Tag Archives: Ikrar 10 Nopember 1973

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (3)

“Padahal ketegangan yang jauh dari pusat merupakan api dalam sekam”. “Keadaan-keadaan semacam ini membuat kita tidak bebas, kita terpaksa menyimpan sesuatu yang satu waktu akan meledak. Apa salahnya kalau kita mulai sekarang !?!”. “Kalau perlu, kita radikal, tapi harus terus berpikir secara logis”

PERJALANAN waktu membuktikan kemudian, safari Jenderal Soemitro ke kampus-kampus, tidak berhasil ‘menahan’ –kalau memang betul-betul dimaksudkan begitu– menggelindingnya gerakan-gerakan mahasiswa. Beberapa pihak dalam kalangan kekuasaan sendiri, bahkan mencurigai gerakan-gerakan Soemitro ke kampus justru adalah untuk menggalang simpati dan dukungan kampus bagi dirinya sendiri dengan menampilkan dirinya sebagai tokoh kuat namun bijak, berkemampuan redam dan pengendalian, yang sesuai dengan klasifikasi seorang pemimpin masa depan. Rivalitas yang paling jelas terbaca oleh khalayak adalah perbedaan dan pertentangan antara Jenderal Soemitro, Mayjen Sutopo Juwono dan kawan-kawan di satu sisi dengan Jenderal Ali Moertopo dan kawan-kawan pada sisi lain. Sedang para teknokrat di kabinet, Prof Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan yang sering dijuluki ‘Mafia Berkeley’ dipetakan pada sisi yang sama dengan Jenderal Soemitro.

Sekedar retorika atau ‘revolusi’?

TANPA kehadiran mahasiswa-mahasiswa Jawa Tengah dan Yogya yang sedang menerima tamunya, Pangkopkamtib Letnan Jenderal Soemitro, para mahasiswa dari tiga propinsi lainnya di pulau Jawa berkumpul pada pekan kedua bulan Nopember di kampus Universitas Padjadjaran Bandung. Setidaknya ada 8 Dewan Mahasiswa dari perguruan tinggi terkemuka yang menghadiri pertemuan di kampus Jalan Dipati Ukur itu. Universitas Indonesia dari Jakarta, Universitas Brawijaya dari Malang dan Institut Teknologi 10 November Surabaya. Lima lainnya, dari Bandung, yakni IKIP (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan), Institut Teknologi Tekstil, Universitas Parahyangan, Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjadjaran sebagai tuan rumah.

Dengan gaya yang sangat radikal, Ketua Dewan Mahasiswa IKIP Bandung Sofyan Taftazami, tampil menyerukan satu ajakan untuk berrevolusi. “Di kalangan masyarakat banyak yang merasa tidak puas. Ini terbukti sekarang. Saya berpikir begini, apakah sudah masanya kita harus berrevolusi kembali ?”, cetusnya. “Pada kesimpulan saya, saya rasa perlu. Satu hal, siapa yang mau jadi korban ? Saya hanya butuh 100 orang. Sekarang masyarakat membutuhkan revolusi !”. Apakah bernama revolusi atau bukan, tetapi ajakan untuk bergerak sangat kuat tampil dalam pertemuan itu. Ketua Umum DM Universitas Padjadjaran Hatta Albanik, menyampaikan ajakan untuk bergerak segera. “Selama ini kita takut kalau kita bergerak di luar kebiasaan, kita dicap kurang ajar. Ini harus kita rombak”, ujar Hatta. “Dan biasanya dalam diskusi dengan penguasa kita hanya sebagai pendengar, dicekoki. Kalau bertemu Kopkamtib seolah-olah mendapat kehormatan. Katanya untuk menampung suara-suara. Ini sekaligus menunjukkan DPR tidak berfungsi”. Menurut Hatta pula, “Apa yang dikatakan pembangunan, hanya steambath yang bermunculan. Untuk bikin monumen, rakyat harus digusur. Ini masalah-masalah yang harus kita perhatikan. Satu hal lain lagi ialah versi demokrasi. Versi kita dengan penguasa berbeda-beda”. Ia memaparkan, banyak orang yang tidak mau berbicara, karena risikonya berat, pasti dituduh PKI. Kita tidak mau keadaan ini kian parah, harus mulai dicegah dari sekarang. “Keadaan-keadaan semacam ini membuat kita tidak bebas, kita terpaksa menyimpan sesuatu yang satu waktu akan meledak. Apa salahnya kalau kita mulai sekarang !?!”, serunya yang disambut gemuruh “Setuju !!”.

