HUBUNGAN rakyat dengan pemimpin negara mereka –entah itu raja masa lampau, entah itu presiden masa modern– seringkali terjalin secara unik. Jika suatu kesalahan atau kezaliman berlangsung di suatu negeri, tidak mudah bagi rakyat untuk percaya bahwa sumber kesalahan atau kezaliman itu adalah raja atau presiden sendiri. Selalu dibutuhkan ‘tokoh antara’ sebagai sang antagonis. Entah itu para menteri, entah lingkaran dalam lainnya atau elite di seputar sang penguasa puncak.
Jalinan hubungan dengan kepercayaan lebih terasa terutama dalam konteks pemimpin negara yang merupakan hasil pilihan suatu mekanisme demokrasi yang bernama Pemilihan Umum. Tokoh yang terpilih sebagai pemimpin pastilah peraih suara, dukungan dan kepercayaan yang lebih besar. Terhadap sang tokoh, mayoritas rakyat akan memulai dengan percaya bahwa sang pemimpin inilah pembawa perubahan lebih baik ke masa depan. Joko Widodo, Presiden Indonesia 2014-2019, menikmati modal awal seperti itu. Dan bila kepercayaan itu mampu dirawat, bisa berlanjut untuk masa lima tahun berikutnya lagi.

JAUH sebelum Raja Perancis Louis XVI, dihukum pancung dengan guillotine oleh ‘rakyat’nya sendiri dari kalangan pelaku revolusi –pada 21 Januari 1793– selama bertahun-tahun rakyat pada umumnya menyangka para pejabat dan kaum bangsawan lah yang menindas rakyat tanpa sepengetahuan raja. Cendekiawan muda pergerakan 1966, MT Zen, dalam tulisannya ‘Kubunuh Baginda Raja’ (Juli, 1966) menceritakan bahwa pada masa penindasan pra Revolusi Perancis, “dari seluruh pelosok pedalaman, dari perbukitan dan dataran tanah Perancis angin membawakan jeritan dan keluhan yang menyayat hati…. If the King only knew –jika Baginda Raja mengetahui…”. Demikian juga di Rusia lebih dari 100 tahun kemudian. Dari dataran steppe hingga ke padang salju Siberia, terdengar keluhan dan rintihan yang senada… “if the Czar only knew”. “Jadi nyatalah di sini bahwa rakyat pada mulanya mempunyai kepercayaan penuh bahwa sekiranya baginda Raja mengetahui tentang nasib mereka niscaya Raja akan menghukum para menteri yang bersalah serta menolong rakyat yang tertindas.”
“Tetapi sayang!…… Sayang sekali! Pertolongan yang dinantikan tak kunjung datang dari sang Raja. Mereka tidak mengetahui dan tidak mengerti bahwa Baginda Raja telah melupakan mereka, telah meninggalkan mereka, telah meremehkan mereka dan telah mengkhianati mereka. Mereka tidak mengerti dan tidak mau mengerti bahwa Baginda Raja sendirilah yang terutama mengkhianati dan berdosa kepada mereka dan bukan menteri-menteri, pejabat-pejabat atau para kaum bangsawan, karena Baginda Raja dengan penuh kesadaran telah membiarkan para menteri dan lain-lain menindas rakyat untuk kepentingan sang Raja, agar Baginda Raja dapat senantiasa berdendang dan menari di atas jubin batu pualam dan diterangi oleh ribuan chandelir bersama seribu bidadari.”
BAGI sebagian khalayak, bukan hal yang mudah untuk segera percaya bahwa kontroversi antara KPK dan Polri yang terjadi saat ini, pada hakekatnya terutama bersumber pada kekeliruan langkah Presiden Jokowi sendiri. Tetapi sebagai kebenaran, fakta itu harus disampaikan, jangan ditutupi. Sewaktu akan menyusun kabinetnya, adalah presiden sendiri yang mengajukan daftar nama calon menteri kepada KPK dan PPATK untuk mendapat klarifikasi tentang kebersihan rekam jejak mereka. Dan adalah Presiden Jokowi sendiri pada tanggal 27 Oktober 2014 saat memperkenalkan para menteri yang dipilihnya di halaman Istana, mengatakan ada 8 nama yang tidak direkomendasi KPK dan PPATK. “Kita harus percaya kepada KPK dan PPATK,” ujar Jokowi sore itu.
