MELALUI sebuah ‘talkshow’ di televisi, beberapa hari lalu seorang tokoh tergolong pemuka masyarakat(dan agama), dengan nada tinggi menyebutkan perilaku sex sejenis lebih rendah dari kambing. Karena ia menjadi pembicara terakhir, tak ada yang sempat menanggapi, meski tak urung kekagetan tercermin di wajah sejumlah pembicara dan hadirin lain. Sebelumnya, di forum yang sama, seorang ahli psikiatri dengan mengutip butir-butir kriteria dari ‘buku manual’ yang dibawanya, dengan gaya lebih mirip seorang ‘punisher’ –daripada ‘penyembuh’– menyebut perilaku Lesbi-Gay-Biseks-Transgender (LGBT) sebagai suatu kelainan atau penyakit jiwa. Suatu cara penyampaian yang barangkali saja lebih ‘tepat’ disampaikan dalam pertemuan akademis daripada melalui forum televisi yang luas tersebar daya jangkaunya. Psikiater rekannya yang berbicara sesudahnya, bisa lebih wise dan mampu menyampaikan pesan dengan jauh lebih baik. Di ruang praktik, dalam psikoterapi, membangun kepercayaan pasien kepada pskiaternya adalah termasuk unsur paling penting.
Meski tidak menjadi bagian dari kelompok perilaku LGBT, toh kita bisa sama terkejutnya dengan Romo Franz Magnis-Suseno oleh banyaknya “penggunaan bahasa yang keras dan ancaman tersembunyi” dalam pernyataan terhadap kelompok perilaku tersebut. Metafora kambing maupun gaya ‘punisher’, agaknya termasuk di antara yang mengejutkan. Romo Franz, dalam tulisan di Harian Kompas (23/2), menganjurkan menyikapi kontroversi ini sesuai dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab. Untuk itu, perlu membedakan tiga hal: fakta, sikap terhadap fakta itu, dan opsi kerangka hukum. Dalam konteks kebutuhan mencari referensi yang jernih dan wise, di tengah gelombang reaksi emosional, tepat untuk meminjam pemaparan dan pandangan Franz Magnis-Suseno yang juga adalah Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat (Driyarkara) berikut ini.

SEJAK 26 tahun lalu “Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah mencoret homoseksualitas dari daftar penyakit mental.” Kecenderungan homoseks, kata Franz Magnis, tidak dipilih, tetapi dialami oleh yang bersangkutan. “Homoseksualitas adalah kecenderungan alami, ditemukan juga di antara binatang, dan kalau orang –seperti penulis ini– percaya bahwa alam diciptakan, maka homoseksualitas juga tidak di luar penciptaan. Kecuali dalam orientasi insting seksual ada perbedaan dengan orang lain. Mereka sama baik atau buruk, sama cakap atau tidak.” Karena itu, kata Romo Magnis, pretensi mau “menyembuhkan” atau “membina” ke jalan yang benar mereka yang berkecenderungan alami adalah tidak masuk akal.
Bagaimana menyikapi fakta itu? “Pertama, kita harus berhenti menstigmatisasi dan mendiskriminasi mereka. Orientasi seksual tidak relevan dalam kebanyakan transaksi kehidupan. Sebaiknya kita ingat: menghina orang karena kecenderungan seksualnya berarti menghina Dia yang menciptakankecenderungan itu.”
“Kedua, orang berkecenderungan homo memiliki hak-hak kemanusiaan dan kewarga-negaraan yang sama dengan orang heteroseksual. Sebab, negara wajib melindungi segenap tumpah darah bangsa, maka negara wajib berat melindungi mereka.”
“Ketiga, hak mereka untuk bersama-sama membicarakan keprihatinan mereka, harus dihormati. Hak konstitusional mereka untuk berkumpul dan menyatakan pendapat mereka wajib dilindungi negara. Amat memalukan kalau polisi kita bisa didikte kelompok-kelompok tertentu. Orang-orang itulah yang menyebarkan intoleransi dan kebencian dalam masyarakat.”
“Keempat, tahun 1945 bangsa Indonesia memilih menjadi negara hukum, bukan negara agama dan bukan negara adat istiadat. Dan itu berarti otonomi seseorang dihormati selama ia tiadk melanggar hukum. Moralitas pribadi bukan wewenang aparat, suatu prinsip yang amat penting dalam masyarakat majemuk. Apa yang dilakukan dua orang dewasa atas kemauan mereka sendiri di kamar tidur seharusnya bukan urusan negara.”
