“Pemberantasan korupsi menunjukkan pertanda akan ‘patah’ di tengah berbagai lakon aneh yang muncul silih berganti”. “Adakah pemilihan umum Indonesia –sejak tahun 1955 hingga 2009– yang tidak diwarnai kecurangan?”.
TERLIHAT betapa sejarah memang kerap terisi perulangan-perulangan. Pada tahun 1966-1967 rezim Soekarno ditentang lalu dijatuhkan, karena selain telah menjalankan kekuasaan dengan cara yang otoriter selama setidaknya lima tahun terakhir kekuasaannya, juga dianggap korup. Korupsi rezim Soekarno adalah dalam penghimpunan dana-dana politik, serta korup dalam menggunakan kekuasaan politik dan kekuasaan negara dan korup terhadap hak-hak demokrasi rakyat. Kekuasaan otoriter memang selalu bergandengan dengan perilaku koruptif.
Akan tetapi dalam tempo tidak lebih dari lima tahun, rezim baru di bawah Jenderal Soeharto telah meniru pendahulunya dengan cara lebih buruk dan menampilkan lakon-lakon baru korupsi. Dasar kisah dan skenarionya pada hakekatnya adalah naskah lama yang klasik, namun digubah kembali dalam versi yang diperbarui, lalu dipentaskan lagi. Rakyat –termasuk generasi baru yang lebih muda usia– lalu menyaksikan berturut-turut lakon-lakon klasik versi baru: Awal bergandengnya kekuasaan dan pengusaha dalam pola non budgeter (Kasus TMII). Lalu kisah ‘Tikus Sehat di Lumbung yang Hampir Kosong’ (Kasus-kasus Bulog). Juga, kisah klasik ‘Kehidupan Gemerlap Para Raja’ (Kasus-kasus Pertamina). Hingga kepada lakon ’vulgar’ ala Situ Bagendit (Kasus CV Haruman versus P&K). Tak ketingggalan, kumpulan cerita ‘Memang Syaitan Senang Berbisik di Mana pun Juga’, berupa deretan kisah korupsi kualitas teri namun dilakukan secara ‘massal’ dan ‘kolosal’ secara berkesinambungan di Departemen Agama. Serta aneka cerita lainnya yang sejenis, pengantar tidur menuju mimpi buruk. Jadi, tiap malam rakyat Indonesia naik ke ranjangnya, atau dengan pikiran kosong atau dengan kisah-kisah ala 1001 malam seperti itu, termasuk para mahasiswa tentunya.
Pengantar tidur menuju mimpi buruk ini dalam realita ditransformasikan menjadi gerakan-gerakan kritis anti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan secara intensif oleh para mahasiswa. Dan pada sisi lain, mimpi buruk setiap malam itu hanya membawa mayoritas masyarakat makin apatis dan pasrah ketika terbangun di setiap pagi. Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan sebenarnya apatisme dan kepasrahan itu adalah kisah yang telah berlangsung berabad-abad lamanya. Dalam catatan sejarah Nusantara, rakyat di lapisan akar rumput lebih banyak melalui masa ketertindasan daripada keterlindungan. Feodalisme Nusantara adalah feodalisme yang buruk sejak mula. Para datu, yang kemudian hari menjadi para raja, umumnya adalah mereka yang naik dalam pengendalian kekuasaan terhadap sesama melalui kekuatan otot dan penaklukan. Beberapa di antaranya bahkan pada mulanya hidup dan besar dari penjarahan terhadap yang lain. Atau dari kecerdikan memanipulasi dan mengelola ketakutan orang lain menjadi kekuasaan. Ken Arok adalah contoh paling masyhur, dari dunia penjahat –pemabuk, penjudi, perampok, pemerkosa– memasuki dunia kekuasaan melalui pembunuhan-pembunuhan, merampas isteri dan harta orang lain, lalu menjadi raja yang kemudian menurunkan juga para raja di antara keturunannya. Suatu model premanisme yang di kemudian hari, bahkan hingga masa Indonesia merdeka, banyak dicontoh. Pada masa Indonesia merdeka,dalam beberapa periode, tak jarang terdengar kisah kalangan penguasa yang ‘sanggup’ merampas harta orang lain atau isteri orang lain melalui tipu daya dan tekanan kekuasaan, terlebih-lebih ‘merampas’ uang negara dan hak rakyat, untuk keuntungan dirinya sendiri. Seorang jenderal pernah menangkap seorang petinggi hukum dengan tuduhan terlibat G30S, lalu ‘menekan’ isterinya hingga ‘menyerah’ menjadi isteri tambahan sang jenderal. Sebenarnya beberapa nama dan contoh kasus lebih lanjut bisa saja disebutkan, namun itu akan segera mengundang tuntutan balik, katakanlah dengan tuduhan pencemaran nama baik, dari para keturunan dan ahli warisnya. Bahkan mungkin pembalasan dalam berbagai bentuk lain. Maka perlu lebih dulu mengumpulkan keberanian.
