SEJUMLAH partai politik melaksanakan proses seleksi terhadap kadernya melalui serangkaian tes (psikotes, tes pemahaman), wawancara dan sebagainya. Selain itu, juga dilakukan perekrutan terbuka bagi publik, yaitu: Melalui iklan yang dipasang oleh sejumlah parpol di media massa yang berisi ajakan bagi publik untuk menjadi caleg dari parpol tersebut; Merekrut figur terkenal, seperti artis, tokoh agama, dan tokoh LSM, yang dinilai punya elektabilitas tinggi; Membuka pendaftaran caleg bagi semua kalangan secara terbuka.
Dari persyaratan caleg tersebut para aktivis mahasiwa yang jarang membuat gebrakan kritis terhadap pemerintah yang diliput media, sudah tidak masuk lagi dalam incaran sebagai calon kader partai-partai politik, karena mereka tidak lagi menjadi trending topic yang menjadi pembicaraan publik. Aktivis mahasiswa sekarang lebih banyak berada di kampus mengejar target lulus kuliah. Kalau pun ada gerakan mahasiwa, sifatnya lokal, sporadis, dan kalau ada sponsor. Tidak banyak yang tahu, bahwa di kampus itu sebenarnya ada aktivis yang berbakat sebagai pimpinan masa depan. Untuk populer perlu dana besar, karena itu partai-partai politik lebih suka caleg yang sudah terkenal, punya follower yang banyak, dan dana yang besar.

Dapat dikatakan, menjadi aktivis sekarang ini kurang “keren”, dibandingkan aktivis komunitas atau LSM. Bahkan, kalah jauh dibandingkan dengan artis dadakan dari media sosial yang dengan satu tampilan iseng di youtube atau blog, tiba-tiba saja bisa terkenal dalam semalam. Jangan tanya kemampuannya, apalagi program kerjanya sebagai politikus nanti. Tidak heran pula bila aksi jalanan sekarang yang banyak diliput media adalah mengenai tawuran preman yang rebutan lahan parkir, atau pelajar dan supporter bola yang balas dendam.
Karena itu, aktivis HMI sebaiknya merumuskan kembali strategi aktivitasnya agar “berbunyi dan berguna” bila ingin dilirik parpol tertentu untuk bisa menjadi kader mereka. Bagaimanapun caleg yang berkualitas hanya didapatkan dari proses panjang yang dimulai dari perekrutan, pembinaan, penguatan kapasitas, hingga pelaksanaan program kerja partai yang bermanfaat bagi masyarakat kelompok pendukungnya.
Masalahnya, sekarang ini loyalitas di lingkungan partai sudah menurun drastis, sehingga banyak kader partai berkualitas dari hasil pembinaan yang lama tiba-tiba saja pindah ke partai lain yang menjanjikan keuntungan lebih baik. Karena itu, logisnya mengapa harus membina kader kalau banyak yang mau pindah dengan iming-iming fasilitas dan kedudukan yang lebih baik. Bayangkan, ada partai yang mau membiayai lebih dulu (ijon) sampai berhasil, setelah itu baru ditagih kembali dengan keharusan mengejar setoran. Selain itu, partai politik sudah menjadi bisnis menguntungkan bagi “pemiliknya” sebagai kendaraan yang bisa disewakan kepada siapa saja yang berminat untuk menjadi penjabat karbitan. Partai tidak peduli dengan kepercayaan pemilih lewat politikus seleb yang mereka usung, yang penting menang mendapatkan kursi yang diperebutkan. Partai pemenang kursi parlemen menjadi semakin tinggi daya tariknya bagi para politisi “bajing loncat”, yang pindah-pindah ke partai yang lebih menguntungkan secara sesaat.
Tidak ada kritik dari HMI mengenai selebritas politik yang mengelabui masyarakat itu, dan sekaligus menghambat peluang mereka sebagai kader partai yang lebih berkualitas.
Menghapus cemar koruptor dari para senior
Keadaan HMI adalah ibarat pepatah, karena nila setitik rusak susu sebelanga. Akibat ulah para senior (alumni) HMI yang banyak dikabarkan terlibat korupsi, atau menjadi politikus “bajing loncat”, pamor HMI pun ikut tercemar sebagai organisasi yang tidak bisa mendidik anggotanya dengan akhlak baik sebagai intelektual yang berwawasan agama. Walaupun, ada yang mengatakan, itu hanya sebagian kecil dari anggotanya, dan juga sebagai salah gaul belaka dari masyarakat yang memang memandang korupsi sebagai hal yang wajar (budaya).