“Namun, kelima: empat butir di atas tidak berimplikasi bahwa kecenderungan homo sama kedudukannya dengan kecenderungan hetero. Dalam masyarakat kita –sampai 50 tahun di seluruh dunia– kecenderungan homo oleh kebanyakan warga dianggap tidak biasa. Dan, tidak tanpa alasan.”
“Seksualitas berkembang selama evolusi demi untuk menjamin keturunan, tetapi untuk mendapatkan keturunan yang perlu bersatu (dan karena itu saling merasa tertarik) adalah laki-laki dan perempuan. Dalam arti itu, heteroseksual bisa disebut normal. Homoseksualitas juga produk alam, tetapi produk sampingan.” Pada bagian lain, Franz Magnis mengatakan, evolusi mengajarkan bahwa spesies yang tidakmemberi prioritas tertinggi pada penjaminan keturunannya akan punah. Umat manusia sejak ribuan tahun memberikan perlindungan khusus terhadap persatuan intim laki-laki dan perempuan karena berkepentingan vital akan keturunannya. “Masyarakat amat berkepentingan terhadap keluarga dengan ayah dan ibu, tetapi tidak berkepentingan terhadap persatuan dua manusia sejenis. Oleh karena itu pula, tuntutan penyamaan kedudukan legal pasangan sejenis dengan yang berbeda jenis, tidak mempunyai dasar.”
“Dari mereka yang berorientasi homo diharapkan realisme dan kesediaan untuk menerima bahwa perbedaan dalam orientasi seksual membuat mereka juga berbeda Mendesakkan penyamaan perkawinan antar-sejenis dengan perkawinan tradisional hanya akan memperkuat prasangka-prasangka. Dorongan untuk coming out bisa tidak kondusif.” Kita ingin memperkuat apa yang diingatkan Romo Magnis, bahwa “Pengakuan sosial akan memerlukan kesabaran.” Tapi pada sisi lain, perlu pula diingatkan agar masyarakat juga memahami realisme ribuan tahun tentang adanya produk samping dalam penciptaanNya.
DALAM menghadapi permasalahan antar kelompok dalam masyarakat, selalu perlu menampilkan sikap kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa kebencian dan egoisme yang lahir dari sikap hitam-putih. Juga, tanpa sikap ‘pemaksaan’ ala Pavlov dalam mengkondisikan anjing-anjing percobaannya. Sayangnya, dalam relasi antara kelompok dalam masyarakat, dan antara kelompok masyarakat dan kalangan penguasa, pola itu justru menonjol dalam praktik: Pembubaran diskusi, tudingan hitam-putih agama versus kebathilan, pejabat-pejabat yang sehari-hari berbicara dengan nada keras dan gertakan, gaya sosialisasi dengan kawalan ratusan aparat keamanan, operasi ‘penyakit masyarakat’ dengan ribuan personel bersenjata ibarat ke medan perang, dan lain sebagainya dan lain sebagainya…… (socio-politica.com)
Juga, tanpa sikap ‘pemaksaan’ ala Pavlov dalam mengkondisikan anjing-anjing percobaannya. <— pemaksaan dalam classical conditioning Pavlov di bagian mananya ya?
Yang saya tahu, dia memasangkan stimulus terkondisi/tidak alami berupa suara bel, sebelum menampilkan makanan…sehingga setelah sekian lama, anjing2nya akan memberikan respon salivasi pada suara bel, bahkan sebelum melihat makanannya.
Percobaan fisiolog Rusia, Ivan Petrovich Pavlov (1849-27 Pebruari 1936) yang awalnya sekedar mengukur liur anjing ketika merespon penghidangan makanan disertai penggunaan metronome, berkembang menjadi teori classical conditioning atau perilaku yang dikondisikan. Terbitnya liur anjing sebagai respon ini berkaitan dengan refleks sistem syaraf otonom. Dalam classical conditioning digunakan reward. Tapi tercatat kemudian, banyak kalangan kekuasaan –yang ketat– menggunakan pola ala Pavlov dalam relasi dengan rakyat, namun mengganti reward dengan punishment. Semacam pemaksaan, bahkan mengarah brain-washing. Bila berbeda pendapat dengan penguasa diganjar represi. Diskusi dengan topik di luar mainstream bisa dihujat, diserbu massa atau dibubarkan aparat kekuasaan. Jika menolak penataan ulang sesuai selera penguasa, dianggap membangkang lalu dikirimi ratusan atau ribuan pasukan penertib bersenjata, dan sebagainya dan sebagainya.
Oh berarti eksperimen aslinya tanpa paksaan ya.