Menghadapi berbagai ketidakberesan dalam pembangunan, yang menyangkut keadilan dan sebagainya, Ketua Umum DM Universitas Indonesia Hariman Siregar mengingatkan, “tidak bisa kita jawab hanya dengan kemarahan”. Lalu dianjurkannya agar apa yang dirasakan saat itu harus disebarluaskan kepada rakyat. “Kata-kata muluk dari teknokrat, guru-guru besar, merupakan umpan yang dimanfaatkan penguasa untuk menipu rakyat”. Yang dimaksud Hariman waktu itu pastilah terutama para teknokrat yang ada dalam pemerintahan Soeharto. Pada berbagai kesempatan Hariman memang paling sering menempatkan para teknokrat itu pada titik fokus serangan-serangannya. “Dalam kekuatan, kepintaran, dan tenaga, jelas mereka lebih dari kita. Jadi setiap pemikiran kita, harus kita pikirkan dua langkah setelah itu. Masalahnya ialah masalah antara generasi. Issueissue yang bersifat sektoral harus kita jauhkan. Konsensus antar generasi muda harus sama, ini adalah issue generasi. Kalau kita telah bertekad untuk berjuang, kita harus yakin bahwa tindakan kita benar. Kita harus mengembangkan apa-apa yang dirasakan rakyat menjadi issue generasi. Kalau kita mengadakan sesuatu harus ada pesan politiknya, rakyat harus membantu kita”. Hariman juga menyentil angkatan yang lebih dulu, “Kita jangan terlalu terpaku oleh perjuangan 1966, berdemonstrasi harus beribu-ribu baru bisa bergerak. Kenangan masa lampau harus kita hilangkan. Jangan menumbuhkan perjuangan tokoh, ini adalah perjuangan generasi. Jadi harus ada konsep untuk melawan konsep lain”.

Pada bulan-bulan menjelang akhir 1973 itu, pertemuan-pertemuan semacam yang dilangsungkan di kampus Padjadjaran tersebut berguna bagai para mahasiswa sebagai ajang untuk mengkonsolidasi diri. Karena, bagaimana pun harus diakui bahwa masih terdapat perbedaan-perbedaan pandangan di antara para mahasiswa itu, terutama antara mahasiswa-mahasiswa Jakarta yang masih cukup ‘heterogen’ dengan mahasiswa-mahasiswa Bandung yang relatif homogen dan sangat kuat berbasiskan komponen intra kampus. Hingga minggu pertama Januari 1974 nantinya, masih berlangsung berkali-kali pertemuan di berbagai kampus baik di Bandung maupun di Jakarta. “Kami jauh dari pusat”, ungkap Zainal Arifin, Ketua Umum DM Universitas Brawijaya dalam pertemuan di Unpad itu, “Forum-forum semacam ini banyak faedahnya bagi kami. Dengan segala kemauan yang baik kita bertemu di sini. Kami yang dari daerah kadang-kadang tidak bisa mengerti apa yang terjadi di pusat. Kami diliputi oleh rasa cemas. Karena sulitnya menerima informasi, kadang kita mempunyai pandangan yang berbeda dalam menilai sesuatu. Namun begitu, kita mempunyai ikatan yang sama dan esensil. Solidaritas semacam ini perlu kita bina dan bagaimana kelanjutannya kita pikirkan bersama pula”. Zainal Arifin menggambarkan pula, “Saudara-saudara cepat memberikan suatu respon terhadap keadaan di pusat, kami agak lain. Seolah-olah kami tidak apa-apa di sana. Padahal ketegangan yang jauh dari pusat merupakan api dalam sekam. Hanya masalahnya, sulit bagi kami mencari momentum”.

Adalah pula dalam pertemuan itu, pejabat Ketua Umum DM-ITB Komaruddin yang angkat bicara mengenai beberapa masalah aktual yang menjadi sorotan waktu itu, yang merupakan hal-hal yang tidak beres di depan mata, seperti misalnya masalah modal asing dan eksesnya. “Berbicara mengenai modal asing, kita bagai membicarakan ladang yang telah ditumbuhi terlalu banyak alang-alang. Untuk memperbaikinya, ladangnya sendiri harus dibongkar”, ujarnya memberi contoh soal. “Satu hal yang tragis, apakah betul-betul kredit dari IGGI (InterGovernmental Group on Indonesia) telah bermanfaat bagi kita ? Apakah sebagian dari kredit ini telah menjadi Rolls Royce atau isteri muda para pejabat. Kita betul-betul prihatin melihat keadaan ini”. Apa yang diutarakan Komaruddin, bukan sekedar meraba-raba. Kala itu memang betul-betul ada pejabat puncak perusahaan negara yang punya Rolls Royce. Banyak pula pejabat yang memang diam-diam (namun diketahui umum) betul-betul punya isteri muda dari kalangan selebriti atau semacamnya. Seorang pejabat perusahaan negara yang banyak disorot, juga suatu ketika menikahi seorang isteri yang betul-betul muda, berusia 17 tahun, tatkala ia sendiri telah berusia 57 tahun.