Korupsi sekarang ini sudah sulit dibasmi. Selain dianggap sebagai kewajaran (orang lain juga melakukannya), lingkungan kekuasaan tempat mereka berperan mudah terjangkit wabah korupsi oleh virus-virus korupsi yang semakin ganas dan kebal terhadap berbagai “obat pembasmi korupsi”. Bahkan, makin hari makin banyak pelaku korupsi yang berani tampil di depan publik sebagai selebritas yang bangga dengan keberhasilannya merampok harta negara dengan cara yang canggih. Jelas, hal itu memancing munculnya pemain baru yang ingin sukses secara instant.
Selain itu, para koruptor yang umumnya mempunyai kecerdikan tinggi mampu menyembunyikan perbuatan kotornya, mulai dari membantah dengan cara yang sangat logis, mengalihkan isu, menunjuk kambing hitam, mencari legitimasi moral-religius, dan menyewa pengacara mahal yang akan membelanya mati-matian (demi uang). Dan, bahkan mengerahkan massa berbayar untuk mengecoh pendapat publik. Semua dilakukan dengan penuh perhitungan matematis-logis tingkat tinggi. Khas perilaku psikopat sejati.
Kalaupun tertangkap, hukumannya sangat ringan dan ditempatkan pada sel penjara yang dilengkapi fasilitas hotel mewah. Dalam masa pemenjaraan, mereka pun mendapat pengurangan masa penahanan (remisi) berkali-kali dengan berbagai alasan yang nampaknya logis. Setelah bebas, mereka disambut oleh pengikutnya dengan elu-elu yang meriah bagaikan pahlawan yang baru pulang dari medan perang. Hal ini bisa terjadi karena sistem pengendali kegiatan sudah tercemar virus korupsi, yang tidak lagi memberi napas bagi nalar yang bersih untuk bisa eksis.
Karena itu, HMI seharusnya kembali merumuskan landasan moral yang perlu ditegakkan sebagai citra organisasi mahasiswa yang bersih yang harus dipegang teguh sebagai bekal nanti setelah menjadi profesional pada jabatan apapun di masyarakat.
Tidak bisa diharapkan menjadi pilar pembentuk moral dalam politik yang bersih
Dulu, beberapa gelintir intelektual yang kritis dan berani bersuara keras terhadap rezim otoriter Orde Baru harus tersingkir dari arena politik, dan sebagian lagi melakukan kompromi politik. Itulah yang pernah dialami HMI di forum Kongres HMI di Padang pada tanggal 24-31 Maret 1986. Dihadapkan pada pilihan antara menerima azas tunggal Pancasila dengan alasan penyelamatan organisasi dari pembekuan pemerintah, atau tetap mempertahankan azas Islam. Sehingga, terbelah menjadi dua kubu yang berseberangan sampai sekarang. Di satu kutub ada HMI DIPO yang akomodatif dengan kekuasaan dan cenderung pragmatis, dan dianggap sebagai HMI resmi, yang bersekretariat di Jalan Pangeran Diponegoro, Jakarta. Pada kutub lain, ada HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) yang tetap mempertahankan sikap kritisnya terhadap pemerintah.
Walaupun pada Kongres di Jambi tahun 1999 HMI DIPO kembali ke azas Islam, namun kedua HMI tersebut (DIPO dan MPO) sudah tidak bisa disatukan lagi. Masing-masing kelompok HMI tersebut tetap jalan dengan caranya sendiri-sendiri. Himbauan Akbar Tandjung, agar HMI DIPO juga bersikap kritis terhadap pemerintah –tetapi tidak anti pemerintah di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono– menjadi benar dalam pengertian kritis yang “tahu diri”. Sikap mendua itulah yang menjadi ciri khas HMI yang resmi (DIPO), kritis terhadap pemerintah sebagai basa-basi intergitas intelektual, tapi bersikap akomodatif agar selamat.
Karena itu, masalahnya adalah bagaimana bisa mengharapkan HMI (DIPO yang resmi) tetap menjadi pilar pembentuk moral dalam politik yang bersih, kalau citranya sudah terbentuk sebagai pencari selamat? Sedangkan HMI yang satu lagi (MPO), mungkin saja bisa diharapkan menjadi pilar pembentuk moral politik mahasiwa, tapi peranannya sebagai organisasi yang tidak resmi, dan tidak punya induk, jelaslah akan sangat terbatas. Bagaimanapun, HMI adalah aset bangsa yang seharusnya dipelihara dan dibina dengan baik.
*Syamsir Alam. Mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, namun tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.
(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)