“Kita tidak tahu, apakah Presiden yang ada di atas persoalan, tidak punya jalan pikiran dan kepekaan yang sama dengan publik –yang adalah para rakyatnya, sumber eksistensinya sebagai pemimpin– sehingga tak mampu melihat ketidakwajaran yang sedang terjadi? Mungkin memang benar kata orang, barangsiapa yang sudah berumah di atas angin, takkan pernah lagi bisa mendengar suara angin yang mendesir di pucuk-pucuk pepohonan, apalagi suara angin yang menerpa rumput sehingga bergoyang dan runduk tertekan melekat ke bumi”.
BEGITU Polri menangkap dan menahan Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji sejak dua pekan lalu, Polri juga dengan segera menjadi ‘tersangka’ di mata publik. Terlepas dari apakah nantinya institusi penegak hukum itu bisa membuktikan tentang adanya ‘kesalahan-kesalahan’ Susno di masa lampau, penangkapan, penahanan dan penetapan sebagai tersangka atas diri jenderal whistler blower itu, publik mencurigai para petinggi Polri telah melakukan konspirasi. Tujuan konspirasi, dalam persepsi publik, tak lain adalah ‘menghancurkan’ Susno guna menyelamatkan dan menutupi kesalahan sejumlah petinggi Polri lainnya. Dalam lalu lintas opini, situasi memang serba tidak ‘nyaman’ bagi Polri, karena telah sejak lama kebanyakan anggota masyarakat telah kehilangan kepercayaan (distrust) kepada Polri. Dan ketidakpercayaan itu dari hari ke hari makin terakumulasi. Itu bukan semata terkait dengan kasus Susno semata, melainkan merupakan hasil dari apa yang dilihat, yang didengar, dan yang dialami masyarakat dalam persentuhan dengan Polri dalam pengalaman sehari-hari dalam suatu jangka waktu yang cukup panjang.
Polri, setidaknya sebagaimana yang dicitrakan melalui sepakterjang sejumlah petingginya yang saat ini secara formal menguasai dan mengendalikan institusi tersebut, sehari-hari terkesan ‘meremehkan’ dan tidak ‘mengacuhkan’ opini publik yang kuat tentang keburukan-keburukan yang terjadi di tubuh Polri selama ini. Tetapi pada sisi lain, secara dialektis, sikap ‘mengacuhkan’ atau tepatnya berbuat ‘melawan’ arus pendapat publik, bisa dianalisis sebagai indikasi bahwa apa yang dituduhkan Susno, dan juga tuduhan publik, bahwa tubuh Polri tidak bersih, memang benar adanya. Publik kini menyorot Polri, melebihi dari masa-masa sebelumnya. Mulai dari caranya yang keras bila menangani rakyat kalangan akar rumput dalam berbagai kasus hukum hingga kepada sikap pilih-pilih tebu dalam penanganan kasus-kasus hukum besar. Berbagai tindak-tanduknya sebagai aparat penertiban saat menghadapi unjuk rasa massa misalnya juga banyak menimbulkan tanda tanya. Untuk yang disebut terakhir ini, selain penampilan penanganan cara keras –menendang dan menginjak dengan ganas– berkali-kali Polri menggunakan pola menghadapkan publik dengan publik sehingga timbul pertanyaan apakah Polri tidak sedang menjalankan politik adu domba ala divide et impera kolonial Belanda? Demo mahasiswa misalnya, berkali-kali di-counter dengan membiarkan kelompok masyarakat tertentu untuk menghadapinya, seperti yang terjadi dua bulan lalu di depan kampus UNM dan UIN di Makassar, sehingga terjadi perang batu antara mahasiswa dengan massa non mahasiswa.
Secara formal Polri akan selalu membela diri dengan mengatakan sedang menegakkan hukum bila mendapat sorotan dan penyampaian keprihatinan masyarakat. Padahal di mata publik tersaji berbagai fakta telanjang berbagai ekses yang terjadi dari hari ke hari di depan mata yang memperderas arus distrust ke arah Polri. Dalam situasi seperti itu, tatkala Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji muncul sebagai whistler blower yang mengungkap adanya praktek mafia hukum di tubuh kepolisian dalam kaitan markus perpajakan, publik menjadi antusias. Apalagi ketika memang mulai terbukti adanya kebenaran dari apa yang diungkap Susno. Publik penuh harapan karena menyangka kali ini telah tercipta momentum untuk suatu pembersihan tubuh Polri yang selama bertahun-tahun dipersepsi penuh kekotoran karena perilaku sebarisan oknum di tubuhnya. Tetapi dengan ‘gigih’ sejumlah petinggi Polri tertentu yang berada dalam posisi in command membendung peluang bagi momentum semacam itu, dan melakukan bukan hanya pembelaan diri melainkan serangan balik untuk mematahkan.