Mahasiswa sebagai kelompok, sepanjang yang dapat dicatat antara akhir tahun 60-an hingga tahun 1970-an, adalah kelompok yang paling kritis terhadap perilaku korupsi dari masa ke masa. Memang ada beberapa kasus sebagai detail terlewatkan dalam sorotan mahasiswa, seperti umpamanya kasus korupsi di beberapa badan usaha milik negara di luar Pertamina dan Bulog, kasus CV Haruman versus P&K, kumpulan kasus korupsi di lingkungan Departemen Agama serta kasus-kasus penghamburan uang negara di berbagai instansi dan lembaga pemerintahan lainnya. Tetapi beberapa aktivis kampus, di belakang hari memaparkan bahwa mereka cukup puas karena yang terloncati itu tidak luput dari sorotan media massa, terutama Mingguan Mahasiswa Indonesia dan Harian Indonesia Raya. Mereka mengaku selalu mengikuti dan mencerna laporan-laporan yang disajikan media-media massa tersebut dari waktu ke waktu dan menjadikannya referensi dalam menjalankan gerakan-gerakan kritis mereka, termasuk tali temali korupsi dengan penyelewengan kekuasaan negara dan kekuasaan politik. Hal yang sama mereka lakukan terhadap referensi pemberitaan mengenai penyimpangan dalam penegakan hukum dan keadilan, seperti misalnya kasus Sum Kuning di Yogya pada masa tugas Kapolri Hoegeng Iman Santoso, kasus Gadis Ismarjati di Bandung dan beberapa kasus penganiayaan oleh oknum tentara dan penindasan lainnya oleh kalangan kekuasaan.
Maka, di belakang hari tak mengherankan bila perlawanan mahasiswa dan generasi muda lainnya tak kenal henti karenanya (bagi yang idealis) dalam penampilan kritik yang lebih komperehensif dan lebih intensif.
Namun tak kurang pula merupakan fakta, betapa bagi beberapa bagian lainnya lagi, justru ‘pelajaran-pelajaran’ itu tercerna ke bawah alam sadar dan terakumulasi di benak bagaikan merasuknya ‘ilmu hitam’. Dan ilmu sesat itu kelak dikemudian hari lalu dipergunakan untuk tujuan memperkaya diri begitu ada peluang saat masuk ke dalam kemapanan posisi sehingga ikut memperpanjang ‘evolusi’ korupsi. Beberapa di antaranya bahkan terjangkit secara dini ‘mengkhianati’ gerakan dan sudah tak sabar lalu tergesa-gesa memetik keuntungan-keuntungan sebagai ‘benefit’ perjuangan. Beberapa contoh pengalaman empiris telah tersaji melalui pengalaman saat itu yang menimpa beberapa tokoh dari angkatan yang lebih senior yang telah terlarut secara dini.
Soeharto sendiri, yang pada awalnya tampil sebagai ‘pahlawan penyelamat’ yang amat taat kepada ‘asas skala prioritas pembangunan’nya berangsur-angsur ‘terpaksa’ berkompromi dengan skala prioritas lain yang berupa aneka perilaku menyimpang untuk akhirnya larut sepenuhnya dalam cairan yang sama. Semua itu, karena pengaruh ‘buruk’ kekuasaan dan demi mempertahankan kekuasaan, yang tak terlepas dari persepsi keliru dalam memahami makna kekuasaan negara dan bagaimana seharusnya ‘memperlakukan’ kekuasaan negara. Tanda buruk pertama yang diperlihatkan Jenderal Soeharto adalah ketika ia mulai enggan dikritik. Dalam suatu pertemuan, 13 Juni 1967, seorang cendekiawan aktivis 1966, Adnan Buyung Nasution SH (kini di tahun 2009 berusia 75 tahun), mengeritik perilaku para jenderal (dan ABRI) yang semakin hari semakin ‘rakus’. Jenderal Soeharto menjadi berang dan berkata, “Kalau bukan saudara Buyung yang mengatakan, pasti sudah saya tempiling……”. Pada berbagai kesempatan pada masa-masa berikutnya, berkali-kali Soeharto menunjukkan keberangan yang sama, tatkala isterinya dan kemudian anak-anaknya yang telah makin dewasa, disorot dan dikritik.
