AMBIVALENSI DAN OPPORTUNISME POLITIK

Ambivalensi dan sikap opportunistik adalah sikap-sikap yang banyak tercermin dalam perilaku politik pada masa perubahan tahun 1965-1966 hingga tahun 1970. Semula ciri itu dikenali pada kelompok politisi sipil yang berasal dari dunia kepartaian Nasakom, tetapi pada akhirnya juga diperlihatkan oleh kalangan tentara dalam kancah politik kekuasaan.

Tak kurang dari Soeharto sendiri, karena kepentingan taktisnya, kerapkali terkesan bersikap ambivalen, setidaknya di mata kelompok mahasiswa pergerakan 1966. Bahkan pada akhirnya menular hingga ke kalangan mahasiswa sendiri.
Sikap ambivalen yang membingungkan berkali-kali ditunjukkan Soeharto. Di satu saat ia menekankan penyelesaian konstitusional terhadap Soekarno, sejalan dengan aspirasi yang ditunjukkan kesatuan aksi dan kelompok mahasiswa pada khususnya. Tetapi pada saat yang bersamaan ia juga melakukan pula perundingan-perundingan untuk berkompromi dengan Soekarno, untuk segera memperoleh penyerahan kekuasaan secara penuh dari Soekarno. Separuh kekuasaan telah diperolehnya melalui Surat Perintah 11 Maret 1966, kini ia menginginkan seluruh kekuasaan.
Gerakan-gerakan kesatuan aksi dan mahasiswa yang menentang Soekarno, terutama tuntutan agar Soekarno mundur dan kemudian diajukan ke persidangan Mahmillub untuk diperiksa dan memberi pertanggungjawaban secara hukum mengenai Peristiwa 30 September 1965, menjadi alat penekan yang ampuh dalam menghadapi Soekarno.
Soekarno memang akhirnya, terdorong mundur setapak demi setapak dan pada akhirnya menyerah di bulan Pebruari 1967. Dengan penyerahan kekuasaan oleh Soekarno sebelum Sidang Istimewa MPRS, membuat Soeharto ‘tak terlalu berhutang budi’ kepada MPRS yang pada bulan Maret berikut, mencabut seluruh mandat kekuasaan dari tangan Soekarno.

AKHIR DARI SEORANG PEMIMPIN BESAR. Karikatur yang dibuat bulan Maret 1967 ini, menjelang SI MPRS, menggambarkan ‘nasib akhir’ yang akan menimpa diri Soekarno. Sebuah kursi yang ‘sunyi’ dan benda-benda yang pernah dipakai sebagai atribut kekuasaan, kacamata yang semestinya adalah lambang kecerdasan intelektual seorang pemimpin, pisau berdarah dan buku Manipol (Manifesto Politik), yang semuanya bertebaran di lantai.
BERAKHIR PULA DUALISME. Keputusan Sidang Istimewa MPRS 1967 yang mencabut mandat kekuasaan dari Presiden/Mandataris MPRS Soekarno, lalu menetapkan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden, sekaligus mengakhiri pula dualisme dalam pemerintahan yang dijalankan suatu Presidium hasil ‘kompromi’ dengan Soekarno, beserta segala dilemanya seperti yang digambarkan T. Sutanto dalam karikaturnya dalam Mingguan Mahasiswa Indonesia di tahun 1966, bulan September.
Berlanjut ke Bagian 4