikenakan penahanan. “Gajah tidak pernah lupa”, kata pepatah. Sebagai pengganti Soedirgo, Soeharto mengangkat lingkaran dalamnya sejak periode Divisi Diponegoro di Jawa Tengah, Yoga Soegama yang kala itu sudah berpangkat Letnan Jenderal.

Ada kesan, perintah menindak yang berulang-ulang disampaikan Soekarno di tahun 1965 itu memang tidak ditindaklanjuti, atau bahkan mungkin memang tidak untuk betul-betul dilaksanakan. Jadinya, perintah untuk bertindak kepada tiga Brigadir Jenderal itu berfungsi seakan-akan sekedar bluffing, yang diharapkan sampai ke telinga para jenderal lain. Kalau suatu tindakan, melalui trio Sabur-Sunarjo-Soedirgo memang betul dimaksudkan untuk dilaksanakan, perintah untuk itu semestinya disampaikan tidak di hadapan khalayak yang cukup banyak untuk ukuran keamanan suatu perintah rahasia. Soekarno pasti tahu itu.

Namun sementara itu, perintah serupa yang disampaikan Soekarno kepada Letnan Kolonel Untung Sjamsuri, 4 Agustus 1965, yang diketahui oleh sedikit orang saja, justru menggelinding. Penyampaian Soekarno kepada Untung ini sedikit tenggelam oleh ‘insiden’ pingsannya Soekarno pagi itu, tak begitu lama setelah pertemuan. Bahkan, fakta pingsannya Soekarno ini, di kemudian hari menimbulkan keraguan apakah betul Untung hari itu memang bertemu dan mendapat perintah dari Soekarno. Tetapi faktanya, segera setelah kepada Untung oleh Soekarno ditanyakan kesediaan dan kesiapannya untuk bertindak menghadapi para jenderal yang tidak loyal yang tergabung dalam apa yang dinamakan Dewan Jenderal, ia ini segera menghubungi Walujo dan menceritakan permintaan Soekarno kepadanya. Walujo, orang ketiga dalam Biro Khusus –Biro Chusus– PKI, lalu meneruskan perkembangan ini kepada Sjam orang pertama Biro Khusus. Sjam Kamaruzzaman sendiri, setidaknya sejak bulan Agustus itu juga telah punya point-point mengenai situasi yang dihadapi, terkait dengan kepentingan partai dan sebagai hasil diskusinya dengan kalangan terbatas pimpinan partai. Khusus mengenai Letnan Kolonel Untung, baru bisa dibicarakan Sjam dengan Aidit, sepulangnya Ketua Umum CC PKI itu dari Peking. Dan rapat terbatas membahas munculnya sayap militer itu serta perkembangan terbaru sepulangnya Aidit dari Peking itu mulai dilakukan pada 9 Agustus.

Rapat pertama Biro Khusus PKI dengan Letnan Kolonel Untung, secara serius mulai dilakukan 6 September 1965 di Jakarta. Dari Biro Khusus hadir orang kesatu dan kedua, Sjam dan Pono. Sedang para perwira militer yang hadir selain Letnan Kolonel Untung, adalah Kolonel Abdul Latief, Mayor Inf Agus Sigit serta seorang perwira artileri Kapten Wahjudi –yang rumah kediamannya dijadikan tempat rapat malam itu– serta seorang perwira Angkatan Udara Mayor Sujono, komandan Pasukan Pertahanan Pangkalan Halim Perdanakusumah. Mendapat uraian dari Sjam Kamaruzzaman mengenai situasi terakhir negara, serta adanya sejumlah jenderal yang tergabung dalam Dewan Jenderal  yang akan mengambilalih kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno, para perwira menengah itu menyepakati suatu rencana gerakan penangkalan. Seluruhnya, dengan berganti-ganti tempat, termasuk di kediaman Sjam di Salemba Tengah, hingga tanggal 29 September berlangsung sepuluh pertemuan. Hampir sepenuhnya pertemuan-pertemuan itu berisi rancangan gerakan militer, karena sejak awal mereka sepakat bahwa aspek politik dan ideologis ditangani oleh Sjam dan Pono saja. Rangkaian pertemuan itu pun praktis tak memiliki persentuhan yang nyata dengan PKI, terkecuali kehadiran Sjam dan Pono dari Biro Khusus. Secara berurutan, setelah pertemuan pertama 6 September, berlangsung pertemuan kedua 9 September, ketiga 13 September, keempat 15 September, kelima 17 September, keenam 19 september, ketujuh 22 September, kedelapan 24 September, kesembilan 26 September dan kesepuluh 29 September 1965.

