Tag Archives: inlander

The Bad Among The Worst: Soeharto Number One? (1)

SEDIKIT di luar dugaan –meski tak harus dianggap mengejutkan– hasil survey Indo Barometer (25 April-4 Mei 2011) menempatkan almarhum Jenderal Soeharto sebagai Presiden “paling disukai” dan “paling berhasil” di antara 6 tokoh yang pernah dan sedang menjadi Presiden RI. Berturut-turut setelah Soeharto (36,5%), “paling disukai” berikutnya adalah Susilo Bambang Yudhoyono (20,9%), Ir Soekarno (9,8%), Megawati Soekarnoputeri (9,2%), BJ Habibie (4,4%) dan Abdurrahman Wahid (4,3%). Urutan “paling berhasil” sebagai Presiden, sama, hanya ada perbedaan prosentase. Tiga teratas yang dianggap “paling berhasil” adalah Soeharto (40,5%), Susilo Bambang Yudhoyono (21,9%) dan Ir Soekarno (8,9%).

Adalah menarik bahwa posisi Susilo Bambang Yudhoyono ada di belakang Soeharto dengan angka prosentase sekitar 20%, yang kurang lebih sama dengan angka perolehan suara Partai Demokrat pada pemilu 2009 lalu. Seakan-akan SBY per saat ini, yang sedang berada di ujung mata panah sorotan karena berbagai kasus korupsi dan kejahatan keuangan di lingkungan partai pendukungnya maupun pada pemerintahannya, hanyalah Presiden-nya Partai Demokrat. Dan bukan lagi Presiden-nya 60% rakyat pemilih pada Pemilihan Umum Presiden 2009.

Kita berasumsi, sesuai track record produknya selama ini yang belum ada tanda-tanda tercemar, Indo Barometer tentu telah menggunakan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan dan cermat serta objektif dalam menentukan responden/sampling untuk surveynya. Dengan demikian, bisa dianggap hasil survey dengan 1200 responden di berbagai kota Indonesia itu, telah mendekati cerminan realitas pandangan rakyat Indonesia per saat ini. Penekanan pada terminologi “per saat ini”, penting, karena pendapat sebagian publik bisa berubah-ubah sesuai tingkat pengetahuan dan informasi yang diterimanya dari waktu ke waktu, maupun pengalaman pribadinya yang antara lain ditentukan usianya. Kalangan generasi baru yang di masa kekuasaan Soeharto masih usia kanak-kanak, katakanlah berusia 8-12 tahun pada masa peralihan tahun 1998 yakni 13 tahun lampau misalnya, akan berbeda pengalaman dan ‘pengetahuan’ terkait situasi negara dibandingkan mereka yang saat itu telah menjadi mahasiswa. Selain itu, tentu ada berbagai variabel yang bisa membuat orang berbeda kesan dan berbeda kesimpulan.

Suatu penelitian yang cermat, menggunakan teknik sampling (purposive/teknik quota) secara teliti. Sample diambil dari berbagai kategori yang terdapat dalam masyarakat. Karakteristik responden juga dicermati, baik jenis kelamin, agama, status, usia, pendidikan bahkan penghasilan. Untuk penelitian sosial-politik, kategori/status biasanya meliputi: cendekiawan/dosen/pengamat politik, mahasiswa, pegawai negeri/pegawai swasta, pengusaha, pedagang, tokoh agama, tokoh masyarakat, masyarakat umum. Soal usia juga penting untuk diperinci, kurang dari 20 tahun, 21-25 tahun, 26-30 tahun dan seterusnya sampai 56-60 tahun dan di atas 60 tahun. Semua tingkat pendidikan tercakup, dari SD, SLP, SLA, diploma, sarjana, magister, doktor.

DENGAN asumsi bahwa penelitian telah dilakukan Indo Barometer dengan baik –dan bukannya suatu penelitian bertendensi khusus berbau politik atau bermotif bisnis, atau campuran dari keduanya, yang tampaknya mulai coba dilakukan oleh beberapa pihak yang kita sangka intelektual namun berperilaku anti-intelektual– maka kesimpulan Soeharto number one adalah menarik. Dari kesimpulan itu bisa dikembangkan berbagai pertanyaan dan analisa. Bisa ditanyakan misalnya, sebegitu besarkah sudah ketidakpuasan terhadap SBY setelah begitu banyak orang beberapa tahun yang lampau menaruh pengharapan yang seakan menggunung terhadap dirinya? Di bagian-bagian awal kekuasaannya, ia memang sangat diharapkan bahkan diyakini mampu membenahi keruwetan yang ditinggalkan Jenderal Soeharto dalam kehidupan politik, kekuasaan, sosial, hukum dan perekonomian, yang tidak mampu dilakukan oleh BJ Habibie, Abdurrahman Wahid maupun Megawati Soekarnoputeri.

