Tag Archives: Lin Yu Tang

A Never Ending Story: Kisah Korupsi di Asia (2)

“Namun sehebat-hebatnya ‘rampok’ Vietnam ini, veteran-veteran perang Korea yang kemudian bertugas di Vietnam, lebih banyak mengingat pelabuhan Pusan yang keadaannya jauh lebih parah akibat perampokan besar-besaran”. Salah seorang di antara para veteran ini mengatakan, bagaimanapun “Orang-orang Korea lebih ahli daripada orang Vietnam dalam hal yang satu ini”.

BAGI orang-orang Asia, yang lebih penting bukanlah kewajiban terhadap bangsa, tetapi kewajiban terhadap keluarga dan kawan-kawan. “Kesetiaan yang lebih sempit senantiasa mengatasi kesetiaan yang lebih luas sifatnya”, demikian dituliskan seorang esais keturunan India bernama Nirad Chaudhuri. Pertama-tama orang mementingkan keluarganya, barulah kemudian kastanya, lalu distrik, dan terakhir barulah bangsanya.

Lin Yu Tang dalam bukunya My Country and My People menuturkan: Seorang menteri yang merampok bangsanya untuk memberi makan kepada keluarganya, sekarang atau untuk tiga generasi kemudian, hanyalah karena dia berusaha untuk menjadi anggota keluarga yang ‘baik’.

Kesetiaan kepada keluarga adalah kekuatan yang mengikat dalam masyarakat Asia. Di Filipina, misalnya, nepotisme (sikap mementingkan sanak saudara) adalah suatu cara hidup yang umum. Sedang di luar ikatan darah, terdapat sistem compadre, suatu sistem di mana orang tua memilih orang-orang yang dianggapnya berpengaruh  sebagai ayah angkat bagi anak-anak mereka. Yang terutama dipilih adalah orang-orang yang sukses dalam kehidupan  dan yang akan memberikan bantuan kepada anaknya yang berupa pengaruh. Bantuan ini kemudian akan dibalas dengan dukungan dari pihak yang dibantu.

Kasus Walikota Manila, Antonio Villegas, adalah suatu peristiwa yang berlandas pada adanya sistem ini. Ketika pada tahun 1966 diketahui bahwa ‘peti uang’ sang Walikota berisi lebih banyak daripada yang dimungkinkan oleh kedudukannya sebagai walikota, suatu penyelidikan dilakukan terhadap dirinya. Saksi-saksi yang pernah membantunya dalam berbagai usaha remang-remang di belakang layar, dimintai keterangan di pengadilan. Seorang pejabat pemerintah mengaku telah meminjamkan kepada Villegas uang sebanyak 30.000 peso (yang saat itu setara dengan USD 7,700), tanpa bunga, karena dia adalah compadre walikota. Seorang asistennya menyatakan bahwa bahwa dia juga telah memberikan pinjaman kepada Villegas tanpa bunga, karena dia menganggap atasannya itu sebagai “anaknya sendiri”. Seorang pengusaha kaya di Manila mengatakan bahwa dia telah memberi pinjaman kepada isteri Villegas sebanyak 15.000 peso, karena sang Walikota itu baginya “sudah seperti saudara”. Berdasar pada kesaksian-kesaksian seperti itu, Villegas mengatakan bahwa penyelidikan atas dirinya itu merupakan pelanggaran  terhadap kehidupan pribadinya. Kasus tersebut kemudian ditutup dengan sejumlah ‘alasan teknis’, dan Villegas pun melanjutkan jabatannya sebagai walikota.

Meskipun nepotisme semacam ini sudah begitu meluas, itu tidaklah merupakan keseluruhan dari korupsi yang merajalela dalam masyarakat Filipina dari atas ke bawah. Generasi baru kala itu telah ‘diajar’ bahwa mencuri dari penguasa merupakan sebagian dari tugas patriotisme tatkala Filipina diduduki balatentara Jepang di masa Perang Dunia II. ‘Kebiasaan’ mencuri ini masih menetap. Cara-cara permainan di bawah meja, jual beli ‘manusia’ di tempat-tempat pemilihan, membeli hakim dan menyuap petugas pabean adalah praktek yang dijalankan banyak orang. Di perempatan jalan yang sibuk di kota Manila, polisi lalu lintas yang berseragam putih melambai-lambaikan tangannya mengatur lalu lintas. Ketika sebuah taksi yang penuh muatan lewat, sebuah tangan terulur dari jendela taksi dan dengan cekatan ‘meletakkan’ sesuatu ke dalam kepalan tangan sang polisi yang setengah membuka. “Korupsi?”, ujar sang pengemudi taksi sambil menunjukkan mimik heran, ketika peristiwa kilat itu ditanyakan padanya. “Polisi itu memerlukannya untuk keluarganya. Dan kalau saya tidak memberinya 50 centavos sewaktu-waktu, dia takkan memperkenankan saya menghentikan taksi saya di taman dekat perempatan tempat saya menunggu penumpang. Saya mendapatkan sesuatu, dia mendapatkan sesuatu pula. Bagaimana anda dapat menyebut hal itu korupsi?”.

Di Vietnam Selatan, situasi yang ‘longgar’ semacam itu, ikut didorong oleh situasi perang dan inflasi yang memuncak. Walaupun tangan Perdana Menteri Nguyen Cao Ky hingga sejauh saat itu tampaknya bersih, kota peristirahatan Dalat ditaburi villa-villa milik para jenderal, yang dengan gajinya yang kecil tak boleh tidak memerlukan tambahan dari sumber-sumber lain di luar gaji. Sistem ‘suap’ tersodorkan dari masyarakat tingkat tinggi hingga ke tingkat terendah. Seorang pejabat tinggi  menunjukkan seberkas dokumen yang mengungkapkan kasus penjualan babi antara sebuah pertanian di Delta dan sebuah penjagalan di Saigon. Sang petani mendapat uang 400 piaster. Tapi sepanjang 50 kilometer yang harus dilalui dalam pengangkutan babi tersebut, sang babi harus melewari sebanyak tujuh pos pemeriksaan Polisi Nasional, yang didirikan untuk mencegah pihak Viet Cong menyelundupkan senjata atau perlengkapan perang lainnya. Setiap pemeriksa membutuhkan sedikit bagian, yang cukup untuk menyebabkan naiknya harga babi dengan USD 12.

Menambah jumlah daftar gaji adalah suatu model yang sangat disukai oleh para pencari untung. Seorang pejabat keamanan di propinsi Gia Dinh, umpamanya, tertangkap ketika dia mengajukan dana untuk 59 orang Kader Pembangunan Revolusioner yang pada kenyataannya hanya beranggotakan 42 orang. Walaupun kios-kios pasar gelap di tepi-tepi jalan telah banyak ditutup, Saigon masih tetap ramai dengan perdagangan barang-barang gelap yang mewah, yang asal usulnya adalah hasil pencurian ataupun dibeli dari gudang persediaan besar yang dibawa dari Amerika Serikat. Namun sehebat-hebatnya ‘rampok’ Vietnam ini, veteran-veteran perang Korea yang kemudian bertugas di Vietnam, lebih banyak mengingat pelabuhan Pusan yang keadaannya jauh lebih parah akibat perampokan besar-besaran. Salah seorang di antara para veteran ini mengatakan, bagaimanapun “Orang-orang Korea lebih ahli daripada orang Vietnam dalam hal yang satu ini”.

Berlanjut ke Bagian 3