Isu politik: Dari Mafia Berkeley hingga Neo Liberalisme

Antara ‘Ekonomi Kerakyatan’ dan ‘Neo Liberalisme’

LONTARAN isu neolib (neo liberalisme) yang muncul menjelang pemilihan umum presiden 8 Juli 2009 bersamaan dengan gencarnya wacana ‘ekonomi kerakyatan’, terutama dari calon wakil presiden Prabowo Subianto, mengingatkan kita pada isu Mafia Berkeley pada tahun 1970. Sasaran serangan isu neolib adalah Dr Budiono, seorang ekonom-teknokrat yang menjadi calon wakil presiden berpasangan dengan SBY. Sementara itu, isu Mafia Berkeley 39 tahun lalu, sasarannya juga adalah kaum teknokrat yang waktu itu ada dalam pemerintahan Soeharto. Pada dasarnya, baik Budiono yang dituding sebagai pelaksana ekonomi neolib di Indonesia, maupun kaum teknokrat yang disebut Mafia Berkeley, sama-sama dikaitkan dengan pengaruh pemikiran dan kepentingan barat, khususnya Amerika Serikat.

Isu ‘Mafia Berkeley’ dilontarkan oleh David Ransom dalam sebuah tulisannya di Majalah Ramparts pada tahun 1970. Kala itu Ramparts dikenal sebagai majalah yang berhaluan ‘kiri baru’. Gerakan ‘kiri baru’ itu sendiri merupakan trend di negara-negara Eropah dan Amerika Utara pada masa itu. Sama-sama kiri, namun tak bisa dipersamakan dengan komunis yang ultra kiri.

Satu ‘komplotan’

Menurut Ransom, teknokrat-teknokrat Indonesia yang ketika itu memegang peranan penting dalam upaya pemerintah Indonesia menciptakan stabilisasi ekonomi Indonesia, sesungguhnya adalah satu komplotan Mafia Berkeley. Tatkala menjadi Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di tahun 1950-an, Professor Soemitro Djojohadikoesoemo bersama beberapa rekannya mengirim kader-kader muda FE-UI untuk belajar di Universitas California di Berkeley, di samping ke universitas lainnya seperti MIT, Harvard dan Cornell. Mereka, para kader muda itu, dipersiapkan sebagai orang-orang yang akan beperan membuka jalan bagi masuknya kepentingan-kepentingan Amerika Serikat di Indonesia (Mingguan Mahasiswa Indonesia, 25 Oktober 1970).

Selain Professor Soemitro –yang kebetulan ayahanda Prabowo Subianto– sendiri, mereka yang disebutkan sebagai anggota Mafia Berkeley adalah Professor Widjojo Nitisastro, Professor Ali Wardhana, Dr Emil Salim, Professor Selo Sumardjan, Dr Harsja Bachtiar, Professor Sadli, Professor Soebroto (yang saat itu menjabat Dirjen Penelitian Perkembangan dan Pemasaran) serta Soedjatmoko seorang otodidak yang mendapat gelar doktor kehormatan di AS. Ransom menyebut, semua ini dikendalikan oleh CIA. Pembina-pembina para teknokrat Indonesia itu adalah sejumlah orang Amerika tamatan Berkeley dan MIT, Ithaca, Harvard, serta sejumlah orang Amerika dalam World Bank. Pembiayaan Mafia Berkeley seluruhnya ditopang dana Ford Foundation, Rockefeller Foundation dan AID. Lembaga-lembaga ini sudah berkiprah di Indonesia sejak awal-awal kemerdekaan, membantu sejumlah universitas di Indonesia. Universitas Indonesia, terutama Fakultas Ekonomi, disebutkan pusat pergerakan pro Amerika yang diatur CIA, seperti halnya dengan ITB.

Tak cukup hanya itu, beberapa orang Berkeley malah diperbantukan sebagai tenaga ahli di Bappenas yang dipimpin Professor Widjojo sejak 1968 setelah pembentukan Kabinet Pembangunan 6 Juni sesudah Kabinet Ampera dibubarkan Jenderal Soeharto. Disebut-sebut beberapa nama tenaga bantuan dari Berkeley, yakni Professor Doyle, Bruce Glassburner dan Leon Mears.

