4 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama Presiden Joko Widodo (1)

SABTU 20 Oktober 2018, genap 4 tahun rakyat Indonesia tertawa dan menangis bersama Presiden Joko Widodo –dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Suasana penuh tawa terutama mewarnai kehidupan elite politik serta elite ekonomi dan sosial atas angin dalam kehidupan penuh kelimpahan sosial ekonomi. Sementara itu tangis lazim tampil sebagai ekspresi yang mendominasi kalangan akar rumput di republik berusia 73 tahun lebih ini. Kalangan yang dari waktu ke waktu berada dalam belitan kesulitan hidup dan kesenjangan sosial nan tak kunjung berhasil diurai. Dari satu rezim ke rezim pemerintahan lainnya.

Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla memulai kekuasaan pemerintahannya 20 Oktober empat tahun silam seusai dilantik dengan perjalanan seremonial yang alon-alon –karena menggunakan kereta kencana berkuda– yang memakan waktu berjam-jam lamanya, menuju Istana Merdeka dari Gedung MPR/DPR Senayan. Perjalanan seremonial dengan kecepatan kuda berjalan itu, dielu-elukan sepanjang perjalanan, mungkin saja menjadi kenikmatan psikologis bagi keduanya maupun sejumlah pendukung.

Dan kini, perjalanan lamban itu untuk sebagian makin bisa difahami sebagai pencerminan bahwa perjalanan kekuasaan pemerintahan mereka hingga sejauh ini memang tidak melaju cepat. Kecepatan berpacu hanya terlihat dalam pembangunan infrastruktur dalam dua tahun terakhir, walau masih juga bisa dipertanyakan ketepatannya dalam konteks momentum dan skala prioritas kebutuhan rakyat. Dan tak kalah penting adalah bahwa menurut pengalaman empiris, proyek infrastruktur senantiasa rawan kebocoran anggaran dan rawan teknis karena tekanan situasi kejar tayang. Menurut Presiden Joko Widodo di Bali 19 Oktober 2018, pemerintah telah menggelontorkan 400 triliun rupiah selama 2018 untuk infrastruktur. Namun sebaliknya, kata para ahli yang berada di luar pemerintahan, industri manufaktur tertinggal. Dan impor lebih besar dari ekspor. Proyek infrastruktur ikut memacu peningkatan impor karena kebutuhan tinggi bahan baku dan barang modal dari luar. Sementara itu ekspor terkendala rendahnya daya saing.

JOKO WIDODO DAN JUSUF KALLA DALAM KERETA KENCANA 20 OKTOBER 2014. “Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla memulai kekuasaan pemerintahannya 20 Oktober empat tahun silam seusai dilantik dengan perjalanan seremonial yang alon-alon –karena menggunakan kereta kencana berkuda– yang memakan waktu berjam-jam lamanya, menuju Istana Merdeka dari Gedung MPR/DPR Senayan.” (Gambar download)

Kemiskinan dan kesenjangan

Pemerintah mengklaim angka kemiskinan untuk pertama kalinya turun menjadi 1 digit, yaitu dari 10,64% (27,77 juta penduduk) pada Maret 2017 menjadi 9,81% (25,95 juta penduduk). Tetapi sebenarnya penurunan angka kemiskinan itu melanjutkan kecenderungan penurunan yang telah terjadi sejak 2011 (12,49%) dan 2012 (11,96%), baik karena effort pemerintahan SBY maupun karena tumbuhnya kemampuan masyarakat memperbaiki kehidupannya melalui mekanisme defensif auto pilot.

Terhadap klaim penurunan angka kemiskinan pihak non pemerintah mengatakan sebenarnya angka kemiskinan 2018 tidak menurun, malah meningkat. Susilo Bambang Yudhoyono –Presiden RI ke-6– menyebut 100 juta rakyat Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan, yaitu yang berpenghasilan di bawah USD 2 per hari berdasarkan standar Bank Dunia. Perbedaan dengan angka pemerintah terjadi karena meski BPS juga mengacu ke standar Bank Dunia, BPS memilih patokan angka USD 1 per hari sebagai batas kategori rakyat miskin.

