“Mereka –entah sebagai staf ahli atau penasehat ahli, entah pengajar sekolah staf dan pimpinan dari institusi, entah anggota komisi bentukan pemerintah– kikuk dan terbata-bata, karena rupanya intelektualitas mereka masih bekerja di bawah sadar memberi signal bahwa mereka sedang menyampaikan logika artifisial dan mengandung manipulasi dalam pemaparan mereka”. “Mereka yang terikat dengan institusi Polri, agaknya tak boleh tidak terpaksa bersikap right or wrong my Polri, dan terpaksalah beberapa di antara mereka mengunyah-ngunyah Komjen Susno Duadji yang mbalelo”.
APA yang akan terjadi bila gagasan pembuktian terbalik dalam penelusuran kekayaan para penyelenggara negara dalam konteks pemberantasan korupsi, akhirnya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh? Kata moderator dalam diskusi Jakarta Lawyers Club di TV One (29 Maret 2010), Karni Ilyas, institusi-institusi negara itu akan bubar semua. Gurauan ini pasti berdasar kepada opini tentang begitu luasnya penyakit korupsi dan segala derivatnya di tubuh pengelola negara. Ini hanya setingkat lebih ringan dari gurauan Raja Thai Bumibol Adulyadej kepada para mahasiswa pengeritik di pertengahan tahun 1960-an yang mengusulkan hukuman mati bagi para koruptor. “Kalau kita memecahkan masalah korupsi itu dengan menjatuhkan hukuman mati, maka Muangthai hanya akan tinggal berpenduduk beberapa orang saja” (Lihat, A Never Ending Strory, sociopolitica.wordpress.com pekan lalu).
Meski sebatas gurauan, apa yang dikatakan Karni Ilyas maupun Raja Bumibol, ada logikanya juga. Lalu bagaimana dengan cetusan emosional Brigjen Raja Erizman yang menanggapi pengungkapan Komjen Susno Duadji tentang praktek makelar kasus dan mafia hukum di tubuh Polri, bahwa mantan atasannya itu “maling teriak maling?”. Ungkapan “maling teriak maling” ini diangkat dari praktek sehari-hari dalam dunia maling. Biasanya seorang maling yang sedang dikejar ramai-ramai, mencoba mengecoh dalam riuh rendah suasana pengejaran dengan juga ikut meneriakkan “Maling! Maling….!” sambil menunjuk-nunjuk ke arah orang lain. Tapi, dalam hal Susno Duadji, ia tidak dalam keadaan dikejar-kejar. Bahwa ia dalam keadaan ‘kecewa’ dicampakkan bagaikan ampas tebu, mungkin. Logikanya, ia lebih cenderung menjadi ‘polisi teriak maling’ daripada ‘maling teriak malang’. Dalam pada itu, Raja Erizman yang merasa dikejar dengan tuduhan Susno Duadji, dalam membela diri memilih meneriakkan ‘maling teriak maling’. Cetusan balik itu mengandung tuduhan serius juga, bahwa Komjen Susno adalah seorang maling. Masuk akal kalau sebagai institusi penegak hukum Polri memutuskan untuk memeriksa Susno Duadji berdasarkan pengaduan Raja Erizman. Tapi pada waktu yang sama Polri juga menggunakan logika tumpul, sehingga tidak merasa perlu mengusut kebenaran tuduhan Susno Duadji kepada Raja Erizman maupun Brigjen Edmond Ilyas. Sikap pilih-pilih tebu seperti ini hanya akan menimbulkan prasangka.
PERKEMBANGAN kasus pencairan dana misterius 25 milyar minus 370 juta rupiah sebagai persoalan awal sebagaimana yang diungkapkan Komjen Pol Susno Duadji, sementara itu berkembang secara mencengangkan. Dana hampir 25 milyar yang sudah cair karena dicabut pemblokkirannya melalui surat yang ditandatangani 26 November 2009 oleh Brigjen Pol Raja Erizman, kini kembali dikejar-kejar untuk disita setelah ‘pindah’ ke mana-mana. Apakah Raja Erizman sudah diperiksa untuk mempertanggungjawabkan surat sumber masalah yang ditandatanganinya itu? Dalam waktu dan ruang peristiwa yang sama, Gayus Tambunan yang menjadi terdakwa dalam kasus transaksi mencurigakan berdasarkan laporan PPATK, berhasil lolos dalam proses peradilan di Pengadilan Negeri yang mengadili pidana penggelapan 370 juta oleh Gayus. Kini ia dikejar-kejar karena buron, lari ke luar negeri. Padahal, sebenarnya ada cukup banyak waktu untuk menangkapnya bila Polri berpikir setindak lebih cepat dan menggunakan pisau analisa yang tajam sejak kasus ini mencuat, setidaknya bisa lebih cepat meminta mekanisme cegah kepada pihak imigrasi. Kabur ke Singapura tanggal 24 Maret, dicegah tanggal 25. Menggunakan bahasa yang lebih ‘enak’, katakanlah Gayus Tambunan hampir berhasil dicekal.