Komaruddin mengingatkan pula akan pengalaman pahit masa lampau, tentang peranan isteri pejabat: Bahwa, salah satu yang menjatuhkan Soekarno dulu ialah ikut campurnya isterinya dalam mengurusi politik. Isteri yang dimaksud pastilah Nyonya Hartini, yang dikawini dalam status ‘janda’ oleh Soekarno setelah diperkenalkan oleh Jenderal Gatot Soebroto. “Kasus ini juga saya lihat mulai terulang di sini. Misalnya, dalam peristiwa Proyek Mini yang menimbulkan pro dan kontra, yang masalahnya menjadi main ‘backing-backing’an dalam masyarakat. Jangan sampai keadaan sudah terlalu busuk, baru masalahnya kita soroti. Jangan sampai ibu Tien tidak tahu batas ‘wewenang’nya”. Mempertegas ucapan rekan-rekannya yang hadir, Komaruddin menegaskan “Kalau perlu, kita radikal, tapi harus terus berpikir secara logis”. Tapi rupanya Ketua Umum DM IKIP yang seorang anggota HMI Bandung tak puas hanya sampai pada kata ‘radikal’, maka ia mencanangkan perlu ‘revolusi’.

Agak berbeda dengan beberapa pertemuan sebelumnya, kali ini para mahasiswa dari 8 perguruan tinggi di pulau Jawa itu, maju setapak dalam langkah konsolidasi. Mereka melahirkan Ikrar 10 Nopember 1973 dalam pertemuan itu. “Kami, generasi muda Indonesia, setelah merenungkan sedalam-dalamnya kenyataan yang terjadi dalam perkembangan kehidupan bangsa, yang semakin jauh dari yang dicita-citakan, merasa terpanggil kesadaran tanggung jawab kami selaku generasi pewaris hari depan bangsa untuk turut serta melibatkan diri dalam proses kehidupan masyarakat, menyatakan: Kesatu, meningkatkan solidaritas di antara sesama generasi muda dalam menghadapi kenyataan-kenyataan, sebagai konsekwensi dari keterlibatan kami dalam proses kehidupan kemasyarakatan; Kedua, menyatakan satu tekad untuk mengadakan langkah-langkah perubahan dalam usaha mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang telah dirintis oleh para pahlawan bangsa. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa menyertai perjuangan kami”.

Meskipun pada tiga bulan terakhir 1973 itu, titik berat pusat pergerakan mahasiswa telah bergeser ke tangan gerakan-gerakan mahasiswa intra, di Jakarta berkali-kali terjadi pula aksi-aksi yang dimotori oleh beberapa eksponen organisasi ekstra universiter atau organisasi-organisasi massa yang tidak terkait dengan universitas. Adalah pula masih terjadi beberapa gerakan oleh mahasiswa-mahasiswa secara perorangan tanpa membawa nama institusi organisasi mahasiswa kampus dengan penamaan-penamaan diri yang bersifat ekstra universiter. Gerakan-gerakan menentang RUU Perkawinan misalnya, senantiasa dilancarkan oleh organisasi massa kalangan generasi muda Islam –termasuk para pelajar– dan didukung oleh eksponen-eksponen organisasi mahasiswa ekstra yang terkait dengan organisasi politik dan partai berideologi Islam. Sungguh khas bahwa kala itu, perhatian generasi muda Islam begitu terpusatnya kepada masalah RUU yang dianggap bagian dari Kristenisasi terselubung, sehingga sekalipun mereka tidak pernah turut atau tergerak menyentuh masalah-masalah lain di luar itu semisal masalah ketidakadilan dalam pembangunan yang terasa dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Ini sejajar dengan apa yang terjadi di kalangan politisi yang berideologi Islam, khususnya Partai Persatuan Pembangunan. Seolah-olah ada pembelahan. Dan apa yang mempersatukan kedua belahan itu tak lain hanyalah sikap Kopkamtib yang represip terhadap kedua-duanya.

Berlanjut ke Bagian 4