“Di balik kisah tampilnya kaum teknokrat ke puncak kepopuleran dan kekuasaan, terjalin jaringan intrik internasional yang menyangkut proyek-proyek bantuan kemanusiaan dan universitas, yang melibatkan jenderal-jenderal, mahasiswa dan dekan-dekan”. David menuliskan pula bahwa “Kebijaksanaan-kebijaksanaan dan peraturan-peraturan ekonomi Indonesia sebenarnya adalah tindakan-tindakan yang didiktekan oleh negara lain, terutama sekali oleh Amerika Serikat”. Menurut Ransom para teknokrat Indonesia itu sebenarnya bukanlah para ahli yang betul-betul cakap dan kapabel. Widjojo dan kawan-kawan tak cukup mampu menyusun sendiri program-program ekonomi dan pembangunan Indonesia sehingga harus meminta bantuan para ahli Amerika. Ransom juga menilai para teknokrat itu “menjual negara” melalui rangkaian usaha mereka pada tahun-tahun belakangan (waktu itu) dan mengeksplotasi kekayaan-kekayaan Indonesia. Ini “merupakan kemenangan bagi negara-negara maju, terutama sekali Amerika Serikat”.

Professor Soemitro –yang kala itu menjadi Menteri Perdagangan RI– kata Ransom, dibina oleh orang yang bernama Robert Delson. Dr Soedjatmoko yang saat itu menjabat Duta Besar RI di AS  juga adalah binaan Delson. Kedua cendekiawan Indonesia itu dibina sejak masih merupakan “tokoh muda PSI”, yakni ketika Indonesia baru saja diakui kedaulatannya. Keduanya pernah diperkenalkan kepada tokoh-tokoh ADA (American for Democratic Action).

David Ransom itu sendiri, sebenarnya adalah anggota PSC (Pacific Studies Centre), tamatan Universitas Stanford, yang mengkhususkan diri mengumpulkan berbagai bahan tentang Indonesia melalui ‘serangkaian penelitian’. Tulisannya di Ramparts merupakan pengungkapan dari beberapa bagian hasil penelitiannya mengenai Indonesia. Untuk keperluan itu ia pernah mewawancara sejumlah narasumber dari kalangan ahli mengenai Indonesia, seperti Professor George T. Kahin (Cornell), Guy Pauker dan Gus Papanek dari Harvard, serta sejumlah professor dari Berkeley.

Ada pertumbuhan

Tetapi, terlepas dari tudingan sebagai Mafia Berkeley, bagaimanapun harus dicatat bahwa dalam jangka waktu tertentu, para teknokrat berperan dalam pembangunan kembali ekonomi Indonesia yang ambruk di masa Soekarno dan pada masa peralihan 1966-1967. Para teknokrat tersebut berhasil memacu pertumbuhan ekonomi, namun sayangnya dalam mengejar pertumbuhan mereka mengabaikan aspek pemerataan keadilan. Satu dan lain sebab, kurangnya perhatian dan prioritas mereka kepada aspek pemerataan, membuat mereka dituduh sebagai menjalankan ekonomi liberalistik di Indonesia. Kecenderungan korup dari sejumlah peserta di kalangan rezim kekuasaan dalam jalannya pembangunan pada tahun-tahun berikut, juga menghasilkan sekelompok kecil penguasa ekonomi dalam bentuk konglomerasi yang memiliki jalinan kuat dengan tokoh-tokoh penentu kekuasaan negara. Sehingga sempurnalah tampilan suasana kapitalistik-liberalistik dalam kehidupan ekonomi Indonesia.

Seperti halnya dengan ekonom barat dalam ekonomi liberal, para teknokrat itu dalam suatu jangka waktu tertentu sempat ‘mengharapkan’ bekerjanya mekanisme trickle down effect dari pertumbuhan yang tinggi. Namun seperti kata ekonom pemenang nobel, Joseph E. Stiglitz, efek tetesan ke bawah itu hanyalah semacam ilusi, dan dapat dikatakan tak pernah terjadi rembesan ke bawah ke tempat akar rumput. Mereka yang berhasil berjaya mengakumulasi hasil pembangunan ekonomi, dalam suatu sistem yang kapitalistik-liberalistik akan lebih cenderung untuk tak berbagi, kecuali ada mekanisme penekan. Kita di Indonesia, pun sudah mengalaminya, dalam bentuk terciptanya hanya 6 hingga tak lebih 20 prosen penikmat terbesar hasil pembangunan selama ini dari waktu ke waktu.

