PELAKU teror dalam Peristiwa 19 Agustus 1966 mengidentitifikasi diri dan diidentifikasi sebagai Barisan Soekarno. Pada bulan Februari 1966 sebuah kelompok yang disebut Barisan Soekarno pernah melakukan pendudukan kampus ITB, dipimpin aktivis GMNI Siswono Judohudodo. Tetapi di kemudian hari Siswono menjelaskan bahwa barisan pelaku kekerasan dalam Peristiwa 19 Agustus 1966 itu “tidak dilakukan oleh Barisan Soekarno yang saya pimpin.”
Secara nasional Barisan Soekarno dibentuk melalui prakarsa Dr Soebandrio tokoh penting berhaluan kiri dalam rezim Soekarno (Waperdam I) saat terjadinya Peristiwa 30 September 1965. Penyusunan barisan ini dilakukan untuk mengimbangi kekuatan mahasiswa dan pelajar tahun 1966.
Dirancang di Kantor Walikota Bandung. Sehari sebelum peristiwa, seperti dituturkan Hasjroel Moechtar –redaktur Mingguan Mahasiswa Indonesia– 18 Agustus malam beberapa anggota KAMI, Marzuki Darusman, Gani Subrata, Johny Pattipeluhu, Piet Tuanakotta dan Taripan Pakpahan memergoki dan ‘menangkap’ sejumlah oknum PNI ASU yang baru saja mengikuti rapat di kantor Walikota Kotamadya Bandung. Namun para mahasiswa itu belum bisa dengan segera menemukan kemungkinan kaitan antara tangkapan mereka malam itu dengan peristiwa esok hari. Namun ada pengakuan tentang suatu rencana gerakan, yang akan melibatkan beberapa perwira Kodim Bandung, Pasukan Gerak Tjepat (PGT) Angkatan Udara dan Brimob Kepolisian RI. Tapi para tertangkap itu tidak menyebut bahwa D-Day rencana adalah esok pagi. Penyedia tempat rapat, Walikota Bandung Kolonel Djukardi, di kemudian hari ditangkap Kodam Siliwangi karena terlibat PKI.

Beberapa waktu setelah Peristiwa 19 Agustus 1966, Kodam Siliwangi melakukan penangkapan sejumlah perwira garnisun Bandung tersebut dan beberapa perwira Kodam sendiri. Mereka diketahui terlibat langsung dalam peristiwa tersebut. Bersama para perwira itu, ditangkap ratusan orang lainnya, termasuk beberapa pengurus PNI Cabang Bandung. Secara internal PNI Bandung sendiri melakukan pemecatan-pemecatan atas mereka yang terlibat, sekaligus membekukan Gerakan Pemuda Marhaenis Bandung.
Diungkapkan pula kemudian bahwa gerakan yang dilakukan KAMI dan KAPI tanggal 18 Agustus 1966 yang berupa penurunan dan penyobekan gambar-gambar Soekarno, telah dijadikan alasan terpicunya kemarahan pendukung Soekarno melakukan pembalasan. Namun tak dapat disangkal, gerakan itu sudah sejak lama direncanakan sebelum terjadinya aksi perobekan gambar Soekarno. Aksi penyobekan gambar Soekarno itu sendiri dimulai oleh tokoh KAMI Bandung, Soegeng Sarjadi yang juga Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran pada appel mahasiswa dan pelajar di markas KAMI Bandung Jalan Lembong, tanggal 18 Agustus pagi. Saat itu menyerukan “Semua gambar Soekarno, di kantor-kantor, di rumah-rumah, di perusahaan-perusahaan negara atau swasta agar diturunkan!”. Dampak ‘suntikan’ Soegeng itu luarbiasa dan berhasil menggerakkan massa menjelajahi Bandung memasuki kantor-kantor untuk menjalankan apa yang dianjurkannya. Barisan Soekarno menyebut perobekan gambar itu penghinaan besar terhadap Soekarno. Dijadikan alasan pemicu kemarahan massa pendukung Soekarno sebagai kekuatan yang bertugas untuk ‘menagih’ keesokan harinya, yang harus dibayar oleh pergerakan 1966 di Bandung. KAMI Konsulat Bandung menjawab, “Kalau KAMI punya ‘kesalahan’, maka hal itu adalah merobek gambar orang yang telah merobek-robek hak azasi rakyat.”
Marhaenisme dan Marxisme. Front Pantjasila Jawa Barat menganggap pidato Jas Merah Soekarno telah menjadi pemicu benturan dalam masyarakat. Sebaliknya, DPP PNI Osa-Usep, melalui Ketuanya Osa Maliki, mempersalahkan aksi penurunan dan penyobekan gambar Bung Karno sebagai pemicu kemarahan pendukung Soekarno. Sebenarnya PNI Osa-Usep ini pada mulanya cukup mendapat simpati di kalangan pergerakan 1966 karena sikapnya yang tegas menghadapi PNI Ali-Surachman (Asu) yang nyata-nyata punya garis politik sejajar dengan PKI. Tapi, dalam hal Soekarno, rupanya PNI Osa-Usep tak beda dengan PNI Asu yang digantikannya dalam kancah politik kala itu.
Sebagai reaksi atas sikap DPP PNI ini tiga tokoh jajaran Ketua PNI Bandung, Alex Prawiranata, Emon Suriaatmadja dan Mohammad A. Hawadi, menyatakan mundur dari PNI. Mereka menganggap penilaian DPP terhadap peristiwa itu tak objektif dan gegabah. Dilakukan tanpa terlebih dulu menanyakan duduk peristiwa sebenarnya kepada DPD PNI Bandung. Mereka menyatakan pula kekecewaan mendalam terhadap beberapa Ketua DPP PNI yang senantiasa masih saja menyatakan “Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan”. Padahal, menurut mereka, harus ditarik garis yang jelas antara Marhaenisme dan Marxisme.