Sampai pertemuan keempat di rumah Kolonel Latief, belum terkonfirmasikan dengan jelas pasukan-pasukan mana yang bisa diikutsertakan dalam gerakan. Barulah pada pertemuan kelima, juga di rumah Kolonel Latief, mulai tergambarkan dengan lebih jelas komposisi pasukan yang bisa diharapkan, yang seluruhnya menurut perhitungan Letnan Kolonel Untung, hampir setara dengan satu divisi. Disebutkan kekuatan yang akan dikerahkan terdiri dari Batalion 530 dari Divisi Brawijaya, Batalion 454 dari Divisi Diponegoro, satu batalion dari Brigif I Kodam Jaya yang dijanjikan Kolonel Latief, satu kompi dari satuan Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung sendiri, satu kompi di bawah Kapten Wahjudi serta 1000 orang sukarelawan yang telah dilatih oleh Mayor Sujono di daerah Lubang Buaya. Penetapan D-Day dipengaruhi oleh laporan Mayor Sujono bahwa 1000 sukarelawan yang dilatihnya masih memerlukan waktu setidaknya sepuluh hari agar mencapai tingkat combat ready. Faktor lain, karena Letnan Kolonel Untung merasa masih ada kekurangan, dan untuk itu ia mengharapkan adanya satu kesatuan kavaleri dengan 30 tank atau panser. Letnan Kolonel Untung mengharapkan bantuan itu datang dari Divisi Siliwangi, setelah ia mendengar laporan Sjam tentang keberhasilan memperoleh ‘dukungan’ dari Brigjen Rukman, Kepala Staf Kodam Siliwangi. Tanpa menyebutkan nama, pada pertemuan keenam di rumahnya, Sjam menyebutkan adanya dukungan seorang jenderal terhadap gerakan ini. Dan pada pertemuan ketujuh, 22 September, ditetapkan pembagian tugas per pasukan yang diberi penamaan Pasopati, Bhimasakti dan Gatotkaca. Tugas yang paling khusus, ‘penjemputan’ para jenderal target, diserahkan kepada Pasopati.

Penetapan rencana pembentukan Dewan Revolusi dilakukan dalam pertemuan kedelapan, 24 September, di rumah Sjam. Pertemuan yang terjadi tujuh hari sebelum 1 Oktober 1965 itu, termasuk pertemuan penting karena di situ perencanaan makar mencapai puncaknya dengan kehadiran lengkap seluruh pendukung gerakan dan tercapainya kesepakatan pembentukan Dewan Revolusi. Semula nama yang dipilih adalah Dewan Militer, tetapi menurut Sjam, Aidit berkeberatan dan mengusulkan penggunaan nama Dewan Revolusi agar cakupannya lebih luas, tidak terdiri dari kalangan militer saja. Semula, dalam Dewan Militer, selain nama para perwira pelaksana gerakan, disebutkan nama dua panglima angkatan, yakni Laksamana Madya Udara Omar Dhani dan Laksamana Madya Laut RE Martadinata. Itulah pertama kali nama Aidit dikaitkan dengan gerakan, meskipun hanya melalui ucapan Sjam, tapi sejauh hingga saat itu, Aidit tak pernah hadir dalam pertemuan.

Dalam pertemuan kesembilan, 26 September, ditetapkan Gedung Penas (Pemetaan Nasional) dekat Halim Perdanakusumah sebagai Senko (Sentral Komando). Pada pertemuan ini ada desakan agar D-Day ditetapkan pada 29 September, tetapi Letnan Kolonel Untung memintanya ditunda menjadi 30 September, karena ia masih berharap mendapat dukungan kavaleri dengan tank dan panser dari Divisi Siliwangi. Dan ia telah mengajukan permintaan bantuan untuk itu kepada seseorang yang sepanjang data yang ada belum pernah terungkap namanya Menurut seorang jenderal purnawirawan yang pernah bertugas di bidang intelijen, orang yang dimaksud tak lain adalah Mayjen Soeharto, yang kemudian memintanya dari Brigjen Rukman dari Siliwangi yang oleh Sjam dikatakan pernah menyanggupi memberi bantuan pasukan. Namun data ini masih harus ditelusuri lebih jauh kebenarannya.