Kini persoalan hampir sepenuhnya sudah beralih menjadi masalah makelar kasus perpajakan. Gayus Tambunan yang ‘hanya’ Golongan III A dan berusia 30 tahun, kini dalam proses pemecatan tidak hormat. Menteri Keuangan Sri Mulyani yang tadinya jadi fokus sorotan kasus Bank Century, kini menjadi penginisiatif, ia membebastugaskan seluruh staf dan pimpinan Unit Keberatan Pajak tempat Gayus tadinya bertugas. Situasi dan perhatian sudah agak bergeser dari masalah makelar kasus yang melibatkan petinggi di Polri dan atau kalangan penegak hukum pada umumnya. Dan bahkan, perhatian publik pun mulai bisa dibelokkan dari fokus skandal Bank Century yang masih penuh tanda tanya tentang keterlibatan motif dana politik dan atau keterlibatan kalangan pengambil kebijakan. Alih perhatian di Indonesia memang selalu berlangsung eskalatif dalam tempo yang cepat. Kerapkali by design juga.
TERLEPAS dari semua itu, cukup menarik juga ‘menonton’ peranan yang dimainkan ganti berganti oleh orang perorang kalangan berpendidikan tinggi –para doktor– yang karena posisi kedekatannya dengan kalangan otoritas kekuasaan terpaksa bekerja keras menghidangkan argumentasi pembenaran, meskipun kadang kala kikuk dan terbata-bata juga. Mereka –entah sebagai staf ahli atau penasehat ahli, entah pengajar sekolah staf dan pimpinan dari institusi, entah anggota komisi bentukan pemerintah– kikuk dan terbata-bata, karena rupanya intelektualitas mereka masih bekerja di bawah sadar memberi signal bahwa mereka sedang menyampaikan logika artifisial dan mengandung manipulasi dalam pemaparan mereka. Paling sulit memang bagi kaum intelektual tatkala berperan sebagai penyampai ‘his/her master voice’. Mereka yang terikat dengan institusi Polri, agaknya tak boleh tidak terpaksa bersikap right or wrong my Polri, dan terpaksalah beberapa di antara mereka mengunyah-ngunyah Komjen Susno Duadji yang mbalelo. Padahal tugas mereka di Polri semestinya adalah narasumber pencerahan dan pemikiran ideal untuk bekal kepolisian menjadi polisi adil dan benar selaku pengayom rakyat.
Cukup banyak yang tetap happy terhadap peran yang dijalankan misalnya oleh Dr Denny Indrayana Staf Khusus Presiden dalam kedudukan Sekertaris Team Pemberantasan Mafia Hukum. Secara umum, sejauh ini, ia dinilai tetap cukup positif. Tapi tak urung ia kikuk juga. Ketika memaparkan hasil ‘interogasi’nya dengan Gayus Tambunan, bahwa pelaku makelar kasus pajak tak hanya Gayus seorang, Denny merasa perlu mengulang-ulang bahwa Gayus mengakui kini sudah jauh lebih sulit untuk melakukan praktek makelar kasus pajak di instansinya, dibanding dulu. Mereka, para ‘cendekiawan’ ini, agaknya harus belajar banyak kepada Adnan Buyung Nasution yang masih selalu mampu menegakkan integritasnya di manapun ia berposisi. Mampu menggunakan logika dan kecerdasan sebagai pisau bedah, bukan membiarkan diri menggunakan akal sebagai pedang tumpul. Meski, sekali-sekali ada sedikit keseleonya juga. (RA).
“Ini pukulan telak bagi MA, karena dari awal MA mengatakan tidak ada masalah (dalam kasus Gayus). Tidak ada pelanggaran dan tidak ada suap, tapi ternyata buktinya ada. Ini menunjukan praktek mafia hukum masih eksis sampai sekarang,” ujar peneliti hukum ICW Febri Diansyah di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (18/4/2010).
Febri menyatakan, klaim MA telah melakukan pembersihan terhadap mafia hukum, harus diuji lagi. “Kalau begini terkesan MA memberikan perlindungan terhadap pihak bermasalah dengan mengatakan tidak ada masalah,” katanya.
Febri menyangsikan polisi dapat menyeret aktor utama kasus Gayus Tambunan. Hal ini disebabkan polisi merupakan bagian dari kasus Gayus.
Selain itu kejaksaan tidak jelas dalam menanggani masalah ini.
“Jalur konvensional seperti ini pasti akan gagal dalam kondisi yang kita sebut darurat mafia ini. Sebaiknya diserahkan ke KPK agar lebih baik,” katanya.