Nama Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan, termasuk dalam daftar itu dan mendapat tanda spidol merah dari KPK. Spidol merah berarti dalam waktu dekat, tokoh tersebut akan bermasalah secara hukum. Tapi hanya dalam tempo tak lebih dari 75 hari tanda merah KPK itu seakan ‘luntur’ dan tak lagi digunakan Presiden untuk keperluan lain di luar penyusunan kabinet. Pada Jumat malam 9 Januari 2015, Presiden mengumumkan Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kepala Polri. Berlanjut dengan pengajuan nama itu ke DPR untuk mendapat persetujuan, dengan terlebih dahulu melalui proses fit and proper test di Komisi III. Dan kendati ada tindakan sela KPK berupa penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi (gratifikasi), semua pihak yang terlibat dalam political game awal tahun ini tak sudi menghentikan proses yang mereka anggap sebagai wewenang konstitusional mereka.
Bisa dikatakan, seandainya Presiden Jokowi memegang komitmen anti korupsi sebagaimana diucapkannya sendiri dalam berbagai formula kalimat, sejak masa kampanye sampai 27 Oktober 2014, peristiwa kontroversi tersebut takkan terjadi. Namun dalam kenyataannya, untuk pencalonan Komjen Budi Gunawan, Jokowi memilih untuk ‘meninggalkan’ rekomendasi yang pernah disampaikan KPK dalam kaitan pembentukan kabinet. Bahkan mungkin, sekaligus menjauhi titik temu dengan aspirasi yang hidup di tengah rakyat, yakni aspirasi anti korupsi.
Bahwa Presiden Jokowi seakan menjauhi titik temu dengan aspirasi rakyat, dan sebaliknya rakyat mulai menjauhinya, indikasinya mulai terlihat. Penelitian sebuah lembaga survey yang banyak menopang pencitraannya di masa lampau sebelum menjadi Presiden RI, menunjukkan menaiknya secara signifikan kurva ketidakpercayaan publik terhadap diri dan pemerintahannya, khususnya di bidang hukum.
Banyak pihak yang coba menggali apa yang sesungguhnya terjadi di belakang layar, dan tiba pada suatu kesimpulan yang mengandung semacam ‘pemaafan’ dan mencoba ‘memahami’ bahwa pencalonan Kapolri yang bermasalah itu bukan kemauan Jokowi pribadi. Lalu, banyak kalangan –secara tersirat maupun terang-terangan– menyebutkan bahwa pencalonan Komjen Budi Gunawan adalah kemauan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputeri. Artinya, Presiden RI Joko Widodo memang betul sekedar boneka politik puteri sulung Soekarno itu, yang sekaligus menempatkan Megawati sebagai sang antagonis?
Tetapi sebenarnya bisa pula terdapat kemungkinan lain. Memang Jokowi sendiri juga menginginkan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Bukankah ia sendiri yang mengaku dekat dengan Budi Gunawan, dan mengatakan “masa’ pilih yang jauh…”? Kebetulan Megawati memang juga menginginkan Budi Gunawan yang adalah bekas ajudannya tatkala menjadi Presiden RI.
RAJA tak pernah salah –the king can do no wrong– adalah masa lampau dan merupakan adagium sesat di masa modern. Presiden juga bisa salah, bagaimana pun ia seorang manusia. Tentu, pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang sangat sangat terbatas melakukan kekeliruan atau kesalahan. Tapi suatu kesalahan tidak dengan sendirinya membuat seorang pemimpin serta merta menjadi buruk. Pemimpin menjadi buruk jika ia berlama-lama dalam kesalahan dan berlarut-larut memperbaiki akibat dari kesalahannya. Apalagi, bila ia tak pernah mau memperbaiki kesalahannya itu. Pemimpin buruk menggali liang kuburnya sendiri.
Pada kategori mana Presiden Jokowi berada? Mestinya akan terjawab dalam waktu tak terlalu lama, berdasarkan pilihan solusi yang akan diambilnya. (socio-politica.com)
Just do me a favor and keep writing such trheancnt analyses, OK?