SEKELOMPOK warga masyarakat yang menamakan diri Tadzkiratul Ummah Amar Maruf Nahi Munkar sejenak mencuri perhatian media, termasuk media internasional BBC, ketika melancarkan razia celana ketat terhadap kaum perempuan di Aceh Utara, menjelang akhir tahun 2014 ini. Perempuan yang memakai celana ketat akan dijatuhi ‘sanksi’ dengan semprotan cat pilox ke celana mereka. Para pelaku razia berharap, dengan demikian celana ketat itu tak bisa dipakai lagi.

Adalah Tadzkiratul Ummah sendiri yang pada November 2014 melalui facebook menyiarkan rekaman sejumlah gambar bagaimana razia itu dilakukan. Dalam salah satu gambar terlihat salah seorang laki-laki bersarung pelaku razia sedang menyemprotkan cat pilox ke bagian paha dan lutut perempuan korban razia. Sedang pada gambar lainnya, seorang perempuan pelaku razia berjubah putih –ditemani seorang pria yang juga berjubah putih– melakukan penyemprotan ke korbannya yang masih duduk di atas sepeda motornya. Di sini, lagi-lagi kaum perempuan menjadi korban utama. Dan sebenarnya, para korban ini bisa menempuh jalur hukum atas perlakuan yang mereka derita.
Selama ini, di bawah ‘payung hukum’ Qanun untuk menegakkan syariat Islam, yang berlaku di NAD, senantiasa berlangsung serangkaian razia serupa –meski berbeda sanksi. Dilakukan oleh polisi syariat atau Wilayatul Hisbah. Korbannya di berbagai kabupaten di NAD, khususnya terhadap kaum perempuan berpakaian ketat sudah ratusan, mungkin segera mencapai skala ribuan. Ini adalah semacam sistem kontrol dan pengendalian terhadap perilaku kesusilaan anggota masyarakat atas nama ajaran agama. Beberapa jenis perbuatan –mulai dari cara berbusana, memperlihatkan aurat dan sejumlah perilaku dalam pergaulan– yang dianggap bertentangan dengan ketentuan agama, bahkan bisa dijatuhi hukuman cambuk di depan umum. Mirip dengan berbagai contoh yang diterapkan di negara-negara berdasarkan agama di Arab. Hanya hukum rajam sampai mati (bagi pezinah), hukum potong tangan (bagi pencuri) atau hukum pancung dalam konteks qisas, yang hingga sejauh ini belum ‘berani’ diterapkan di NAD.
Dan kini, tampaknya kelompok dalam masyarakat, mulai mengambil-alih apa yang disebut ‘penegakan’ syariah itu, dimulai oleh Tadzkiratul Ummah Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Semacam gerakan pengawasan masyarakat yang menyuruh orang berbuat baik (amar ma’ruf) dan melarang berbuat jahat (nahi mungkar). Kelompok ini menurut Atjeh Post terdiri dari puluhan pimpinan dayah dan balai pengajian di Lhoksukon Aceh Utara yang gencar melakukan gerakan menerapkan syariat Islam di daerahnya.

Atjeh Post (1/12) mengutip penjelasan Muzakkir M. Ali –penasehat Tadzkiratul Ummah– “Awalnya kita hanya melakukan sosialisasi dengan cara turun ke jalan-jalan dan memakai pengeras suara TOA. Kala itu jika ada yang memakai celana atau baju ketat hanya kita beri teguran kemudian berlanjut dengan memberikan sarung kepada yang memakai celana ketat.” Celana ketat yang disita kemudian dibakar. Namun upaya yang sudah dilakukan sejak 2012 itu dinilai kurang efektif. Lalu disepakati cara lebih keras, bagi perempuan yang memakai celana ketat, celananya disemprot cat. “Dengan disemprotkan cat, celana itu tidak dipakai lagi.”
PRETENSI mereka mengatur cara berpakaian orang lain, tak bisa dibenarkan. Bahkan bila terjadi pelanggaran undang-undang, tak serta merta mereka punya hak bertindak, karena bukan menjadi kewenangan mereka. Tindakan sendiri-sendiri adalah anarkis. Bagaimana kalau ada kelompok lain yang juga berwatak anarkis menghina cara mereka berpakaian –berjubah dan sebagainya– karena misalnya dianggap simbol keterbelakangan atau tak sesuai dengan kepribadian Indonesia? Pasti juga harus ditolak. Sebagaimana dulu, ucapan pemimpin tokoh PNI Hadisubeno yang di tahun 1970-an menggunakan penamaan kaum sarungan kepada umat Islam, serta merta mendapat kecaman masyarakat karena dianggap menghina.
Dari mana kelompok Tadzkiratul Ummah ini mendapat hak dan wewenang untuk bertindak mengatur dan menghukum perilaku orang lain yang juga punya hak-hak pribadi? Pasti mereka memberikan dirinya sendiri otoritas kekuasaan bertindak untuk mengatur norma dan moral orang lain, berdasarkan suatu penafsiran sendiri terhadap ajaran agama. Padahal, belum tentu penafsiran itu benar, dan belum tentu pula penerapannya tepat sasaran. Bukankah kita semua ada dalam suatu kehidupan bersama dalam satu negara, satu bangsa dan untuk sebagian besar dalam satu agama, yang tak begitu saja memungkinkan orang per orang secara sepihak menetapkan bagi dirinya wewenang khusus dan seenaknya melakukan hegemoni terhadap yang lainnya?

RASULULLAH saw pernah bersabda –menurut HR An Nasai– “Barangsiapa di antara kalian melihat suatu perbuatan munkar lalu mengubah dengan tangannya, maka ia sudah terbebas dari kesalahan. Dan barangsiapa yang tiada sanggup untuk mengubah dengan tangannya, lalu mengupayakan dengan perkataannya, maka sesungguhnya ia sudah terbebas dari kesalahan. Dan barangsiapa tiada mampu untuk mengubah dengan perkataan, lalu mengubah dengan hatinya, yakni dengan mengingkarinya, maka ia juga sudah terbebas dari kesalahan. Meski yang terakhir ini adalah tingkatan iman yang terlemah.”
Terkandung makna bahwa pengamalan amar ma’ruf nahi munkar mengenal dan mensyaratkan tingkat hak dan kemampuan. Tidak boleh ada tirani minoritas dalam Islam yang memaksakan kehendaknya atas nama Islam sebagai mayoritas. Dalam konteks NAD (Aceh) ada keistimewaan terkait syariat yang telah disepakati di daerah itu, dan mestinya pula ditaati. Professor Dr Syahrizal Abbas –Kepala Dinas Syariat Islam Aceh– menyebut razia yang dilakukan sendiri masyarakat tanpa persetujuan pemerintah adalah fatal. Tengku H. Faisal Ali –Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh– juga menegaskan “kelompok masyarakat tidak boleh melakukan razia pelanggaran syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari.” Hanya aparat yang bisa melakukan itu. “Berbicara Aceh, kita punya Wilayatul Hisbah.”
NAMUN terlepas dari itu semua, keistimewaan Aceh itu sendiri dalam kaitan pelaksanaan Syariat Islam, untuk sebagian masih merupakan tanda tanya bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan: Apakah negara kita ini suatu negara kesatuan yang menghargai keberagaman lahir batin atau sudah menuju menjadi negara agama? (socio-politica.com)