Berlanjut ke Bagian 10

Dalam Labirin Oktober 1965 (4)

”Usaha penempatan Kolonel Latief sebagai Komandan Brigade di garnisun ibukota mulanya ditolak Mayjen Umar Wirahadikusumah. Akan tetapi kemudian dari Markas Besar AD ada seorang jenderal yang ‘mendesak’ Panglima Kodam Jaya itu untuk menerimanya. Jenderal itu, tak lain adalah Mayjen Soeprapto, salah satu Deputi Panglima AD. Dalam rangkaian Peristiwa 30 September, semua nama tersebut –Soekarno, Aidit, Soepardjo, Latief, Ahmad Yani, Soeprapto, Soeharto dan Abdul Harris Nasution– bertemu kembali, bersama dalam satu peristiwa, akan tetapi dalam posisi-posisi dan situasi yang berbeda”.

SEWAKTU mengetahui bahwa penggantian Jenderal Ahmad Yani akan dibahas, sebenarnya dr Leimena menyarankan agar Pangkostrad Mayjen Soeharto dipanggil, tetapi Soekarno menolak. Begitu pula, ketika Laksamana Martadinata menyebutkan nama Mayjen Soeharto sebagai calon pengganti Jenderal Yani, Soekarno memilih orang lain. Penolakan Soekarno terhadap Soeharto disertai komentar khusus, “Soeharto itu kepala batu”.

Persentuhan berikutnya, antara Soekarno dan Soeharto, terjadi tatkala Soeharto menolak mengizinkan Mayjen Pranoto menghadap Soekarno di Halim Perdanakusumah. Petang itu, ‘beberapa’ jam setelah keputusan pengangkatan Pranoto diambil, Kolonel KKO Bambang Widjanarko datang mencari dan menjemput Pranoto di Markas Kostrad. Namun gagal. Di kemudian hari Mayjen Pranoto Reksosamodra menuturkan mengenai apa yang dialaminya terkait dengan pengangkatan dirinya itu. Cukup menarik bahwa perembugan antara Soekarno dengan Waperdam II dan para Panglima Angkatan, mengenai pengangkatan Pranoto baru ‘final’ pada siang hari, tetapi sejak pagi sudah tiga kali utusan Soekarno datang menyampaikan pemberitahuan tentang pengangkatan tersebut. Artinya, Soekarno telah mengambil keputusan itu sendiri lebih dini. Mayjen Pranoto mengaku, bahwa pada pagi hari pukul 09.30 Soekarno telah mengutus Letnan Kolonel Ali Ebram, kepala intelijen Tjakrabirawa untuk maksud tersebut. Utusan kedua, Jaksa Agung Brigjen Sutardhio bersama Brigjen Soenarjo, tiba setengah jam kemudian untuk maksud yang sama. Yang ketiga kali, datang Kolonel Bambang Widjanarko, pada pukul 12.00 yang kemudian diulangi lagi pada petang harinya sekitar 19.00 di Markas Kostrad.

Menurut Pranoto, “oleh karena saya sudah terlanjur masuk dalam hubungan komando taktis di bawah Mayjen Soeharto, maka saya tidak dapat secara langsung menghadap dengan tanpa seizin Mayor Jenderal Soeharto”. Selain itu, “Mayjen Soeharto selalu melarang saya menghadap Presiden/Pangti”. Soeharto mengisyaratkan tak dapat menjamin, bertambahnya korban jenderal lagi, bilamana dalam keadaan sekalut itu Pranoto pergi menghadap Presiden. Pranoto menafsirkan ucapan Soeharto sebagai larangan yang bila tak ditaati akan membawa risiko bagi keselamatan dirinya. “Saya tetap menaati perintahnya untuk tinggal di MBAD”.