Tatkala para teknokrat itu tersadar bahwa ekonomi kita makin tidak adil, mereka mencoba untuk menciptakan sejumlah program yang lebih memperhatikan kepentingan rakyat kalangan bawah. Tetapi semuanya sudah cukup ‘terlambat’. Tentakel-tentakel dari gurita kekuasaan politik-ekonomi dalam rezim Soeharto sudah terlanjur besar dan kuat mencengkeram sehingga mampu mempengaruhi jalannya kekuasaan. Satu persatu, teknokrat yang disebut Mafia Berkeley itu, terlempar keluar dari gelanggang pengendalian kebijakan ekonomi, digantikan oleh ekonom-ekonom baru yang lebih akrobatik dalam positioning di lingkaran Soeharto yang lebih gampang diperintah karena bersemboyan apapun yang terjadi, apapun konsep yang dibawakan, yang lebih penting ‘pendekatan’ ke Soeharto, karena dari waktu ke waktu Presidennya tetap Soeharto.

Suatu jawaban?

Dalam konteks situasi ekonomi negara seperti sekarang, apakah yang disebut sebagai ekonomi kerakyatan akan bisa menjadi jawaban ? Terkesan sejauh ini, terminologi tersebut masih lebih banyak berada dalam dataran retorika. Apakah yang dimaksudkan adalah sebuah sistem ekonomi ‘baru’ –meskipun terminologi ‘ekonomi kerakyatan’ itu sendiri sudah disebut-sebut selama bertahun-tahun, antara lain oleh Adi Sasono dan kawan-kawan serta lembaga kajian ekonomi yang dipimpin Indro Tjahjono– ataukah sekedar sebuah orientasi tujuan dan atau sasaran prioritas pembangunan ekonomi? Kalau sekedar penggarisbawahan orientasi utama, semua pelaksana ekonomi Indonesia dari masa ke masa juga sudah selalu menyampaikan secara retoris keberpihakan kepada ‘rakyat’. Ataukah seperti kebijakan ekonomi ketika Soemitro Djojohadikoesoemo berada dalam pemerintahan, yakni ekonomi yang dijalankan dengan sejumlah cara yang liberal namun dipadukan dengan cara-cara dan pengaturan yang sedikit sosialistis ?

Perlu telaah dan diskursus lebih lanjut, termasuk apa hubungan jelasnya dengan pengertian kepentingan rakyat dan hubungannya dengan pemahaman demokrasi. Dan mengetahui dengan jelas, bagaimana posisi dan hubungannya dengan konstitusi yang mencantumkan sejumlah pasal mengenai prinsip pengaturan ekonomi. UUD 1945 menjalankan ekonomi yang menempatkan secara seimbang tiga kekuatan: yakni badan usaha milik negara yang mewakili negara untuk mengelola kekayaan alam dan hajat hidup orang banyak; kekuatan usaha swasta yang cukup memperoleh keleluasaan dan perlindungan hukum; dan koperasi yang merupakan kekuatan karena penghimpunan daya ekonomi di kalangan masyarakat. UUD kita juga menempatkan tujuan menjadi negara kesejahteraan dan menegaskan prinsip keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia dalam suatu sistem yang demokratis.

Dalam pengenalan rencana program ekonomi mereka, ketiga pasangan calon presiden-wakil presiden yang maju dalam pemilihan umum Juli 2009 juga mencantumkan terminologi rakyat. Pasangan Mega-Prabowo menyebutkan adanya agenda ekonomi kerakyatan. SBY-Budiono menyebut kebijakan ekonomi yang pro rakyat. Sementara JK-Wiranto mengatakan memperhatikan ekonomi rakyat. Kata ‘rakyat’ itu sendiri tentu tak sepantasnya menjadi sekedar tempelan atau semacam gincu pemanis dan pewarna bibir, untuk penamaan apapun. Di masa lampau, terminologi ‘rakyat’ itu pun ditempelkan begitu saja oleh negara-negara berideologi komunis pada sistem ekonomi proletar mereka, sebagaimana mereka juga menempelkan kata demokrasi dalam penamaan pemerintahan mereka, tetapi nyatanya yang terjadi adalah diktatur proletariat.

Pertanyaan yang paling penting di atas segalanya, bagaimana nasib setiap warganegara yang disebut sebagai rakyat, sebagai orang per orang maupun sebagai kumpulan yang membentuk masyarakat dan bangsa nantinya, setelah segala kesibukan politik-kekuasaan di tahun 2009 ini usai? Akan lebih baik, sama saja, atau lebih buruk? Ada rasa cemas yang membayang, sesungguhnya, terutama jika sekedar melihat cara-cara berkompetisi yang saat ini berlangsung.

– Rum Aly

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s