Kita bisa mengangkat kembali catatan berikut ini: Sejarah politik dan kekuasaan Indonesia hingga sejauh ini, menunjukkan betapa Indonesia berpengalaman dengan perulangan-perulangan sejarah berupa situasi lepas dari satu pemangsa dan jatuh ke pemangsa lain. Seakan sudah menjadi satu patron nasib yang baku. Setelah lepas dari satu kekuasaan ‘feodal’ Nusantara, lalu jatuh ke tangan kaum penjajah. Bebas dari satu tangan penjajah lalu selanjutnya jatuh ke penjajah lainnya. Lepas dari cengkeraman satu rezim buruk, namun kemudian masuk lagi ke cengkeraman rezim lain yang tak kalah buruknya. Ada pemahaman yang keliru dan cara yang salah dalam memperlakukan kekuasaan –terutama kekuasaan negara. Kekuasaan tak ‘pernah’ dipahami dalam konteks altruisme, melainkan semata untuk kenyamanan dan keleluasaan pribadi dan kelompok. Maka seluruh jalan menuju kekuasaan tak pernah lepas dari tipu daya dan kecurangan, yang tak terlepas dari suatu pola perilaku koruptif. Termasuk jalan melalui pemilihan umum yang sebenarnya dimaksudkan sebagai jalan yang adil, baik dan benar, dalam rangka demokrasi. Adakah pemilihan umum Indonesia –sejak tahun 1955 hingga 2009– yang tidak diwarnai kecurangan, entah dalam skala kecil, entah dalam skala besar? Kita jangan membohongi diri sendiri dan menutup mata tentang kekotoran pemilu-pemilu Indonesia. Bahkan pemilu-pemilu yang selama ini dipuji sebagai pemilu yang terbaik dan demokratis –seperti pemilu tahun 1955, tahun 1999 dan 2004– juga penuh praktek kecurangan, mulai dari masa kampanye, pemungutan suara sampai penghitungan hasil. Pemilu tahun 1999 misalnya, dipuji sebagai pemilu paling demokratis, tetapi ternyata juga penuh kecurangan. Suara partai-partai kecil dan gurem yang tak punya cukup saksi untuk ditempatkan di TPS-TPS –akibat gejala nafsu besar tenaga kurang– habis diambili dan dipindahkan ke kantong suara partai-partai besar. Kalau bukan diambil begitu saja melalui persekongkolan di antara partai-partai besar tertentu yang kemudian jadi para pemenang, maka diambil melalui proses ‘jual beli’ setempat dengan harga ‘murah’ Hanya saja, seakan tradisi dan sebagai bagian dari budaya korup, kasus-kasus kecurangan tersebut selalu tak pernah ditindaklanjuti dan dengan demikian tak pernah terselesaikan. Tak heran kalau partai-partai dinyatakan sebagai salah satu lembaga terkorup, dan banyak wakil-wakil partai di dewan perwakilan rakyat terlibat berbagai kasus korupsi dan suap beramai-ramai.
Apakah semua itu sekedar satu nasib malang? Tentu ada sebabnya, yang mungkin terutama berasal dari dalam tubuh dan mentalitas bangsa ini sendiri, dan kesalahan dalam mengapresiasi nilai-nilai budaya, tradisi dan agama. Terakumulasi sebagai suatu kegagalan sosiologis, dan kita memang tak pernah bersungguh-sungguh melakukan pembangunan sosiologis.
Sejarah pun menunjukkan tanda-tanda kuat betapa hingga sejauh ini, tahun 2009, seluruh Presiden Indonesia cenderung terbawa masuk ke dalam pusaran arus kegagalan yang sama dan tak mampu melepaskan diri dari situasi malang tersebut, sadar atau tidak. Tetapi bukankah pemberantasan korupsi belakangan ini makin gencar dan bergelora? Betul, tetapi sekaligus juga makin menunjukkan pertanda akan ‘patah’ di tengah berbagai lakon aneh yang muncul silih berganti. Apalagi kita memang cenderung tak menyentuh akar-akar kegagalan sosiologis yang menyuburkan perilaku korup itu. Maka kita ikuti saja, apa yang akan terjadi dalam waktu-waktu dekat mendatang ini.
(Selesai)
Penegasan buat tulisan ini adalah korupsi atau penyelewengan nampaknya jadi konsumsi kita bersama untuk selamanya…..hahhhhh??????
Sepertinya anda benar, korupsi atau penyelewengan kekuasaan, cenderung menjadi konsumsi abadi. Hanya bisa diminimalisasi dengan kekuatan kontrol dalam demokrasi.