PADA tahun 1973 itu, dengan berbagai perilaku dan tindakan yang absurd, kalangan kekuasaan pada hakekatnya telah meletakkan satu ‘garis antara’ kekuasaan dengan mahasiswa yang senantiasa bersikap kritis. Suatu pemikiran tentang sisa-sisa partnership ABRI-Mahasiswa yang pernah terjalin di tahun 1966 meluncur menuju ke titik nol. Tetapi pemikiran tentang semacam bentuk pemulihan, memang tetap ada. Pemikiran seperti itu misalnya setidaknya masih terdapat pada tokoh seperti Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, jenderal idealis dari masa penumpasan PKI 1965 dan perjuangan 1966. Bila hubungan dengan generasi lebih tua di militer telah meluncur ke arah tak diinginkan, kenapa tidak dicoba jalinan baru yang lebih baik di antara unsur generasi muda sendiri ? Ketika Mayor Jenderal Sarwo Edhie menjabat sebagai Gubernur Akabri, pemikiran itu diwujudkan. Tanggal 24 hingga 28 Januari 1973, di kampus Akabri Magelang diselenggarakan pertemuan komunikasi dan olah raga antara Taruna Akabri semua jurusan dengan rombongan mahasiswa dari Universitas Padjadjaran Bandung dan Universitas Trisakti Jakarta. Rombongan mahasiswa cukup memadai sebagai representasi, dari Bandung 171 orang termasuk 25 mahasiswi, dan dari Jakarta 130 mahasiswa putera dan puteri.
Komandan Taruna Akabri waktu itu, adalah Sersan Mayor Taruna Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam persepsi Susilo, kegiatan pertemuan komunikasi ini “mengandung arti bahwa kita sama-sama memandang perlu untuk meningkatkan hubungan yang akrab”, dengan saling mendekatkan diri dalam berbagai macam kegiatan bersama yang sehat. “Sehingga akan melahirkan suatu semangat kerja sama, rasa berpartner dalam membangun, yang kesemuanya ini sangat dibutuhkan oleh generasi muda untuk melanjutkan perjuangan bangsa Indonesia, menuju masyarakat maju, yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”.
Bagian paling menarik dari pertemuan antara dua kelompok generasi muda ini, tentu saja adalah acara diskusi pada tanggal 27 April, yang bertopik “Membina Hubungan Generasi Muda Militer dan Non Militer”. Kekakuan masih cukup terasa. Ada saja dari kedua belah pihak yang bersifat kaku dan kurang terbuka. Terhadap kekakuan itu, mahasiswa psikologi dari Bandung, Paulus Tamzil, menyatakan “kita harus membuka diri” sampai pun kepada yang kita sadari sebagai keburukan-keburukan kita, “untuk saling mengenal lalu menjalin komunikasi”.
Dalam forum itu, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran, Hatta Albanik, melontarkan pertanyaan problematik “Akibat adanya perbedaan-perbedaan selama ini dan akibat adanya diskomunikasi, timbul pertanyaan siapakah diantara kita yang berhak menjadi pemimpin, sebab dalam masyarakat kita yang feodalis, pemimpin lah yang menentukan masyarakat”. Semua yang hadir waktu itu niscaya mengetahui bahwa dalam realita yang ada waktu itu dari hari ke hari terlihat betapa militer semakin meluas dalam menduduki jabatan-jabatan dalam masyarakat yang tadinya diduduki kaum sipil. Suatu keadaan, yang oleh para mahasiswa diakui untuk sebagian juga tercipta karena ketidakmampuan kaum sipil menjadi pemimpin yang baik di masa sebelumnya. Yang paling ingin diketahui oleh para mahasiswa dari generasi muda non militer ini, bagaimana sikap generasi muda di tubuh militer tentang masalah yang sama. Sebab, menurut logika yang lurus, kalau memang ABRI (kini TNI) berniat untuk memegang terus kekuasaan dan makin menyempurnakan kekuasaan itu, maka generasi muda yang saat itu dididik di Akabri lah yang akan mewarisi kekuasaan itu kelak pada waktunya. Mahasiswa-mahasiswa yang bukan militer cukup terang-terangan memaparkan kecurigaan-kecurigaan mereka terhadap kekuasaan dan alasan-alasan kecurigaan itu. Kecurigaan terhadap hasrat kekuasaan ini timbul misalnya karena mahasiswa melihat arah perubahan kurikulum Akabri yang 75 persen akademis non militer dan 25 persen militer. Ini dinilai sebagai pertanda bahwa ABRI mempersiapkan kader-kader yang disamping militer, juga menguasai hal-hal yang agaknya akan dibutuhkan untuk tugas-tugas bukan militer. Dan yang terakhir ini kadarnya begitu tinggi.