Dalam pengungkapannya, melalui media massa dan di forum dengar pendapat DPR, Susno Duadji menyebutkan sejumlah nama kalangan pelaku sipil dan keterlibatan nama sejumlah perwira menengah maupun perwira tinggi Polri. Sejumlah pelaku sipil serta pelaku berpangkat perwira menengah yang disebutkan dalam kasus mafia perpajakan, kini jadi tersangka. Namun Polri tertegun-tegun ketika menangani para jenderal polisi. Dan sewaktu Susno Duadji melangkah lebih lanjut mengungkap kasus Arwana yang mengaitkan nama seorang jenderal mantan petinggi Polri, disusul berbagai rumours bahwa Susno juga akan mengungkap rekening-rekening bernominal besar milik sejumlah pembesar Polri dan kasus skandal DPT (Daftar Pemilih Tetap), Susno segera seakan menjadi police enemy dan bahkan musuh kekuasaan. Serangan balik pun segera tertuju ke diri Susno.
Menurut logika umum yang cukup kuat di tengah publik, andaikan Susno juga seorang ‘maling’ seperti yang dituduhkan oleh sejumlah jenderal lainnya, kalau memang Polri berniat membersihkan dirinya dari para maling, kenapa bukan informasi Susno yang lebih dulu ditindaklanjuti? Setelah itu, bila seuanya berjalan normal, barulah ia juga ditangani, mungkin diampuni, atau paling tidak diringankan. Aneh, malahan Susno yang buru-buru ditangkap, ditahan, lalu dijadikan tersangka. Rupanya memang betul situasi penegakan hukum kita memang sedang abnormal. Polri lebih giat mengejar kesalahan Susno yang dituduh oleh Sjahril Djohan dan para tersangka lain telah menerima suap, dan mengejar kesalahan masa lampaunya dalam masalah dana pengamanan pemilu kepala daerah (gubernur) semasa menjabat sebagai Kapolda Jawa Barat. Sehingga kini, kini Susno Duadji telah menjadi tersangka ganda, triple bila ‘pelanggaran’ kode etik internal diperhitungkan. Bahkan status tersangkanya mungkin akan menjadi empat atau lebih. Sementara itu, para jenderal yang disebutkan namanya dalam keterlibatan berbagai kasus, seakan kurang tersentuh, bahkan ada yang sama sekali belum pernah diperiksa. Belum tersentuh. Kecuali para perwira berpangkat menengah saja, belum satupun jenderal yang menjadi tersangka. Secara resmi Polri mengatakan belum ada bukti yang cukup untuk menjadikan mereka tersangka seperti halnya sang whistler blower itu sendiri. Entah bagaimana nanti dengan para hakim yang sedang menangani tuntutan pra-peradilan Susno Duadji. Kenyataannya hingga kini, sejauh mata memandang, semuanya menjadi terbalik-balik jumpalitan. Kebenaran, dan dengan sendirinya tentu saja apa yang disebut keadilan, tak mampu lagi dikenali dan dipahami.
MAKA, apakah salah bila dalam keadaan terbalik-balik seperti itu, publik justru menjadikan Polri sebagai tersangka? Kita tidak tahu, apakah Presiden yang ada di atas persoalan, tak sedikitpun memiliki jalan pikiran dan kepekaan yang sama dengan publik –yang adalah para rakyatnya, sumber eksistensinya sebagai pemimpin– sehingga tak mampu melihat ketidakwajaran yang sedang terjadi? Mungkin memang benar kata orang, barangsiapa yang sudah berumah di atas angin, takkan pernah lagi bisa mendengar suara angin yang mendesir di pucuk-pucuk pepohonan, apalagi suara angin yang menerpa rumput sehingga bergoyang untuk akhirnya runduk tertekan melekat ke bumi.