Kalangan akar rumput merana dalam polemik tentang kemiskinan ini. Pemerintah menganggap sebagian dari mereka tak miskin lagi, tetapi dalam realita sehari-hari mereka tunggang langgang menyambung hidup dalam jepitan harga-harga kebutuhan hidup yang tak henti-hentinya menanjak. Ini suatu keadaan yang kerap tak mampu terucapkan lagi. Belum lagi rakyat yang berada dalam quasi miskin dan tidak miskin. Kelompok ini dalam kehidupan sehari-hari tidak miskin menurut standar yang ada, tapi bila terjadi gejolak harga ekonomi maupun terjadi keadaan tertentu yang membutuhkan biaya melebihi biasanya, seperti misalnya pada awal penerimaan murid baru, mendadak berkekurangan. Tak ada angka yang betul-betul bisa dipercayai, sehingga pasti sulit untuk melakukan diagnosa dan terapi penyembuhan yang tepat dan terpercaya.

Sebenarnya, keadilan sosial dalam konteks kesejahteraan rakyat, bisa diukur berdasarkan teori Rostow. Harus menghitung berapa besar prosentase pendapatan nasional yang bisa dinikmati 40 persen rakyat dengan pendapatan terendah dan berapa persen dari pendapatan nasional itu yang dinikmati 20 persen rakyat dengan pendapatan tertinggi. Pada tahun 2008 ada perkiraan bahwa 40 persen rakyat berpendapatan terendah itu hanya bisa menikmati 10-12 persen dari kue nasional. Kini, setelah 10 tahun berlalu, perlu melakukan penghitungan kembali, dengan bertolak pada angka kemiskinan yang sesungguhnya.

Paket-paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan masih harus ditunggu pembuktiannya bisa mengatasi pelambatan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan daya saing, mengatasi pelemahan rupiah terhadap dollar dan sebagainya. Cita-cita pembentukan poros maritim,  pemecahan masalah energi, semua masih berada pada dataran keinginan dan retorika belaka.

Saat pemerintah mengurangi subsidi BBM –dengan dalih akan mengalihkan biaya subsidi ke sektor lain yang lebih dibutuhkan masyarakat– tak tercegah dampak ikutan yang sangat menyulitkan kalangan akar rumput, berupa kenaikan harga kebutuhan pokok sehari-hari. Tapi sesekali saat harga BBM diturunkan sedikit, harga-harga kebutuhan pokok tak pernah ikut turun. Pemerintah tak punya ketrampilan teknis ekonomis untuk mengendalikan gejolak harga, dan selalu kalah oleh pelaku ekonomi yang menguasai lapangan. Dengan penghematan subsidi dan sebagainya, diintrodusir dana bantuan desa. Namun birokrasi pemerintahan yang sejak lama mengidap gejala disorganisasi, ternyata tak begitu trampil menyalurkan dan menyerap dana tersebut.

Korupsi dan Wealth Driven

Presiden Joko Widodo belum mampu membuktikan secara optimal komitmennya dalam pemberantasan korupsi. KPK yang menjadi tumpuan harapan utama publik, dalam masa awal pemerintahan Presiden Joko Widodo sempat terbiarkan menghadapi sejumlah bahaya pelemahan –bahkan mengarah semacam skenario pembunuhan– termasuk dari sesama kalangan penegakan hukum. Beberapa komisionernya menghadapi kriminalisasi melalui tangan Polri. Dan berulangkali pula dipatahkan para tersangka korupsi melalui pra peradilan yang menggunakan ‘temuan baru’ sejumlah hakim dalam berhukum-acara di luar ‘pakem’ KUHAP.

Kini, dengan squad baru KPK yang terbentuk pada masa Presiden Joko Widodo, nyaris setiap pekan ada OTT, terutama dengan sasaran para kepala daerah. Ini tentu suatu hasil kerja yang perlu diapresisasi juga, meski selalu muncul pertanyaan gelisah, kapan KPK merambah lebih ke atas. Pada sisi lain muncul juga ketercengangan. Bila setiap bulan atau setiap minggu ada saja yang tertangkap tangan melakukan korupsi dan menerima suap, bukankah itu berarti bahwa pemerintahan ini sungguh rapuh digerogoti kanker korupsi di berbagai tingkat? Ini menandakan kegagalan prevensi dan mekanisme pengawasan internal di tubuh kekuasaan pada berbagai tingkat. Berarti ada ketidakberesan kronis dalam pemerintahan dan kekuasaan negara.

Pemberantasan korupsi jalan terus, sementara perilaku korupsi juga jalan terus. Ini semacam pacuan panjang, dan kapan pacuan ini berakhir? Tidak bisa tidak ini mengindikasikan bahwa memang saat ini telah berlaku kuat fenomena wealth driven politic yang telah merambah menjadi wealth driven government sebagai derivat dari wealth driven economy. Bertambah tragis, karena pada sisi lain tampil pula fenomena pendamping bernama wealth driven law. (Berlanjut ke Bagian 2/Diangkat dari media-karya.com) #socio-politica

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s