Sebenarnya, fenomena sikap rakyat yang lebih memuja masa lampau setelah kecewa pada masa kini, bukan sesuatu yang baru, untuk tidak mengatakannya sebagai bagian dari psikologi bangsa. Mulanya masa kini lebih baik dari masa lampau, tetapi setelah kekecewaan datang, masa lampau menjadi lebih baik dari masa kini. Lalu orang menginginkan meloncat segera ke masa depan. Ini ada kaitannya dengan suatu adagium, yang berlaku dalam perubahan kekuasaan: Siapa yang menjadi pemenang akan berkesempatan mengukir versi kebenaran sejarah lebih dulu, menjadi yang serba baik dan karenanya menikmati puja dan puji. Namun, pada saat sang pemenang mulai gagal memenuhi harapan dan karena itu menjadi surut popularitasnya, atau kalah dalam pertarungan kekuasaan berikutnya, maka bahkan mereka yang kalah di masa lampau maupun yang ikut dalam kemenangan baru, memperoleh momentum untuk bisa menciptakan pembenaran baru atau versi baru sejarah, berdasarkan subjektivitasnya sendiri.

SEWAKTU Indonesia baru merdeka, dan pendudukan Belanda betul-betul berakhir di tahun 1950, umumnya masyarakat menaruh harapan besar dan menanti Indonesia baru penuh kegemilangan, yang meminjam retorika Bung Karno, gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja. Namun ketika kemakmuran tak kunjung terasa, dan ekonomi naik-turun, generasi yang masih mengalami masa kolonial Belanda, mulai mengeluhkan bahwa zaman normal –yakni masa kolonial yang disebut demikian karena harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari stabil atau normal dan nilai mata uang gulden tetap terjaga– lebih nyaman dari masa republik. Sebagian dari generasi lama itu melupakan tekanan batin sebagai inlander yang selalu direndahkan harkat dan martabatnya oleh orang-orang Belanda, dan hanya mengingat kebaikan zaman normal.

Sebagian dari generasi yang lebih muda, terutama yang lahir setelah tahun 1940 atau 1945, yang dari pelajaran sejarah di sekolah hanya mengetahui bahwa penjajah –Belanda atau Jepang– jahat dan kejam, seringkali terombang-ambing dengan pencitraan zaman normal yang lebih nyaman itu. Percaya kepada Bung Karno yang selalu membeberkan kejahatan penjajah (pelaku divide et impera dan exploitation d’lhomme par l’homme), atau percaya kepada kisah zaman normal dari kakek dan nenek? Tetapi saat Soekarno makin otoriter pada tahun 1960-1965, mulai menangkap-nangkapi yang dianggapnya lawan politik, dan bersamaan dengan itu inflasi rupiah membubung sampai ratusan persen menuju 1000 persen, maka sikap anti Soekarno dan anti PKI meluas, termasuk di kalangan intelektual muda dan mahasiswa.

SOEKARNO DAN SOEHARTO DI MASA TRANSISI KEKUASAAN. “Siapa yang menjadi pemenang akan berkesempatan mengukir versi kebenaran sejarah lebih dulu, menjadi yang serba baik dan karenanya menikmati puja dan puji”. Karikatur 1966, T. Sutanto.

PADA awalnya, Orde Baru, yang dibangun Jenderal Soeharto, Jenderal AH Nasution bersama Angkatan 1966, bertujuan membangun Indonesia baru yang mengoreksi penyimpangan-penyimpangan Orde Lama di bawah Soekarno. Seakan semuanya akan berjalan sesuai idealisme awal yang menjadi dasar ‘penggulingan’ Soekarno, untuk membangun suatu kehidupan politik baru, dalam suatu struktur politik yang juga diperbaharui. Pembangunan ekonomi juga berjalan dengan arah yang baru, sebagaimana halnya dengan berbagai bidang kehidupan lainnya yang terlantar sepanjang masa kekuasaan Soekarno yang menjadikan politik sebagai panglima.

Namun tak lebih lama dari dua tahun, idealisme dalam tubuh Orde Baru meluntur. Dimulai oleh sejumlah jenderal di lingkaran Soeharto, yang makin mengutamakan kekuasaan demi kekuasaan di atas segalanya, dan dengan sendirinya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan lainnya menjadi bagian utama dalam permainan. Dan tak bisa dihindari beberapa eksponen kesatuan aksi tahun 1966 ikut terlarut dalam permainan kenikmatan kekuasaan, sementara sebagian lainnya tetap mencoba mempertahankan dan melanjutkan idealisme dari masa penumbangan kekuasaan Soekarno, baik secara frontal di jalanan di luar tubuh rezim maupun melalui pilihan struggle from within.

Berlanjut ke Bagian 2