AKUMULASI serentetan kejadian yang secara umum terasa ganjil dan tak biasa yang berlangsung berkepanjangan, ternyata telah mempertebal distrust publik dalam perjalanan menuju 17 April 2019. Secara khusus, mengemuka pertanyaan yang bersumber pada kesangsian apakah Pemilihan Presiden mendatang akan berlangsung adil dan jujur? Dan letupan itu per saat ini memilih muara perdebatan sengit terkait rencana penggunaan kotak suara kardus dalam pemilihan umum presiden dan legislatif yang akan datang.
Dalam logika awam yang sederhana, penggunaan kotak suara kardus akan lebih rawan segi keamanannya daripada kotak aluminium. Kesimpulan ini tentu lahir dari semacam pengalaman empiris yang sedikit banyak terkonfirmasi dari pemilu ke pemilu. Kita kutip ucapan men on the street dalam rangkaian perbincangan belakangan ini: Jangankan kotak kardus, kotak suara aluminium yang digembok pun bisa dijebol. Tahun 2014 diberitakan bahwa tak kurang dari Megawati Soekarnoputeri, menyatakan ketaksetujuan terhadap penggunaan kotak suara kardus. Gampang disuwek-suwek, ujar Mega kala itu. Artinya ada kekuatiran kecurangan secara fisik terhadap surat suara. Padahal, kecurangan suatu pemilihan umum pun sebenarnya lebih berpotensi dilakukan dalam proses penghitungan suara yang harus menjalani perjalanan panjang beberapa tingkat.
Apapun, intinya, ada ketidakpercayaan, berdasar pengalaman masa lalu maupun akumulasi pengetahuan sebagian anggota masyarakat tentang kecurangan. Dan, biasanya memang, harus diakui bahwa kesangsian tentang kejujuran suatu pemilihan umum selalu ditujukan kepada tokoh maupun kekuatan politik petahana. Tak lain karena mereka lah pengendali proses politik per satu saat kala berkuasa.

Peristiwa demi peristiwa
Tak sedikit peristiwa bisa menjadi sumber distrust atau ketidakpercayaan. Salah satu sumber kesangsian aktual di tengah publik adalah bermunculannya dalam jumlah cukup besar dan berulang ceceran E-KTP. Dan itu tak pernah bisa dijelaskan dengan baik kenapa terjadi. Bersamaan waktu dengan itu ada persoalan pemilih ganda pada DPT di berbagai daerah, yang ‘terpaksa’ dibersihkan satu per satu, daerah per daerah. Meski belum ‘terbuktikan’ sampai sebesar 31 juta pemilih ganda atau fiktif seperti yang disebutkan kalangan ‘oposisi’, tapi nyata ada. Angkanya tak bisa diremehkan. Sumber utama dan pertama data kependudukan yang digunakan KPU untuk penyusunan DPT adalah angka dari Kementerian Dalam Negeri. Sedang untuk kasus E-KTP yang berceceran, mau tak mau publik pun menoleh ke Kementerian Dalam Negeri sebagai pengelola urusan kependudukan.
Dan menurut pengamatan selama ini, ada koinsidensi bahwa Menteri Dalam Negeri adalah salah satu tokoh pemerintahan yang terkesan kurang kuat memegang sikap netral aparatur sipil negara. Ketika sejumlah kepala daerah baru terburu-buru secara dini dan akrobatis menampilkan perpihakan kepada calon Presiden petahana, Menteri Dalam Negeri bukannya mengingatkan aspek etika melainkan memberikan pembenaran. Maka, terlepas apakah benar atau salah prasangka yang tertuju pada dirinya, apa boleh buat, Menteri maupun para pejabat Kementerian Dalam Negeri wajar menghadapi risiko dijadikan sasaran distrust.
Marah-marah dan mengancam
Pola reaksi yang ditunjukkan oleh sejumlah pejabat negara maupun pejabat politik dan para jurubicara kubu petahana, terhadap isu kotak suara kardus menjadi pertanyaan tersendiri.
Para pejabat KPU merasa perlu mendemonstrasikan semacam uji fisik terhadap kotak suara kardus itu. Sang kardus dipertontonkan secara luas ketahanannya: diduduki, diinjak, dijadikan pijakan tempat berdiri dan disemprot air. Lalu untuk mencocokkannya dengan kriteria transparansi, ditunjukkan adanya jendela intip di salah satu sisi kotak kardus itu. Tapi hingga sejauh ini, para pejabat KPU masih bereaksi dalam batas kepantasan. Meminjam yang dikatakan Sigit Pamungkas –Direktur Eksekutif Jaringan untuk Demokrasi dan Pemilu Berintegritas– (Kompas 20/12) mereka hanya sedikit gagap ketika ada satu proses yang mendelegitimasi pekerjaan mereka.
Namun para pejabat politik dan jurubicara petahana, umumnya memilih menampilkan sikap marah-marah dengan bahasa lebih birokratis melebihi para fungsionaris KPU sendiri. Sebagian bahkan agresif menyerang balik dengan lontaran ancaman kepada para pengeritik. Seolah-olah mereka lah atau tokoh utama mereka yang diserang dan didelegitimasi. Bahkan seorang ‘jurubicara’ yang belum seumur jagung masuk ke jajaran staf kepresidenan, merasa perlu dalam sebuah talkshow televisi melancarkan gertakan yang membawa-bawa nama Istana Kepresidenan selain ‘nama besar’ gelar-gelar akademisnya. Sangat represif. Padahal semusim yang lalu ia masih di ‘seberang’ dan mungkin saja pernah menjadi sasaran represi kekuasaan. Sementara rekannya dari sebuah partai pendukung petahana merasa perlu mencaci dan mengungkit catatan mengenai pribadi seorang akademisi yang menyampaikan pandangan kritis dalam talkshow itu.
Argumentasi tidak dijawab dengan argumentasi, tetapi dengan gertakan. Bukannya sikap reaktif dan agresif justru lebih mungkin memancing kecurigaan, kenapa kubu petahana dalam Pilpres 2019 itu harus bersikeras begitu? Seakan-akan kalap karena terungkapnya niat konspirasi melalui kotak suara kardus.
Kepekaan dan mata batin
Padahal sebenarnya perdebatan bisa lebih sederhana dan adab bila menuju satu kalimat konklusif dan mengandung persuasi dalam konteks ketidakpercayaan ini: Mari kita awasi bersama pemilihan umum mendatang sebaik-baiknya agar berjalan adil dan jujur.
Sebuah saran. Adalah lebih baik bila kalangan kekuasaan lebih memilih sikap kenegarawanan. Tak salah bila sedikit peka terhadap suasana batin yang ada tengah masyarakat yang tak selalu mampu terucapkan dengan kata-kata. Belajarlah untuk mengukur seberapa besar kepercayaan dan ketidakpercayaan publik. Ada yang kasat mata ada pula yang tak kasat mata. Gunakan mata batin…. (socio-politica.com/media-karya.com)