Seorang taruna bernama Erich Hikmat menjawab “Sangkaan itu tidak beralasan. Generasi muda memerlukan pimpinan yang qualified, tidak jadi soal apakah ia ABRI atau bukan, tapi atas pilihan rakyat. Perubahan kurikulum tersebut adalah untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Kita jangan saling mencurigai, tapi mari kita bersaing secara sehat”. Bagi para mahasiswa, jawaban ini menarik, terutama bila dilepaskan dari keadaan objektif dalam hubungan sipil militer pada waktu itu. Meskipun diskusi secara umum didominasi oleh kekakuan –yang menurut Prabowo Djamal Ali, mahasiswa Bandung yang menjadi moderator, belum menemukan setelan yang pas– pernyataan sang taruna tak dapat dilepaskan dari bagian suatu upaya saling mengerti. Selain Erich, dua taruna yang cukup diapresiasi dan menarik perhatian para mahasiswa adalah Prabowo Subianto, putera Professor Soemitro Djojohadikoesoemo, dan Agus Umar Wirahadikusumah (kini telah almarhum) keponakan dari Jenderal Umar Wirahadikusumah.
Di luar kegiatan diskusi, para taruna lebih mampu menunjukkan sikap yang lebih spontan dan tidak kaku, baik dalam perbincangan maupun dalam pertandingan-pertandingan olahraga dan kegiatan bersama lainnya. Umumnya para taruna unggul dalam pertandingan olahraga, “tapi dalam diskusi, yang unggul umumnya pemimpin mahasiswa”, kata Mayjen Sarwo Edhie. “Kan mereka sudah beberapa tahun jadi pemimpin dewan mahasiswa, tentu saja lebih tangkas ngomong dan berdebat”. Tentang kekakuan yang ada, Mayjen Sarwo Edhie memberi beberapa penjelasan. “Kurangnya spontanitas taruna adalah karena berhati-hati, ingat akan peristiwa tahun 1970 di ITB”. Yang dimaksud Sarwo Edhie adalah peristiwa terbunuhnya mahasiswa ITB Rene Coenrad dalam suatu insiden di Bandung dengan Taruna Akabri Kepolisian angkatan 1970, Nugroho Djajusman dan kawan-kawan, 6 Oktober tahun itu. “Dalam menghadapi rekan-rekannya yang mahasiswa ini, kalau mereka hati-hati, bukannya tidak mau terbuka”. Apa yang dikatakan mahasiswa dalam diskusi, walaupun tidak ditanggapi taruna, bukan berarti mereka tidak setuju. Tapi, “kita jangan dulu menginginkan hal-hal yang spektakular”.
Sesuatu yang spektakular dalam konteks hubungan yang membaik memang tak pernah terjadi kemudian. Gema lanjutan pertemuan ringkas antara generasi muda militer dan generasi muda non militer di Magelang itu pun tidak panjang, dan sejauh ini tak terukur seberapa jauh pengaruhnya. Seberapa jauh misalnya komunikasi dengan kalangan sipil yang segenerasi dalam konteks kehidupan demokratis seperti itu membekas? Dan seberapa jauh tempaan-tempaan idealistik Sarwo Edhie bisa tertanam, sementara setelah mereka lulus mereka segera ‘dimanjakan’ oleh keistimewaan yang tercipta oleh pelaksanaan Dwifungsi ABRI, merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh waktu. Apalagi, seperti yang diungkapkan di belakang hari oleh Letnan Jenderal Sarwo Edhie, bahwa prakarasa pertemuan di Akabri itu tidak diapresiasi dengan baik oleh Pangkopkamtib Jenderal Soemitro. “Beliau malah curiga, lalu turun perintah melarang. Ya sudah, stop, tak ada lagi acara temu muka dan dialog tersebut”, ungkap Sarwo di tahun 1988. Selain itu, beberapa situasi baru kemudian muncul dalam kehidupan sosial politik menjelang pertengahan 1973 itu dan para mahasiswa ada dalam pusaran-pusaran perkembangan situasi dengan gerakan-gerakan kritisnya. Terlebih setelah itu, Jenderal Sarwo Edhie praktis ‘disingkirkan’ dari jabatan-jabatan teras di lingkungan ABRI setelah diangkat sebagai Duta Besar RI untuk Korea Selatan. Sekembalinya dari sana, Sarwo tak pernah diberi jabatan-jabatan strategis dalam kekuasaan pemerintahan. Tapi, bagaimanapun sesuatu telah dicoba, dan setidaknya dua nama, Susilo Bambang Yudhoyono dan Prabowo Subianto pernah ada dalam proses percobaan itu. Dua tokoh yang disebut terakhir ini, memiliki catatan kehidupan pribadi yang menarik. Susilo Bambang Yudhyono mempersunting puteri Letnan Jenderal Sarwo Edhie, sedang Prabowo Subianto menjadi menantu Jenderal Soeharto.
Berlanjut ke Bagian 4