Mayjen Pranoto juga memaparkan bahwa 1 Oktober 19.00 ia dipanggil KSAB Jenderal Abdul Harris Nasution untuk menghadiri rapat di Markas Kostrad. Kecuali Jenderal Nasution sendiri, hadir pula Mayjen Soeharto, Mayjen Moersjid, Mayjen Satari dan Mayjen Umar Wirahadikusumah. “Jenderal Nasution secara resmi menjelaskan, bahwa saya mulai hari ini ditunjuk oleh Presiden/Pangti untuk menjabat sebagai caretaker Menteri Pangad, dan selanjutnya menanyakan kepada saya bagaimana pendapat saya secara pribadi”. Pranoto menjawab, bahwa sampai saat itu dirinya belumlah menerima pengangkatan secara resmi hitam di atas putih. “Maka saya berpendapat agar sementara waktu sebelum dikeluarkannya pengangkatan resmi dari Presiden/Pangti, entah kepada siapa nantinya di antara kita, lebih baik menaruh perhatian kita dalam usaha menertibkan kembali keadaan darurat pada saat itu, yang ditangani langsung oleh Pangkostrad yang juga kita percayakan untuk sementara menggantikan pimpinan AD”. Pranoto mengungkapkan pula saran Nasution agar Pranoto berbicara dalam suatu konperensi pers keesokan harinya sehubungan adanya kecenderungan suara-suara yang menentang pengangkatan dirinya sebagai caretaker Menteri Pangad. Pranoto yang berada dalam keadaan serba sulit di Markas Kostrad itu, menyetujui saran tersebut. Namun keesokan harinya konperensi pers itu urung, karena ia dan Mayjen Soeharto secara mendadak dipanggil menghadap Soekarno di Istana Bogor.

Tatkala bertemu Soeharto pada kesempatan yang sama di Kostrad petang itu, Bambang Widjanarko ‘melaporkan’ kepada Soeharto bahwa Soekarno berada di Halim Perdanakusumah dalam keadaan sehat. “Tepatnya di mana?”, tanya Soeharto dan mendapat jawaban terperinci dari Bambang Widjanarko. Soeharto lalu menitip pesan untuk disampaikan kepada Soekarno, bahwa sang Presiden berada di tempat yang salah. Dan Soeharto menandaskan agar Presiden Soekarno meninggalkan Halim sebelum tengah malam. Tentang hal tersebut, Soeharto menuturkan dalam memoarnya, “Kemudian saya mengetahui bahwa setelah sampai di Halim, Kolonel Widjanarko menyampaikan pesan saya itu kepada dr Leimena. Dan dr Leimena cepat mengerti apa terselubung di balik pesan saya kepada Widjanarko. Dr Leimena paham rupanya bahwa isyarat saya itu menyebutkan Halim akan kami serbu”. Lebih jauh digambarkan, “Rupanya setelah mendengar pesan saya itu dari Widjanarko, dr Leimena menemui Bung Karno dan membujuk Bung Karno agar bersedia ke Istana Bogor, demi keamanan Presiden sendiri. Dan malam hari itu juga Bung Karno berangkat ke Istana Bogor dengan mobil”. Iring-iringan mobil dilakukan terbatas agar tidak menyolok dan menarik perhatian.

Dengan demikian, sebenarnya sejak lewat tengah hari, telah mulai terjadi suasana saling menjajagi dan tawar menawar segitiga, antara Gerakan 30 September yang kemudian digantikan oleh Dipa Nusantara Aidit di satu pihak dengan Soekarno di lain pihak yang didampingi oleh Waperdam II Leimena –tanpa kehadiran Waperdam I Soebandrio yang sedang berada di Sumatera Utara– serta tiga Panglima Angkatan, yakni Laksamana Madya Udara Omar Dhani, Laksamana Madya Laut RE Martadinata, Inspektur Jenderal Polisi Soetjipto Judodihardjo serta Jaksa Agung Sutardhio dan Wakil Jaksa Agung Sunarjo.

Tawar menawar lainnya yang kemudian terjadi adalah antara Soekarno dengan Pangkostrad Mayjen Soeharto serta sejumlah perwira pendampingnya, serta Jenderal Abdul Harris Nasution. Namun dapat dicatat, bahwa meskipun Soeharto cukup banyak memanfaatkan nasehat-nasehat Jenderal Nasution yang hadir di Markas Kostrad, Menko Kasab ini pada dasarnya tak mendapat ‘kesempatan’ mengambil satu peranan penting, karena peran itu sepenuhnya dipegang oleh Mayjen Soeharto sebagai ‘tuan rumah’. Ada banyak momen yang menunjukkan betapa Jenderal yang mengalami cedera kaki itu, lebih banyak duduk di bangku ‘cadangan’ sebagai penonton. Sejumlah perwira sekeliling Soeharto kala itu agaknya memang menginginkan demikian dan menciptakan situasi untuk itu. Pada sisi lain cukup menarik pula bahwa pada ketiga kutub dalam peristiwa politik ini terdapat beberapa tokoh dengan peran abu-abu dan bahkan kemudian menjadi tanda tanya dalam catatan sejarah.

Brigjen Soepardjo adalah ‘kenalan’ lama bagi Aidit, sementara bagi Soekarno, Brigjen Soepardjo pun bukanlah orang asing. Pertengahan tahun 1964, PKI mengadakan riset di bidang agraria di berbagai wilayah pedesaan, antara lain untuk menemukan ‘bukti’ tentang peran ‘setan-setan desa’ dan kepincangan sosial ekonomi di pedesaan. Ketika dalam rangka riset itu Aidit berada di Garut, Komandan Korem Garut Letnan Kolonel Soepardjo telah memberikan bantuan dan fasilitas bagi pemimpin PKI itu. Panglima Siliwangi Ibrahim Adjie yang marah atas tindakan Soepardjo, ‘mengeluarkan’ sang perwira dari Siliwangi. Tetapi Letnan Jenderal Ahmad Yani malah menampung Soepardjo di Markas Besar Angkatan Darat, memperbantukannya pada salah satu deputi, dan kemudian perwira itu bahkan diangkat menjadi Panglima Komando Tempur (Pangkopur) II di Kalimantan Barat yang berada di bawah komando taktis Pangkostrad Mayjen Soeharto. Letnan Jenderal Ahmad Yani menempatkan Soepardjo di Mabes AD atas permintaan yang disampaikan sendiri oleh Presiden Soekarno. Dari Mayjen Umar Wirahadikusumah, sementara itu, Jenderal Nasution mendengar bahwa Soepardjo pernah pula menghadap padanya, dan meminta agar diangkat sebagai Kepala Staf Kodam Jaya, namun Umar menolak keinginan itu.

Demikianlah perjalanan karir Soepardjo dalam tempo kurang dari dua tahun, ‘keluar’ dari Siliwangi sebagai perwira yang tak diinginkan lagi, dan akhirnya menjadi Brigadir Jenderal di daerah perbatasan konfrontasi. Pola ‘pertolongan’ di kala terjepit seperti dialami Soepardjo ini banyak ditemukan di Angkatan Darat, terutama dilakukan Soekarno, sehingga menambah barisan perwira loyal secara pribadi. PKI, dengan cerdik juga banyak melakukan pendekatan kepada sejumlah perwira barisan ‘sakit hati’ dan atau yang sedang ‘menderita’, untuk menambah simpatisan di tubuh Angkatan Darat. Hampir sama dengan yang dialami Soepardjo, adalah apa yang terjadi dengan Kolonel Latief. Usaha penempatan Kolonel Latief sebagai Komandan Brigade di garnisun ibukota mulanya ditolak Mayjen Umar Wirahadikusumah. Akan tetapi kemudian dari Markas Besar AD ada seorang jenderal yang ‘mendesak’ Panglima Kodam Jaya itu untuk menerimanya. Jenderal itu, tak lain adalah Mayjen Soeprapto, salah satu Deputi Panglima AD. Dalam rangkaian Peristiwa 30 September, semua nama tersebut –Soekarno, Aidit, Soepardjo, Latief, Ahmad Yani, Soeprapto, Soeharto dan Abdul Harris Nasution– bertemu kembali, bersama dalam satu peristiwa, akan tetapi dalam posisi-posisi dan situasi yang berbeda.

Berlanjut ke Bagian 5